dayah tradisional |
Maka sejak tahun 1904, Rangkang-rangkang dan Dayah-dayah yang telah hancur semasa perang, dibangun semula disamping membangun dayah-dayah yang baru, seperti Dayah Kreungkalé, Tengku Syech Abdul Wahab membangun Dayah Tanoh Abè; Haji Abbas dan Haji Ja'far membangun Dayah Lambirah. Di Aceh Barat, keturunan Tengku Muhammad Yusuf membangun Dayah Rumpet; keturunan Tengku Thjik Muhammad Amin Tiro membangun Dayah Blang, Dayah Lampoh Raya, Dayah Tiro, Dayah Cot Pliëng dan Dayah Cot Jurong (Ali Hasjmy: 1997).
Tengku Abdussalam membangun Dayah Lamnyong; Tengku Haji Umar membangun Dayah Lham U, Tengku Syech Marhaban membangun Dayah Lambhuk, sementara Ulama-ulama lainnya membangun Dayah Ulèë Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong; Tengku Fakinah membangun Dayah Lamkrak (Dayah Lamdiran); Tengku Chik Eumpê Triëng membangun Dayah Rangkang Kanyang; Tengku Chik Ulèë U membangun Dayah Ulèë ü. Tengku Chik Rundéng membangun Dayah Rundêngo; Tengku Muhammad Arsyad membangun Dayah Ië Leubeue; Tengku Yusuf membangun Dayah Meunasah Raya dan di Teupin Raya dibangun pula Dayah Teupin Raya. (Ibid, Dada Meuraksa, 1990). Dibangun Madrasah Khairiyah oleh Tuanku Raja Keumala tahun 1915, setelah menyerah kepada Belanda pada tahun 1903.
Selain dari Ulama tadi, terdapat juga petinggi negara yang telah menyerah, seperti Teuku Panglima Polim Muhammad Daud dan Tuanku Raja Keumala, yang awalnya hendak meneruskan perjuangan bersenjata melawan Belanda, tetapi dengan perhitungan tertentu pada tahun 1903, memutar haluan kepada perjuangan politik, dengan alasan untuk memimpin persatuan umat dan keteguhan semangat demi bergerak kembali menghancurkan kolonial Belanda, jika saat yang tepat sudah tiba. (Dada Meuraksa: 1990).
Untuk itu, mereka merekrut sederetan Ulama, seperti Tengku Hasan Kruengkalé, Tgk. Syech Ibrahim Lambhuk, Tgk. H. Abas Lambirah, Tgk. Ba Jafar Lamjabat, Tgk. Syech Saman Siron, Tgk. H. Hasballah Indrapuri, Tgk. B. Abdullah Lam U, Tgk. Usman Lampaloh, Tgk. Bintang Reukieh, Tgk. Syech Mhd. Lam Lhom, Tengku Abdussalam Meuraksa, Tgk. Paki Lamkrak, Tengku Teupin Kaya, Tgk. Abdul Jalil Awé Geutah, Tgk. Muhammad Saleh Pulo Kiton, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Umar Tiro dan disokong oleh para ulama besar di seluruh Aceh sebulat suara; walau pun pemerintah Belanda tetap mengawal gerak langkah mereka, sambil mengawasi para jama'ah haji dari Aceh ke Mekkah, karena khawatir akan menyebarkan idea Pan-islamisme dari Arab, yang berlawanan dengan kepentingan politik kolonial Belanda di Aceh. (Ibid, Dada Meuraksa: 1990)
Sehubungan dengan politik perang baru di Aceh, maka fungsi Dayah-dayah, selain sebagai pusat pengajian Islam, juga digunakan sebagai markas untuk membina kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan kepada ajaran Islam untuk mendapat keredhaan Allah menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Dengan perkataan lain, merubah formula politik pendidikan Islam berkarakter Aceh, yang tujuannya untuk ikut serta berpartisipasi dalam pemerintahan kolonial Belanda di Aceh.' (Ibid, Dada Meuraksa, 1990.)
Untuk itu, Dayah di Tiro, yang memakai 'model totalitas tradisional memakai pendekatan rahmatan lil'alamin, berjiwa patriotik dalam melawan penjajahan maupun mendukung gerakan-gerakan yang menentang terhadap pemerintah yang zalim, menitik beratkan kepada transfer ilmu pengetahuan umum maupun agama dipakai sebagai basis. Dayah ini tidak memiliki nilai tawar pihak mana pun. (Mukhlisuddin Ilyas: 2012). Sementara Dayah Muda Wali di Aceh Selatan, dinilai lebih modern dan cenderung sekuler, karena muatan sylabusnya bertumpu kepada pencapaian aspek intelektual, tanpa mementingkan keadaan lingkungan masyarakat sekitar. (Ibid, Mukhlisuddin Ilyas: 2012).
Kedua-dua model Dayah Dayah Tradisional dan Dayah Modern, ternyata bukan saja terperangkap kedalam jaring politik dan sistem pendidikan kolonial, akan tetapi juga tidak mampu menjadi perisai mempertahankan diri identitas pendidikan tradisional Aceh. Akibatnya, nasionalisme Aceh yang mencakup: institusi ke-Sultanan, harga diri, identitas politik, ekonomi, konstitusi (Meukuta Alam), mata uang, bendera, sistem dan struktur pemerintahan, lambang, Stempel runtuh berkecai. Di atas puing-puing reruntuhan inilah, kemudian berdiri tegak nasionalisme Indonesia dan negara Indonesia. Disinilah rakyat Aceh mengibarkan bendera Merah Putih pada tahun 1945.
'Habib Muda Seunagan memutuskan untuk mengibarkan bendera (Merah Putih) di Seunagan…. siap menanggung resiko apapun yang akan terjadi (Sehat Ihsan Shadiqin, Mukhlisuddin Ilyas, Ardiansyah: 2015). Artinya, pada phase ini, selain Aceh tidak lagi mempunyai pempimpin nasional, juga dianggap sebagai 'phase terakhir keberadaan Dayah gerakan di Aceh pada abad ke-20, sekaligus berakhirnya peran Dayah gerakan dalam dinamika pergolakan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. (Mukhlisuddin Ilyas: 2017)
Sebetulnya, saat putera Aceh, seperti Teuku Njak Arif, Tengku Muhd. Daud Beureuéh, Tengku Abdul Wahab Seulimum, Tengku Hasan Krueng Kalé, Dr. Mohammad Majoedin, Abdullah Husén, Teuku Muhammad Ali Panglima Polém dan Teuku Ahmad Juenéb sudah tahu pasti tentang keabsahan berita kemerdekaan RI, sungguh bijak sekiranya putera-putera Aceh (Ulama, anggota kerabat Sultan Aceh, Ulèëbalang, aktivis Dayah) bermusyawarah untuk membentuk sebuah komite ad-hok, sekaligus mengambil keputusan bahwa penyerahan kuasa sivil dan militer dari junta militer Jepang, hanya diserah kepada komite ini, bukan kepada pihak luar; karena perjuangan Aceh menentang kolonialisme merupakan sebuah perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa Aceh; bukan sebuah perjuangan mendirikan negara lain. Lagi pula ‚Aceh memiliki rumah masa lampau yang dianggap masih begitu dekat dengan sejarahnya. (Prof. Dr. Salim Said, 2017).
Artinya, Aceh mempunyai hak legal (legal Status) untuk menentukan nasib masa depannya. Namun, peluang yang berharga ini tidak dimanfaatkan sebagaaimana mestinya. Jepang justeru menyerahkan jaminan keamanan di Aceh kepada kuasa asing yang bermarkas di Singapura, sementara kuasa sivil Aceh diserah kepada Teuku Muhammad Ali Panglima Polim (wakil pemerintah RI di Aceh) atas perintah dari Teuku Njak Arief (Residen Aceh). Tatkala situasi Aceh seperti ini, para Ulama dan aktivis Dayah, yang sejak tahun 1911-an telah mengkader pejuang bersenjata dan diplomatik, saatnya bersaksi di depan cermin sejarah untuk mengambil alih kuasa dari Jepang.
Namun Ulama & aktivis Dayah ini penakut (tjeuek), disebabkan mengalami krisis identitas, merasa rendah diri (inferiority complex), kehilangan ruh melawan penjajah Belanda dan secara perlahan-lahan nasionalisme Aceh pun tersungkur dan terkapar. Dipercayai, antara faktor penyebab keterbelakangan berfikir Ulama dan aktivis Dayah dalam konteks politik ke-Aceh-an priode (1942-1945), berpunca dari muatan sylabus pendidikan Dayah yang hanya tertumpu kepada bidang munakahat, jenayah, waris, muamalah saja; sebaiknya mengenyampingkan aspek siasah dan korelasinya dengan pergolakan yang berlaku dalam peradaban Islam, seperti kajian tentang faktor-faktor kejayaan dan keruntuhan kekahfihan Bani Umayyah (661-750), Bani Abbasyiah (750-1517), kemunculan Bani Umayyah jilid ke-dua (756-1031) yang kemudian juga runtuh; kejayaan dan keruntuhan kekhalifahan Oesmaniyah Turki (1299-1924); yang kemudian giliran kolonial Barat muncul sebagai kekuatan baru mengambil alih, setelah mengalahkan kekuatan Islam melalui perang Salib yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan politik perluasan wilayah di kurun masa abad ke-11 sampai 13.
Seiring dengannya; dunia Islam -terutama di Zazirah Arab, Afrika dan Asia- jatuh berguguran satu demi satu. Pada hal, kader Dayah semestinya menjadi kekuatan penggerak perubahan (agent of change) moral, kehidupan sosial kemasyaratan dan juru bicara kebenaran agama dan politik. Tegasnya, sylabus Dayah di Aceh (priode: 1911-an sampai 1945), tidak mengkaji tentang arti pentingnya hubbul wathan (cintai tanah air) Aceh dan faktor-faktor yang mengantar Aceh menjadi sebuah negara masyhur pada abad ke16-18), yang kemudian dihimpit oleh dua kekuatan -kekuatan asing dan dalam negeri Aceh sendiri- hingga tersungkur di separuh abad ke-20.
Dalam rentang masa transisi, kekalutan politik, perasan jiwa tidak stabil dan tidak percaya diri inilah, menjelma putera-putera Aceh opportunis, dengan gerak cepat merebut peluang dan menyeret Aceh kedalam kancah politik baru Indonesia yang sedang bergelut di Batavia. Terbukti bahwa, permainan politik menjelang dan fasca kemerdekaan Indonesia, dikuasai dan DIDOMINASI oleh putera-putera Aceh berhaluan nasionalis. Diakui bahwa terdapat PUSA, Ulama independen dan aktivis Dayah yang pada era itu sudahpun menyandang gelar `Tengku Thjik', dianggap masih peka dan memberi perhatian terhadap situasi politik yang berlaku di Aceh; akan tetapi keberadaan mereka seumpama 'bayi tabung' (generasi Aceh) yang kehilangan kontak emosional lahir-bathin dengan Induknya (negara Aceh).
Perasaan nasionalisme Aceh tiba-tiba tidak lagi bergetar di dada mereka, sembari mensucikan diri dalam kolam kesunyian dan kepedihan! Nasib masa depan Aceh akhirnya, ditentukan oleh segelintir putera Aceh berhaluan nasionalis yang sebelumnya telah terpengaruh dengan politik kolonial Hindia Belanda, Jepang, ajaran demokrasi dan nasionalisme yang diperkenalkan oleh politisi inlander dari luar Aceh. Kalangan Ulama & aktivis Dayah, selain tidak mampu mengimbangi pertarungan ideologi dan politik kontemporer melawan kelompok nasionalis (1942-1945), juga terpaksa membiarkan dan menyaksikan mereka mempertontonkan goyang tarian 'nasionalisme Indonesia' yang lincah, sekaligus mendominasi rumusan arah tujuan politik masa depan Aceh untuk dimasukkan kedalam wilayah RI.
Kalangan nasionalis Aceh inilah yang telah berjasa menghancurkan nasionalisme Aceh berkeping-keping dan di atas puing-puing reruntuhan itu, dibangun jasad baru, yaitu INDONESIA yang sesungguhnya bukanlah impian dan aspirasi dari bangsa Aceh pada ketika itu. Lantas, fungsi Dayah yang dijanjikan, selain sebagai pusat pengajian Islam, juga sebagai pusat pembinaan kader pejuang kemerdekaan yang didasarkan kepada ajaran Islam.., tokh hasilnya nihil. Lelah menunggu janji manismu!