Monday, February 21, 2011

Harga Ideologi ”Al-Mithaq” Mesir


Yusra Habib Abdul Gani

Ideologi selalu sembunyi dan bertahan dalam bentuk aslinya, yang doktrin dan pengaruhnya bisa mengalahkan popularitas agama. Orang hanya mengenal wajah ideologi dalam peristiwa-peristiwa yang dicetuskannya. Terkadang atas nama negara, ideologi berselimutkan nilai-nilai moral, demokrasi, keadilan dan kemakmuran. Atas nama politik dan kekuasaan, ideologi dipakai sebagai alasan pembenar untuk meneror, intimidasi, menganiaya dan mematikan kemanusiaan. Adakalanya menyamar lewat simbol-simbol, cita-cita kolektif, nasionalisme, kebijakan politik dan kekuasaan, humanisme serta sistem ekonomi. Tanpa disadari, hampir ¼ penduduk dunia menjadi korban, mati dibunuh atas alasan mempertahankan ideologi negara, politik dan kekuasaan. Ideologi komunisme dan kapitalisme misalnya.
”Al-Mithaq” –ideologi politik Mesir– didirikan tahun 1962, yakni: semasa pemerintahan Gamel Abdul Nasser yang menang dalam pemilu 1953 mengalahkan Naguib. Begitu tampuk pimpinan tertinggi Mesir di tangannya, Nasser segera membekukan sistem multi partai menjadi satu partai –”The Liberation Rally”– sebagai gerakan nasional untuk menampung aspirasi semua partai. Penganut Komunis dan Ikhwanul Muslimin geram dan mengutuk kebijakan Nasser yang sudah berhasil menyumpal mulut Ulama dan kalangan civitas Universitas al-Azhar untuk tidak bersuara. Doktrin ”Al-Mithaq” berisi: ’kekuasaan negara adalah kekuatan politik mutlak dan penguasa tunggal yang dilahirkan dari partai tunggal dan kekuatan militer.’ Jadi, sejak masa itu rakyat Mesir sebenarnya sudah merasa terkekang aspirasi politiknya. Dalam konteks aqidah keislaman dan ideologi, Nasser memang bukan anggota Ikhwanul muslimin, bukan pula penganut tokoh komunis. Namun demikian, Eisenhower (Presiden USA) pada Januari 1957, merasa perlu berjanji ‘melindungi dunia Arab dari pengaruh komunis dan diharapkan sebagai pil penenang, sebab Nasser dikenal sebagai tokoh yang gigih mempromosikan sentimen ke-Arab-an yang dinilai mengancam dominasi Barat di dunia Arab umumnya dan Mesir khususnya. Tetapi Eisenhower tidak mau tahu dengan ”Al-Mithaq” yang diciptakan untuk mengekang kebebasan mengeluarkan pendapat dan bersyarikat.
Ideologi ”Al-Mithaq” diteruskan oleh Anwar Sadat. Dia memulainya dengan mengeluarkan ”UU untuk melindungi malu” tahun 1980, bertujuan untuk menghapus rasa ketidak puasan rakyat dan penentangan rakyat terhadap pemerintah. Sepatah kata saja mengkritik penguasa dianggap jenayah. ”Saya akan mencencang siapa saja yang buka mulut. Sebelumnya (tahun 1977) dia mengeluarkan perintah yang menyebut Imam Masjid yang terima gaji pemerintah tidak boleh mencampur agama dengan politik dalam pidatonya.” Kebijakan politik inilah yang menyulut keluarnya fatwa Omar Abdel Rahman yang menghalalkan darah Anwar Sadat, hingga pada 6. Oktober 1981, ia ditembak oleh Khalid (pejuang ikhwanul Muslimin) yang sambil menembak, berteriak: ”Mampus kau Fir’aun”.
Doktrin ”Al-Mithaq” menghalalkan segala cara untuk memperkokoh kekuasaan. Misalnya: Hasan Al-Bana (pendiri Ikhwanul Muslimin) yang ditembak mati di bangunan Kaherah dan Sayid Qutb yang dihukum gantung dalam penjara Mesir dan penyiksaan Zainab Alghazali dkk dalam penjara Mesir, karena lantaran mereka menyuarakan kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Ini adalah kesaksian dalam sejarah Mesir.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan Hosni Mubarak yang dimulai 14.Oktober 1981), selain mewarisi ”Al-Mithaq”, juga melegitimasi "emergency law" yang berpunca dari peristiwa pembunuhan Anwar Sadat. Jadi, kemana rakyat harus mengadu, ‘bulan bintang pun’ tak tahu. Sementara itu, ajaran ”Al-Mithaq” dikenal pasti bukan ideologi pembebasan.
Suatu ketika, setelah Hosni Mubarak terdesak, dia terpaksa mengizinkan dan mengakui ’Ikhwanul Muslimin’ sebagai suatu kekuatan sosial politik, walaupun tetap dianggap seteru berbahaya dari Partai Demokrasi Nasional (PDN), partai penguasa, dimana Hosni Mubarak sebagai Ketuanya. Politisi asal PDN semua fanatik kepada doktrin ”Al-Mithaq”, mereka selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut dan prejudis mendahului naluri kepemimpinannya. Karena itulah, penguasa membentuk ‘Komite Partai Politik’ (‘PPC’), {seperti KPU-nya Indonesia; dimana 8 dari 9 anggotanya ditunjuk oleh Presiden}, telah melarang partai Al-Karama (Martabat) berdiri untuk ikut dalam Pemilu tahun 2011, karena dituduh mengusung ideologi radikal.
Terlepas dari adanya inspirasi dan pengaruh dari revolusi yang bangkit dari jiwa rakyat di Sudan dan Tunisia; yang pasti: Mesir adalah bangsa yang selamanya bangga dengan kegemilangan sejarah masa lampaunya dalam bidang: agama, arsitektur, sastra, geometri, filsafat, astronomi. Apalagi Mesir kuno masyhur sebagai pelopor mitologi. Ole sebab itu, ketika rakyat melakukan demonstrasi secara damai selama 18 hari yang menuntut Hosni Mubarak turun tahta dan mengusir dari Mesir, dia tetap berkata: “Mesir negeriku, aku mau mati di tanah ini dan sejarah akan mengadiliku dan lain-lainnya dari kebaikan dan kesalahan.” (Pidato Hosni Mubarak, 1 Februari 2011). Ucapan ini merupakan perwujudan dari keyakinan bahwa “roh Bietah” hadir, yang dalam kepercayaan orang Mesir dianggap sebagai roh pelindung. Sesungguhnya, Mesir harus berani mengaku bahwa: di atas menara kebanggaan masa lalunya, melekat juga simbol ‘inhumanism’, yang rencam dengan cakaran kuku tyrani, otoriter dan diktator. Mesir modern seharusnya menjaga martabat sebagai bangsa tua yang memiliki nilai peradaban masyhur di dunia Timur dan penabur aroma keagungan sejarah Mesir dan Al-Azhar yang diakui dunia sebagai refresentasi dari ‘mawar’ keislaman yang harum semerbak; yang mengungguli dan mengawali kemegahan ilmu pengetahuan Dunia Barat. Ideologi ”Al-Mithaq”, Ternyata telah gagal mengantar Naseer dan Anwar Sadat menjadi sosok ‘mawar’ Mesir, bahkan Hosni Mubarak diusir oleh rakyatnya yang berteriak: "Barak, barak, barak” (“Keluar, keluar keluar) dan “Kefaya", "Kefaya", "Kefaya", (“cukup, cukup, cukup”). Memang tidak semua orang mampu mencerna falsafah makan Rasulullah SAW yang ternyata relevan dengan falsafah politik/kekuasaan: ‘Makanlah sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang’. Yang secara ethika moral politik berarti: ‘Berkuasalah selagi rakyat masih senang dan turun tahta sebelum rakyat membenci, mencaci-maki, mengusir dan menelanjangi.’ Sadarlah kawan!
Suara rakyat untuk sementara keramat, tapi belum tentu selamat. Hosni memang sudah pergi dan sembunyi di tepi pantai Laut Merah {tempat transit pasukan Fir’aun}, tetapi belum tentu menjelma demokrasi! Kepergiannya menyisakan ‘sejuta’ masalah –boom waktu yang awalnya memberi mandat kepada Omar Suleiman (wakil Presiden), kemudian meralat dan mengalihkan kuasanya kepada Dewan Jenderal– Kalaulah figur diktator hanya tukar jacket, ini berarti suatu kematian demokrasi di Mesir. Hosni awalnya berjanji mengamandemen UU Darurat, yang pasal 76 dan 77 menyebut: “Saya memanggil anggota Parlemen untuk bersama-sama menjalankan kuasa dalam masa kritikal ini sampai pada masa tugas Presiden berakhir. Saya percaya pemerintahan baru akan menjamin hak-hak hukum bagi setiap orang yang menyuarakan aspirasi politik, ekonomi, sosial dan memberi peluang kerja, membebaskan kemiskinan demi mewujudkan keadilan sosial.” Inilah janjiku kepada rakyat selama menjalankan kuasa yang tersisa beberapa bulan lagi.” Tapi rakyat tak percaya, sebab sudah kenyang dengan janji dan indoktrinasi; kini saatnya makan nasi dan panen demokrasi. Terakhir kita terima informasi bahwa Dewan Jenderal (militer) memberi masa enam bulan ke depan untuk menyelenggarakan Pemilu, mudah-mudahan rakyat Mesir tidak ditipu. Wallahu’aklam bissawab!