Oleh Yusra Habib Abdul Gani
KATA “pèngè” dalam bahasa Denish, Norge dan Swedish berarti “uang”. Sementara kata ”pèng” dalam bahasa Aceh juga bermakna ”uang” dan kata “hèpèng” dalam bahasa Batak juga berarti ”uang”. Kemiripan sebutan antara “pèngè” dan ”pèng”, menarik untuk disimak dan telah menggoda saya untuk meluahkan dalam bentuk tulisan, dengan harapan agar dapat memperkaya khazanah pengetahuan sejarah.
Sejauh ini, memang belum dilakukan penelitian tentang bagaimana proses terjadinya kemiripan sebuatan ini. Namun begitu, diduga bahwa hal tersebut terjadi bukan secara kebetulan, tetapi melalui proses silang budaya yang diperkirakan berlangsung sewaktu zaman ”Viking” yang masyhur itu, mungkin saja melintas dan singgah ke Aceh, hanya saja hypothesa ini mesti dibuktikan secara ilmiah.
Sementara itu, untuk sebutan mata uang tidak mirip. Beberapa negara di kawasan Scandinavia mempunyai mata uang yang disebut: “Kroner” [Kr.], sebagai alat pembayaran dalam lintas dagang nasional dan Internasional. Kroner mempunyai satuan hitung, misalnya: ”Tusind” (kesatuan hitung ribuan), ”Hundre” (kesatuan hitung ratusan ) dan “Øre” (kesatuan hitung sèn) seperti cen dalam bentuk coin dollar). 10 Øre = 1 Kr; 100 Øre = 100 Kr dan 10X 100 Kr = 1000 Kr. Untuk menghadapi globalisasi ekonomi –khususnya dalam kebijakan penyatuan mata uang Euro – Denmark, Swedia dan Norwegia sama sekali tidak gegabah menukar mata uang mereka. Sudah tiga kali diadakan referendum di masing-masing negara tersebut untuk menentukan: pilih Kroner atau Euro. Ternyata, yang kontra euro masih saja menang suara secara mayoritas. Mereka masih mempertahankan identitas bangsanya.
Berbandingan dengan mata uang Denmark, Swedia dan Norwegia; ternyata mata uang Aceh lebih bervariasi, yang dahulu dipakai sebagai alat pembayar dalam lintas dagang nasional dan internasional. Keberagaman bentuk dan sebutan ini bisa dilihat, misalnya: Cashes (mata uang terbuat dari Timah); mas (kesatuan hitung); cowpan (maksudnya kupang - kesatuan hitung); pardaw (kesatuan hitung) dan tayell (kesatuan hitung). Dalam hubungan ini, Davis [konsulat dagang Perancis yang pernah bertugas di Aceh selama pemerintahan Sultan Iskandar Muda] mengaku dan menuturkan kesaksiannya sbb: “Saya hanya melihat dua keping coin; sekeping terbuat dari emas dan satu lagi dari timah putih; coin emas tadi lebih besar dari sèn dollar, sebagaimana pence di Inggeris dan ia dinamakan mas; selainnya berbentuk seperti timah putih kecil seperti yang digunakan oleh pemilik losmen di London dan ia dinamakan caxas. Satu mas senilai seribu enam ratus cash. Satu cowpan senilai 400 cash. Satu mas senilai empat cowpan. Lima mas senilai empat shelling sterling. Satu perdaw senilai empat mas. Satu Tayel senilai empat perdaw…” (denys Lombard. “kerajaan aceh jaman sultan iskandar Muda” [1607-1636], Balai Pustaka, 1986.) Bisa disimpulkan bahwa: 1 cowpan = 400 cash; 1 mas = 4 cowpan = 1600 cash ; 1 perdaw = 4 mas; 1 tayell = 4 perdaw. Mata uang Aceh ini tidak saja berlaku di Aceh, tetapi juga beredar di seluruh kawasan Dunia Melayu selama ratusan tahun lamanya.
Keberagaman bentuk dan sebutan mata uang Aceh, membuktikan adanya kebijakan penguasa tentang politik pasar, dimana rakyat belanja dengan mata uang yang nilai tukarnya sedang dan rendah. Mata uang yang nilai tukarnya besar tidak beradar secara bebas dalam masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari pemalsuan uang dalam jumlah besar. Apalagi pada priode itu, transaksi perdagangan dengan negara asing (internasional) hanya dilakukan oleh negara, bukan oleh konglemerat atau perorangan.
Pada gilirannya, mata uang Aceh berubah sebutan, seperti: “Ringit” [sebutan ini dipertahankan sampai sekarang di Malaysia dan Brunei Darussalam dengan sebutan “Ringgit”], “Tali”, “Kupang”, “Suku” dan “Ktèp” atau ”Sèn” (semuanya adalah kesatuan hitung). Mata uang ini berlaku sampai separuh abad ke 20. Pertengahan tahun 1945, Mayor M.J. Knottenbelt (komandan Pasukan Inteligen khusus tentara Sekutu dari Anglo Dutch Country Section (ADCS) Force 136 dibawah komando Supreme Alied Commander South East Asia (SACSEA), pernah secara rahasia mengedarkan uang N.I.C.A di Aceh, tapi tidak berhasil, karena keburu dihalangi oleh PUSA. Seterusnya, tahun 1948 –yakni: ketika Indonesia ditakluki kembali oleh N.I.C.A (penguasa sipil) dan K.N.I.L (penguasa militer)– khusus di Pulau Wéh (Aceh) pernah beredar mata uang bergambar “Bintang dan Bulan Sabit” di tepi atas dan di tengah bertulis “Gulden” (mata uang Belanda). Di Keresidenan Sabang, pernah berlaku kupon yang bertulis “coupon penoekaran”. Begitulah “pèng”, riwayatmu dulu! Sekarang, Aceh mempunyai mata uang ”Rupiah” –kesatuan mata uang Indonesia– yang menurut riwayatnya, sebutan ”Rupiah” ini pun berasal dari mata uang India, yakni: ”Rupii”.
Lupakan seketika riwayat kemiripan sebutan; kini bicara soal ketidak miripan antara “pèngè” dan “pèng” dalam konteks nilai dan mengaturannya.
Di Denmark khususnya; pemerintah yang cari dan menyalurkan pèngè berdasarkan blue print yang direncanakan untuk membiayai sector: pembagunan fisik, social-budaya, kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Pemerintah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin, hingga bukan saja mampu menampung tenaga kerja setempat, tapi juga menerima tenaga kerja dari luar, seperti: Swedia, Polandia, German, Belanda dll. Gaji PNS dan pegawai Swasta dipotong pajak yang jumlahnya berkisar antara 46-48% dari gaji maksimum untuk membiayai sektor pelayanan umum, seperti: layanan kesehatan gratis, kecuali: penyakit gigi. pendidikan gratis [SD - SMA, termasuk biaya transportasi]; Anak yang genap berusia 13 tahun, bisa kerja sambilan tanpa dibebani pajak, di atas usia 18 tahun boleh kerja selama 17 jam/bulan tanpa pajak. Untuk melanjutkan ke Universitas, siswa bisa memimjam uang negara, yang nantinya dibayar tanpa pajak secara berangsur sesudah mendapat pekerjaan; semua warganegara dan penduduk tetap yang berusia 65 tahun ke atas, memperoleh uang pensiun. Rakyat menerima kebijakan pemerintah (Negara) secara ikhlas, demi kemaslahatan bersama. Jadi, Pemerintah dan rakyat sama-sama bertanggungjawab.
Semua sektor pembangunan yang melibatkan “pèngè” diurus dengan sistem managemen profesional, dikontrol dan di-evaluasi secara berkala, sehingga tidak ada jalan by-pass atau jalan tikus bagi ”tikus-tikus” untuk menggerogoti uang negara. Para politisi mengintip post-post mana yang perlu dibenahi. Memang harus diakui bahwa: Denmark sudah melewati pase pembangunan infrastruktur dalam bentuk fisik. Sekarang memasuki priode renovasi, pembangunan politik, sosial-budaya, kemanusiaan dan kesejahteraan. Jadi, siapa saja berkuasa, mereka ber-”ta’awwanu ’alal birri” untuk mensejahterakan rakyat.
Di Aceh lain ceritanya. Pemda tidak cari pèng, hanya menyalurkan pèng ke sektor-sektor yang sudah diallokasikan, dimana dananya berasal dari pemerintah pusat dan jumlah anggaran daerah mesti dilaporkan ke pusat; jika tidak, hana pèng dan jika pèng tidak habis dibelanjakan mesti dikembalikan ke pusat. Memang ada pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan Migas, tapi tidak mampu membiayai daerah; di Aceh pendidikan dari SD > SMA gratis, tapi pakaian seragam, buku dan transportasi bayar sendiri; biaya kesehatan tinggi dan diskriminasi antara PNS dan Veteran dengan rakyat jelata; tenaga kerja melimpah tanpa lapangan kerja; pajak menjerat dan tunjangan hidup bagi orang berusia 65 tahun ke atas tidak ada, kecuali: bagi pensiunan PNS atau Veteran; mentalitas kerja rusak: dimana upah lebih besar daripada produksi, pembaziran masa dan pembaziran dana; kontrol dan evaluasi terhadap pemakaian pèng sangat rapuh.
Dalam situasi inilah ”tikus-tikus” di Aceh secara berjama’ah menggerogoti pèng, hingga ”Aceh di-klasifikasi-kan sebagai Provinsi yang terkorup se-Sumatera dan se-Indonesia”. [sumber: Indonesian Corruption Watch (I.C.W) tahun 2004]. Lebih dari itu, ”Aceh sebagai Provinsi terkorup di Asia.” [sumber: Asia Pacific Corruption Watch (APCW) bermarkas di Hong Kong]. Tegasnya, PNS Aceh adalah yang paling ramai koruptor berbanding PNS se-Sumatera dan se-Indonesia serta PNS Aceh terkorup berbanding PNS di seluruh negara di Asia. Ini prestasi gemilang Aceh dalam soal korupsi.
Bicara soal pèngè dan pèng pada akhirnya bicara soal moralitas dan mentalitas. Dengan managemen yang professional dan pengaturan pèngè yang terkontrol, telah menempatkan Denmark pada urutan pertama sebagai negara yang teraman di dunia dan urutan ke–empat terbaik di dunia dalam hal mensejahterakan rakyat di bawah urutan Island, Norwegia dan Sweden. Yang lebih menarik lagi, semua negara yang disebut terakhir ini berada di kawasan Scandinavia. Sementara pengaturan pèng melalui managemen yang amburadul, telah berhasil menempatkan Aceh sebagai Provinsi terkorup se-Indonesia dan se-Asia Pacific. Tapi, biarkan saja I.C.W dan A.P.C.W berpikir general tentang moralitas dan mentalitas PNS Aceh, tokh masih menurut I.C.W, bahwa: ”Gorontalo adalah Provinsi yang terkorup di dunia”. Kemanapun pergi, pèng akan kukejar, hingga ke ujung dunia sekalipun. Senyumlah! []
*Director Insitute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 18/05/08]
KATA “pèngè” dalam bahasa Denish, Norge dan Swedish berarti “uang”. Sementara kata ”pèng” dalam bahasa Aceh juga bermakna ”uang” dan kata “hèpèng” dalam bahasa Batak juga berarti ”uang”. Kemiripan sebutan antara “pèngè” dan ”pèng”, menarik untuk disimak dan telah menggoda saya untuk meluahkan dalam bentuk tulisan, dengan harapan agar dapat memperkaya khazanah pengetahuan sejarah.
Sejauh ini, memang belum dilakukan penelitian tentang bagaimana proses terjadinya kemiripan sebuatan ini. Namun begitu, diduga bahwa hal tersebut terjadi bukan secara kebetulan, tetapi melalui proses silang budaya yang diperkirakan berlangsung sewaktu zaman ”Viking” yang masyhur itu, mungkin saja melintas dan singgah ke Aceh, hanya saja hypothesa ini mesti dibuktikan secara ilmiah.
Sementara itu, untuk sebutan mata uang tidak mirip. Beberapa negara di kawasan Scandinavia mempunyai mata uang yang disebut: “Kroner” [Kr.], sebagai alat pembayaran dalam lintas dagang nasional dan Internasional. Kroner mempunyai satuan hitung, misalnya: ”Tusind” (kesatuan hitung ribuan), ”Hundre” (kesatuan hitung ratusan ) dan “Øre” (kesatuan hitung sèn) seperti cen dalam bentuk coin dollar). 10 Øre = 1 Kr; 100 Øre = 100 Kr dan 10X 100 Kr = 1000 Kr. Untuk menghadapi globalisasi ekonomi –khususnya dalam kebijakan penyatuan mata uang Euro – Denmark, Swedia dan Norwegia sama sekali tidak gegabah menukar mata uang mereka. Sudah tiga kali diadakan referendum di masing-masing negara tersebut untuk menentukan: pilih Kroner atau Euro. Ternyata, yang kontra euro masih saja menang suara secara mayoritas. Mereka masih mempertahankan identitas bangsanya.
Berbandingan dengan mata uang Denmark, Swedia dan Norwegia; ternyata mata uang Aceh lebih bervariasi, yang dahulu dipakai sebagai alat pembayar dalam lintas dagang nasional dan internasional. Keberagaman bentuk dan sebutan ini bisa dilihat, misalnya: Cashes (mata uang terbuat dari Timah); mas (kesatuan hitung); cowpan (maksudnya kupang - kesatuan hitung); pardaw (kesatuan hitung) dan tayell (kesatuan hitung). Dalam hubungan ini, Davis [konsulat dagang Perancis yang pernah bertugas di Aceh selama pemerintahan Sultan Iskandar Muda] mengaku dan menuturkan kesaksiannya sbb: “Saya hanya melihat dua keping coin; sekeping terbuat dari emas dan satu lagi dari timah putih; coin emas tadi lebih besar dari sèn dollar, sebagaimana pence di Inggeris dan ia dinamakan mas; selainnya berbentuk seperti timah putih kecil seperti yang digunakan oleh pemilik losmen di London dan ia dinamakan caxas. Satu mas senilai seribu enam ratus cash. Satu cowpan senilai 400 cash. Satu mas senilai empat cowpan. Lima mas senilai empat shelling sterling. Satu perdaw senilai empat mas. Satu Tayel senilai empat perdaw…” (denys Lombard. “kerajaan aceh jaman sultan iskandar Muda” [1607-1636], Balai Pustaka, 1986.) Bisa disimpulkan bahwa: 1 cowpan = 400 cash; 1 mas = 4 cowpan = 1600 cash ; 1 perdaw = 4 mas; 1 tayell = 4 perdaw. Mata uang Aceh ini tidak saja berlaku di Aceh, tetapi juga beredar di seluruh kawasan Dunia Melayu selama ratusan tahun lamanya.
Keberagaman bentuk dan sebutan mata uang Aceh, membuktikan adanya kebijakan penguasa tentang politik pasar, dimana rakyat belanja dengan mata uang yang nilai tukarnya sedang dan rendah. Mata uang yang nilai tukarnya besar tidak beradar secara bebas dalam masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari pemalsuan uang dalam jumlah besar. Apalagi pada priode itu, transaksi perdagangan dengan negara asing (internasional) hanya dilakukan oleh negara, bukan oleh konglemerat atau perorangan.
Pada gilirannya, mata uang Aceh berubah sebutan, seperti: “Ringit” [sebutan ini dipertahankan sampai sekarang di Malaysia dan Brunei Darussalam dengan sebutan “Ringgit”], “Tali”, “Kupang”, “Suku” dan “Ktèp” atau ”Sèn” (semuanya adalah kesatuan hitung). Mata uang ini berlaku sampai separuh abad ke 20. Pertengahan tahun 1945, Mayor M.J. Knottenbelt (komandan Pasukan Inteligen khusus tentara Sekutu dari Anglo Dutch Country Section (ADCS) Force 136 dibawah komando Supreme Alied Commander South East Asia (SACSEA), pernah secara rahasia mengedarkan uang N.I.C.A di Aceh, tapi tidak berhasil, karena keburu dihalangi oleh PUSA. Seterusnya, tahun 1948 –yakni: ketika Indonesia ditakluki kembali oleh N.I.C.A (penguasa sipil) dan K.N.I.L (penguasa militer)– khusus di Pulau Wéh (Aceh) pernah beredar mata uang bergambar “Bintang dan Bulan Sabit” di tepi atas dan di tengah bertulis “Gulden” (mata uang Belanda). Di Keresidenan Sabang, pernah berlaku kupon yang bertulis “coupon penoekaran”. Begitulah “pèng”, riwayatmu dulu! Sekarang, Aceh mempunyai mata uang ”Rupiah” –kesatuan mata uang Indonesia– yang menurut riwayatnya, sebutan ”Rupiah” ini pun berasal dari mata uang India, yakni: ”Rupii”.
Lupakan seketika riwayat kemiripan sebutan; kini bicara soal ketidak miripan antara “pèngè” dan “pèng” dalam konteks nilai dan mengaturannya.
Di Denmark khususnya; pemerintah yang cari dan menyalurkan pèngè berdasarkan blue print yang direncanakan untuk membiayai sector: pembagunan fisik, social-budaya, kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Pemerintah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin, hingga bukan saja mampu menampung tenaga kerja setempat, tapi juga menerima tenaga kerja dari luar, seperti: Swedia, Polandia, German, Belanda dll. Gaji PNS dan pegawai Swasta dipotong pajak yang jumlahnya berkisar antara 46-48% dari gaji maksimum untuk membiayai sektor pelayanan umum, seperti: layanan kesehatan gratis, kecuali: penyakit gigi. pendidikan gratis [SD - SMA, termasuk biaya transportasi]; Anak yang genap berusia 13 tahun, bisa kerja sambilan tanpa dibebani pajak, di atas usia 18 tahun boleh kerja selama 17 jam/bulan tanpa pajak. Untuk melanjutkan ke Universitas, siswa bisa memimjam uang negara, yang nantinya dibayar tanpa pajak secara berangsur sesudah mendapat pekerjaan; semua warganegara dan penduduk tetap yang berusia 65 tahun ke atas, memperoleh uang pensiun. Rakyat menerima kebijakan pemerintah (Negara) secara ikhlas, demi kemaslahatan bersama. Jadi, Pemerintah dan rakyat sama-sama bertanggungjawab.
Semua sektor pembangunan yang melibatkan “pèngè” diurus dengan sistem managemen profesional, dikontrol dan di-evaluasi secara berkala, sehingga tidak ada jalan by-pass atau jalan tikus bagi ”tikus-tikus” untuk menggerogoti uang negara. Para politisi mengintip post-post mana yang perlu dibenahi. Memang harus diakui bahwa: Denmark sudah melewati pase pembangunan infrastruktur dalam bentuk fisik. Sekarang memasuki priode renovasi, pembangunan politik, sosial-budaya, kemanusiaan dan kesejahteraan. Jadi, siapa saja berkuasa, mereka ber-”ta’awwanu ’alal birri” untuk mensejahterakan rakyat.
Di Aceh lain ceritanya. Pemda tidak cari pèng, hanya menyalurkan pèng ke sektor-sektor yang sudah diallokasikan, dimana dananya berasal dari pemerintah pusat dan jumlah anggaran daerah mesti dilaporkan ke pusat; jika tidak, hana pèng dan jika pèng tidak habis dibelanjakan mesti dikembalikan ke pusat. Memang ada pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan Migas, tapi tidak mampu membiayai daerah; di Aceh pendidikan dari SD > SMA gratis, tapi pakaian seragam, buku dan transportasi bayar sendiri; biaya kesehatan tinggi dan diskriminasi antara PNS dan Veteran dengan rakyat jelata; tenaga kerja melimpah tanpa lapangan kerja; pajak menjerat dan tunjangan hidup bagi orang berusia 65 tahun ke atas tidak ada, kecuali: bagi pensiunan PNS atau Veteran; mentalitas kerja rusak: dimana upah lebih besar daripada produksi, pembaziran masa dan pembaziran dana; kontrol dan evaluasi terhadap pemakaian pèng sangat rapuh.
Dalam situasi inilah ”tikus-tikus” di Aceh secara berjama’ah menggerogoti pèng, hingga ”Aceh di-klasifikasi-kan sebagai Provinsi yang terkorup se-Sumatera dan se-Indonesia”. [sumber: Indonesian Corruption Watch (I.C.W) tahun 2004]. Lebih dari itu, ”Aceh sebagai Provinsi terkorup di Asia.” [sumber: Asia Pacific Corruption Watch (APCW) bermarkas di Hong Kong]. Tegasnya, PNS Aceh adalah yang paling ramai koruptor berbanding PNS se-Sumatera dan se-Indonesia serta PNS Aceh terkorup berbanding PNS di seluruh negara di Asia. Ini prestasi gemilang Aceh dalam soal korupsi.
Bicara soal pèngè dan pèng pada akhirnya bicara soal moralitas dan mentalitas. Dengan managemen yang professional dan pengaturan pèngè yang terkontrol, telah menempatkan Denmark pada urutan pertama sebagai negara yang teraman di dunia dan urutan ke–empat terbaik di dunia dalam hal mensejahterakan rakyat di bawah urutan Island, Norwegia dan Sweden. Yang lebih menarik lagi, semua negara yang disebut terakhir ini berada di kawasan Scandinavia. Sementara pengaturan pèng melalui managemen yang amburadul, telah berhasil menempatkan Aceh sebagai Provinsi terkorup se-Indonesia dan se-Asia Pacific. Tapi, biarkan saja I.C.W dan A.P.C.W berpikir general tentang moralitas dan mentalitas PNS Aceh, tokh masih menurut I.C.W, bahwa: ”Gorontalo adalah Provinsi yang terkorup di dunia”. Kemanapun pergi, pèng akan kukejar, hingga ke ujung dunia sekalipun. Senyumlah! []
*Director Insitute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 18/05/08]