Friday, April 10, 2009

Pengakuan Korban yang Selamat

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

[Pengakuan Yusuf Abdul Jalil, Kèm Lenggeng].
USUL Abdul Gani (Apa Gani) dan Abu Makam untuk tidak makan malam, diterima secara aklamasi. Ternyata benar, tahanan asal Pakistan, Ruhingya dan Bangladesh di blok A dan B, yang lebih awal mendapat jatah makan malam, semua pingsan karena makanan dibubuh racun. Mukhtar, satu-satunya orang Aceh yang diam-diam ikut makan malam, turut pingsan. Beberapa menit sebelum dinding kawat berduri diterobos [jam: 21.00], Blok C terbakar, tapi berhasil dipadamkan oleh tahanan lain. Mukhtar, yang masih dalam keadaan setengah sadar, terpaksa dipanggul oleh Usman Tiro untuk melewati kawat berduri dan Abu Bakar (72 tahun) tersangkut di kawat, setelah ditarik beberapa orang baru selamat. Ratusan orang dalam rimba Karèt Lenggeng, masing-masing membentuk group.

Misalnya: ”Kompi” Yusuf Abdul Jalil [sekarang menetap di USA] beranggota: Muhammad, Salman, Hamid, Bustami dan Mukhlis, sampai pagi berputar-putar di kawasan kebun Karét. Pagi harinya (27/03/1998), hendak merapat ke perkampungan, tetapi dari semak-belukar nampak militer Malaysia dengan senjata berjaga-jaga. Akhirnya mereka berselimut lumut gambut tebal selama setengah hari. Kemudian, Yusuf berkata: “Biasanya antara jam: 12.00-13.30 aparat keamanan isterahat makan siang. Masa ini kita manfaatkan untuk merambah masuk bandar Lenggeng.” Semua anggota meng-amiiini! Mereka coba masuk. Di persimpangan jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak berusia antara (8-9 tahun), keturunan India. Katanya: ”Jangan masuk ke bandar Lenggeng, sebab ada 3 truck militer sedang meronda kota ini”. Sang komandan (yusuf) mempercaya dan mengajak kawannya berbalik arah semula ke kawasan hutan Karèt dan sembunyi sampai malam hari tanpa makanan.

Menjelang magrib, pasukan ini coba lagi menerobos kampung. Lagi-lagi mereka sesat –berputar-putar– sepanjang malam dalam kawasan kebun Karèt. Pada 28/03/1998, sepanjang hari dalam rimba, makan buah Nangka mentah dan Gelima, sambil terus meredah belantara. Tanpa disadari, jam: 21.00 sudah tiba di Berandang. Di sinilah berjumpa dengan seorang pemuda asal Flores, bekerja sebagai buruh bangunan.
Pemuda tadi mengisahkan bahwa ada orang Aceh bernama Marzuki di kampung ini. Mereka pun bergegas menjumpainya. Gayung bersambut: Marzuki ternyata mendapat tugas menyelamatkan orang Aceh dari kèm Lenggeng.

Setelah bermalam di sini, keesokan harinya, Marzuki menghubungi Muzakkir Manaf dan Sulaiman Langsa untuk datang menjemput. Waktu itu Muzakkir barkata: ”Situasi di jalan raya yang masih ketat operasi, tidak mungkin kami selamatkan saudara siang ini. Kami akan datang lagi malam hari nanti.” Ternyata yang muncul, bukan Muzakkir Manaf, melainkan Sulaiman Langsa dan Zakarya (Zèk) dari bt-6 Gombak membawa truck. Malam itu mereka diangkut dan menginap di kediaman Zèk dan besoknya dipindahkan ke rumah Wan botak di bt-7 Gombak).

[Pengakuan Murtala Ismail, Kèm Lenggeng].
”Kompi” Murtala, yang beranggota: Abu Bakar, Iskandar, Agus, Syukri, Yusuf, Zul, Jhonny dan Din tidak kurang getirya. ”Kami, beberapa kali terserempak dengan pasukan militer Malaysia dan anjing pelacak yang memaksa kami terpencar. Malam pertama berada dalam kebun Karèt dan keesokan harinya meredah hutan. Tidak ada kompas penunjuk arah, hingga kami berputar-putar dalam kawasan hutan ini selama 5 hari. Yang lebih membebankan lagi ialah: Syukri, yang terlalu banyak makan cacing tanah menderita sakit perut. Atas alasan ini, anggota ”Kompi” dirampingkan. Murtala diberi tanggungjawab menyelamatkan Syukri.

Suatu hari, kami kepergok dengan militer Malaysia yang sedang melakukan operasi. Waktu itulah Iskandar tertembak dan sampai sekarang tidak diketahui di mana rimbanya. Beruntung, saya dan Syukri bersembunyi di bawah gambut lumut tebal. Militer Malaysia menginjak tubuh kami. Alhamdulillah, anjing pelacak gagal mencium posisi kami yang tertimbun gambut, tapi berhasil mengejar kawan-kawan yang melarikan diri. Selama sehari semalam terlena kami di bawah gambut ini, sampai dipastikan kawasan ini sudah merdeka.

Antara hari ke enam sampai duabelas, kami keluar hutan masuk kampung. Ketika tercium oleh penduduk, kami keluar kampung masuk hutan dan masuk ke kampung lain. Hari ke 12, kami sudah dekat dengan kota Kajang. Ketika itulah, saya terpaksa memaksa seorang Melayu memberi sedikit uang, demi menyambung hidup hari itu. Semoga Allah maklum dan mengampuni! Setelah kejadian itu kami menghindar ke kawasan hutan. Malamnya, kira-kira jam: 19:30 kami masuk perkampungan. Ketika itulah, saya menggaet sepasang pakaian lelaki yang dijemur di belakang rumahnya untuk persiapan pakaian menuju Kuala Lumpur esok. Hari ke-13, kami menuju Kajang dengan pakaian ”baru”. Dari Kajang naik bus menuju Kuala Lumpur dan terus ke bt-7, Sungai Cincin Gombak.”

Setelah berpeluk cium dengan kawan-kawan. Wan botak nyeletuk: ”Hai Tala, pakon bajèë droëneuh na pangkat?” Astaghfirullah, rupanya pakaian yang saya curi tadi adalah pakaian Dinas seragam Polisi Malaysia. Apakah karena tuah mengenakan pakaian Polisi hingga selamat dalam perjalanan. Hanya Allah Yang Maha Tahu.” [Hasil wawancara dengan Murtala, 16/03/2009. Jam: 19.00-20.00 waktu Scandinavia]

”Kompi” Abdul Gani (Apa Gani) dkk. Lain lagi ceritanya. Berbekal naluri yang tajam dalam perang grilya dalam hutan Aceh, mereka meredah hutan belantara Lenggeng hingga terdampar pada hari ke-empat di negeri Perak, Malaysia dan disambut hangat oleh Tengku Razak di Tiro.
  
[Pengakuan Mukhtar, Kèm Semenyeh]
”Sesudah blok A terbakar, kami pindah ke blok B. Situasinya sudah berubah, semua penghuni kèm bebas masuk ke semua Blok, sebab kawat penghalang antara blok sudah dirobohkan sampai ke blok penempatan tahanan wanita. Di pagi buta itu, masuk beberapa anggota pasukan FRU (Pasukan Anti Huru-hara). Terjadi perkelahian sengit satu lawan satu. Kali ini, pasukan FRU berhasil dipatahkan oleh pasukan Aceh dengan senjata alakadarnya. Kemudian disusul pasukan kedua. Saat itulah seorang anggota FRU yang berpakain besi disergap hingga meninggal. Karena kondisinya sudah tidak terkontrol, maka meletus tembakan yang menewaskan: Junaidi, Jakfar, Sofyan Tjut Malim dan Mhd. Nasir.

Setelah pasukan barani mati Aceh gugur dan bergelimpangan, barulah masuk pasukan lain memberangus pelarian Aceh. Terjadi kejar mengajar selama beberapa jam [jam: 06:00-11:00], sebab orang Aceh sudah bercampur aduk dengan tahanan non Aceh: Sabah, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia. Apalagi wajah mereka tidak jauh berbeda. Bahkan kemudian diketahui, seorang warga Sabah turut menjadi korban penganiayaan dan diangkut sampai ke Aceh. Saya, terkena pukulan FRU di kepala bagian belakang, langsung tersungkur. Saya heran, ternyata saya masih hidup. Saya tidak tahu persis apa yang terjadi di sekeliling saya. Saat saya sadar kembali pada jam: 11: 30, keadaan kèm sudah sepi, yang terlihat Petinggi Polisi (Rahim Noor, Ketua Polis Negara Malaysia) dan pegawai pemadam kebakaran yang membersihan darah merah yang mengalir. Sebuah truck kecil menunggu. Pada jam: 12:00 tengah hari, kami: Mukhtar, Amni Ahmad Marzuki, Bukhari, Rafi, Nurdin Rasyid, Zailani, Junaidi (bukan Junaidi yang ditembak) dan beberapa orang lagi yang namanya lupa, diborgol dan baru tiba di Pelabuhan Lumut, Perak pada jam: 19: 00 soré. Rombongan kami yang terakhir sampai di sana.

Dalam kapal perang Angkatan Laut RI itu, kami lihat bang Yusuf Tjubo dkk. dari Kèm Juru, semua dalam keadaan kaki dan tangan diikat dengan rantai besi. Yang rada anèh, nampak Tengku Usman Kuta Kreung dan Adnan PM Toh (Seniman kondang Aceh). Entah untuk apa, saya tak paham. Yang satunya buat kocak, yang satu lagi baca do’a, mungkin!
Amni Ahmad Marzuki dan Yatim Usman, keduanya merintih kesakitan, akibat luka tembak di lutut yang tidak diberi pengobatan. Hanya saja Amni berhasil dipulihkan, sementara Yatim Usman terpaksa diamputasi di Rumah Sakit Lhok Seumawé.”[wawancara dengan Mukhtar, pada 17/03/2009 jam: 20:00-21:00 waktu Scandinavia]

Saturday, April 4, 2009

Anggota Komite Kemana dan Bagaimana Epilognya?

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

[Ini teks original dan edisi yang sudah diedit, dimuat dalam KONTRAS, 02/04/2009]



PADA 25/03/1998, jam: 23:00, dari markas Bt-3 Gombak, saya coba mengontak Timothy Farrit via tlp., tetapi gagal. Selain itu, saya mengontak Ustaz Muhammad Sabu, [Ketua Pemuda Partai Islam Se-Malaysia (PAS)] untuk menyampaikan informasi tentang kronologi tragedi di Semenyeh. ”Yusra, mohon ma’af, saya tak ada masa untuk membantu, sebab esok hari mahu pergi menjalankan umrah ke tanah suci.” ujarnya.

Setelah menyaksikan tragedi Semenyeh lewat TV, kami: saya, Razali Abdullah Paya, Razali Hamid, Mahfudh Usman Lampohawé dan Muzakkir Hamid mulai berhitung: “Kemana?. Kami yakin bahwa: saya, Ishak Daud dan Razali Abdullah (Anggota Komite Pelarian Politik Acheh di Malaysia) akan menjadi target utama setelah peristiwa Semenyeh, karena senjata: parang, pisau, besi, rencong dan benzin yang dipakai dalam kèm Semenyeh diprediksi anggota Komite yang pasok. Satu-satunya jalan ialah menghindar. Kami hendak menuju Selayang. Sesudah Mahfudh membuka pintu belakang, ternyata patah balik: “Bang Yusra, awak njan saboh tumpôk prèh geutanjoë di likôt”. Maka bergegaslah kami keluar dari pintu depan yang alhamdulillah tidak dijaga. Kami naik Taxi ke arah Selayang.

Ternyata, sopir Taxi yang kami tumpangi seorang pensiunan Angkatan Laut: “Awak ni orang Aceh ya? Tanya dia. : “Ya” Jawab saya yang duduk di sampingnya. Kami mulai ”sèh-soh”, tidak konsentrasi lagi dan akhirnya berhenti di Masjid At-Taqwa, Batu Cave, Selayang. Kami minta tolong supaya Iqbal Idris segera datang menjemput. Setibanya di rumah Iqbal Idris di Klang, nampak ramai orang membahas issue Semenyeh. Secara umum, orang Aceh menghadapi keadaan darurat dan berjaga-jaga, menjalankan aktvitas sehari-hari, tidak melakukan hal-hal yang negatif. Situasi semakin genting karena pada jam: 9:00 pagi (26/03/1998), Ishak Daud diculik oleh pasukan gabungan (Intel Malaysia- Kopasus) saat menaiki mobilnya di kawasan Shah Alam, sementara Burhan Syama’un dan Syahrul Syama’un diculik oleh pasukan yang sama pada jam: 11.00 pagi di Jln. Raya Rawang. Ketiga-tiganya dibawa kabur ke Johor.

Dari sana diberangkatkan dengan kapal khusus menuju Dumai, Sumatera. Tokè Burhan setelah disiksa, dilemparkan ke laut Selat Melaka. Sementara Ishak Daud diikat, dibebani dengan batu dan ditarik mulai laut Johor-Dumai, Sumatera. Saat itulah Ishak berdo’a: ”Ya, Allah segera matikan saya, jika tidak perlu lagi untuk perjuangan kemerdekaan Aceh dan selamatkan jiwa saya jika perjuangkan masih memerlukannya.” Dengan kuasa Allah SWT selamat. Ini berarti, Ishak Daud adalah satu-satunya perenang di dunia, yang berhasil menempuh jarak antara Johor-Sumatera. Do’a ini terungkap saat Ishak Daud wawancara dengan dengan journalis Indonesia. Do’a Ishak Daud hanya berlaku sampai tgl. 08/09/2004, jam: 12:20,8, yang mati syahid dalam medan perang Aluë Ôn, Aluë Niréh bersama isterinya Tjut Rostina.
Sekarang tinggal dua orang lagi yang diburu: Yusra Habib Abdul Gani dan Razali Abdullah Paya. Dalam situasi yang kritikal ini, saya bersama Siti Hajar (Isteri Tengku Razak di Tiro) masih nekad menyamar dan baerhasil masuk ke Hospital Kajang, guna memastikan 4 mayat korban tragedi semenyeh yang disimpan dalam Kolkas Mayat.

Ya, kami melihatnya, pada 28/03/1998. Sekembalinya ke Klang, posisi saya dan Razali Abdullah sudah tercium oleh intel Malaysia. Rekan-rekan memberi aba-aba bahwa kawasan Klang –khususnya di sekitar Rumah Iqbal Idris– sudah dipagar betis oleh pasukan intel. Jam dinding sudah menunjuk angka pk: 14:30. Dengan kuasa Allah SWT, dalam cuaca panas menyengat, tiba-tiba turun hujang deras yang luar biasa. Di saat inilah, kami berdua diselamatkan oleh rakan-rakan menuju rumah Tokè Bustami di Bukit Beruntung yang bersedia menampung. Tugas Malaikat Israfil hanya berlangsung 15 menit, sebab ketika kami berada di jalan tol di luar kawasan Klang, hujan sudah reda. Dalam perjalanan, HP saya berdering. Yang bicara ialah Wali Negara, Tengku Hasan di Tiro. Dengan suara terputus-putus, W.N bertanya: ”Pakriban nasib droëneuh dkk. Yusra? Beutabah dan mandum njoë geurak nibak Po-teuh Allah. Ureuëng geutanjoë bèk sok-mok dan èmosi ” Saya jawab: “Teurimong geunaséh Tengku. Ét geutanjoë peugah haba njoë, alhamdulillah ulôn dkk mantong seulamat, teuma Ishak Daud, Tokè Burhan dan Syahrul ka djitjok bunoë beungoh. Bahthatpih lagèë njan, peuëkeuh neuprèh kamoë bandum keu mayèt dilèë, barô trôih beunantu nibak droëneuh? “Neuprèh Yusra, akan ulôn kontak soë-soë jang patut” Dialog berlangsung singkat dan jelas.

Tokè Bustami sudah pun meloby penyewa rumah di kawasan Bukit Beruntung yang belum ramai ditempati. Rumah ini disewa oleh sepasang suami/isteri muda, asal Aceh Besar. Kami berdua dititip di sini. Selama kami berada di sini, penyewa tidak banyak bicara dan tidak pula bertanya: ’apa gerangan dan mengapa datang ke sini?’ Mereka sangat sopan, hormat dan sama sekali tidak nampak raut mukanya ketakutan dan merasa terpaksa. Sesekali, dia menawarkan makanan, minuman dan menghadiahkan kaus oblong bertulis: ”Lengkawi” kepada kami berdua. Teurimong geunaséh adoë!

Rumah ini sejak tgl. 28-31 Maret 1998, berfungsi sebagai markas Komite. Tugas belum selesai, karena tahanan pelarian asal kèm Lenggeng yang berada di rumah Wan Botak di Bt-7 Gombak, keadaannya mencekam. Mereka mesti diselamatkan. Maka disusun strategi agar masuk ke dalam kantor UNHCR, Kuala Lumpur. Teknis di lapangan, tidak diketahui oleh siapa pun, kecuali: beberapa orang saja. Menjelang subuh tgl. 30. Maret 1998, Abu Rayek dan Iqbal Idris yang bertugas menjemput mereka di rumah Wan Botak di Bt-7 Gombak [lihat: pengakuan Yusuf Abdul Jalil] untuk dijebloskan ke dalam Kantor UNHCR, KL dengan menggunakan truck tanah. Missi rahasia ini berhasil, setelah mendabrak pintu gerbang Kantor UNHCR, KL.

Secara rahasia, saya sudah memberi tahu lebih awal kepada pegawai UNHCR via HP. bahwa: ”Akan ada tamu UNHCR yang tak diundang akan datang hari ini, mohon dilayani.” Mereka sudah maklum apa maksudnya. Beberapa menit kemudian, Truck tanah yang berisi orang Aceh, yang dikemudikan oleh Abu Rayek segera menabrak pintu gerbang besi kantor UNHCR, di Jln. Petaling. Mereka selamat masuk!
Peristiwa ini semakin merangsang Intel Malaysia: ”Di mana Yusra dan Razali berada?” Dalam situasi darurat ini, terus terang: saya pribadi, tidak mampu menggambarkan bentuk kesetiaan dari: sdr. Bustami, Muzakkir Manaf, Ibrahim Syamsuddin (KBS), Syarifuddin (Din Lapoh), Razali Hamid, Hasan Sabon, Iqbal Idris, Muzakkir Hamid, Mahfudh dan penyewa rumah yang melindungi kami: saya, Razali Abdullah selama berada di rumah yang dirahasikan itu.

Setiap malam mereka datang berkunjung untuk membicarakan langkah-langkah seterusnya. Kesetiaan mereka tidak bisa disipat dengan alat ukur meter, kecuali dengan perhitungan durasi masa: bila Izrail datang memanggil. Artinya: nyawa mereka siap dikorbankan, jika terjadi apa-apa terhadap kami berdua. Hasan Sabon berkata: ”Bang Yusra dan Bang Li mesti menjauh sementara dari Kuala Lumpur”. Satu-satunya pilihan ke rumah Bang Hasan Johor di negeri Johor Baru. Maka, Tokè Bustami ditugaskan mengantar kami dengan mobilnya sendiri ke Johor pada jam: 00:01 tengah malam, 31/03/1998. Kami berdua disembunyikan di atas toko yang disewa. Jaraknya kira-kira 15km. dari central kota Johor.

Sekali lagi, tugas Komite masih belum selesai, sebab ratusan lagi pelarian dari kèm Lenggeng bersembunyi di Kuala Lumpur dan daerah sekitarnya. Dari markas Komite di Johor, kami berdua mengatur strategi agar rakan-rakan dijebloskan lagi ke Kedutaan-keduatan negara asing. Untuk melancarkan hubungan antara Komite dengan Swedia, Singapura dan wartawan asing: saya minta sdr. Razali Hamid dari KL supaya mengantarkan mesin fax ke Johor. Saya dan Razali Abdullah keluar yang dihantar oleh Bang Hasan Johor menjumpainya di suatu lokasi rahasia. Akhirnya, team pendobrak berhasil menjebloskan pelarian asal Lenggeng ke beberapa Keduataan asing. Yang gagal hanya kedutaan Swissland, sebab sebelumnya (akhir tahun 1996) sudah ada kesepakatan antara Aceh-Swissland bahwa di masa depan, tidak menerima lagi pelarian yang memasuki Kedutaan Swissland. MoU tersebut ditanda tangani oleh Yusra Habib Abdul Gani, wakil Aceh {berdasarkan Mandat Kepala Negara Aceh, Tengku Hasan M. Di Tiro} dan Max Dahinden, wakil Swissland. Seperti diketahui pada tgl. 25/12/1996, M. Yasir, M. Yusuf, Zainal Abubakar, Juned dan Saiful Abdullah telah menduduki Kedutaan Swissland.

Dari sini, Komite membuat hubungan langsung dengan Tengku Hasan di Tiro dan Malik Mahmud yang sudah bangun dari tidurnya. Kami membuat kontaks dengan wartawan dan NGO asing untuk memberi informasi tentang tragedi yang menimpa orang Aceh di Malaysia. Saya melakukan interview langsung dengan Radio Australia dalam siaran bahasa Indonesia; mengontak Amnesty Internasional, wartawan NBC, NSC Australia, BBC, termasuk pegawai UNHCR, KL. Pada 12/04/1998, jam: 23:00, kami kaget dengan kedatangan Abdurrahman Ismail (Gurè Raman) dan M. Razi. Kami berdua yakin, mereka ditugaskan pimpinan GAM untuk mendampingi kami jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pada 24/04/1998, Razali Abdullah bertandang ke Kuala Lumpur, meski seorang; untuk berjumpa dengan seorang pegawai NGO Amerika di sebuah Hotel di kawasan Bukit Bintang, KL. Malang datang tak berbau. Intel Malaysia sudah sudah berada dalam bus yang ditumpanginya sejak dari Johor lagi. Saat bus sampai di pintu gerbang Tol Sungai Besi, dia didekati oleh dua orang yang mengaku intel dan memberkasnya. Prediksi bahwa Razali Abdullah sudah diberkas, setelah saya beberapa kali mengontak via HP, tapi tidak ada respons. Setelah 60 hari diintrogasi, dia dijebloskan ke Tahanan ISA di Kemunting, Perak. [Sekarang: menetap di Norwegia]

Berarti tinggal saya yang belum diberkas! Setelah dipastikan Razali tertangkap, terus dikembangkan oleh intel. Malam itu juga Bang Hasan Johor mengevakuasi saya, Abdurrahman Ismail (Gurè Raman) dan M. Razi ke rumah Bang Ahmad (asal Pasé), yang tinggal dalam kawasan perkampungan di luar kota Johor. Rebah manok untôk peumulia djamèë. Teurimong geunaséh Bang Ahmad yang telah sudi menerima kami. Situasi semakin genting dan hampir menuju klimaks. Kami berpisah. Gurèë Raman dan M. Razi satu group, sementara saya disembunyikan oleh Bang Hasan Johor di sebuah flat, Lt-4 Taman Samudera Johor, rumah milik sdr. M. Saleh yang isterinya orang Melayu. Menjelang subuh, 27/04/1998, Bang Hasan Johor diberkas oleh intel di rumahnya. Tujuan penangkapan hanya satu: “Di mana kau sembunyikan Yusra?” Waktu itu, Bang Hasan Johor berjanji mau menunjukkan di mana posisi saya dengan syarat tidak dibunuh.

Katanya: “Jika tujuan Tuan-tuan menangkap Yusra untuk dibunuh, maka tidak akan saya beritahu dan saya rela dibunuh sebagai gantinya.” Setelah diberitahu bahwa saya ditangkap untuk tidk dibunuh, barulah Bang Hasan memberi tahu. Rencananya hari itu saya menyeberang menuju Sumatera. Sdr. Adli Batèë Ilieëk, ketua team penyelamat saya, sudah siap siaga. Tiba-tiba, saat saya sedang menunaikan shalat dhuhur, (baru mengucapkan takbir) dalam kamar, terdengar ketukan pintu. Michail Ong (Ketua Inteligen Johor) terus masuk kamar dan menyergap saya yang tengah shalat. “Benar kau Yusra?” “Ya”, jawab saya. Sementara 6 orang anak buahnya diperintahkan menggeledah semua sudut rumah tidak terkecuali toilet. Michail Ong merasa heran, sebab saya tidak memberi reaksi apa pun, tenang dan pasrah.

Kemudian dia melepaskan dan mempersilakan saya duduk untuk interview anak buahnya. Tuan rumah (Isteri M. Saleh), anaknya yang masih bayi dan keponakannya terkesima, terkejut dan terharu. ‘Siapa gerangan orang yang numpang dan yang saya beri makan-minum ini. Penjahat ulung-kah?’ Saya dituduh melanggar akta Intern Security Act (ISA) yang menggangu dan mengancam keselamatan dalam negeri dan memburukkan citra Malaysia di mata dunia asing. Barulah saya digari dan kami turun bersama. Di lapangan parkir, saya saksikan 20 mobil Polisi yang penumpangnya lengkap dengan senjata laras panjang.

Ramai benar Tuan” tanya saya: ”Mana tahu...Yusra...”. Jawab intel yang mengapit saya. Hari itu, saya merasakan sebagai tokoh ”besar” yang mendapat pengawalan 20 mobil Polisi, dikomandani langsung oleh Mikail Ong, Kepala Intel negeri Johor. Mobil yang saya tumpangi diapit dari depan-belakang. Setibanya di Kantor Pusat Negeri Johor, saya berbincang dengan Wakil Intel. Waktu itulah, muncul Bang Hasan Johor di kamar saya, dalam keadaan pucat, digari dan diapit oeh dua orang Polisi berbadan kekar. ”Benar dia Yusra?” Tanya intel. ”Benar” Jawab Bang Hasan. ”Ka meuphôm ulôn Bang, sabar dan tabah” Kemudian kami berpisah. Beliau kemudian mati syahid dalam perang di Temiyang, Aceh. ”Selamat jalan Bang!”

Pada jam: 18:30 saya dihantar ke Kuala Lumpur. Mobil yang saya tumpangi, diapit oleh 2 mobil dari depan-belakang. Sesampainya di kawasan Pasir Gudang, HP intel yang mengapit saya berdering: ”Selamat malam Tuan. Sudah sampai di mana dan bagaimana?.” ”Sekuntum bunga Mawar merah yang harum itu berada dalam genggaman dan siap kami serahkan kepada Tuan.” Jawabnya. Hati kecil saya berkata: ’Aku bukan Mawar merah, melainkan bunga Renggali.’ Setelah meringkuk dalam tahanan ISA selama 60 hari, pada 29. Juni diberangkatkan ke negara ketiga, Denmark.

Kisah nyata ini menggambarkan bahwa, dalam ukuran moral: kesetiaan orang Aceh merupakan refleksi dari falsafah pucuk Tebu yang dipancung dan direbahkan ke dalam tanah, mewariskan tunas-tunas, perdu dan rasa manis untuk dinikmati orang. Artinya, pelaku sejarah hanya mewarisi nilai moral yang pasti-pasti, mengharumkan tindakan kesejarahan dan maruah kepada generasi mendatang. Tidak ada orang yang paling bodoh dan zalim di atas dunia ini, kecuali: pemimpin yang mewarisi keputusan politik kontroversial, sehingga: terjadi konflik intern, konflik horizontal, rasa permusuhan dan dendam, saling membunuh, memutuskan ikatan persaudaraan diantara sesama ahli waris. Karena itu, hargai sejarah dan jaga maruah, jika tidak mau dicaci-maki, dicerca dan dihina oleh anak-cucu kita.

Fakta yang dipaparkan di sini sepenuhnya bersumber dari dokumen yang telah tercècèr selama 11 tahun di Malaysia yang berkat usaha dari isteri saya, Nurtini (Noni), yang begitu gigih telah berhasil menghimpunnya kembali. Selengkapnya akan saya tuangkan dalam buku: ”Jejak Langkah GAM di Malaysia”. Tetapi, sebelum disajikan, inilah sebagian cuplikannya.

Catatan yang Tercècèr dari Semenyèh

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

[Ini teks original dan edisi yang sudah diedit, dimuat dalam Tabloid KONTRAS, 02/04/2009]

GENAP 11 tahun sudah tragedi berdarah Semenyeh, yang tidak menyisakan marah dan dendam kesumat. Alhamdulillah! Cukuplah tahu sama tahu dan membiarkan peristiwa itu sebagai lelucon politik murahan bagi orang Aceh, yang sudah terbiasa bercanda dengan darah dan nyawa. Soré itu, 25/03 1998, antara jam: 17.00-19.00, seusai makan malam, para tahanan politik (tapol) asal aceh di kém Semenyeh merasa pusing, muntah-muntah dan rebah bergelimpangan. Makanan dibubuh racun berjangka untuk melemahkan saraf dan stamina. Suasana pun segera bertukar menjadi gundah, apa gerangan akan terjadi?

Di luar kèm, ribuan aparat keamanan siaga dengan sejata. Rupanya, 223 tapol Aceh dalam kèm ini hendak dihantar pulang secara paksa tgl. 26/03 1998. Berita ini segera menyebar ke: kèm di Lenggeng, negeri Sembilan (130 pelarian Aceh); kèm Macap Umbo Melaka (84 orang); kèm Juru, Kedah (24 orang) dan kèm Port Klang (11 orang).  
Di kém Lenggeng, soré itu mendadak tapol Aceh diarahkan berkumpul dalam satu blok dengan dalih mau didata ulang. Karena tindakan ini men curigakan. Maka, sebelum makan malam berembuk dan diadakan voting: ”makan malam atau tidak”. Suara mayoritas memilih: tidak makan, karena khawatir menjadi korban racun. Para pembangkang memilih: makan. Akibatnya: mereka merasa pusing, muntah-muntah dan jatuh tergeletak. Perkara ini, tidak terjadi di kèm Macap Umbo dan kèm Juru. Tetapi, sejak jam: 16:00, kèm sudah dikepung oleh pasukan gabungan: Polisi Hutan, Polisi biasa dan militer lengkap dengan senjata.

Kebetulan, saya bersama Razali Abdullah Paya, Razali Abd. Hamid, Mahfudh Usman Lampohawé dan Muzakkir Abd. Hamid sedang berbincang dengan Timothy Farrit, pegawai Amnesty International dari London di Hotel Swiss Garden, untuk membicarakan kondisi aktivis GAM dalam kèm tahanan Malaysia. Dalam perjalanan menuju Hotel, seorang anggota Polis Malaysia menghubugi saya via HP: ”Yusra, semua rekan awak nak dihantar balik besok pagi”.Terima kasih atas informasinya”, jawab saya. Berselang beberapa menit kemudian, Yusuf Tjubo dari kèm Juru menelepon saya: ”Kamoë ka djikeupông lé aparat keamanan Malaysia deungon sendjata leungkap.

” Saya bilang: ”Prèh siat dalam sidjeuëm, akan ulôn hubôngi droëneuh, seubab kamoë keuneuk meurumpok deungon awak Amnesty International.” (”Tunggu dalam satu jam, akan saya hubungi saudara. Kami mau jumpa dengan pegawai Amnesty International.”) Usai bertemu, saya kontak Yusuf Tjubo. Sayang, HP-nya tutup.
Saat berbincang dengan Timothy, HP saya matikan. Di saat inilah situasi di masing-masing kèm sedang kritis. Saya beritahu kepada Timothy: ”Rakan kami akan dihantar pulang esok hari”, berdasarkan informasi yang saya terima sebelumnya. 
Tapol Aceh dalam kém Lenggeng, segera menyusun taktik perang grilya. Berbekal pengalaman perang grilya, akhirnya (antara jam: 20:00-21:00) berhasil merobek kawat berduri dan merambah masuk belantara kebun Karet dan Kelapa Sawit. Hutan Lenggeng menjadi medan perang, kejar-kejaran berlangsung dalam gelap gulita.

Masing-masing unit pasukan bebas menentukan arah, mengadakan kontak ke luar dan memberi tahu posisi, agar team penyelamat dari Payajeras, Shah Alam, Gombak dan Kajang tepat pada titik tujuan. Kebanyakan selamat. Yang tidak selamat, tak ada lagi kabar berita. Di kèm semenyeh: rasa was-was, marah, pasrah, emosi, pilihan untuk mati atau hidup, bergolak dalam benak masing-masing. Tidak ada komandan yang memberi aba-aba. “Kiamat” sudah tiba. Ribuan pasukan bersenjata Malaysia nampak di depan mata, tinggal menghitung detak-detak jarum jam: hidup atau mati! Suara tangis, tahmid, tahlil dan takbir yang bergema, tidak mempan lagi mengurung tercetusnya “perang”. Sulaiman Ismail [kontak person] di Blok C memberi tahu saya bahwa, persis pada jam: 05.09, Blok: A, B dan D terbakar. Hal ini tidak diperkirakan sebelumnya oleh aparat keamanan. Pada (jam: 05:17), saya melaporkan situasi terakhir kepada Tengku Hasan di Tiro. Pesan beliau: “Jika mampu dielakkan dari hal yang negative, lakukan! Jika tidak, pertahankan maruah”. Pesan ini saya sampaikan kepada Sulaiman Ismail, pada (jam: 05:20).

Saat jarum jam menuju angka: 05:22, giliran Blok C terbakar. Pada detik terakhir ini, Sulaiman Ismail berpesan: ”... Bang, sebelum saya campakkan HP ini ke kobaran api, ma’afkan kami, salam kepada Paduka W.N dan kawan-kawan. Jika kami mati, jangan lupa do’akan.” Tidak lama kemudian berlangsung tragedi bedarah yang dipimpin langsung oleh Ketua Polis Negara, Rahim Noor. Mereka dipaksa naik lorry militer, terjadi perebutan senjata, bacok-membacok, pukul-memukul, mengikat, menggari. Inilah pertarungan yang tidak ada pihak yang memberi ampun dan yang diberi ampun. Akibatnya 14 pelarian Aceh ditembak mati, ratusan luka parah, belasan Polisi Malaysia mengalami luka ringan dan berat. Suasana yang sesungguhnya tidak bisa digambarkan di sini.

Malik Mahmud (Menteri Negara), dimana?
Kami menjalin kontak langsung dengan pimpinan GAM di Stockholm dan Sulaiman Ismail di kèm Semenyeh, dari sebuah markas di Bt-3 Gombak. Malangnya, gagal menghubungi Menteri Malik Mahmud di Singapore. Ketika suasana ini bergolak, Malik Mahmud sedang mengurung diri dalam kamar di rumahnya Jln. Ismail, Singapore. ”Dia dalam kamar di lantai dua, Yusra”, kata Nyak (Ibu kepada Malik Mahmud), ketika saya tanya: ”Dimana Menutroë. Ada berita penting yang perlu saya sampaikan, tolong panggil, Nyak”. ”Saya sakit, tak bisa panggil dia”, dalih Nyak. Amir Mahmud (Abang Malik Mahmud) juga mengurung diri di lantai satu. Sewaktu saya hubungi, waktu Singapore menunjukkan jam 19:00-22:00. Mustahil keduanya tidur, sebab mereka sudah biasa tidur, rata-rata di atas jam: 23.00 malam.

Bukan saja kami, pimpinan GAM dari Swedia pun gagal menghubungi Malik Mahmud. Barulah pada jam 08:30 pagi esoknya [26/03/1998], setelah saya dari KL dan Bakhtiar Abdullah dari Swedia meminta H. Abdullah Musa, Toa Payoh Singapore, supaya segera menggedor pagar pintu besi membangunkan Malik Mahmud. Saya pun melaporkan: ”Tadi pagi rekan kita dari seluruh kèm tahanan sudah dihantar secara paksa ke Indonesia melalui pelabuhan Lumut Perak dengan Kapal Perang Angkatan Laut RI. Sebanyak ratusan luka ringaan dan berat, 24 pelarian Aceh mati selama operasi penghantaran dari seluruh kèm menuju pelabuhan Lumut Perak.” Beliau kagét, seakan-akan tidak tahu, pada hal dalam surat elektronik, pada tgl. 24/12/2000, jam: 14:48:25, yang dikirim kepada saya, Nur Juli (adik ipar Malik Mahmud) mengaku ada kontak langsung dengan Malik Mahmud.

Tulis Nur Juli: ”Apakah sdr. ketahui saya menelepon, mengirim fax non stop berjam-jam dari French Embassy ke Singapura memberi laporan kejadian di KL, ketika sdr. sendiri sedang tersepit dalam peristiwa Semenyeh?” Malik Mahmud tidak ada kontak dengan Pemimpin GAM di Swedia dan Komite Pelarian Aceh di Malaysia, sebaliknya ada hubungan dengan Nur Juli. Dalam garis perjuangan, peristiwa semacam ini dinilai sungsang.

Pada 28. Maret, saya bersama Puan Siti Hajar (isteri Tengku Razak di Tiro) memberanikan diri pergi ke Hospital Kajang untuk melihat dan memastikan 4 sosok mayat asal tragedy Semenyeh yang disimpan dalam kulkas mayat sebelum dikubur. 

Pemulangan secara paksa pelarian Aceh, mutlak kebijakan politik Suharto-Mahathir Muhammad. Sebelumnya, dilakukan “Operasi bujuk” dengan melibatkan intel TNI, segelintir ulama Aceh dan ”Aceh Sepakat Malaysia” yang waktu itu, Nur Juli sebagai Sekjen-nya dengan tujuan agar tapol Aceh mau pulang ke Indonesia,. Hal ini terungkap dalam Dokumen rahasia setebal 20 hlm. milik Atase militer Kedutaan RI, Kuala Lumpur, yang ditanda tangani oleh Kolonel Art, Erman Hidayat, Nrp. 23662, April 1997. Pada hlm. 6 tertera: ”Operasi Bujuk” yaitu dengan mengirim beberapa tokoh masyarakat dan ulama Aceh ke Malaysia dengan maksud membujuk mereka agar mau kembali ke Indonesia”.

Selain itu pada hlm. 17 disebut: ”Bilamana keberadaan organisasi ini (maksudnya: ”Aceh Sepakat Malaysia”. Penulis) telah mantap kembali, diharap dapat menahan pengaruh sisa-sisa GPK Aceh dan bahkan mampu membantu mempengaruhi sisa-sisa GPK tersebut untuk kembali kepangkuan RI.” Diantara hasilnya ialah: 11 aktivis GAM jebolan Libya berhasil dibujuk pulang ke Indonesia yang dihantar lewat pintu Konsulat RI, pulau Pinang. Sementara itu, yang dihantar pulang secara paksa diintrogasi dalam kèm tahanan TNI di Aceh didampingi ulama Tgk. Usman Kuta Kreung. Sebagiannya gila, stress dan cacat seumur hidup; sebagian lagi kembali segar, tetapi rapuh rasa kesetia-kawanan dan ditindih oleh bayang-bayang masa depan Aceh yang tidak menentu. Sekarang mulai berhitung: berharga atau ditimbang sekedar “boh Timon tjeukok peupeunoh raga”. Betapa pun pahitnya, tragedi Semenyeh adalah fakta yang tidak boleh disembunyikan, sebab ianya bagian dari sejarah Aceh. Sejarah adalah mahkamah yang paling adil mengadili prilaku manusia. Mau lari kemana?[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.

Thursday, April 2, 2009

Kemiskinan Struktural

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

[Catatan: Ini naskah original. Teks yang sudah diedit dimuat dalam kolom opini, Serambi Indonesia, 02/04/09]

JIKA pertumbuhan ekonomi rakyat nampak seolah-olah bergerak dan bersaing bebas dalam dunia perdagangan, pada hal penguasa mengontrol sejauh mana pengaruh, kemajuan dan efeknya terhadap politik dan kekuasaan; ... Jika masyarakat meyakini suatu doktrin bahwa: untuk hidup aman dan bebas berusaha semata-mata karena tanggungjawab dan belas kasih penguasa; ... Jika pemilik modal besar mendominasi pengedaran barang-barang kebutuhan pokok dan penguasa berpihak kepada mereka; ... Jika didapati kebijakan yang membatasi ruang gerak, menetapkan standard maksimum pinjaman pada bank dan rakyat tidak memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam pasaran bebas untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional; ... Jika membatasi ruang gerak agar masyarakat tidak lantang bicara tentang globalisasi ekonomi dan perputaran roda ekonomi rakyat hanya bergerak dalam radius terbatas; ... Jika wujud suatu pasaran bebas yang bebas nilai –bebas menentukan harga barang– tanpa pengawasan dan tanggungjawab atas kelayakan barang jual; ... Jika membiarkan wujud class-class masyarakat dengan polarisasi kemiskinan dan kemewahan.

Inilah dia ekonomi struktural. Ekonomi struktural akan melahirkan class-class masyarakat: proletar, golongan menengah, beurgeois dan mafia proyek. Kaum proletar (buruh kasar, petani dan pedagang yang tidak memiliki modal) diberi kebebasan berniaga di lokasi èmpèran kaki lima atau penjaja makanan, seperti: kerupuk, pisang salé, permèn, kacang goreng, pedagang buah dan sayur-mayur, yang beroperasi seenaknya, kapan saja dan dimana saja adalah: taktik pemerintah untuk mereduksi tingkat emosi dan sentimen rakyat. Tindakan memberi kebebasan ini seakan-akan self-government yang diberi pemerintah, sejauh tidak muncul klaim dari pihak tertentu. Atraksi pedagang liar ini direka sedemikian rupa hingga menjadi suatu tontonan atau sebagai suatu bangunan masyarakat yang unik dan keunikan ini dijadikan sebagai khazanah menarik perhatian turist, lebih dari itu kaum proletar adalah makanan empuk para politisi yang dimanfaatkan sebagai penyontèng caleg dalam kotak Pemilu setiap lima tahun sekali.
 
Mereka hidup serba terbatas, tidak cukup masa mengumpul data tentang ketidak adilan dan tidak punya waktu untuk berpikir soal issue politik, apalagi menyampaikan protes jika hak-hak mereka dicabuli. Mereka bekerja untuk menyelamatkan hidup hari ini, bukan untuk hari esok. Sementara class menengah bersikap double standard. Artinya; di saat tertentu dekat dengan kaum proletar dan di saat lain lèngkèt dengan class beurgeois. Mereka mengintip gerak-gerik lintas dagang kaum proletar sehari-hari di pasar, kedai kopi dan jalanan. Harga barang dagang mereka tentukan dan membeli dengan harga paling minimum. Kaum proletar terpaksa menyerah, sebab tidak mempunyai pilihan lain untuk menyalurkan dan tidak memiliki alat pengemas dan pengawèt. Mereka merasa tergantung kepada class menengah yang dipandang ’berjasa’. Class menengah meraup rezeki dari class proletar dan memperoleh komisi dari class beurgeois. Yang tidak kurang menariknya ialah: untuk mendapat satu proyek langsung dari pemerintah, disyaratkan adanya suatu perusahaan yang mempunyai simpanan uang dalam Bank. Class menengah terpaksa menempuh jalan pintas dengan cara menumpang atas nama PT atau CV milik class beurgeois.

Golongan beurgeois mempunyai peranan penting dan penentu, yang memiliki jaringan informasi khusus dengan penguasa, mampu mempengaruhi keputusan politik dalam bidang ekonomi, bahkan membayar untuk mencabut atau merubah kebijaksanaan politik yang merugikan kepentingan mereka. Class beurgeois dipelihara penguasa untuk memasok pendapatan ektra para pejabat yang memberi atau memenangkan tender suatu proyek. 
Sementara class mafia proyek bergerak lisik, licik dan rahasia. Semua daftar isian proyek pemerintah berada di tangannya. Class beurgeois yang berminat mendapatkan proyek, mesti melewati pintu mafia untuk menjumpai pejabat pemerintah. Mata pencariannya berasal dari hasil komisi dua arah –pejabat pemerintah dan pemilik modal. Kosekuensi logis dari ekonomi struktural akan melahirkan kekayaan dan kemiskinan relatif yang masing-masing kelompok memiliki ruang.

Jika pembagian, pemerataan pendapataan dan keadilan menurut konsep ekonomi struktural dikaitkan dengan ”humanisme” dan ”binatangisme; akan terdapat kesamaan definisi antara kaum dhu’afa dengan monyet [baca: monyet Saré], sebab kelangsungan hidup mereka sama-sama tergantung dari belas kasih orang (shadaqah). Bedanya ialah: kalau Monyet Saré lebih bebas dan berani menerobos benteng birokrasi berlapis untuk menyampaikan aspirasi kepada: Gubernur, DPRD, Kapoda, PangDam, Sopir dan penumpang bus atau Labi-labi, Kepala-kepala Dinas, pimpinan Parnas atau Parlok yang melewati kawasan bedaulat di Sarè, sambil berteriak: ’Ada sesuatu yang boleh kami makan?’ Satu pihak melemparkan sisa makanan dari kenderaan mewahnya, pihak lain memungutnya. Sementara kaum dhu’afa [pengemis misalnya], untuk menyampaikan aspirasi, mesti disalurkan lewat struktur birokrasi: aparat pemerintah atau DPRD. Yang menarik di sini ialah: kaum pengemis di Aceh benar-benar mengamalkan profesionalisme kerja. Ini bisa dibuktikan dari kemampuan membaca ayat suci Al-Qur’an, yang mampu mengalahkan tajwid seorang calon Bupati atau Gubernur NAD. Tangan mereka menengadah seperti tangan Monyèt Saré untuk dapat jatah.

Selain itu, orang bisa belajar tentang: toleransi, solidaritas, kesetiaan dan rasa ”ke-kami-an” yang kental dari Monyèt Saré dan Pengemis, yang jarangan terjadi konflik intern lantaran memperebutkan sisa-sisa makanan atau memperebutkan lokasi/daerah ”basah”. Berbeda dengan jaringan birokrasi pemerintah yang punya lokasi ”kursi basah” dan ”kursi kering.” 

Inilah realitas kehidupan ke-sehari-an ekonomi kita dalam konsep: Ekonomi Struktural, yang bebas berbuat dan bertindak, tanpa memerlukan suatu managemen dan profesionalisme. Memberi sadaqah dan memberi kebebasan kepada Monyèt Saré beroperasi; ... Memberi sadaqah dan peluang kepada pengemis yang bergentayangan di kota, kampung, pasar, terminal dan kenderaan umum sama halnya dengan menelanjangi atau menyibak aurat peradaban kita, yang seakan-akan tindakan terpuji, karena telah bersedaqah dan terhindar dari tudingan: ”Pendusta agama, yakni: barangsiapa yang mengabaikan anak yatim dan orang miskin” (Q: Surah 107, ayat 1-3]. Pada hal sadakah, bukanlah konsep mengatasi atau memulihkan penyakit sosial (kemiskinan). Semakin banyak orang menerima sadakah, semakin memperkuat bukti wujudnya kemiskinan dan kelaparan. Oleh sebab itu, ”Tolong blokir ya Allah jalan menuju surga-Mu kepada orang-orang yang bersedaqah, sebelum mereka (baca: penguasa) menyusun konsep untuk menghapuskan kemiskinan.” Memang anèh, tanpa disadari telah terjadi interaksi sosial dan transaksi moral antara Monyet Saré dan kita; dimana tidak ada pihak yang terusir dan yang mengusir; tidak ada yang menjengkelkan dan yang dijengkelkan, semua saling menghormati. Kelaparan dan kekenyangan wujud berdampingan dalam dunia masing-masing. 

Dalam konteks ini, Nietzsche (seorang filosufi Jerman beraliran existensialism) yang menyaksikan wajah ekonomi struktural di zamannya berkata: ”Adalah menjengkelkan untuk memberi sesuatu kepada: pengemis dan menjelkelkan pula untuk tidak memberi sesuatu kepada mereka.” Kejengkelan Nietzsche berpunca dari, tidak jelasnya konsep penguasa dalam menata budgèt dan kegagalan mengatasi masalah kesenjangan sosial, akibat daripada merajalelanya praktek korupsi, nepotisme (KKN), monopoli dan kleptokrasi yang lahir dari rahim konsep ekonomi struktural. Nietzsche melihat: kaum dhu’afa tidak ada daya dan penguasa tidak berupaya menyelamatkan mereka dari amcaman kemiskinan dan kematian. Rumusan yang menyebut: ”Fakir miskin dipelihara oleh negara” dan ”Kemiskinan itu mendekati kepada kekafiran” hanya falsafah humanism yang lumat dikunyah dan dikomandangkan oleh guru-guru moral yang tidak bermoral. Dalam realitasnya :”fakir miskin, negara dan kekafiran” adalah subyek dan penderita yang berputar dalam lingkaran syaithan segi tiga sama kaki dan sebangun.

Barangkali [Q: Surah 107, ayat 1-3], sudah saatnya diterjemah secara lain, yakni: ”Yang bukan pendusta agama, yakni: siapa saja atau (penguasa) yang berhasil menghapuskan rakyat dari penderitaan kefakiran dan kemiskinan”. Ini perlu dibangun suatu sistem ekonomi, managemen dan profesionalisme kerja yang memadukan antara SDM yang bermoral dan pengelolaan SDA yang tepat guna dan tepat arah. Penguasa mesti berperan sebagai motivator, mediator, fasilitator dan penyandang dana untuk merangsang rakyat membangun dan menikmati hidup dari kekayaan alam dan kekayaan sosial politik secara bersama. Atau apakah memang, konsep ekonomi struktural adalah ’iqtishaduna’ (’ekonomi kita’?[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.