Tuesday, September 29, 2009

Catatan Tambahan Buat: MA dan SM

Yusra Habib Abdul Gani*

HARUS diakui bahwa, dalam penulisan sejarah Aceh, tidak terlepas dari referensi yang ditulis oleh penulis asing atas dasar pengalaman pribadi, seperti: Marie C. Van Zegelen dan Snouck Hurgronje; ... Davis, utusan resmi negara asing (Konsul Prancis yang pernah bertugas di Aceh); ... Paul Van’t Veer dan H.C Zentgraaff, wartawan Belanda yang turut serta dalam perang Aceh-Belanda; ... Lord Standley Alderley, politisi Inggeris (anggota Parlemen Inggeris yang gigih membela Aceh) dan Granville Lombard (Menlu Inggeris); ... Ulysses S. Grant (President USA); ... Pakar sejarah Denys Lombard dan Anthony Reid dll. Referensi tersebut telah menghiasi halaman sejarah, sekaligus membantu kita untuk menelusuri jejak langkah sejarah Aceh.

Terus terang, referensi tentang Aceh yang ditulis oleh orang Aceh sangat terbatas sekali, termasuk perkara yang dibincangkan ini. Bagaimana pun, kita berhak mengkaji dan menafsirkan fakta yang disajikan. Untuk itu, penulis sejarah harus sepakat dengan beberapa kriteria. Pertama, berdiri tegak di atas pilar kebenaran fakta, bebas dari pengaruh dan tekanan dari kuasa politik manapun yang menyebabkan tidak objektifnya suatu tulisan. Kedua, mensucikan diri dari subjektivitas. Ketiga, penyampaian terarah dan sistematik, diperkuat oleh fakta akurat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ke-empat, analisa dan interpretasi terhadap suatu fakta tidak mengandung kontradiksi yang ekstrim diantara fakta yang tersedia. Jika terjadi juga, maka pemaparan fakta tadi mesti jitu dan akurat.Kelima, penulisan sejarah disulam dalam bingkai sejarah yang didalamnya terdapat suatu rangkaian yang mengikat hubungan lahir-bathin suatu generasi dahulu ke generasi sekarang dan mendatang. Dengan begitu, historiographi yang diketengahkan akan memenuhi standard.

Kriteria inilah yang dipakai oleh para ahli sejarah demi menjaga wibawa dan mutu tulisan, karena suatu masa akan digunakan sebagai rujukan. Selain itu, juga menjadi penentu bagi si penulis sendiri terutama soal ketajaman analisanya.

Adalah berbahaya sekali jika fakta sejarah dipalsukan, hanya lantaran mengikuti kepentingan penguasa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Snouck Hurgronje dan Van Sweten (membuat laporan palsu dan menulis tentang Acheh hanya untuk memuaskan penguasa) dan propaganda Belanda kepada dunia luar. Akhirnya, Van Sweten diketahui membentuk partai politik yang berjuang untuk menyudahi perang melawan Aceh. ”Aceh tak bisa kita taklukan, walau kita tanami bayonet di atas rumput seluruh Aceh” Katanya. Snouck akhirnya juga dikutuk karena telah mencemarkan nilai-nilai code ethic sebagai seorang intelektual. Snouck adalah intelektual bajingan!

Berkaitan dengan Habib Abdurrahman Zahir, di antara fakta yang dihimpun menyebut: ”Lord Granville, Menteri Luar Inggeris pada waktu itu dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman Zahir, Menteri Luar Negeri Acheh, pada 15 Juli 1873, tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris itu tidak sah atau tidak berlaku lagi, atau sudah dibatalkan, tetapi dia hanya mengatakan bahwa Inggeris tidak mau memenuhi kewajibannya. Menteri Luar Negeri Inggeris itu tidak membantah perkara ada dan sahnya Perjanjian itu. Dia hanya tidak mau melakukan kewajibannya menurut Perjanjian itu. Alasan mengkhianati Acheh karena Inggeris sudah menandatangani satu Perjanjian lain dengan Belanda yang isinya bertentangan dengan Perjanjian dengan Acheh.” [Tengku Hasan di Tiro, "Perkara & Alasan", Ceramah Dimuka Scandinacian Association Of Southeast Asian Social Studies, Gôteeborg, Sweden 23. Agustus 1995]

Kalimat: “…dalam jawabannya kepada Habib Abdul Rahman…” merupakan bukti bahwa, sebagai Menteri Luar Negeri, Habib pernah mengirim surat resmi –diplomatic correspondence– kepada pemerintah Inggeris. [teks surat ini belum berhasil diketemukan] Karena itulah, majalah Frazer's Magazine, terbitan London, pada edisi Januari 1874, p. 124-134, telah menyifatkan jawaban Lord Granville sebagai “satu dokumen yang paling tidak mempunyai rasa malu, yang pernah ditulis manusia”. Ini menjadi satu bukti penting tentang kuatnya kedudukan Acheh dalam politik Internasional sebagai satu negara merdeka yang kedaulatannya diakui dunia.

Aceh berhak bertanya, sebab Aceh-Inggeris masih terikat dengan Perjanjian tahun 1603 dan Perjanjian Pertahanan Keamanan bersama di Selat Melaka, tahun 1819; termasuk “Traktat London” 1824, yang memuat pernyataan sikap Inggeris-Belanda terhadap Aceh. Jadi, “Traktat London” 1871, dimana Inggeris menyokong Belanda melakukan aksi militer menakluki Aceh, memang bentuk pengkhianatan Inggeris terhadap Aceh secara terang-terangan.

Di saat perang antara Aceh-Belanda berkecamuk, kalangan saudagar Acheh –yang ulang-alik antara Acheh-Pulau Pinang– berhasil memperoleh ”belligerent of power” (”kuasa dagang dalam situasi perang”), setelah melobby Inggeris. Kelompok ini, secara rahasia mengajukan proposal Perjanjian Damai: ”Acheh a protectorate of Netherlands” dan diminta hadir intermediaries (penengah) yang ditunjuk oleh kalangan mereka sendiri. Intermediarie inilah yang mula-mula mengadakan negosiasi dengan Konsul Belanda di Pinang, Malaysia. Yang diajukan adalah: “A draft peace treaty which would have made Acheh a protectorate of Netherlands.” Materi MoU ini dipertanyakan Belanda, terutama mengenai sejauhmana nantinya kuasa Belanda di samping kuasa Sultan dan apa bendera yang dikibarkan, seandainya Acheh sebagai negara protektorat Belanda. Tentang hal ini dikatakan:”… It is not clear how much power the Dutch “consul” would have had over the sultan nor what flag would have flown in Acheh, had the treaty been accepted. In any event the Dutch refused to negotiate because the considered themselves in a position of strength…” [The Greatest Names Flags. ”Flags In the News”. Whitney Smith, PhD. The Flag Bulletin.] Draft MoU yang diusulkan Saudagar Aceh ini ditolak, sebab dianggap tidak perlu.

Sesudah mentok, kelompok itu berhasil melobby Habib Abdurrahman Zahir yang saat itu berada dalam medan perang. Habib Abdurrahman berhasil dibujuk dan dipertemukan dengan dinas intelijen Belanda di Pulau Pinang. Harapan mereka agar proposal “Acheh a protectorate of Netherlands” lolos untuk disepakati. Alkisah, perundingan itu berubah arah. Juru runding Belanda menawarkan fasilitas: rumah, jaminan keamanan dan gaji selama hidup di Arab Saudi kepada Habib Abdurrahman. Tawaran Belanda ini di-amin-kannya. Soal berapa besar gaji, sudah dikutip oleh Said Muniruddin berdasarkan keterangan dari bererapa sumber.

Dari Arab Saudi, Abdurrarhman atasnama “Mangkubumi Aceh”, pada 3 Muharram 1302 (Oktober 1884), mengirim surat kepada Penguasa Hindia Belanda yang mengusulkan 7 point. [lihat: “Atjèh” oleh H.C Zentgraaff]. Pada point 1 disebut: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda, maka izinkanlah saya memperdengarkan pikiran saya secara ringkas ke telinga yang adil dan tidak resmi, akan tetapi dengan perasaan ikhlas dan bersahabat. Sekiranya Pemerintah sejenak mengarahkan pandangan mulianya didalam mencari seorang Islam yang berwatak mulia, berketurunan tinggi dan mengangkatnya dalam negeri Aceh untuk mengurus hal-hal dalam negeri itu, sehingga ia, dengan memiliki gelar Raja atau lain-lain yang serupa dengan itu, dapat bertindak terhadap semua rakyat Aceh atas nama Pemerintah Hindia Belanda.” Dalam point 2 tertera: “Orang tersebut haruslah seorang yang benar-benar setia terhadap Pemerintah dan selalu memperhatikan maksudnya supaya ia dapat melaksanakannya setiap waktu sesuai dengan pandangan Pemerintah.

Apa yang dipaparkan ini diharapkan berguna sebagai referensi tambahan, khususnya kepada sdr Adli dan Said Muniruddin. Dokumen (buku-buku) yang ditulis dan beredar sekarang, dengan rendah hati kita terima buat sementara, sampai kemudian ada fakta (bukti) lain lebih shahéh yang membuktikan sebaliknya. Sosok Habib Abdurrahman Zahir dituding sebagai ‘quisling’ (pengkhianat negara) berdasarkan tafsiran historis dari dokumen-dokumen yang ada, tambahan pula waktu itu dia masih menjabat Menlu Aceh. Maka adalah hal yang logis, kalau tafsiran historis dipakai Adli dalam uraiannya. Sebaliknya, hal yang logis dan realistis pula tafsiran analogi yang dikedepankan oleh Said Muniruddin dalam memaknai pengkhianat.

Yang pasti, Aceh adalah bumi yang kaya pahlawan dan pengkhianat. Yang tidak kurang tragisnya dalam kesejarahan kita ialah: orang yang terjaring dalam definisi pengkhianat juga masuk dalam jaring definisi pahlawan. Lihatlah ketokohan Habib Abdurrahman Zahir; di satu sisi, dia dituding sebagai ‘quisling’ Aceh, di sisi lain dia adalah seorang pejuang yang mengaku sebagai “Mangkubumi Aceh”. Di satu sudut dia menerima tawaran Belanda dan berkata: “Karena kesetiaan saya yang ikhlas terhadap pemerintah Belanda…”, di sudut lain, yang menurut Said Muniruddin, Habib Abdurrahman Zahir pernah diangkat sebagai wakil resmi kerajaan Turki untuk Arab. Jadi, siapa sebenarnya tokoh ini di depan cermin sejarah Aceh? Sejarah Aceh mengadili dan menjawabnya: Tunggu giliran terdakwa-terdakwa (penjahat sejarah Aceh) lain akan diadili.[Dimuat dalam SerambiIndonesia pada 28. September 2009]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.

Sunday, September 27, 2009

Gencatan Senjata (Cease-fire)

Yusra Habib Abdul Gani

A. Gencatan Senjata Pertama: Antara Aceh Versus Cina.
Dalam lipatan sejarah Aceh diriwayatkan bahwa, ketika rombongan Sjèh Abdullah Qan’an bersama 300 anak didik beliau dari Dayah Tjôtkala Peureulak tiba di Lamkrak; sebagian besar raja-raja kecil di wilayah Aceh Besar pada masa itu sudah diduduki (”occupied”) oleh tentara Cina di bawah pimpinan panglima perang Nio Niang Lingke. Raja Langkrak merasa khawatir, kalau serdadu Cina merambah ke wilayah kerajaannya. Saat dia memohon agar Sjèh Abdullah Qan’an dkk. bersedia membantu mengusir serdadu Cina. Permintaan ini diterima Qan’an dengan syarat diberi kesempatan berdakwah menyiarkan agama Islam. Raja Langkrak meng-amin-kannya. Maka Sjèh Abdullah Qan’an melantik Johan Syah (anak sulung Raja Linge I) –salah seorang anak didiknya– sebagai Panglima perang. Qan’an sendiri sebagai penasehat rohani. Wilayah kerajaan Aceh Darussalam waktu itu meliputi: Pulo Beureuëh, Sabang, Aceh Besar hingga ke Padang Tiji [sekarang masuk wilayah Kabupaten Pidie].
Taktik yang dipakai Johan Syah ialah: merebut kawasan pantai dan mempersempit ruang gerak musuh, hingga akhirnya serdadu Cina terkurung dalam suatu kawasan [sekarang: lokasi ini dikenali dengan Lingké, Banda Aceh]. Semua bekal logistik disekat masuk dan dalam waktu yang relatif singkat, serdadu Cina yang terkurung, menderita kelaparan dan akhirnya menawarkan gencatan senjata (cease-fire). Hasilnya ialah:
1. Serdadu Cina serta-merta meninggalkan Aceh
2. Kapal perang Cina yang dirampas menjadi harta rampasan perang
3. Panglima perang Nio Niang Lingke dianjurkan masuk Islam
4. Tidak menghukum mati pemimpin dan pasukan perang Cina.
Diketahui, setelah masuk Islam, Johan Syah menikahi Nio Niang Lingke yang berlangsung di atas kapal perang Cina yang dirampas. Atas kejayaan ini, Johan Syah diangkat sebagai Sultan Aceh Darussalam pertama, sementara 300 orang santri Dayah Tjôtkala yang menetap di Aceh Besar, kemudian digelari sebagai ”sukee lhee reutoih”.

B. Gencatan Senjata Kedua: Antara Aceh Versus Belanda.
Antara tahun 1884-1896, Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman, telah berhasil mempersempit ruang gerak serdadu Belanda hingga terkurung dalam suatu kawasan di Bandar Aceh. Kawasan ini dikenali dengan: ”geconcentreerde linie”. Selama jangka masa ini, bisa disifatkan sebagai gencatan senjata (cease-fire), sebab serdadu Belanda tidak berani lagi berkeliaran memasuki kampung-kampung dan kota. Sebaliknya, tentara Aceh juga tidak melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda. Untuk melukiskan realitas yang sesungguhnya dikatakan: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ J. Kreemer, Athèh.
Waktu itu, kendali politik sudah berada di tangan Aceh, hanya saja Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada serdadu Belanda untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti dibunuh. Dalam rentang masa 12 tahun, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dengan pemerintah Belanda tahun 1885. Aceh menawarkan agar semua serdadu Belanda yang terkurung:
1. Menyerah dengan sukarela;
2. Boleh menetap dan berdagang di Aceh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Aceh. Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15. Agustus, tahun 1888, telah memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Aceh.“ [Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, halaman. 37-39, 1968. Institut Athe di Amerika.]
Belanda perlukan masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Belanda menolak tawaran Aceh. Hal ini dilakukannya, setelah pakar psikology perang Belanda mendapati: bangsa Aceh sebenarnya memiliki sifat jujur, ikhlas, mempercayai musuh, baik hati, pema’af. Kesemua sifat-sifat ini digiring dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan militer Belanda.
Sejak itu, Belanda coba melancarkan perang guna memperlihatkan kepada mata dunia, bahwa Belanda tidak mau mengalah kepada Aceh. Dengan ’taktik mengulur waktu’, Belanda secara diam-diam berhasil memperalat seorang perempuan Aceh asal Sibrèh (Isteri Pang Abu) untuk membubuh racun dalam makanan Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman sampai meninggal, Januari tahun 1891. Awalnya Belanda berjanji akan memberi hadiah emas batangan, akan tetapi setelah menjalankan missinya, perempuan ini ditembak mati oleh serdadu Belanda. Alasannya: kepada bangsanya sendiri berkhianat, konon lagi kepada Belanda.
Ke-empat syarat yang ditawarkan pemimpin Aceh, membuktikan bahwa Aceh adalah bangsa yang beradab. Sebenarnya, tawaran ini bisa diatur kemudian, setelah Belanda benar-benar tidak lagi melakukan aksi militer dan inteligen di Aceh. Kompromi politik dan militer hanya berlaku jika kuasa sudah mutlak berada di tangan. Ternyata, secara rahasia Belanda mengirim pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa-Madura untuk mengepung kubu pertahanan Aceh. Maka meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat yang mengakibatkan syahidnya Tengku Thjik di Tiro Muhammad Amin. Dari lapangan perang, dilaporkan: “Bangsa Aceh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Muhammad Amin. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Aceh ke kampung Mureue, disanalah beliau dikuburkan. [H.C Zentgraaf. Atjèh].
Kita tidak tahu pada masa itu, yang ternyata musuh telah memperalat sifat-sifat terpuji bangsa Aceh untuk menakluki Aceh. Pakar psyikologi Belanda juga menyimpulkan bahwa: Aceh adalah gila pangkat, rapuh kesetia kawanan dan mudah khianat. Buktinya, selain sudah berhasil membunuh Tengku Thjik di Tiro Muhammad saman, Belanda berhasil mendidik Teuku Umar sebagai Panglima perang Belanda untuk memerangi bangsanya sendiri. Perang yang dilancarkan Belanda dibawah pimpinan Teuku Umar, telah mengorbankan ratusan panglima-panglima perang Aceh yang gagah perkasa dan ribuan bangsa Aceh gugur serta takluknya 116 Mukim di kawasan Aceh Besar. Atas ‘jasa’ ini, Belanda memberi gelar kepadanya sebagai “Johan Pahlawan Perkasa Alam”. Na’uzibillah. [Soal kemudian dia taubat dan kembali memimpin peperangan melawan serdadu Belanda sampai mati dalam peperangan, itu soal lain. Yang jelas, sosok kepahlawanan Teuku Umar tidak perlu bangsa Aceh tiru dan teladani]

C. Gencatan Senjata Ketiga: Antara Aceh Versus Indonesia.
Antara tahun 1953-1961, Tengku Daud Beureueh mendirikan gerakan Darul Islam (D.I Aceh) yang berjuang agar Aceh menjalankan syariah Islam sepenuhnya. Gerakan ini secara organisatoris tunduk kepada Kartosuwiyo (pepimpin pusat Negara Islam Indonesia (NII). Ketika itu, sokongan rakyat, dana perang, perlengkapan senjata dan kemahiran tentara Aceh lebih dari cukup. Militer Indonesia sempat kewalahan menghadapi kekuatan Darul Islam Aceh. Kuasa militer sudah berada dalam genggaman D.I Aceh. Buktinya: “Dua wilayah (Aceh Tengah dan Pasé) sudah berdaulat selama 4 bulan lamanya.” [ C. Van Dijk. Darul Islam Sebuah Pemberontakan.]
Tetapi, tokoh-tokoh Darul Islam Aceh akhirnya berhasil dijinakkan oleh penguasa Indonesia di bawah pimpinan Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo. Di saat kekuatan politik dan militer Indonesia sudah anjlok; pihak Indonesia menawarkan gencatan senjata (“cease-fire”). Akhirnya disepakati:
1. Memberi Amnesty kepada pejuang DI-TII Aceh;
2. Mengangkat bekas tentara DI-TII sebagai prajuirt TNI;
3. Memberi fasilitas tertentu kepada petinggi DI-TII.
4. Memberi status Aceh sebagai Daerah Istimewa.
Waktu itu, Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo memakai serampang tiga mata untuk melucuti kekuatan politik dan militer Darul Islam Aceh.
Pertama, Operasi Bujuk.
Waktu itu Mohammad Nastir, bekas Menteri Penerangan RI, tahun 1946 dan mantan Perdana Mentari RI, 1950, diperalat untuk membujuk Tengku Daud Beureueh menyerah, tetapi hasilnya nihil! Kemudian giliran Hamka, seorang Ulama Minangkabau juga diperalat; hasilnya juga nol!
Kedua, Operasi Inteligen.
Indonesia merubah taktik dan strategi dari serangan militer kepada gerak intelijen. Seiring dengan itu, Kolonel Yasin, penguasa militer Indonsia di Aceh pada masa itu ditugaskan untuk menyurati, mendekati dan membujuk rayu, menyusupkan Hasan Saleh, putera asal Aceh ke dalam tubuh pasukan DI-TII Aceh dengan maksud menghancurkan DI-TII Aceh dari dalam. Sungguh ironis: Hasan Saleh, serdadu RI yang pernah di-BKO-kan di Maluku tahun 1950 untuk memburu para pejuang kemerdekaan RMS, pimpinan Dr Seumokel; di-BKO-kan di Sulawesi Selatan untuk memburu para pejuang DT-TII pimpinan Kahar Muzakkar; di-BKO-kan di Jawa Barat untuk mengejar pejuang DT-TII pimpinan Karto Suwiryo; di-BKO-kan di Minangkabau dan Sumatera Tengah untuk menghabisi pejuang PRRI, pimpinan Ahmad Husen dan di-BKO-kan di Kalimantan untuk menghancurkan pejuang Permesta, pimpinan Ibnu Hajar; ternyata dilantik oleh Tengku Daud Beureueh sebagai Pangima perang militer DI-TII Aceh. Sebagai panglima perang, Hasan Saleh berkuasa atas penggunaan senjata. Akhirnya Hasan Saleh mengkhianati Tengku Daud Beureueh dengan cara yang licik dan menjijikkan dalam sejarah Aceh, sekaligus melucuti senjata Darul Islam Aceh.
Ketiga, Operasi Propaganda.
Penguasa Indonesia memakai Mr. Hardi untuk menjinakkan keperkasaan Tengku Daud Beureueh Cs. dengan menawarkan kepada Aceh sebagai “Daerah Istimewa”, terutama dalam:
1. Bidang agama;
2. Bidang pendidikan;
3. Bidang Kebudayaan.
Dengan senjata serampang tiga mata ini, Tengku Daud Beureueh terkepung. Peluru missi Hardi tanpa suara mengenai sasaran, dari belakang ‚ditikam’ oleh Hasan Saleh yang menyerahkan semua senjata Darul Islam Aceh kepada Indonesia yang dibeli dari hasil peluh keringat bangsa Aceh. Kekuatan hukum „Daerah Istimewa Aceh“ hanya dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Perdana Menteri. Ini berarti, peringkatnya di bawah Undang-undang dan Intruksi Presiden. Berbekal SK „check kosong“ inilah, Tengku Daud Beureueh kembali kepada pangkuan Ibu Pertiwi dengan tangan kosong. Beliau menjadi singa ompong, setelah Hasan Saleh berkhianat, sehingga acara penyambutan Tengku Daud Beureueh Cs. berjalan lancar dengan sajian Ranub Lampuan. Mengapa Tengku daud Beureueh Cs bisa kecundang? Sebab, seperti sudah disinggung di atas, bahwa kararteristik bangsa Aceh yang lugu mudah sekali dikibuli.
Tengku Daud Beureueh bukan kali saja ditipu. Pada tahun 1945, Sukarno pernah meminta bantuan Tengku Daud Beureueh mendirikan negara Indonesia. „Untuk apa Indonesia merdeka?“, tanya Tengku Daud Beureueh. Sukarno dengan nada pasti menjawab: “Negara yang akan kita tegakkan ini berasaskan Islam”. Ujung-ujungnya: dasar Islam dicampakkan dan dipakai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kemudian, pada 15. Oktober 1945, Sukarno datang ke Aceh menjumpai Tengku Daud Beureueh di „Hotel Atjeh“ dan berkata: „Pertahankan Aceh ini walau sebesar payung“. Tengku Daud Beureueh masih percaya kepada sipenipu.
Pada tahun 1947, Sukarno datang ke Aceh menjumpai Tengku Daud Beureueh. Sukarno bilang: “Bang, semua daerah sudah membeli pesawat masing-masing dua dua buah, tinggal Aceh yang belum.” Tengku Daud Beureueh menjawab: „Ya, kalau begitu, Aceh siap menyumbangkan dua pesawat“. Ternyata daerah lain tidak pernah menyumbang satu pesawat pun, kecuali Aceh. [Tengku Mansoer Ismail: “Aceh Ditipu Dengan Air Mata“. Wawancara Tengku Mansyur, Sekretaris negara Aceh zaman DI-TII dengan Serambi Indonesia, Agustus 2000].
Untuk menangkal dan meredam semangat perjuangan aktivis D.I Aceh, maka kepada petinggi D.I Aceh diberi imbalan oleh pemerintah Indonesia. Inilah serentetan nama yang menikmati masa cease-fire Aceh.
1. Tengku Daud Beureueh diberi fasilitas kenderaan roda empat.
2. Hasan Saleh diberi ratusan ha. Perkebunan Teh di Sukabumi, Jawa Barat.
3. Ibrahim Saleh (adik Hasan Saleh) diberi ratusan ha. perkebunan kelapa Sawit di Aceh;
4. T.A. Hasan diberi ratusan ha. Perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh;
5. Gani Mutiara, diberi ratusan ha. Perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh;
6. Amir Husen Mudjahid, diberi ratusan h.a Perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh;
7. Yusuf Wahi, diberi ratusan ha. Perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh Timur, dan kemudian melarikan diri dan mati di Malaysia;
8. Tengku Ilyas Leube, diberi kenderaan roda empat, puluhan ha. tanah dan Perkebunan Kopi, Pakrik Kopi di Bandar Lampahan, Aceh Tengah;
9. Tengku Saleh Adri, diberi puluhan ha. tanah dan Perkebunan kopi di Timang Gajah, Aceh Tengah;
10. Aman Mastani, diberi perumahan dan kenderaaan serta perkebunan Kopi di Aceh Tengah;
11. Razali Idris, diberi ratusan ha. perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh;
12. Yahya Abdullah, diketahui kemudian melarikan diri ke Malaysia;
13. Hamid Batee, diketahui kemudian melarikan diri ke Malaysia;
14. Tuan Sakti, diberi ratusan ha. Perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh Langkat-Temiang;
15. H. Ibrahim dan Amin Negara (apa naggroe), diberi puluhan ha. perkebunan kelapa Sawit dan Karet di Aceh Utara.
16. Ramai lagi yang kemudian diangkat menjadi serdadu Indonesia (TNI).

D. Gencatan Senjata Ke-empat: Antara Aceh Versus Indoneia.
Pada tahun 2000, Aceh Merdeka pimpinan Tengku Hasan M. di Tiro, dalam usianya 24 tahun, untuk pertama sekali mencatat sejarah, menanda tangani perjanjian ”Humanitarian Pause” (”cease-fire”) antara GAM-RI yang difasilitasi oleh HDC, ditanda tangani di Basle, Geneva pada 12. Mei tahun 2000. Dalam rentang masa enam bulan pertama, kedua belah pihak diharap dapat menahan diri dari kontak senjata, kedepankan keamanan dan kedamaian di Aceh. Untuk menindak lanjuti perjanjian ini, dibentuk team KBMK untuk mengamati keadaan di lapangan. Tetapi realitas yang terjadi di lapangan ialah: terjadi larangan mengadakan rapat umum dan pembunuhan terus berlaku. ”Diperkirakan antara 1.000-3.000 yang mati, 900-1.400 diculik, 500 orang cacat tubuh dan 700 unit perumahan hangus.” [Laporan akhir Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, Jakarta, Juli 2000, halaman 11 atau ACEH: WHY MILITARY FORCE WON’T BRING LASTING PEACE. Laporan International Crisis Group. pp. 3)]
Penangkapan, penahanan, penyisiran, intimidasi, terror terhadap penduduk, pemerasan, pencurian, perampokan, penggeledahan rumah-rumah penduduk dan pembakaran sarana umum: gedung sekolah, Dayah, pertokoan dan perumahan penduduk tetap saja menjadi pemandangan sehari-hari di Aceh sepanjang enam bulan. Pihak Indonedia melakukan operasi-operasi militer di bawah sandi:
1. Operasi Sadar Rencong II (Februari-Mei 2000);
2. Operasi Cinta Meunasah I (Juni-September 2000);
Operasi Cinta Meunasah II (September 2000-15 Januari 2001) dilancarkan sepanjang masa Jeda Kamnusiaan. ”Bahkan akibat daripada operasi-operasi TNI, keresahan dan terror terhadap rakyat Aceh telah mengakibatkan 34.450 KK /138.872 Jiwa terpaksa mengungsi sepanjang tahun 2000. Dilihat dari tujuan perjanjian (”normatif”) untuk menghentikan segala bentuk tindakan penyerangan dan pelanggaran HAM sepanjang masa ”Humanitarian Pause” dapat dikatakan gagal. „GAM dikatakan meraih laba di luar konteks perjanjian, sebab petinggi TNA berhasil merekrut ribuan personel TNA yang baru di Aceh. Diperkirakan 17.000–27.000 anggota TNA yang berhasil direkrut.“ [Aceh: Gertakan Status GAM”, Gatra 17 Maret 2001, halaman 40. Atau : (ACEH: WHY MILITARY FORCE WON’T BRING LASTING PEACE. Laporan International Crisis Group. pp. 7)]
E. Gencatan Senjata Ke-lima Antara Aceh Versus Indonesia.
Ketika pelaksanaan „Jeda Kemanusiaan“ tahun 2000 disadari tidak berhasil, maka dicoba resep baru yang dianggap mujarab, yakni: “Cessation of violence” atau „Moratorium on Violence” yang disepakati pada, 9. Januari 2001. Dilanjutkan dengan perjanjian oleh masing-masing komandan lapangan, pada 18. Maret 2001. yang diikuti dengan “Commander to Commander Agreement” (Banda Aceh, 10. Februari 2001). Untuk itu dipertegas dengan „Directive on security arrangement for Aceh” (16. Februari 2001), yang diikuti dengan:
1. “Commander to Commander Agreement” (Banda Aceh, 22 Februari 2001);
2. “Commander to Commander Agreement” (Banda Aceh, 1 Maret 2001);
3. “Commander to Commander Agreement” (Banda Aceh, 18 Maret 2001)
Apa yang terjadi di lapangan? Indonesia melancarkan:
1. Operasi Pemulihan Keteriban dan Hukum I, berdasarkan Inpres No.4 2001 (April-Agustus 2001);
2. Operasi Pemulihan Keteriban dan Hukum II, bersadarkan Inpres No.7 2001 (September 2001-Februari 2002). Sepanjang tahun 2001, dalam jangka masa kurang dari lima bulan, tercatat 1.340 bangsa Aceh mati dibunuh. [ACEH: WHY MILITARY FORCE WON’T BRING LASTING PEACE. Laporan International Crisis Group. pp. 3&2].
Pihak Indonesia bahkan memutuskan perjanjian (membekukan team KBMK) secara sepihak, mengancam akan menangkap dan menahan semua anggota perunding GAM, jika tidak meninggalkan Markas bersama, Hotel Kuala Tripa. Tindakan pembekuan KBMK secara sepihak, menangkap dan menahan juru runding GAM dengan sewenang-wenang ternyata dibuktikan. Juru runding GAM:
1. Tengku Muhammad Usman Lampohawe;
2. Tengku Nasruddin Ahmad;
3. Tengku Sofyan Ibrahim Tiba;
4. Tengku Amdi Hamdani;
5. Teuku Kamaruzaman;
6. Tengku Amni Ahmad marzuki, akhirnya meringkuk dalam tahanan Polda Aceh selama beberapa bulan dan kemudian dibebaskan dengan status wajib lapor. Tindakan penguasa Indonesia bertentangan dengan Kesepakatan, pada 6-9 Januari 2001, yang dengan tegas menyebut: „Akhirnya kedua belah pihak telah menegaskan kembali untuk memberikan keamanan yang seuai kepada siapa saja yang terlibat dalam bentuk apapun dalam „Jeda Kemanusiaan“. Demikian juga kesepakatan pada 30 Juni-1 Juli 2001 yang menyebut: „Keamanan pribadi untuk para anggota KBMK yang sedang tidak lagi bertugas dalam kaitannya dengan funksi resmi mereka pada komite dimaksud akan dijamin kedua belah pihak.“ [Klausul Moratorium on Violence.]
Dalam “Cession of violence“ yang disetujui oleh masing-masing komandan lapangan, pada 18. Maret 2001, salah satu point dari lima butir yang disepakati berbunyi: „The two parties agreed to function the role of the Court in Aceh as well as to guarantee the performence of its role free from any disturbance of all sides“. Rupaya perkataan “maintain law”, “order in Aceh”, “criminals” dan “other law violators”, secara politik hukum, dimaksudkan untuk menjerat anggota GAM. Nyatanya, bukan saja tentara GAM, termasuk perunding GAM-pun masuk jaring. Inilah yang berlaku. Enam perunding GAM yang ditahan dituduh sebagai penjahat dan melanggar tatanan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, pelakunya mesti diseret ke pengadilan. Tidak cukup itu, militer Indonesia membunuh beberapa orang anggota KBMK:
1. Tengku Zulfani Abd Rani yang ditembak mati pada 14. Oktober 2001;
2. Tengku Al-Kamal yang ditembak mati pada 29. Maret 2002;
3. Tengku Muhammad Nazir Sulaiman pada 18. Oktober 2002;
4. Klimaksnya, militer Indonesia menembak mati Tengku Abdullah Syafie dalam peperangan di Wil. Pidie, pada 21. Februari 2002;
Beruntun kekecewaan dan kegagalan yang mesti ditelan dengan pahit sepanjang tahun 2001-2002. Ditambah lagi ledakan pengungsi di seluruh Aceh. Sepanjang tahun 2001, jumlah pengungsi Aceh seramai 6.250 KK/27.578 Jiwa dan pada tahun 2002, pengungsi Aceh membengkak jumlahnya kepada: 8.239 KK /33.158 Jiwa.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan, tidak ada alasan rasional untuk duduk berunding lagi dengan Indonesia. Bahkan, dalam setiap kesempatan bertemu dengan para diplomat asing, Malik Mahmood mengaku: „Kami memiliki prinsip dan batas-batas tertentu dalam berunding dengan Indonesia. Kami tidak mungkin melangkah lebih jauh melewati prinsip dan batas-batas tadi. Kami tidak akan mau merugikan kepentingan nasional Aceh.“
Dari sudut socio-cultural politic, ucapan tersebut lebih dikenal dengan „nibak tjeurah got beukah, nibak singet got meutungeng.“ Tetapi ianya bukan harga mati dalam falsafah Aceh. Dalam dunia diplomasi, terkadang bertukar kepada: „nibak buta got djuleng, nibak putoih got geunteng.“ Jadi tidak mengherankan, walaupun Aceh sudah babak belur, tokh Aceh masih mau lagi berunding.
F. Senjata Ke-enam: Antara Aceh Versus Indonesia.
Pada 9. Desember 2002, Aceh menanda tangani lagi Perjanjian “Penghentian Permusuhan” (“Cessation of Hostilities” atau cease-fire ) di Geneva yang disaksikan oleh dunia Internasional. Berbeda dengan perjanjian sebelumnya. Perjanjian kali ini melibatkan peran team monitor asing. Apa yang terjadi sepanjang tahun 2002? ”Mulai dari Januari – November tahun 2002, telah terjadi 4.385 tindakan kekerasan, penyiksaan sebanyak 2.854, penculikan sebanyak 330, penagkapan dan penahanan sebanyak 973 dan pembunuhan terjadi sebanyak 1.288.” [Analisa, 3 Desember 2002]
Aceh masih lagi bersedia berunding, mengapa? Karena Aceh memiliki karateristik kolektif, yakni: toleran baik hati dan pema’af. Secara pribadi, saya sudah pernah mengingatkan kepada petinggi GAM, bahkan merasa prejudice terhadap juru runding RI, HDC, wisemen dan kalangan expert asing yang coba memanfaatkan karateristik orang Aceh yang dinilai anèh, untuk kembali berunding dan digiring secara perlahan-lahan sampai lembut, surut dan akhirnya ditendang ke dalam jurang.
Lihat perubahan sikap orang Aceh dalam menghadapi perundingan:
1. Di awal perundingan, juru runding GAM meletakkan syarat supaya rundingan ini dilaksanakan pada level diplomat setingkat Menteri. Tetapi setelah dibujuk dan dinasehati oleh HDC, bahwa belum saatnya mempersoalkan status diplomat dari maing-masing pihak; kemudian GAM akur menerima Hasan Wirayuda (Derektur Jenderal Departemen Luar Negeri) sebagai ketua juru runding, sementara Dr. Zaini Abdullah, Menteri Kesehatan Aceh sebagai ketua juru runding;
2. GAM hanya bersedia membicarakan soal pelanggaran HAM yang dilakukan TNI dan upaya menghentikannya, tidak lebih dari itu. Tetapi kemudian setuju meng-agenda-kan dari „humanitarian Pause“ dan „moratorium on violence“ kepada perbincangan politik pada tahun 2003. Perkara ini disepakati pada 2. Februari dan 10. Mei 2002. Pada hal penyelesaian secara politik, semestinya melibatkan Belanda. Karena, penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada 16 negara bagian pada 27. Desember 1949; dimana Aceh tidak pernah menjadi bagian dari salah satu negara bagian tersebut dan tidak turut menerima mandate dari Belanda. Status waktu itu bebas berdiri sendiri;
3. GAM menolak setiap produk hukum Indonesia yang berlaku di Aceh. Tetapi kemudian bersedia mengomentari dan me-review UU No. 18 tahun 2001, bahkan menerima UU-NAD sebagai „starting point.“;
4. GAM tidak mempunyai kepentingan dengan Pemilu Indonesia tahun 2004, tetapi kemudian GAM mendukung dilaksanakannya suatu pemilihan yang adil dan jujur untuk memilih dan membentuk pemerintahan Aceh sendiri. Walau pun aturan pelaksanaannya masih belum jelas;
5. GAM menolak kehadiran team monitoring asal Philipina, kemudian menerimanya dan Aceh tidak bisa berbuat banyak dalam kebijaksanaan HDC.
Perubahan sikap ini dengan pertimbangan supaya apa yang diamanahkan oleh pasal 3 dapat terlaksana.
a) „Karena kedua belah pihak telah bersepakat demikian, bahwasanya mulai saat ini permusuhan diantara mereka hendaklah dianggap sebagai sesuatu yang sudah berlalu, maka proses damai, yang diikuti oleb sebuah perjanjian pada tahap ini, akan dilanjutkan dengan membangun rasa kepercayaan yang lebih luas dan kedua belah pihak akan membuktikan, yang satu kepada yang lainnya, bahwa mereka adalah bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuan muktamat.“

b) “Tujuan penghentian permusuhan dan segala tindak kekerasan antara kedua belah pihak adalah (i) melanjutkan ke tahap berikutnya proses damai, sebagaimana disepakati bersama pada tanggal 10 Mei 2002 di Swiss; (ii) untuk melanjutkan proses pembentukan rasa saling percaya dengan tujuan untuk menghilangkan segala kecurigaan dan menciptakan suasana yang positif dan bekerjasama yang akan membawa konflik di Aceh kepada suatu pengakhiran; dan, (iii) untuk memungkinkan, jika permusuhan dan tindakan kekerasan sudah terhenti, agar proses damai maju terus ke tahap berikutnya, yaitu penyampaian bantuan kemanusiaan, rehabilitasi dan rekonstruksi“ tercapai.
Ternyata, di lapangan terjadi peristiwa sbb:
1. Delapan Desa Mengungsi Ke Menasah-menasah di Lhoksukon. Dengan alasan jaga malam, TNI yonif 141 BKO desa Bukit Hagu Gampong Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara, pada malam hari rumah-rumah penduduk digeledah untuk mencari Kaum laki-laki yang tidak mau jaga malam. Warga tak mau jaga malam dipukul dan di aniaya. Pengusaha diwajibkan menyediakan Mobil Patroli, dengan catatan bila mobil tidak boleh di pinjamkan harap pengusaha untuk mengumpulkan dana;
2. Pada 26. Desember 2002, pukul: 5.00 wib, Ibu-ibu dan anak tidak tahan lagi menetap di rumahnya karena suami dan anaknya yang dewasa tiap malam ditanyai oleh aparat. Untuk mengghindari hal-hal yang tidak diinginkan, warga mengambil inisiatif mengungsi ke meunasah-meunasah di desa Blang Aman dan Cot U Sibak, Kecamatan Lhoksukon Aceh utara. Desa-desa yang Mengungsi: Mata u, Blang reubek, Keuneubok Dalam, Teupin Keubeu, Mata ie, Lhokseuntang, Arongan dan Ulee Gunong;
3. „Empat dari ratusan demonstran mengalami luka tembak ketika beraksi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pembaruan, kamis (9/1/ 2003);
4. Pada 15. Januarai 2003, terjadi pemukulan oleh Brimob, Resimen I jawa barat BKO posko Balai Desa pembantu Bupati Lhoksukon Aceh Utara. Berikut indentitas korban yang berhasil di indentifikasi: Zulkifli bin Harun (22 th) Kondisi: Memar-memar di seluruh badan (Dirawat di Rumah Sakit, lihat Foto); Mahdi bin Syam (23) Kondisi: Muka Memar; Erin bin Abdullah (21) Kondisi: Punggung memar-memar; Azhari bin Cut Ali (17) Kondisi: perut dan dada sakit; Nurdin (24) Kondisi: Badan Memar-memar; Azhar Khadafi (18) Kondisi: perut dan dada sakit; Istiadi bin Aly (18) Kondisi: Perut dan dada sakit; Kamaruddin bin Juned (20) Perut dan dada sakit; Kamaruddin bin Abdullah (30) Kondisi: Perut dan dada sakit;
5. Pada 24. Januari 2003, pukul 11.30, seorang lagi prajurit TNA, Azhar (32), tak bersenjata, dibunuh dengan berondongan peluru dan dua orang lainnya, Saiful (30) dan Rusli (28) diculik oleh Gegana Polri pada saat yang bersangkutan sedang berada di rumah masing-masing di Ulee Kareng, dekat Banda Aceh (sumber: Press Release ASNLF);
6. Bahkan, „Since the Dec. 9 "cessation of hostilities," 21 people have been killed in clashes, including 13 civilians, according to the Geneva-based Henry Dunant Center, which mediated the agreement. But that compares with an average of 87 civilian deaths per month during the nine months leading up to the accord and a total of 4,000 deaths of civilians and combatants in the past two years, the center reported.” (sumber: Alan Sipress, New Year Brings a Novel Gift To Indonesian Province: Peace . Washington Post Foreign Srvice.) Fakta di atas membuktikan bahwa keadaan di lapangan tidak terkawal.
Kemudian rundingan dilanjutkan di Tokyo, Jepang pada 17-19 Mei 2003. Tetapi perundingan ini gagal, sebab juru runding Indonesia mengajukan klausul sbb: “GAM fully accepts the Special Autonomy status provided by the Nangroê Aceh Darussalam Law within the framework of the unitary state of the Republic of Indonesia and consequently agrees not to seek the independence of Aceh.” GAM menolak mentah-mentah usul tersebut.
Untuk mengimbangi tawaran politik Indonesia, GAM ambil ancang-ancang sbb: “GAM is committed to dropping the armed struggle as stipulated in the relevant clauses of the COHA with all reciprocal measures from the Government of the Republic of Indonesia and to participate in the political prosess as stipulated in the COHA; and in the context of the COHA will refrain from advocating independence.” Kalimat ini tidak cukup. Indonesia memaksa supaya GAM menerima sepenuhnya UU-NAD, sekaligus melucutkan niat menuntut kemerdekaan Aceh. Hanya sampai di tapal batas ini saja GAM bertahan dan tidak mau menyeberang lagi lebih jauh dari itu. Akhirnya, penguasa Indonesia mengeluarkan Kepres No. 28/2003 tentang: ”Pemberlakuan Status Darurat Militer di Aceh”, yang berlaku sejak 19. Mei 2003.

G. Senjata Ke-tujuh: Antara Aceh Versus Indonesia.
Kemudian pada 15. Agustus 2005, ditanda tangani MoU Helsinki. Dalam preamble dikatakan: “The parties commit themselves to creating within which the government of the Acehnese people can be manifested through a fair and democratic processs within the unitary state and constituion of the Republic of Indonesia. MoU ini dinilai oleh kedua belah pihak sebagai perdaiaman abadi, sebab Aceh (GAM) telah rela untuk menguburkan cita-cita dan harapan merdeka sebagaimana ditegaskan oleh Malik Mahmud dan Zaini Abdullah kepada Ahmad Farhan Hamid, anggota Komisi 1 DPR-RI bahwa: “Gam berjuang selama hampir 30 tahun untuk satu tuntutan, merdeka. Tapi setelah [perjanjian damai] di Helsinki, tidak lagi. Tidak ada lagi tuntutan merdeka dari GAM.” (Bisnis Insonesia: GAM tidak tuntut lagi kemerdekaan). Demikian pula Irwandi Yusuf [mantan aktivis GAM dan Gubernur NAD] berkata: ”Soal Aceh merdeka, itu tidak betul. Jaminan kami MoU (nota kesepahaman) yang telah disepakati bersama antara GAM dan Indonesia di Helsinki. Jadi, Aceh tetap bagian dari NKRI. Itu tidak perlu dipersoalkan lagi." Suara Karya, 12 Januari 2007 JAKARTA.
Meleburkan lembaga-lembaga tinggi dalam pemerintahan Aceh: Wali Negara, Perdana Menteri dan Dewan Menteri. Pemerintahan Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur yang secara struktural tunduk kepada pemerintah pusat Indonesia. Dalam UU (No. 11/2006 Pasal 40) disebut: ”Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.” Demikian juga status Menteri Luar negeri dengan sendirinya lebur sejak 15. Agustus 2005. Sebab, MoU Helsinki menyebut: ”Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional dan ikhwal moniter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijaksanaan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah republik Indonesia sesuai dengan konstitusi”.
Menghapuskan Tentara Negara Aceh [TNA]. Jika sebelum ini, Aceh (GAM) dibenarkan oleh ketentuan hukum Internasioal (Resolusi PBB, No. 2621-XXV, 12 oktober 1970) untuk menggunakan senjata demi mempertahankan cita-citanya. Indonesia dan Dunia Internasinoal tidak berhak menghukum TNA sebagai pemilik senjata illegal di Aceh. Setelah Mou Helsinki ditanda tangani semua ini batal, sebab MoU Helsinki menyebut: “GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat-alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan AMM. GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata. (lihat klausul MoU Helsinki). Sehubungan dengan ini: ”Teuntara Nanggroe Aceh (TNA), hari ini (27/12), resmi dibubarkan. Pembubaran itu disampaikan oleh Juru Bicara Militer TNA Sofyan Dawood dengan membacakan sebuah surat pernyataan di kantor GAM yang terletak di kawasan Lamdingin Banda Aceh. Dalam surat pernyataan yang diteken oleh Panglima TNA Muzakkir Manaf itu disebutkan, nantinya setelah bubar TNA beralih ke masyarakat sipil untuk memperkokok perdamaian, stabilitas, dan harmoni Aceh. "Untuk itu GAM akan membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA). Hadir dalam acara itu Wakil Kepala AMM Letjen Nipat Thonglek, Menteri Pertahanan GAM Tgk Zakaria Usman, dan Menteri Keuangan GAM Tgk Muhammad Usman Lampoh Awee serta Wakil GAM di AMM, Irwandi Yusuf.” (acehkita, 27/12).
Selain itu pasal 4 ayat 2 MoU Helsinki menyebut: ”GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggaota tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbul militer setelah penandatanganan MoU ini” Inilah kronlogis dari gencatan senjata dalam sejarah Aceh.
Fakta yang dipaparkan di sini sepenuhnya diperoleh dari hasil kajian intensif.
Akhirnya, Aceh adalah orang yang menganggap revolusi kemerdekaan yang telah mengorbankan ribuan jiwa manusia dan kerugian harta benda yang tak terkira adalah perkara biasa, bahkan menganggap sebagai kelakar politik, sebagaimana diriwayatkan dalam kisah cerita ini:
"Pakon saket dikah hai pruet?" (”Mengapa sakit dikau perut”)
"Bu meuntah dilon hai Po" (“Nasi mentah saya santap”)
"Pakon meuntah di kah hai bu?" (Kenapa mentah dikau nasi”)
"kajee basah dilon hai Po" (“Memasak dengan kayu basah”)
"Pakon basah di kah hai kajee?" (Mengapa basah dikau kayu”)
"Udjeun rhaih dilon hai Po" (Basah diguyur hujan”)
"Pakon ka rhaih di kah hai ujeun?" (Mengapa dikau guyur wahai hujan”)
"Tjangguek jue dilon hai Po" (Disuruh Kodok”)
"Pakon kajue di kah hai tjangguek?" (Mengapa kau suruh wahai kodok”)
"Manok pathuek dilon hai Po" (“Ayam patok saya”)
"Pakon ka pathuek di kah hai manok?" (“Mengapa dikau patok wahai ayam”)
"Tiwah tak dilon hai Po" (“Saya dibacok tiwah”)
"Pakon ka tak di kah hai tiwah?" (“Mengapa kau bacok dikau Tiwah”)
"Galak-galak ku tak sigoe". (”Sambil bercanda saya bacok sekali”)
Wallahu’aklam bissawab.

Wednesday, September 16, 2009

Kisah Disebalik Runtuhnya Kesultanan Melaka

Oleh:Yusra Habib Abdul Gani

Kisah kesultanan Melaka (1400-l511) adalah diantara salah satu khazanah penting dalam sejarah peradaban Islam di Asia Tenggara. Banyak perkara penting telah disumbang kepada pembangunan peradaban bangsa-bangsa Melayu di kawasan Dunia Melayu. Prinsip saling menguntungkan dalam bidang ekonomi, telah menempatkan Melaka menjadi poros perdagangan yang paling penting di kawasan Dunia Melayu pada masa itu. Bangsa Arab, Cina, India dan Eropa telah menjalin hubungan dagang dengan Sultan Melaka, seterusnya berhasil merangsang, menghidupkan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung dan di pantai Timur, Utara Sumatra.

Sebagai Pelabuhan bebas, Melaka telah menjadi simbol kemegahan bangsa Melayu, atas kemajuan dalam berbagai bidang yang dicapainya. Dalam bidang kesusasteraan, Kesultanan Melaka telah bekerja sama memajukan pendidikan dengan Dinasty Ming dan berhasil mendirikan satu fakultas pada institusi pendidikan Tinggi di Cina yang mengkaji tentang kesusasteraan dan bahasa Melayu. Salah satu hasil yang membanggakan ialah disusunnya kamus bahasa Melayu-Cina dan Melayu-Perancis oleh lembaga kajian sastera melayu di Cina.

Selain itu diakui bahwa, solidaritas antara sesama bangsa-bangsa di Semenanjung dan Sumatera pada waktu itu sangat kental, termasuk hubungan dagang, budaya dan politik. Bumi Semenanjung yang dipisahkan oleh Selat melaka dengan Sumatera, dalam kenyataannya tidak dipandang sebagai tapal batas yang memisahkan interaksi antara sesama rumpun Melayu. Selat Melaka hanyalah sebuah parit, tempat anak-anak negeri bersabung dan mempertaruhkan kesinambungan hidupnya.

Dalam lapangan diplomat kesultanan Melaka telah mencatat kemajuan, sebab menerapkan prinsip saling percaya dengan bangsa lain. Sultan Melaka telah berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Arab, India, dan bangsa-bangsa Eropa. Diketahui bahwa selama pemerintahan Kesultanan Melaka (1400-l511), telah terjadi empat kali kunjungan resmi kenegaraan antara Sultan Melaka dan Kaisar Cina. Kunjungan Cina kerap disertai oleh kalangan korporat yang ingin melihat peluang perniagaan di Melaka. Bagaimanapun, korporat Cina mula memikirkan pentingnya mendapat tanah di kawasan kota dan tepi pantai untuk keperluan tempat tinggal dan pemiagaan.
Untuk mendapat tanah, pendatang Cina memakai politik “revolusi akrab” dengan Sultan dan kalangan masyarakat Melayu supaya tanah mereka bisa dibeli atau disewa. Walaupun dalam pandangan dan adat orang Melayu dipercayai bahwa: menjual tanah milik seseorang/keluarga dengan tidak ada alasan yang munasabah dipandang malu dan hina.

Namun begitu secara khusus atau dalam konteks tertentu tentu ada pertimbangan-pertimbangan lain melatar belakangi perkara itu berlaku. Akhirnya dalam jangka masa 600 tahun (1400-1999), tanah-tanah orang Melayu di kawasan kota dan pantai yang strategik, secara ekonomis telah dikuasai sepenuhnya oleh etnis Cina di Malaysia.
Terlepas dari pertimbangan tadi, kedaulatan tanah dalam pandangan orang Melayu, tetap berhubung kait dengan politik, ekonomi bahkan dengan maruah bangsa. Oleh karena itu, untuk mempertahankannya, mereka telah berani bertarung dan bersabung mempertaruhkan nyawa, darah dan harta untuk melawan kuasa kolonialisme, imperialisme dan komunisme. Orang Melayu tetap mempunyai pendirian bahwa untuk menyara hidup, . . . menyambung zuriat, . . . bersahabat dengan berbilang etnik dan agama berlaku di atas tanah Melayu yang siap sedia menunggu dan menyahut setiap panggilan pembangunan, agar tercipta kesinambungan hidup yang dinamik, bergerak menuju satu cita-cita- rahmatan lil àlamin.

Suatu masyarakat yang tidak dapat membuktikan mampu berubah, tentu masyarakat menjadi fosil. Tetapi bumi melayu yang selama berabad-abad lamanya dijamah dan digagahi oleh serangkaian penjajah dan majikan (Portugis, Belanda, British, Jepang dan British), nyatanya mengalami nasib yang keadaannya lebih kurang seperti dikatakan Zurr el-Ghaffari bahwa: “ada tiga perkara yang menjadi milik masyarakat sebagai keseluruhan yang tidak diakui oleh siapapun -Api, Rumput dan Air.” Namun begitu, ada sesuatu yang tidak dapat digadai, sebab tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan orang Melayu kecuali: agama dan bahasanya.

Ini ada benarnya, sebab dalam penelitian Francis Xavier, yang dikirim khusus sebelum Portugis menyerang Melaka tahun 1511. Xavier, telah mengkaji sejarah, falsafah dan sastera Melayu. Kesimpulan yang paling menarik dari Xavier ialah, bahwa terdapat hubungan yang erat sekali antara budaya dan bahasa/sastera dengan kekuatan semangat dan moral yang dipantulkan dari pemahaman agamanya -Islam. Kesimpulan Xavier juga diakui oleh sebilangan Orientalis lain yang meneliti kemudian, seperti: R.O. Winstedt, Wilkinson, Werndly TM, OT Dossek, William Farquhar, Frank Sweten dan H.O Overbeck.

Sebelum Portugis menakluki Melaka tahun 1511, kajian dan analisa Xavier mengenai falsafah hidup orang Melayu sangat banyak membantu dalam strategi untuk menaklukan Melaka. Sebab secara psikologis apa yang disimpulkan Xavier dapat dipandang sebagai pantulan pikiran, karakteristik dan visi yang sekaligus menggambarkan mentalitas orang Melayu seperti didapati dalam lirik pribahasa ini: "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang" "Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah"

Inilah falsafah hidup dan di atas pemahaman itu pula orang Melayu menolak secara mentah-mentah dan memerangi semua kaedah kolonialisme yang bertentangan dengan budaya Melayu dan Islam. Tetapi Xavier tidak berhenti di sini, sebaliknya, lirik yang nampak begitu garang itu, ternyata bukan harga mati bagi orang Melayu, sebab masih terdapat sisi lemahnya. Dalam batas-batas tertentu, orang Melayu sebenamya masih mau bersikap lebih toleran bahkan bersedia diperbudak, asalkan cukup alasan untuk itu. Sikap toleran ini didapati dalam lirik Pepatah di bawah: “Ikut rasa binasa, ikut suka duka, ikut hati mati, dan biar titik jangan tumpah, biar rebah jangan roboh” Seterusnya bunyi pantun di bawah juga sangat penting artinya dalam kajian Xavier: “Puas Saya Menanam Keladi: Nenas Juga Ditanam Orang, Puas Saya Bertanam Budi: Emas Juga Dipandang Orang” Lagi: “Sudah dapat gading bertuah Tanduk tidak berguna lagi”

Dari kajian Xavier inilah, Portugis membuat kesimpulan untuk menyusun taktik dan strategi. Maka pada tahun 1509, Protugis mengadakan uji-coba atas kebenarannya. Dalam kunjungan resmi Portugis ke Melaka, kepada Bendahara Kesultanan Melaka yang dikenal jujur itu diberikan kenang-kenangan berupa kalung emas dan tidak diberikan kepada Sultan Melaka, Mahmud Syah. Peristiwa ini sengaja dihembus dan dihebohkan oleh Nina Chattu (keturunan Kling, India) dan Uthimutha (keturunan Jawa). Keduanya bekerja di Istana Sultan Melaka. Portugis sudah lama memperalat dua orang ini yang ditugasi mencari dan menyerahkan rahasia pertahanan Sultan Melaka. Jadi kejatuhan Melaka tidak terlepas dari pengkhianatan kedua orang ini, seperti telah diungkapkan: “Kejatuhan Melaka sebenamya berpunca daripada pengkhianatan oleh dua orang pegawai Sultan: Nina Chattu seorang keturunan Kling-India, yang bekerja-sama merancang dan menolong orang Portugis menyerang serta merampas Melaka. Difahamkan bahwa ia telah terpengaruh dengan janji-janji manis yang diberikan oleh Alfonso D‘Albuquerque, dan akhimya dia sendiri dibunuh oleh serdadu Portugis.” Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944, hlm 287.

Selain Chattu, “didapati juga seorang pengkhianat lagi bemama Uthimutha, keturunan Jawa yang bekerja sebagai budak, turut merancang dan melicinkan rampasan kuasa oleh Portugis untuk menakluki Melaka.” (UTUSAN MALAYSIA, 5 November, 1997, hlm 34.)
Walaupun pantulan lirik pertama di atas telah dieksprimentasikan oleh Lubuk Batu, pengganti Sri Maharaja Melaka dalam ucapannya: “Biarkan daku! Biar aku hancur bersama Melaka ini”. Sebab dalam budaya Melayu. “kalau negeri alah, rajanya hendaklah mati‘, akan tetapi dalam kenyataannya tembok Melaka tetap juga roboh.
Dengan robohnya tembok Melaka tahun 1511, maka Sultan-sultan yang sebelumnya tunduk kepada kuasa Kesultanan Melaka otomatik di bawah kuasa Portugis.

Di sini semua dalil mengenai falsafah hidup, politik, pertahanan dan kesetiaan kepada sultan temyata mengalamai perubahan secara ektreem: ‘kalau negeri alah hendaklah raja mati” tidak bergetar lagi dalam jiwa orang Melayu. Sultan Mahmud Syah bersama keluarganya terpaksa melarikan diri ke Johor. Dari Johor, Sultan Mahmud berusaha menyusun strategi perlawanan, malahan beliau sempat mengirim surat kepada Dinasty Ming dengan maksud supaya dapat membantu Sultan Melaka menghadapi serangan Portugis. Akan tetapi permintaan Sultan tidak dapat dikabulkan, karena Dinasty Ming sendiri sedang menghadapi serangan bangsa Tar-tar. Persoalannya sekarang: mengapa Sultan Johor, Selangor, Perlis, Pahang, Perak, Kelantan, Pathani, Trengganu dan Naning (Negeri Sembilan) tidak membantu membebaskan Melaka dari serbuan Portugis? Mengapa Sultan Mahmud meminta bantuan kepada Kaisar Dinasty Ming? Lebih ‘aib lagi, Sultan-sultan Melayu di Semenanjung tidak mampu memberi perlindungan kepada Sultan Mahmud bersama keluarga. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Sultan Johor dan Pahang kemudian berkomplot dengan Portugis untuk mempertahankan status quo Melaka di bawah kuasa Portugis.

Akhimya, Sultan bersama keluarga terpaksa meminta perlindungan politik kepada Sultan Siak -Sumatera. Kesetiaan orang Melayu Sumatera tidak sekadar memberi perlindungan kepada Sultan dan kerabatnya, akan tetapi juga menyediakan sebuah pulau -Bintan- sebagai basis untuk melatih tentara pembebasan Melaka. Walhasil, setelah Sultan Mahmud meninggal, tidak dapat diteruskan oleh anaknya - Sultan Muda Ibrahim - yang memilih untuk tidak kembali lagi ke Melaka. Bersamaan dengan runtuhnya tembok Melaka, hancur pula kedaulatan politik sultan-sultan Melayu yang walaupun keberadaan Sultan-sultan tidak dihapuskan, akan tetapi secara politik dan moral kedudukan Sultan-suhan Melayu ini sama artinya dengan Gubemur-gubemur yang dilantik di wilayah-wilayah jajahan Portugal.

Di tengah suasana Melaka kucar-kacir, lumpuhnya semangat juang dan kehilangan pemimpin Melayu yang sejati itulah, para sasterawan Melayu secara diam-diam mengangkat cerita yang menampilkan tokoh Hang Tuah dan Hang Jebat. Kisah ini mempunyai genre sastera yang khusus menyibak kembali peristiwa yang berlaku dalam Istana Sultan Melaka. Bendahara kesultanan Melaka yang mati dibunuh tahun 1509, karena dihasut oleh Mendaliar dan Koja Hasan serta Nina Chattu dan Uthimutha yang berkhianat kepada Sultan Melaka. Melalui cerita ini diharapkan dapat memberi rangsangan terhadap semangat nasionalisme Melayu, kewibawaan, kebenaran dan keadilan, tetapi segalanya serba tidak menjadi. Kini mithos Hang Tuah dan Hang Jebat, dalam kenyataannya, terasa semakin menjauh dari kurun masa dan pantulan jiwa dan serta semangatnya kepada generasi sekarang. Portugis yang menjajah Melaka (151l-l641) tidak dapat diusir walaupun terus menerus dirangsang melalui cerita Hang Tuah dan Hang Jebat.

Sejarah berbicara lain. Belandalah yang kemudian memukul mundur Portugis dari Melaka. Konsekuensi logisnya bahwa Melaka bertukar tuan, dari Portugis kepada Belanda. Seperti Portugis; Belanda juga melucuti kedaulatan Sultan-sultan Melayu, dipaksa menanda tangani perjanjian supaya semua tanah-tanah dan hasil bumi Melayu diserah kepada penjajah. Perusahaan-perusahaan milik Portugis, kini semua beralih kepada Belanda dimana orang Melayu dipakai menjadi buruh, bukan sebagai Tuan. Dalam konteks ini, ada benamya ucapan Zakiyah Hanum bahwa: “Di kalangan pekerja Melayu, lazimnya mereka menghormati majikan yang menggajinya. Kasih kepada tempat berarti menjaga dan memelihara semua yang berkaitan dengan majikan mereka. Jika ada sesuatu yang menyinggung perasaan majikannya, sama seperti menyingggung perasaan hati dan perasaan mereka. Kerap ada yang goncang hati dan perasaan kebangsaannya, disebabkan kasih sayang yang ditujukan kepada hala yang lain.” (UTUSAN MELAYU, medio 1995). Gambaran mentalitas Melayu ini berlaku sampai sekarang.

Ketika Belanda melihat Melaka tidak menguntungkan lagi, maka sekali lagi Melaka bertukar tuan, dari Belanda kepada Inggeris melalui Traktat London, yang ditanda tangani pada tahun 1824. Dalam perjanjian ini antara lain disebut bahwa Bengkulu, wilayah kuasa Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda, sementara Melaka - wilayah kuasa Belanda di semenanjung - diserah kepada Inggeris. Satu persatu kuasa Sultan dilucuti melalui perjanjian antara Inggeris dengan masing-masing Sultan. Semua kompeni Belanda secara otomatik beralih kepada Inggeris. Ada beberapa perkara yang sebelumnya tidak terjadi, justeru berlaku sewaktu Inggeris berkuasa. Misalnya, tenaga kerja dalam sektor perkebunan, didatangkan buruh dari India, sementara dalam sektor perlumbungan timah didatangkan buruh dari Cina. Demikian juga anggota keselamatan negara tidak dipercayakan kepada orang Melayu. Kalaupun ada sebilangan orang Melayu menjadi tentara, hanyalah berpangkat rendah sekali. Hal seperti ini berlaku selama penjajahan Inggeris (1824-1942).

Ketika Jepang masuk ke Singapura tahun 1942, dengan mudah sekali menguasai tanah Semenanjung sampai tahun 1945. Orang Melayu bertukar tuan lagi dan untuk kesekian kalinya menjadi hamba abdi penjajah yang diperlakukan dengan tanpa ampun. Sampai Inggeris kembali lagi sesudah pendudukan Jepang berakhir 1945. Di penghujung sejarahnya, proses kemerdekaan Tanah semenanjung yang kemudian dikenali sebagai Malaysia, tercapai juga dengan melalui perundingan. Inggeris meletakkan syarat bagi kemerdekaan Tanah Semenanjung Melayu. Semua etnik Cina dan India mesti menjadi warganegara yang mempunyai persamaan hak dan kewajiban.

Apa yang paling penting di sini ialah: pengalaman yang ‘aib dan buruk selama lebih daripada 450 tahun itu, agaknya cukup sudah menjadi guru kepada bangsa ini. Saatnya bangkit untuk menata hidup di tengah-tengah kegundahan rakyat yang terus mencekam di atas perbedaan agama, budaya, perkauman dan berharap mimpi buruk tidak akan menjelma kembali.

[dimuat dalam mesra.net Forum, Malaysia. 4 Mei 2006]

Selintas Kisah Alquran (Suatu Renungan)

Oleh: Yusra Habib Abdul Gani

ALQURAN adalah kompas hidup –petunjuk dan pembeda– bagi manusia. Hal ini tertera dalam (Q.S; Al-Baqarah:185) yang artinya: ”Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu...” Yang berarti, Alquran adalah referensi umum yang tidak hanya terbatas kepada umat Islam. Secara umum, Alquran memuat tema sentral manusia: hubungan manusia dengan Khaliq (Allah), hubungan antara sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam dan dari ketiga hubungan ini, lahirlah multi disiplin ilmu pengetahuan.

Alqur’anulkarim –petunjuk yang di dalamnya tidak ada keragu-raguan– (Q: Al-Baqarah:1), dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami proses ”editing” terhadap teks aslinya. Hal ini terbukti dari terdapatnya beberapa “mush’haf” [istilah lain dari Alquran, yaitu: kumpulan firman Allah yang ditulis dan dibukukan]. Namun begitu, umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad pada 17. Ramadhan, berdasarkan firman Allah: ”Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an...” (Q: Al-Baqarah, ayat 185).

Kita, adalah generasi Islam bertuah, yang siap terima jadi dari bacaan (qira’at) Alqur’an yang alhamdulillah sudah baku sekarang. Tetapi, pernahkah kita berpikir dan tahukah kalau sebelumnya terdapat puluhan mush’haf dan pelbagai versi qira’at yang beredar sepanjang perjalanan sejarah perkembangan Alquran? Maka untuk memperingati nuzulul Alquran, kita renungkan sejenak kisah perjuangan standarisasi, unifikasi dan kodifikasi Alqur’an yang tidak terlepas dari pebagai tantangan zaman.

Ketahuilah, bentuk Alqur’an yang kita saksikan dan baca sekarang baru berusia 85 tahun, setelah mengalami standarisasi bacaan Alquran (qira’at) lewat penerbitan Alqur’an dalam cetakan modern oleh pemerintah Mesir tahun 1924. Sebelum itu, Alqur’an dikenal dalam bentuk tulisan tangan yang bervariasi penandaan bacaan (diacritical marks). Idé pemerintah Mesir yang berhasil menyatukan beberapa mush’haf merupakan usaha yang luar biasa dan layak dipuji. Itu pula sebabnya, pemerintah Arab Saudi, telah bersedia menyumbang dana untuk mencetak ratusan ribu eksemplar versi Alqur’an (cetakan Mesir) yang dibagikan secara percuma kepada umat Islam seluruh dunia.

Sebenarnya, pada zaman khalifah ke-3, Usman Bin Affan r.a. (35.H) berkuasa; buat pertama sekali telah memerintahkan usaha standarisasi, kodifikasi dan unifkasi Alqur’an dengan maksud untuk menghindari terjadinya konflik intern, karena dikenal beberapa mush’haf yang masing-masing dinisbatkan kepada para sahabat Nabi, dimana penandaan bacaannya berbeda-beda dan beredar meluas dalam masyarakat Islam pada ketika itu. Usman Bin Affan dengan terang-terangan memerintah untuk membakar semua mush’haf yang beredar dalam masyarakat dan hanya “mush’haf Usmani” adalah satu-satunya yang diperkenankan dipakai pada ketika itu.

Usaha Usman Bin Affan r.a, ternyata tidak seluruhnya berhasil, sebab beberapa sahabat Nabi juga memiliki mush’haf masing-masing yang berbeda qira’at, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat. Mush’haf-mush’haf ini selain dalam bentuk tulisan, kebanyakan disimpan dalam bentuk hafalan. Jadi sangat sukar memberantasnya.

Mush’haf A’isyah (isteri Nabi Muhammad saw) misalnya, terdapat tambahan kalimat “washalatil ‘asri” dalam surat Albaqarah dalam ayat 238. Dalam hal ini, mush’haf Hafshah (isteri Muhammad saw) dan mush’haf Ummu Salamah sependapat dengan mush’haf A’isyah. Hafshah bahkan memerintahkan penulis mush’hafnya supaya apabila sampai pada surat Albaqarah dalam ayat 238, tulislah “washalatil ‘asri” sesudah kata “wusta”. Dalam mush’haf Ubay bin Ka’b terdapat kalimat: “lilladhina yuqsimun” dalam surat Al-Baqarah ayat 226. Dalam mush’haf Ibnu Zubair terdapat tambahan kalimat “fi mawasimal hajj” sesudah kalimat “min rabbikum” dalam surat Al-Baqarah ayat 198. Demikian pula terdapat kalimat: “mutatabi’ati fi” sesudah kata “tsalasati ayyam” yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 89.

Dalam mush’haf Ibn Mas’ud terdapat kalimat “warka’i wasjudi fissajidina” dalam surat Ali ‘Imran, ayat 43 dan kata: “watsumiha” sesudah kata “waqittaiha” dalam surat A-Baqarah, ayat 61. Selain itu, mush’haf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah al-Fatihah, surat Al-Falaq dan An-Nass, sebagaimana diakui oleh Ibn Nadiem, pengarang kitab al-Fihrist. Susunan surahnya pun berbeda. Sebagai contoh: surah ke-enam bukanlah surah Al-An’am, tapi surah Yunus. Ternyata, Ali bin Abi Thalib juga sepakat untuk tidak memasukkan surah al-Fatihah sebagian dari Alquran. Surat yang maha penting adalah pengantar, berdasarkan Hadits yang berbunyi: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah maka pekerjaannya menjadi sia-sia belaka.” Abu Bakr al-Asamm (313.H), mengatakan bahwa: al-Fatihah hanyalah ungkapan penghormatan saat memulai membaca Alqur’an. Kalimat yang tertera dalam mush’haf- mush’haf tadi, tidak kita dijumpai dalam Mush’haf Usmani [teks Alqur’an yang ada sekarang]. Selain itu masih ada mush’haf lain, seperti: mush’haf Abdullah bin Amr bin ‘ash dan mush’haf Ibnu Abbas yang di sana-sini terdapat sedikit perbedaan.

Perbedaan antara mush’haf Usman bin Affan,r.a dengan mush’haf-mush’haf lainnya bisa dilihat dari pernyataan Aisyah (isteri Nabi Muhammad) bahwa: “Pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat”. Hal ini diulas dalam “Al-Itqan”, kitab yang ditulis Jalaluddin al-Suyuthi dan pendapat Aisyah r.a ini, diperkuat oleh Ubay bin Ka’b beserta sahabat Nabi lain, yang terdapat dua surah, yaitu: al-Khal’ dan al-Hafd dalam mush’haf mereka. Setelah Usman Bin Affan melakukan standarisasi, unifikasi dan kodifikasi, jumlah surah al-Ahzab menjadi 73 ayat saja [versi yang ada sekarang]. Sejumlah 177 ayat yang menurut Aisyah R.a raib dari surah al-Ahzab, diperkirakan tersebar ke dalam surah-surat lain. Dalam soal pemberian nama surah, hingga sekarang pun masih wujud, misalnya saja surat Al-insan versi terbaru sekarang, yang pernah juga dikenal sebagai surat Ad-dahr.

Pada gilirannya, pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65.H), telah mengambil kebijaksanaan untuk menghapuskan mush’haf Hafsah. Namun begitu, tidak berhenti di sini, sebab seperti sudah dikatakan sebelumnya, mush’haf-mush’haf tadi dihidupkan dalam bentuk hafalan dan bahkan ratusan tahun kemudian, qira’at mush’haf para shabat tersebut masih wujud. Misalnya: versi Warsh dari Nafi yang beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang beredar di Basrah.

Munculnya pelbagai versi qira’at sebenarnya berkaitan dengan Hadits yang berbunyi: “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.” Oleh Ibn Mujahid menafsirkan dan memilih 7 diantara, yaitu: qira’at Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).

Qira’at Alquran yang kita baca sekarang adalah salah satu varian dari pilihan Mujahid. Ini, belum lagi masuk tafsiran kata “sab’a” (“tujuh”) dalam bahasa Arab, yang selain berarti (7), juga berarti banyak. Ini akan runyam kalau Allah mewahyukan Alqur’an dalam beberapa dialek, bahasa, bunyi dan bacaan. Yang pasti Alqur’an diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dalam redaksi original (‘arabiyya), sebagaimana firman Allah: ”Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Alqur’an dalam bahasa Arab...” (Q: Surah Asy-syuura, ayat 7). Selain itu, Allah berfirman: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q: surat Ibrahim, ayat 4). Inilah yang kita percayai dan imani! Walaupun kemudian mengalami proses “editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan dan pengaruh penguasa.

Pada saatnya nanti, dunia Islam akan hanya memiliki satu versi bentuk dan qira’at saja seperti yang ada sekarang, mengeser edisi lain yang secara diam-diam masih beredar di Maroko dan di beberapa negara lain. Akhirnya, pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik di sini adalah: semangat dan idé dari para penulis mush’haf pada generasi awal Islam sepatutnya ditiru oleh generasi sekarang. Mau kita apakan alqur’an yang kita baca sekarang? Menghormati dan menjaga kesucian Alqur’an, berarti kita mesti kaya dengan idé dan berani melahirkan kreativitas, semangat pembebasan untuk mengkaji teks Alqur’an, membumikan Al-qur’an dalam bahasa hukum yang mudah dipahami dan tidak menakutkan manusia.

Alqur’an adalah referensi utama manusia, yang memuat paradigma ilmu. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (Q: Al-Qamar, ayat 17). Untuk memudahkannya, terdapat 99 kata kunci (Asma’ul husna) yang bisa diadopsi oleh manusia. Wallahu’alam bissawab!

Penulis adalah Director Institute for Ethnics Civilization Reserach,Denmark.
[Serambi edisi 7 September 2009.]