Monday, October 20, 2008

Famili Di Tiro dalam Ujian Sejarah


Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

FAMILI di Tiro, bukan saja penyandang predikat Ulama, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Hal ini dimulai dari karir politik Tengku Tjhik di Tiro Mhd. Saman, yang dilantik oleh Majlis Negara: Tuanku Hasjém; Teuku Panglima Polém; Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë sebagai Kepala Negara pada tahun 1875, menggantikan Mhd. Dawud Shah yang waktu itu berusia 9 tahun dan dinilai tidak layak memimpin negara dalam keadaan perang.

Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Mhd. Saman, TNA berhasil mengurung serdadu Belanda selama 12 tahun [tahun 1884-1896] dalam suatu kèm yang Belanda namakan ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). J. Kreemer, dalam: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ Strategi militer yang taktis dan kendali politik sudah berada di tangan Acheh.

Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada musuh untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuhnya. Dalam rentang masa 12 tahun itulah, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan pemerintah Belanda. Kepada serdadu Belanda yang terkurung disarankan supaya:
1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.

Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, hlm. 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)
Ke-empat syarat yang ditawarkan, merupakan bukti nyata keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh. Kompromi politik dan militer sebetulnya hanya terjadi, jika kuasa politik dan militer, mutlak sudah di tangan Aceh. Belanda perlu masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Selama itu, pakar psikology perang Belanda menyusup dan meneliti karakteristik orang Acheh dan menyimpulkan: Acheh adalah bangsa yang memiliki sifat jujur, ikhlas, baik hati, pema’af, gila gelar, pangkat dan harta.
Keberagaman sifat ini, dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan politik dan militer.

Misalnya, para Ulèëbalang di sekitar kèm disogok, diberi gelar dan pangkat dengan maksud agar tidak menyerang mereka. Disamping itu, Belanda mengulur waktu dan terus berunding. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terperangkap dalam perang urat saraf yang licik. Hasilnya, Belanda secara rahasia memperalat seorang perempuan asal Sibrèh, supaya mau membunuh Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan cara membubuh racun dalam makanan. Belanda berjanji memberi emas batangan kepada pelaku. Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman akhirnya meninggal karena diracun pada 25. Januari tahun 1891. Kepada perempuan (pengkhianat) ini, Belanda hadiahkan peluru di kepalanya sampai mati. Logikanya sederhana: kepada bangsanya sendiri mau berkhianat, konon lagi kepada mereka [Belanda].

Dalam suasana berkabung, serdadu Belanda berhasil memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA. Maka, pada 26. Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat. H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Mhd. Amin [pen: penerus Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman (tahun 1891–1896)]. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, di sanalah beliau dikuburkan.”

Posisi Tengku Thjik Mhd. Amin di Tiro sebagai kepala negara, selanjutnya dipegang oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896–1899). Malangnya, hanya menjabat kepala negara selama tiga tahun. Beliau mati syahid dalam medan perang tahun 1899. Pimpinan tertinggi negara diteruskan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899–1904). Dalam suatu peperangan yang sengit, beliau mati syahid. Estafet kepemimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21. Mei 1910 (1904–1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.

Ketika itulah, Belanda coba membuka rundingan. Untuk itu, Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd, disuruh Belanda menulis dan mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah kepada Belanda. Ahli sejarah Belanda menulis: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekad untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Tengku Mahjédidin di Tiro tidak bergeming dari pendidiriannya dan mati syahid dalam medan perang Alue Simi, pada 5. September 1910.

Pada waktu itu, Tengku Ma’at di Tiro (16 tahun) meneruskan amanah kepemimpinan demi perjuangan dan memelihara prestige famili di Tiro. Beliau pernah ditawari Istana, wanita dan fasilitas hidup seumur hidup di Arab Saudi. Tetapi semua tawaran Belanda ditolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih mati syahid daripada menyerah dan menginjak Istana musuh. Dalam medan perang Alue Bhôt, pada 3. Desember 1911, beliau gugur sebagai syuhada. Inilah komentar Pengarang Belanda: ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa.”

Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan, sehingga bisa menjadi pelajaran kepada bangsa Acheh dan musuh. Colonel H.J. Schmidt mencatat: “Dari sejak permulaan perang, famili Tengku di Tiro telah memainkan peranan penting yang luar biasa bagi rakyat Aceh. Di sini, tidak ada pilihan lain kecuali: memenangkan peperangan atau mati sebagai pahlawan. Kemenangan sudah terang tidak mungkin dan tidak bisa diupayakan. Tidak, walaupun mereka berdiri tegah dan berperang seperti hero. Kendati rintangan melintang, seorang Tengku di Tiro tidak akan mengakui kemungkinan lain, kecuali memilih mati.

Maka, demi perang ini, segalanya sederhana, singkat dan kendala: dimana Tengku di Tiro yang terakhir mati syahid dalam medan peperangan... dan pemandangan ini tidak bisa dipungkiri dalam drama kelangsungan bangsa Aceh, bahwa bermula dari sekarang, tidak dapat berkiprah lebih lama lewat jalan lain.”
(Marechaussee in Atjèh, 1942) Inilah pengakuan musuh terhadap famili di Tiro. Lebih jauh dikatakan: “Darah Tengku di Tiro sudah terlalu banyak tumpah. Kasihan kepada anak muda ini. Sebab itu diupayakan untuk menyelamatkan nyawanya; tapi tidak mudah, sebab tidak mau kompromi. Kita sudah memberi jaminan hidup dan status social, tapi semua ditolak mentah-mentah…. Ini sudah cukup, lebih dari cukup.” (H.C Zentgraaff, Atjèh) Sejak itu, famili Tengku di Tiro pudar dari pentas politik. Rentetan peristiwa dalam sejarah perjuangan famili di Tiro sampai 1911, terjawab sudah!

Genap 85 tahun kemudian, barulah Tengku Hasan M. di Tiro bangkit memproklamirkan Aceh Merdeka [04/12/1976] sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 3. Desember 1911. Kini giliran Tengku Hasan M. Di Tiro tengah dalam ujian sejarah. Antara tahun 1873–1875, issue tentang Aceh gempar dalam Sidang Parlemen British, Belanda, Turki, Perancis, tidak terkecuali Gedung Putih (USA) atas serangan Belanda ke atas Aceh –negara merdeka– dan negara sahabat mereka, yang tahu membedakan antara Netherlands East Indie [NKRI] dan Aceh. Pada tahun 2005, issue Aceh gempar di Helsinki, karena GAM [baca: Aceh] menuntut jatah serpihan demokrasi, sesudah terlebih dahulu mengaku bahwa Aceh satu bagian dari NKRI dan taat kepada konstitusi positif Indonesia. Negara-negara yang sebelumya sahabat Aceh, sekarang mendukung Otonomi Aceh di bawah NKRI.

Sebagai pemimpin tertinggi GAM, inilah saat yang tepat –selama berada di Aceh– Tengku Hasan M. di Tiro menjelaskan kepada rakyat Aceh dengan terus terang tentang: keabsahan Aceh menerima Otonomi khusus [self-government] dalam NKRI atau masih menuntut kemerdekaan Aceh yang beliau proklamirkan 4/12/1976. Hal ini penting demi masa depan dan kemaslahatan rakyat Aceh.

Apalagi, Tengku Hasan M. Tiro dalam surat yang ditujukan kepada Tengku Muhammad Mahmud (Abang kandung Dr Zubir Mahmud –Menteri Sosial Aceh– (yang dilantik oleh Tengku Hasan di Tiro tahun 1976) mengatakan: ”... Saya bertanggungjawab di hadapan Allah atas matinya ribuan bangsa Aceh dalam revolusi ini…”.

Saksi dalam perkara ini ialah: saya sendiri, Bakhtiar Abdullah, Musanna Abdul Wahab dan Iqlil Ilyas Leubé. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi para korban konflik dan ahli waris menagih tanggungjawab itu. Dari surat politik pakai kop ASNLF yang dikirim kepada Yusuf Kalla (Wapres RI), adalah suatu indikasi bahwa beliau masih tetap komitmen dengan pendirian semula. Dalam soal ini: jangankan surat kepada pemimpin negara asing; surat-menyurat yang dikirim Wali Negara kepada saya sendiri pun, selalu beliau pakai kop resmi ASNLF. Beliau tahu benar menempatkan diri. Hanya saja staf terdekat beliau kerap bermain di belakang layar. Misalnya: Malik Mahmud mengirim surat susulan kepada Yusuf Kalla tanpa kop ASNLF dengan redaksi yang sama. Ini ’diplomatic correspondence’ yang a’ib dalam dunia diplomasi.

Contoh lain. Pembohongan telah berlaku atas diri beliau antara rentang masa Januari-Juli tahun 2005, dimana juru runding GAM memberi komentar: “semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008. [bukti dokumen ada di tangan saya] Dalam dunia politik, tidak mustahil terjadi pengkhianatan.

"Semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan
kepada Wali Negara.”
Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh
Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008."


Kisah lain lagi, yang masih segar dalam ingatan saya, yakni: ketika Tengku Hasan M. Di Tiro mengirim surat bernada mengadu kepada saya yang isinya sangat memeranjatkan: ”... Sdr. Yusra..., siapa yang akan menggantikan jika saya meninggal dunia nanti. Orang-orang terdekat dan saya percayai sudah nampak tanda-tanda akan mengkhianati saya...”

Bakhtiar Abdullah dan Iqlil Ilyas Leubé menangis terisak-isak saat saya perlihatkan surat rahasia ini dan kemudian memeranjatkan Zakarya Saman dan Malik Mahmud. Ini terjadi pada pada Desember 1993. Tentang hal ni, dalam Artikel: ”Kunci-kunci Idelogo Aceh Merdeka” sudah beliau bayangkan. Famili Tengku di Tiro memang rencam dengan kepelbagaian pengalaman yang pahit dan manis.

Namun, Tengku Hasan M. di Tiro tetap mengingatkan: ”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

Dalam perjalanan menuju Aceh, wartawan RCTI bertanya: ”apakah Tengku mendukung perdamaian? Beliau jawab: ”Tentu..., tentu” Bahkan kata beliau: ”Saya ingin Aceh selamanya damai” [Serambi Indonesia, 12/10/08]. Betapa tidak, damai adalah sunnah. Yang menolak damai berarti mengingkari Sunnah. Tetapi dalam doktrin GAM, damai bukan substansi perjuangan, oleh sebab itu soal satus Aceh, batas wilayah, bendera, logo, struktur pemerintahan dan TNA tidak semudah itu dilebur. MoU Helsinki bukanlah “Surat Keramat” yang bisa dipakai oleh juru runding atau Wali Negara sekali pun untuk menggadai Aceh kepada pihak mana pun dengan dalih apa pun. Ianya milik rakyat yang perubahannya mesti atas persetujuan rakyat melalui referendum.

[Teks tambahan: Buat apa damai kalau Aceh tergadai? ”... jadikan perang untuk damai, tetapi damai yang menang...,” kata Nietzsche dalam bukunya yang masyhur, Zarathustra. Tengku Hasan di Tiro suka mengutip ucapan Nietzsche dalam caramah politiknya.]

Kalaulah Tengku Hasan M. di Tiro berkata: “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak mungkin kita bisa membina hubungan dengan negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini.” [Serambi Indonesia, 6/10/08]. Artinya, Sultan Aceh [pemimpin tertinggi negera] dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang pun yang berkhianat kepada bangsanya. Inilah pelajaran yang didapat dari sejarah.

Akhirnya, “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873.

Dalam konteks ini, maka Tengku Hasan M. Di Tiro sedang diuji untuk menentukan, apakah beliau mengikuti pendirian famili Tengku di Tiro sebelumnya atau sebaliknya. Sejarah akan mengukir dan mengadili. Sejarah adalah Mahkamah yang paling adil dalam peradaban manusia. Di bawah sinar Matahari, tidak ada peristiwa yang mustahil terjadi. Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
[Tabloid KONTRAS Banda Aceh, 16/10/08]

Monday, October 13, 2008

Datu Beru, Datu Siapa?

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

QURRATA’AINI, asal dataran tinggi Gayo, adalah seorang tokoh wanita Aceh yang sejak kecil lagi sudah melekat ciri-ciri kepemimpinan dan membela kebenaran. Beliau cerdas, menguasai ilmu agama, politik, falsafah dan hukum. Oleh sebab itu, Raja Linge mengutus Qurrata’aini sebagai wakil resmi dari Kerajaan Linge dalam Parlemen Aceh di Kutaraja. Prestasi gemilangnya, sempat menggemparkan dunia pradilan Aceh pada ketika itu, hanya saja tidak diketahui secara meluas, karena kurangnya minat para pakar sejarah [khususnya dari Gayo] untuk meneliti dan menulis demi memperkaya khazanah sejarah Aceh.

Jadi, wajar, jika hanya ketokohan Tjut Malayati, Tjut Muthia, Tjut Njak Dien, Tjôt Meuligoë, Tjôt Meurah Gambang dan Tjut Meurah Intan, yang mencuat dan mendominasi referensi sejarah wanita Aceh. Terlebih dari itu, ketokohan wanita Aceh dalam perang melawan penjajah –keperkasaannya– diidentikkan dengan kaum lelaki, tidak dalam arti lain. Padahal, Tajul Alam Syaifiatuddin, Nurul Alam Nakiyatuddin dan Inayatsyah Zakiyatuddin adalah diantara wanita yang tidak kurang harumnya dalam lembaran sejarah Aceh, tetapi deretan nama wanita yang disebut terakhir ini kurang populer berbanding ketokohan militer wanita Aceh. Apakah ini suatu indikasi bahwa wanita Aceh hanya suka dengan perang?

Qurrata’aini punya warna lain, berkifrah dalam dunia politik, hukum dan telah menempatkan dirinya sebagai satu-satunya wanita Aceh yang disegani dan layak menduduki kursi Parlemen pusat pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah. Bertandang, meski seorang! Pandangan beliau tentang applikasi hukum yang mengetengahkan ijtihad –penafsiran intensive– telah menjadi yurisprudensi menarik dalam dunia Pradilan Aceh, karena memadukan atau memasukkan unsur hukum Adat Gayo ke dalam hukum Islam yang diterima oleh Mahkamah Qadhi Maliku ‘Adil, tanpa mengenyampingkan makna hukum Islam.

Ceritanya begini: ’Sebelum Johansyah [Raja Linge ke-12] diltantik oleh Sultan Aceh menjadi Panglima perang melawan Portugis di Selat Melaka dan Tanah Semenanjung Malaysia, sudah mempunyai seorang anak lelaki [yang kemudian memangku [Raja Linge ke-13.] Dalam missi tersebut; selain berhasil meredam kekuatan Portugis, Johansyah mempersunting putri Sultan Johor dan dikaruniai dua anak lelaki bernama: Bener Merie dan Sengeda. [Johansyah mempunyai tiga isteri, yaitu: Ibu Raja Linge ke-13 (isteri pertama); Nio Niang Lingké –Putoê Nèng– (isteri kedua), tidak ada zuriat; Putri Sultan Johor, (isteri ketiga)] Ketika bertugas di kepulauan Riau, tiba-tiba Johansyah jatuh sakit dan meninggal dunia. Makam Johansyah, hingga sekarang masih tegak dan dipelihara dengan baik di Pulau Lingga, Riau.

Suatu ketika, ketika Bener Merie dan Sengeda sudah dewasa, mereka meminta restu Ibunya, supaya dibolehkan ikut rombongan Raja Linge, seusai menghadiri Sidang tahunan Raja-raja seluruh Aceh di Kutaraja. Untuk melicinkan jalan, mereka bisikan kepada Syirajuddin (Perdana Menteri Linge, berkedudukan di Serule). Pendek cerita, sampai di Istana Kerajaan Linge, suasana mulai heboh dan bisik-bisik; siapa gerangan dua remaja yang ikut dalam rombongan? Tanpa disiasat lebih dahulu, Raja Linge ke-13 terus menyiapkan algojo untuk ’menghabisi’ Bener Merie dan Sengeda dengan tuduhan sebagai mata-mata, padahal keduanya ialah saudara satu Ayah, lain Ibu dengan Raja Linge ke-13.

Untuk itu, Raja Linge ke-13, menyusun dua regu. Regu pertama, bertugas untuk membunuh Bener Merie, yang komandannya ialah Raja Linge ke-13 sendiri. Regu kedua, bertugas untuk membunuh Sengeda, yang komandannya ialah Syirajuddin.

Setelah dua hari dalam perjalanan, regu pertama tiba di Samar Kilang. Di sinilah Bener Merie baru sadar dan tahu bahwa dirinya akan dibunuh. Sebelum jiwanya melayang, dia menangis tersedu-sedu, menderu dan meratap hingga mengoyak angkasa biru dan keheningan alam semesta agar Allah Maha kuasa tahu, bahwa nyawanya tinggal menghitung detik waktu, karena tidak menyangka peristiwa ini akan berlaku. Tempat Bener Merie menangis dan menderu ini dinamai: ”Wihni Bernguk” (”Sungai isak-tangis”). Bener Merie dibunuh di hulu ”Uning”, suatu kawasan terpencil di Samarkilang.

Akan halnya dengan Sengeda, berhasil diselamatkan oleh Syirajuddin, yang dikenal ’alim dan berbudi baik. Untuk mengelabui Raja Linge ke-13, Syirajuddin terpaksa mengeksekusi seekor kucing, diletakkan dalam Kerenda dan dimakaman. Kuburan Kucing yang tak bersalah (innosence) ini dinamai: ”Tanom Kucing” (“Tanam Kucing”) terletak di daerah Serule.

Pada persidangan tahunan Raja-raja seluruh Aceh berikutnya, terungkap sepak terjang Raja Linge ke-13, atas laporan Sengeda dan Syirajuddin (Perdana Menteri Linge). Kasus ini menjadi salah satu agenda pokok dalam persidangan Raja-raja seluruh Aceh waktu itu. Sultan Aceh kemudian menyerahkan perkara tersebut kepada Qadhi Malikul ’adil untuk mengadili. Setelah mendengar keterangan saki-saksi dan bukti-bukti yang ada, maka Qadhi Maliku ’adil menjatuhkan hukuman mati (qishash) kepada Raja Linge ke-13, karena telah terbukti dengan sah melakukan delik pembunuhan berencana.

Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah, ayat 178: ”... Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya [Ahli waris], hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma’af membayar diyat kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat...”

Sebagai pakar hukum Islam dan anggota Parlemen wakil dari Kerajaan Linge, Qurrata’aini merasa keberatan dengan hukuman qishash yang dijatuhkan kepada Raja Linge ke-13, walaupun sudah terbukti melakukan pembunuhan. Kebenaran mesti ditegakkan, walaupun langit akan runtuh! Dalam persidangan, Qurrata’aini menyampaikan pledoi menarik dan ilmiah, yang mempersoalkan tentang kepastian hukuman qishash yang dijatuhkan kepada Raja Linge ke-13.

Pledoi Qurrata’aini bukan saja membentangkan dalil-dalil Qur’ani, tetapi juga legalitas hukum Adat Gayo, demi melengkapi referensi Qadhi Malikul ’adil. ”Ya benar, Al-Qur’an telah menentukan hukuman qishash kepada sipembunuh. Ini wajib ditegakkan! Tetapi jangan lupa bahwa, masih dalam ayat yang sama, tertera: ”... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya [Ahli waris], hendaklah yang mema’afkan mengikuti dengan cara yang baik dan yang diberi ma’af membayar diyat kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik pula...” Sehubungan dengan itu, putusan Majlis hakim tidak boleh dilaksanakan, sebelum terlebih dahulu memanggil dan mendengar keterangan Ahli waris, yaitu: Sengeda dan Ibunya. Untuk itu, saya siap menghadirkan mereka di depan Mahkamah yang terhormat ini.” Demikian antara lain bunyi pledoi Qurrata’aini.

Sementara itu, di celah-celah proses persidangan yang berlangsung alot, Qurrata’aini melobby Sengeda dan Ibunya yang dirundung malang. Kepada Sengeda, Qurrata’aini berkata: ”Abangmu (Bener Merie) sudah tiada dan tidak mungkin kembali lagi. Jika Raja Linge ke-13 dieksekusi, berarti Anda kehilangan dua saudara. Relakah Anda mema’afkan? Inilah satu-satu jalan menyelamatkan nyawa Raja Linge ke-13. Dalam Islam, perintah qishash adalah hak Allah yang wajib didahulukan, bukan sebaliknya. Artinya, hukuman mati (qishash) tidak dilaksanakan, jika ahli waris mema’afkan. Segeda dengan ikhlas memberi ma’af.

Setelah mendengar pledoi dan kesaksian Sengeda dan Ibunya, maka Majlis Hakim menukar hukuman mati (qishash) ke atas Raja Linge ke-13 dengan memerintahkan membayar diyat kepada Ahli waris. Qurrata’aini mengusulkan: ”selain membayar diyat, Raja Linge ke-13 juga dikenakan sanksi adat, yakni: wilayah kuasa hukumnya dipersempit, baju kebesaran dan Bawar (Pedang) Kerajaan Linge ditanggalkan.” Usul tersebut dikabulkan oleh Majlis Hakim. Akhirnya, Raja Linge ke-13 yang dengki, irihati dan buruk sangka (prejudice), pulang kampung dengan hina dan tercela.

Qurrata’aini yang diceritakan panjang-lebar tadi ialah: nama Datu Beru sewaktu kecil. Dalam bahasa Gayo: “Geral turun mani.” Diriwayatkan, dalam perjalanan dari Kuta Raja menuju Takengon, setibanya di Ulung Gajah, tiba-tiba Datu Beru jatuh sakit. Para staffnya mengusung dengan tandu. Akhirnya, beliau meninggal dan dimakamkan di sebuah bukit di Kampung Tunyang, Acheh Tengah. Datu Beru adalah benih unggul (“énéh bereden”) yang sulit dicari penggantinya, walau pun riwayatnya sudah lebih dari lima abad yang silam. Datu Beru; … Datu kita![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia [12/10/08]

Memaknai Puasa Sebagai Irtiqa'

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

TARGET utama ibadah puasa bagi umat Islam adalah taqwa. Untuk mencapai makhraj taqwa, orang harus melewati proses tertentu. Misalnya, orang dianjurkan ber-takhliyah, yakni: menghindar dari perbuatan yang tidak diredhai Allah dan dilarang Sunnah dan disusul dengan ber-tahliyah, yakni: memperindah moralitas dengan cara mempertebal amal tanpa menggugat nikmat yang diiming-imingi dalam al-qur’an dan Hadits.

Dengan begitu, orang yang hatinya tandus ketulusan, keikhlasan dan kejujuran akan merasa ghirah [cemburu] kepada moralitas yang terpancar dari ibadah puasa. Terjadinya proses dari ”takhliyah” menuju ”tahliyah” inilah yang dinamakan ’irtiqa’ atau ‘meningkatkan moralitas seseorang’. Dalam bahasa filosufis, pernyataan Umar bin Khattab: "semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib dariku", merupakan ’irtiqa’ yang sangat tinggi makhrajnya.

Diakui bahwa, masalah moral merupakan thema central manusia yang tidak akan pernah sunyi dari pembicaraan, sebab diakui bahwa, prilaku (moral) manusia salah satu faktor penentu: cepat atau lambatnya dunia ini karam. Jadi, moral mempunyai kaitan langsung dengan keselamatan alam dan manusia. Ibadah puasa dinilai bisa mengurangi kecepatan kehancuran moral dan memperlambat datangnya malapetaka. Dengan demikian: puasa, moral, keselamatan alam dan manusia saling berkaitan. Selain daripada itu, puasa sebagai wadah penyerahan diri secara total kepada Allah atas segala kesalahan dan kesilapan manusia. Maka, puasa dijadikan sebagai amalan bagi mereka yang ingin mensucikan diri. Hal ini sudah terjadi sejak dahulu kala. Indikasinya ialah, firman Allah yang berbunyi: ”Kuwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa”. Qur’an: surat al-Baqarah, ayat 183.

Petikan kalimat ”... sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu ...” nampak dari pengalaman di bawah: Sesudah menerima perintah ke-Rasulan, Nabi Daud berpuasa selang sehari sepanjang hayat beliau. Orang Yahudi, pernah berpuasa selama sehari di Mizpa, karena ”menyesali penyembahan mereka kepada Baal dan ingin berdamai dengan TUHAN” (1Sam 7: 4-6). ”Ester dan semua orang Yahudi di Susan-Persia berpuasa selama tiga malam” [Est 4:15-17]. Mereka berjuang demi keselamatan umat Allah”.Daniel menyesali kehancuran Yerusalem dengan cara berdoa, berpuasa.” ”Nabi Musa berpuasa di gunung Sinai ketika menuliskan perkataan perjanjian TUHAN di loh batu” (Kel 34:28; Ul 9:9). ”Nabi Isa berpuasa selama empat puluh hari siang dan malam” (Mat 4:1-11).

Dalam pandangan Nabi Isa, manusia sebenarnya tidak akan hidup hanya dari roti saja, tetapi dari setiap firman Allah dan janganlah engkau menguji Tuhan, Allahmu. Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu. Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Umat Islam menjalankan ibadah puasa selama sebulan sebagaimana di-Sunnah-kan oleh Rasulullah S.A.W. Fakta ini membuktikan bahwa puasa merupakan amalan untuk meningkatkan moralitas di hadapan Allah dan sesama manusia yang sudah berakar sejak sekian lama dalam peradaban manusia.

Untuk membangun dan meningkatkan moralitas seseorang, salah satu cara ialah: menjalani latihan penyadaran jiwa dalam ’kém ramadhan’ (puasa) tentang: disiplin, kejujuran dan kesabaran. Ini penting, karena Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa adalah separuh kesabaran” (diriwayatkan: Tarmizi dan Ibnu Majah). Kepada mereka yang menjalani latihan penyadaran jiwa ini dijanjikan Allah sbb: ”Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q: an-Nahl, ayat 96). Demikian hebat effek daripada sabar, sampai-sampai Allah berfirman: ”Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka.” (Q: al-qashash, ayat 54). Bahkan lebih dari itu: ”Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang ducukupkan pahala mereka tanpa batas” (Q: az-zumar, ayat 10); ”Dan bersabarlah kalian sesungghunya Allah berserta orang-orang yang sabar” (Q: an-Anfal, ayat 46). Hanya saja, bagi orang muslim, dalam konteks ’irtiqa’ (‘meningkatkan moralitas seseorang’), jangan beranggapan atau jangan sampai tersirat dalam hati bahwa ini hanya iming-iming. Allah selamanya konsekuen dengan janji-janji-Nya.

Pendidikan kesadaran dalam ’kém ramadhan’, Komandannya ialah Allah: "Ku wajibkan atas kamu berpuasa..." (Q: 2 ayat 183). Perintah tahunan Allah ini, tidak memerlukan aturan birokrasi, karena kalimatnya jelas dan sistem pengawasannya pun tidak rumit: "Ketika anda tengah beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu" (Hadits). Disinilah perlu kejujuran dan keikhlasan, karena Allah senantiasa melihat dan mengawasi: ”Dan Tuhan-mu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan” (Q: 27, ayat 91). Jika dalam perjalanan keimanan [puasa] seseorang dihadang oleh rasa was-was, cara mengatasinya juga sederhana: "Orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa was-was dari syaithan, maka mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (Q: al-A'raf, ayat 201). Jadi, ingat dalam kamus keimanan, bukan sikap pasif (diam), melainkan aktif begerak (pro-acitve).

Betapa pentingnya sabar yang berputik dari puasa, sehingga Ibnu Abbas menkalsifikasikan sabar dalam Qur'an kepada tiga kelas: pertama, sabar akan memenuhi kewajiban yang dibebankan Allah terdapat 300 tingkatan; kedua, sabar menahan diri dari larangan terdapat 600 tingkatan; ketiga, sabar atas musibah yang menimpa manusia dikenal 900 tingkatan. Kemampuan mengawal diri [sabar] akan menghindarkan manusia untuk tidak selamanya bertekuk-lutut kepada kehendak dan kepentingan pribadi. Tentang hal ini diingatkan: ”Dan manusia itu mengikut tabiat kikir” (Q: an-Nisa', ayat 128). Diharapkan, puasa mampu mengikis karakter-karakter negatif dalam diri kita. ”Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, maka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q: al-Hasyar, ayat 9).

Sebetulnya, untuk menyelamatkan puasa, management organ tubuh sangat penting peranannya. Bayangkan, jaringan syaraf manusia menyediakan 8 milyar saluran, yang menurut para ahli neurolog, hanya 1/3 dari saraf manusia yang difungsikan dalam segala urusan. Syaraf inilah menampung: an-nafs amarah, an-nafs lawwamah, an-nafs muthmainnah, an-nafs radhiya, an-nafs mardhiyah, an-nafs arif billah, an-nafs qudsiyah, an-nafs kamilah, yang masing-masing punya kepentingan. Managemen organ tubuh dikendalikan oleh station utama, yaitu: Tazkiyatun nafs, yang mampu mengidentifikasi jenis informasi dan mengetahui pintu-pintu masuk syaithan ke dalam diri manusia.

Informasi tersebut ada bersifat "fujur" dan "taqwa". Hal Ini diketahui dari: ”... Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan... .” (Q:91, ayat 8). Jika ada informasi: ”pandangan adalah salah satu anak panah beracun diantara anak panah Iblis” (diriwayatkan: al-Hakim). Ini masuk jalur "fujur". Jika terdapat informasi: ”puasa itu sendiri adalah amanah, maka hendaklah salah seorang diantara kamu menjaga amanahnya” (Hadits, diriwayatkan: al-Kara'ithi), berarti masuk jalur "taqwa". Sistem kinerja organ tubuh yang baik, akan menjadikan puasa seseorang sebagai perisai yang mampu membentengi masuknya syaithan ke dalam lubuk hati. ”Sesungguhnya puasa itu adalah perisai: apabila salah seorang diantara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh,..." (Hadits, diriwayatkan: Bukhari Muslim).

Bagaimanapun, puasa pada peringkat awal sangat sukar diselamatkan, jika hanya bergantung kepada faktor intern –yaitu: kesadaran pribadi walaupun sudah memahami arti dan kegunaan puasa– Faktor extern, tetap mempunyai peranan penting, seperti: legalitas hukum (Perda) yang mengatur tata tertib, sopan santun, adab, budi pekerti, penghukuman, dan toleransi dari kaum non muslim dalam masyarakat, sehingga ’irtiqa’ ( ‘meningkatkan moralitas seseorang’) bukan saja diandalkan dari upaya seseorang, melainkan juga dari rasa kebersamaan dan tanggungjawab bersama. Rasanya akan lebih asyik kalau memasuki 8 pintu surga bareng-bareng. Mudah-mudahan: ”Allah menunda hancurnya alam semesta ini, lantaran di tempat-tempat ibadah, manusia masih tetap memmuji-Nya.” [Hadits qudsi], terutama dalam bulan suci Ramadhan yang penuh nikmat, barakah dan ampunan. Insya-Allah.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
[Serambi Indonesia, 16/09/08]