Thursday, December 4, 2008

Haji: Mengukur Ketulusan

Oeh Yusra Habib Abdul Gani*

SERUAN untuk menghadiri Haji terbuka untuk umum. “Serukan kepada manusia untuk menunaikan Haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengenderai Unta kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Q: 22 ayat 27) 

Kata “manusia” dalam ayat di atas, menunjukkan bahwa siapa pun boleh “menunaikan” haji atau belajar tentang nilai-nilai universal yang terdapat dalam haji, seperti: kesadaran, ilmu, janji, kepasrahan, keputusan, tekad, harapan, penyerahan diri, keyakinan, pergerakan dan do‘a, terutama bagi mereka yang memper-Tuhan-kan falsafah sains, logika dan rasionalisme, agar tahu bahwa hal-hal yang transcendental ternyata bisa dicapai dengan pendekatan tauhid (IMAN). Hanya saja, umat Islam mendapat nilai ganda, karena selain mempelajari nilai-nilai universal tadi, diberi hak istimewa untuk merekonstruksi adegan Siti Hajar, Ibrahim dan Ismail di arena peristiwa yang mereka alami. 

Lakukan tawaf dan sembahyang sunat dua raka‘at di makam Ibrahim sebelum berangkat ke Arafah. Hal ini penting, karena dalam Tawaf, bukan perasaan pribadi dan ayunan gerak konfigurasi massa yang diukur, tetapi arah hati yang sedang melakukan gerak melingkar dalam medan tauhid. Perhatikan bekas tapak Ibrahim [ka‘bah: berarti mata kaki. Secara bebas boleh diartikan dengan Central], yang di atasnya ditegakkan Hajarul Aswad yang dicintai itu. Peluk dan ciumlah. Jangan gunakan logika dan rasio di tempat ini seperti yang pernah Umar bin Khattab katakan: “Saya tak akan mencium Hajarul Aswat sekiranya Rasulullah tidak menciumnya”. Jutaan manusia mencium batu Hajarul Aswat dengan jutaan aroma, namun tidak seorang manusia pun menderita gatal dan alergi.

Haji adalah perlombaan Iman untuk memperebutkan mahkota jiwa yang agung. Untuk itu, jauh sebelum menuju dan berdiri di garis start Arafah pada 9. Hulzijjah: kosongkan terlebih dahulu diri Anda dari segala pertimbangan logika dan rasio. Padang Arafah adalah tempat pemusatan kekuatan, pengaturan strategi, pengenalan diri dengan hitungan dosa-dosa. Biarkan rasa ego dan arogan Anda hancur-lebur oleh panas matahari Arafah. Sesudah itu, barulah melanjutkan perjalanan Iman menuju Mina melewati jalur Masy‘aril haram, bukit Kuzah di Muzdalifah, yang diwajibkan berhenti (wukuf) sepanjang malam. “... Apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah di di Masy‘aril haram...” (Q: Al-Baqarah, ayat 198).

Dalam suasana gelap gulita di Masy‘ar, hanya hati Anda yang terang menyala untuk mencari senjata (70 batu kecil) yang akan dipakai untuk menghancurkan musuh: “jumratul Ula, Uqba dan Wusta.” Mencari senjata dalam gelap gulita, berkaitan dengan gerak inteligen: jangan sampai bocor kepada musuh soal: berapa jumlah pasukan, senjata dan jenis senjata yang akan gunakan. Sebab rahasia adalah darah Anda. Tanamkan kesadaran ini melalui bait-bait zikir sepanjang malam sebelum Anda bertindak.

Masy‘ar yang gelap gulita, perlahan-lahan menghilang, sehingga ketika matahari bersinar di upuk Timur, Anda sudah harus berada di Mina untuk merayakan kemenangan. Zikir yang dilafadhkan di Mina, bukan hanya perbutan hati dan pengucapan, melainkan tindakan nyata (fi‘li) dalam percepatan waktu. Menepati waktu, berarti mengelak dari kekalahan. Berapa juta manusia telah rugi dan menjadi korban oleh sebab tidak disiplin dengan waktu? Bersamaan dengan itu, penyembelihan hewan korban pun dilakukan.

Yang ganjil (tidak lazim dalam peradaban manusia) ialah: merayakan kemenangan baru berperang. Agaknya, rasa optimis yang mendorong; karena sejak dari Arafah dan Masy‘ar lagi, sudah dibekali ilmu, kekuatan mental dan komitmen untuk melawan kemungkaran, kefasikan, penjajahan dan yakin akan memenangkan peperangan. Apalagi, sudah berani mandi darah lewat peneyembelihan hewan korban. Meyarakan kemenangan pada hari ke 10 Zulhijjah, seumpama gladiresik penyerbuan. Anda adalah singa padang pasir.

Apa pun latar belakang ilmu pengetahuan yang kita miliki, yang pasti adegan haji tidak bisa didiskusikan dalam konteks paradigma rasio dan metafisika, seperti debat kusir yang pernah berlaku antara Khaidir dan Musa. Khaidir dipersalahkan membunuh seorang anak muda tanpa salah, membocorkan perahu nelayan dan membangun rumah renyot tapa upah [rumah, yang kemudian dikenali sebagai baitullah (Masjidil Haram) sekarang]. Musa menggunakan instrumen rasio, sementara Khaidir memakai instrumen metafisika. Jadi tidak akan nyambung. Debat kusir ini berakhir dengan sepakat untuk tidak sepakat.

Jadi, hal hal yang transcendental -kuasa Allah- dalam agenda haji, ternyata wujud melalui tangan manusia. Hal ini terbukti dari dialog singkat dan mengerikan antara Ibrahim dan Ismail. Ibrahim dengan modal mimpi: “... korbankan anakmu... “ yang diyakini sebagai arahan langsung dari Allah tanpa perlu penafsirkan. Ismail menyahut arahan ini dan siap menjadi korban demi iman kepada Allah. Yang anèh, pisau tajam yang dipakai Ibrahim untuk menyembelih tidak mempan, padahal Ismail tidak membaca do‘a kebal. Ibrahim berang dan membanting pisau yang tiba-tiba tumpul, sebab tindakannya bukan pura-pura. Ismail tetap saja tenang, pasrah dan tulus. Yang pasti, Ibrahim sudah menunaikan tugasnya dan Allah pun sudah mengukur ketulusan hatinya. Ketika mau menyembelih untuk kali kedua, Allah menunjukkan kuasa-Nya lewat tangan manusia (Ibrahim), yang menukar Ismail dengan seekor domba. Domba inilah kemudian dikorbankan.

Ketulusan, ternyata bisa menjawab segala-galanya. Peristiwa ini merupakan siri kedua dalam perjalanan Iman Ibrahim, yang sebelumnya pernah dibakar hidup-hidup oleh penguasa ketika itu, namun nyala api mengelak menjilat dan panasnya api tidak berani menyentuh dan membakar tubuh Ibrahim. Bagi Allah segalanya bisa berlaku. “Dialah yang mengawali dan mengakhiri dan maha tahu dari yang dhahir (nampak) dan bathin (tersembunyi)” (Q: surat Al- Hadid, ayat 3) Intrumen logika dan rasio tidak laku di sini, kecuali Iman 

Adegan tersebut direkonstruksi setiap musim haji. Namun begitu, Allah mengingatkan: “... daging-daging dan darah itu tidak dapat mencapai keredhaan Allah, tetapi ketaqwaan kamulah yang bisa mencapainya” (Q: 22 ayat 37). Kita tidak memiliki “Ismail” seperti Ismailnya Ibrahim untuk dikorbankan dan Allah menukarnya dengan domba. Oleh sebab itu, yang mesti dilakukan: sembelihlah rasa ego dan arogan Anda, niscaya Allah menggantinya dengan jiwa yang rendah hati; ... sembelihklah akal koèk, dengki dan iri hati Anda, moga-moga Allah menggantinya dengan jiwa yang tulus, ikhlas, jujur, obyektif, senang memuji dan mengakui kelebihan orang lain; ... sembelihklah moral memperkaya diri, niscaya Allah menggantinya dengan jiwa dermawan; ... Sembelihlah moralitas korupsi Anda, supaya Allah menukarnya dengan sosok manusia yang amanah; ... sembelihlah moralitas taqlid buta Anda, supaya Allah menukarnya dengan jiwa yang kritis. 

Begitu pula dengan tindakan menyerbu musuh: “jumratul Ula, Uqba dan Wusta.” di medan perang Safa-Marwah. Anda bukan pengecut. Tindakan melempar jumrah pada hakikatnya adalah tindakan menimpuki keragu-raguan dan kekhawatiran Anda hingga mampus, supaya Allah menukarnya dengan jiwa percaya diri; .... menimpuki sikap pengecut Anda hngga mampus, niscaya Allah menggantinya dengan jiwa berani; ... menimpuki sikap apathis Anda hingga mampus, nisacaya Allah menukarnya dengan sikap optimis; ... menimpuki sikap rendah diri Anda hingga mampus, nascaya Allah menggantinya dengan kepribadian kokoh. Semua ini dilakukan di arena haji -tanah suci- yang berkah dan bertuah. Jadi, Anda adalah refresentasi dari “Siti Hajar”, wanita yang tidak mengenal rumus cèngèng menghadapi realitas. Realitas bukanlah takdir. Oleh sebab itu, tantanglah takdir yang belum ditakdirkan, sebagaimana Siti Hajar lakukan. Di mata Siti Hajar, pencarian yang gigih adalah perjalanan tauhid, sebab untuk mencapai iman diperlukan airmata, ketabahan, ketangguhan dan ketulusan. Pasrah adalah jalan terakhir, ketika semua alternatif yang ditempuh buntu. 

Siti Hajar sudah berbuat dan Allah pun sudah mengukur ketulusan hatinya. Akhirnya kuasa Allah wujud lewat gesekan kaki Ismail (manusia) yang mungil di atas pasir, mengalirkan air yang tidak pernah Siti Hajar pikir sebelumnya. Ketulusan, ternyata mampu menjawab segala-galanya. Pernahkan kita berpikir bahwa: seorang wanita kulit hitam, bekas budak dan kemudian menjadi Isteri Nabi Ibrahim -Siti Hajar- yang gerak langkahnya menjadi sebagian dari rukun Haji? Jadilah haji mabrur setelah ketulusan hati diukur, demi mencerahkan nalar dan nurani. Wallahu‘aklam bissawab![]

* Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 4/12/08]