Friday, August 20, 2010

Harga Orang Aceh


Yusra Habib Abdul Gani

Orang Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter ”Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda dan orang lain, dengan menyebut dirinya: ”Ulôntuan” yang berarti: ”Aku adalah Tuan” atau cukup dengan ”Aku” saja. Aplikasi sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut: ”Wan”, yang akar katanya berasal dari ”Ulôntuan.” Artinya, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai ”Tuan” dihadapan siapapun juga. Termasuk, jika Ayah/Ibu memanggil anaknya atau majikan memanggil pembantunya, si anak dan si pembantu tetap menyahut: ”Wan” (Aku Tuan). Jadi, semua orang Aceh adalah tuan dan dipertuan. Inilah orang Aceh, bung! Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik.
Namun begitu, di mata Snouck Hurgronje, ”Superiority complex” ini disifatkan sebagai ’penyakit jiwa’, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck: ”Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.
Sebenarnya, untuk memperdaya atau merubah mental ”ke-tuan-an” Aceh menjadi ”babu” atau ”lamit”, ada cara yang simpathik, yakni: secara perlahan-lahan, rasa ”superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai ”barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik
Sebagaimana terbukti, ”Aceh” pernah dipakai sebagai brand, sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama ”Aceh” berpotensi melariskan barang dagang politik kontemporer. Dalam skala politik internasional misalnya: ”Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Van Sweten tahun 1874, yang berkata: ”Aceh sudah kita taklukkan”, yang ternyata bisa mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai-sampai Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Di pulau Jawa, dalam benteng-benteng Belanda dibunyikan meriam 21 kali sebagai simbul kemenangan. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru sebaliknya. Isu ”kekalahan” Aceh, ternyata mempengaruhi kebijakan British, hingga memberi hak ”belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, selain untuk menditeksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing di Selat Melaka khususnya, seperti: Belanda, Inggeris, Perancis dan USA dan di kawasan Asia Tenggara umumnya.
Kemudian, giliran ”orang Aceh” (Ulèëbalang) dari 116 Mukim di Aceh Besar yang menandatangani ”Korte Perklaring” (”pernyataan menyerah”), dipakai sebagai brand untuk merubah sikap orang Aceh secara umum terhadap Belanda. Apalagi Teuku Umar saat itu, dikenal pasti sebagai panglima perang Belanda yang bertanggungjawab menghanguskan 116 Mukim itu. Tragis!
Dalam skala nasional, ”orang Aceh” pernah dimanfaatkan Sukarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, dimana Tgk. Hasan Krueng Kalé, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk. Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh, tgl. 5. Oktober 1945, yang menyebut: ”... Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir. Sukarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut ”Parang Sabil”
Kalimat ”maha Pemimpin” dan ”Parang Sabil” adalah brand politik made-in Aceh, untuk mempengaruhi orang Aceh melihat figur Sukarno, hingga rela terseret dalam perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Pada hal, nasib masa depan Aceh ketika itu tidak menentu. Brand politik ini menciptakan Sukarno sangat populer. Jadi tak heran, kalau dalam kunjungan Sukarno ke Acheh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju Jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.
Diakui, kalau sebutan ”Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Anèhnya, sebutan ”maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan ”maha Pemimpin” made-in Aceh itu masih sah berlaku. Mengapa? Beginilah mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.
Bukan hanya itu; pencetus idé supaya Sukarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, gubernur Aceh (periode 1957-1964). Idé tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Jika tidak lantaran itu, takkan MPRS, Ketua : Chairul Saleh; Wakil: Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, D.N. Aidit dan Kol. Wilujo Puspojudo meloloskan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup yang gila ini. Kemujarapan brand Aceh, telah memansykhkan pasal 5, UUD-1945 (sebelum amandemen yang tertera dalam pasal 7) tahun 1999, 2000,201 dan 2002, tentang: ketentuan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup semata-mata untuk menghidupkan dan memperkaya preceden dalam ketata-negaraan Indonesia...” Sukarno tidak menolak, kendatipun rumusan ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS ini dimansukhkan, itu soal lain. Yang pasti, ucapan orang Aceh, bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, tetapi laku dipakai untuk melakukan perbuatan makar terhadap konstitusi.
Selanjutnya, di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (Ketua Bulog ketika itu) bertanya kepada Tengku Daud Beureuéh yang tengah dalam keadaan koma: “Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?”. Wartawan bertanya: “apa renpons Tengku?.” “Tengku merestui”. Jawab Bustanil. “Suara asing” ini dipasarkan untuk memenangkan Golkar di Aceh ketika itu.
Dalam situasi dan isu yang berbeda; Tengku Hasan. M di Tiro yang sedang dalam keadaan koma sempat menitip pesan: “Jaga perdamaian Aceh” kepada Malik Mahmud. Demikian pengakuan Malik Mahmud kepada wartawan. [Sumber: Acehkita].
Sekarang, figur Aceh (stock “barang”) yang layak jual sudah kosong. Kadar kemampuan Ulama, politisi, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh saat ini berada di bawah standard, atau belum cukup “jam terbang.” Orang Aceh hampir sepenuhnya berubah dari mental “Tuan” menjadi “babu” politik. Oleh sebab itu, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh (06/08/1998) di Lhôk Seumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani atas inisiatif Jusuf Kalla, terpaksa dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai “barang” dagang politik dalam pesta demokrasi di Indonesia. SBY juga dianggap berjasa dalam isu Helsinki. Padahal, kalau mau jujur, tangan siapa (calon Pres-Wapres RI) yang tidak kotor di Aceh? Namun, orang Aceh tetap anthusias memenangkan SBY dengan mengantongi 93% suara di Aceh.
Semua ini wajar, karena dalam ukuran moral; orang Aceh bagaikan pucuk Tebu; dipenggal dan dihujamkan ke dalam tanah, demi tumbuhnya tunas-tunas menjadi batang dan diperas hingga kelur airnya untuk dinikmati. Dari sudut politik, orang Aceh bukan tuan politik. Pada hal tuan politik ialah: orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek kekuasaan dan bencana yang paling dahsyat dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” –nilai-nilai ke-Aceh-an– dilucuti dan diremukkan oleh suatu kekuatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya.[]

Tuesday, August 10, 2010

Mencari Tuhan Abad XXI


Yusra Habib Abdul Gani

Dalam prolog buku: GOD IS BACK, How The Global Revival of Faith Is Changing The World. John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, dikisahkan selintas tentang Wang, seorang pengusaha asal Cina yang sangat berjaya di USA. Kesibukan sehari-hari bukan halangan baginya untuk beribadah di rumah mewahnya, walau tanpa Pastor. Dia tetap teguh dengan keyakinannya memeluk agama Nasrani. Berangkat dari cerita tadi, pengarang coba mengilustrasikan dan membawa kita terbang ke suatu dunia “beragama” di masa depan di tengah-tengah gelora globalisasi, industrialisasi dan modernisasi dalam peradaban manusia.
Riwayat ini wajar, mengingat penganut Kristen di Cina seramai 14 juta tahun 1997, meningkat kepada 21 juta tahun 2006, dengan perkiraan 55 ribu Gereja Protestan dan 406 Gereja Katholik harus dibangun. (The Economist, 1 Februari 2007.) Ini suatu indikasi bahwa pluralisme beragama mengalir tenang dalam masyarakat Cina dan tidak merubah rasa hormatnya kepada Mao Zedong yang atheist, tetap dihormati sebagai pahlawan Cina. Selain itu, hasil research yang dilakukan oleh Global Attitude Project in 2006 menyimpulkan: di Cina, terdapat 31% bertahan dan merasa penting peranan agama dalam hidupnya, 11% berpendapat bahwa agama Maoist tidak lagi penting. Pada tahun 2005, terdapat 56% yang menganggap agama antara penting dengan tidak penting. (sumber: Religion in China on the Eve of the 2008. Beijing Olympics. 2 Mei 2008.) Seterusnya, diprediksi bahwa tahun 2050, Cina menjadi dunia muslim terbesar, lebih besar dari penganut Kristen. Angka ini sudah tentu setelah disatukan dengan 21 juta ethnis Hui dan Uighur muslim di Provinsi Ningxia dan Xinjiang. (sumber: God Is Back, John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, hlm 5.)
Di Rusia, terdapat 86% masih percaya kepada peranan agama dalam hidupnya, hanya 16% atheist. Hasil research lain menyimpulkan bahwa, muslim di Eropah akan melebihi 6 juta tahun 2025 dan ledakan pertambahan peganut Islam terjadi pula di Benua Amerika. Di Denmark khususnya, setiap minggu tidak kurang dari 5 orang mengucapkan dua Kalimah Syahadah. (sumber: kesaksian seorang wanita mu’allaf kepada penulis). Sebaliknya, dari 8 orang asal Iran yang saya kenal di Denmark, kedelapannya athiest. Seorang diantaranya berkata: “Saya sudah lelah mempercayai Tuhan”.
Perubahan aqidah ini mengalir secara alamiah tanpa ada tekanan dari siapapun di Eropah. Kemudahan mengakses informasi tentang agama lewat internet tidak mungkin dihalang; lagipun perkara ini mutlak pilihan pribadi seseorang. Berbeda halnya sewaktu khalifah Abu Bakar Sidiq, yang menganggap murtad sebagai kejahatan yang wajib diperangi, hingga meletus “Perang Riddah”.
Wujudnya pergolakan pemikiran tentang aqidah –khususnya di Eropah– tidak terlepas dari pandangan (fatwa) para “Nabi-nabi” Barat. Rodney Stark, Baylor university Texas berkata: “Tuhan sudah beberapa generasi mati.” Friederich Nietzsche menimpali: “God is dead. God remains dead. And we have killed Him”. “Nabi-nabi” Barat telah berhasil meng-atheist-kan, sehingga masyarakat Eropah yang disaksikan sekarang adalah generasi atheist dan Gereja-gereja kosong melompong, kehilangan simbul agama, bahkan tidak ‘aib menjual Gereja. Di Denmark dan Belanda misalnya; hampir 60% penduduknya atheist. Di Perancis dari 10 orang, seorang saja yang menyatakan agama memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun Nicolas Sarkozy dalam kampanye sebelum terpilih menjadi Prsiden Perancis berkata: “la republique, les religious, L’espérance.”
Setelah ditelusuri, sikap anti Tuhan, mengangungkan imaginasi dan intelektual manusia, semuanya berpunca dari ajaran “Nabi-nabi” Barat yang dikagumi, seperti: Friederich Nietzsche yang berkata: “I find it necessary to wash my hands after I have come into contact with religious people” (sumber: Ecco Homo, in Kafmann., basic writing of Nietzsche); ... G.K Chesterfon yang berkata: “When people stop believing in god, they don’t believe in nothing, they believe in anything”. Ini suatu bentuk kecemburuan kepada Tuhan. Sigmund Freud, juga menolak kehadiran agama; ... Jean Paul Sartre berkata lebih gawat lagi: “God doesn’t exist – the bastard”; ... E.M Forter berucap: “Terus terang, saya tidak percaya kepada Tuhan dan suatu masyarakat, baru akan maju sekiranya menanggalkan agama”.... T.S. Eliot yang menyarankan: “You should pay your respect to Hitler or Stalin”. (sumber: Idea of a Christian societies, New York, 1940.) Tegasnya, masyarakat Eropah sekarang adalah korban dari ajaran sesat ini. Maka tidak heran kalau tahun 1811, Universitas College, Oxford mempublikasikan pamplet singkat berjudul: “The Necessity of Atheism”. Percy Bysshe Shelley yang bertanggungjawab, terang-terangan menolak idé bahwa: “kita berkewajiban mempercayai Tuhan termasuk keharusan memperhatikan kapél yang membosankan atas dasar disana tidak solid bukti tentang eksistensi Tuhan.” Dua abad kemudian, Percy Bysshe ditertawakan bukan karena mulut besarnya yang seakan-akan memaksakan, tapi oleh sebab pandangan yang demikian merupakan hal lazim dalam dunia intelektual. Richard Dawkins misalnya: secara gamblang meramalkan dalam thesisnya: “The Necessity of Atheism” tentang kehancuran agama Nasrani dan keharusan menjadi atheist. Pandangan ini lebih tajam, ketimbang yang dipaparkan oleh friederich schleiermarcher tentang “cultured despisers” dari agama, dalam konteks yang berbeda. (sumber: God Is Back, New York 2009, hlm 31.) Sementara Woolston, memprediksi agama Kristen akan musnah di era tahun 1900-an, kendatipun Voltaire menuding bahwa Woolston berjiwa pesimis.
Secara umum, pandangan inilah yang membentuk manusia Barat yang menganggap bekerja bukanlah pengabdian kepada Tuhan. Prinsip ini sudah merupakan pendapat umum di Eropah. Pada gilirannya pandangan Barat tentang: ”spiritual freedom”, ”political freedom” dan ”economic freedom” mempengaruhi Kemal Ataturk, yang kemudian membedakan antara agama dengan Masjid; Jawaharlal Nehru yang membedakan antara dogma dan fanatik; Gamal Adbul Nasser dan Shah Pahlevi yang membedakan peranan Masjid dan Industri. Ujung-ujungnya muncullah ”clash of civilizations” antar agama, modernisasi dan takhyul yang diduga akan terus berkepanjangan.
“Nabi-nabi” Barat yang menawarkan atheist, merupakan bentuk kecemburuan kepada Tuhan dan protes terhadap agama Nasrani, yang menurut literatur-literatur lama ditemukan fakta tentang peranan dan keterlibatan Gereja dalam kancah politik yang negatif. Misalnya, Gereja merestui Marcopolo melakukan genocide di beberapa negeri (1296-1298). Dikatakan: “Mengikut siasatan diketahui bahwa Gereja merupakan sponsor utama dalam tindak kekerasan yang dilakukan secara teratur dan tidak mengenal belas kasihan, sesudah beberapa pendapat atau keterangan yang saling berbeda.” (sumber: Kirkpatrick Sale. “sumber: The Conquest of Paradise: Christoper Colombus and Columbian Legacy”, 1991. Berikutnya, Gereja juga terbukti sebagai sponsor dalam tindak kekerasan dalam rentang masa tahun 1500-an – 1700-an, khususnya di Eropah.
Akan halnya dengan murtad di Aceh, dipandang dari sudut ”spiritual freedom” adalah sah-sah saja, sebab murtad adalah salah satu bentuk petualangan jiwa mencari Tuhan. Bukan tak percaya Tuhan, tapi boleh jadi karena hilangnya kepercayaan kepada penguasa diskriminatif dalam pelaksanaan syariah; tidak ditemukan sosok Ulama yang patut diteladani; yang menjamur hanya ilmuan berkepribadian retak, pegawai WH gadungan yang tidak bermoral, penerapan hukum rajam hanya untuk kaum dhu’afa dan wanita, bukan untuk politisi bajingan yang haus kuasa, harta dan wanita. Pada hal Al-qur’an menegaskan: penguasa yang tidak menjalankan syari’ah adalah penguasa kafir, fasiq dan dhalim (surah Al-Maidah, ayat 44, 45 & 47). Dengan demikian: orang murtad, Ulama dan penguasa sama jahilnya? Aktivis evangelis (penyebaran ajaran Kristen/Injil) tak perlu ditahan; ajak missionaris itu diskusi secara terbuka versus pendakwah atau ilmuan dari IAIN Darussalam.
Di luar kasus di atas; dalam suatu diskusi terbatas di Markas Besar Dewan Dakwah Islamiah Tingkat Provinsi NAD, saya pernah mengemukan tiga hal. Pertama, posisi pendakwah. ”Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kabjikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar” (Surat Ali-Imran, ayat 104) Berarti, pendakwah adalah kelompok ’elite intelektualist Islam’. Kedua, trilogi dakwah, yakni: “Rabbana atina fiddunya hasanah, wafil-akhirati hasanah, waqina ‘adhabannar”. Jelas missi, target dan sasarannya. Ketiga, muatan dakwah mesti logis, realistik dan relevan dengan kondisi sosial kekinian masyarakat yang sedang berlaku, tidak melempar isu dan masalah, melainkan menerangkan, memberi jawaban yang pasti-pasti, menawarkan konsep untuk menyelesaikan masalah moral, kemiskinan dan pembangunan dan jalin hubungan antara Ulama dan ’Umara. Untuk itu, juru dakwah mesti menguasai multi disipliner: bahasa, psychologi massa, sosiologi, ekonomi, hukum (syaria’h), logika (mantiq), dll. Tugas pendakwah menunjukkan rambu-rambu jalan: shiratalmustaqim, ”maghdubi” (jalur yang dimurkai) dan ”dhallin” (jalur sesat) agar tidak sesat. Berilah kebebasan kepada orang memilih jalannya sendiri, seperti Ayaan Hirsi Ali, yang suatu ketika pernah berkata: “Kucari Tuhan, tetapi ketumukan Allah.”
Secara umum, informasi ketiga jalan ini tersebar dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijtihad. Juru dakwah dituntut bukan saja penerjemah, tetapi harus mampu menafsirkan al-Qur’an untuk memurnikan dan menyelamatkan aqidah umat Islam, sekaligus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan guna menghadapi musim, dimana orang berlomba-lomba mencari Tuhan. Wallahu’aklam bissawab![]