Saturday, June 25, 2011

Negara tanpa Parpol, Mungkinkah?



Yusra Habib Abdul Gani


BAHWA demokratía (kekuasaan rakyat) lahir, menyusul revolusi rakyat di Yunani pada tahun 508 SM. Adalah benar dan banyak orang tahu. Tetapi, pengalihan dan pengaburan dari demokrasi sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa kepada demokrasi dengan sistem kepartaian yang berkedok suara rakyat; dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya; jarang orang tahu.

Bagaimana pun juga, falsafah pembentukan partai politik (parpol) di dunia Timur lebih menjiwai demokrasi murni ala Yunani. Misalnya: Kuomintang (Partai Nasionalis Cina) yang didirikan oleh Sun Yat-sen tahun 1894, bertujuan untuk melawan Kekaisaran Qing dan sekaligus mendirikan Republik Cina demi terwujudnya pembaruan. Barulah kemudian dibentuk Partai Komunis Cina oleh Mao Zedong tahun 1921, sekaligus menduniakan Komunisme versi Cina. Demikian pula parpol “Kongres Nasional India” -Indian National Congress- (INC) yang didirikan tahun 1885, bangkit dan menyatukan langkah melawan kuasa British di India.

Sebaliknya, “Whigs” dan “Tory” (sekarang: Partai konservatif) adalah dua parpol pertama didirikan di Inggris tahun 1832; ternyata tujuannya bukan menantang, melainkan bekerjasama dengan dinasti Stuart dan menguatkan posisi raja William III mencakup: England, Skotlandia dan Irlandia. Di Amerika; kehadiran parpol yang bergabung dalam ‘Federalist’ juga bertujuan memperkokoh posisi pemerintah Puat (Federal) -berkedok ‘persatuan’ dan ‘kebersamaan’- agar tidak digoyang dan dijegal oleh kekuatan negara-negara bagian (state). Barulah kemudian muncul “Demokrat-Republik” sebagai parpol alternatif untuk mengimbangi kekuatan ‘Federalist’; walaupun pada tahun 1820, berpisah menjadi partai Demokrat dan Republik. Inilah yang membedakan falsafah pembentukan parpol antara Dunia Timur dengan Barat.

Supaya pasti-pasti, ketika Inggris dan USA punya parpol; Aceh sudah berdiri tegak sebagai suatu negara yang megah--satu-satunya--negara di Asia Tenggara yang berani menghadang dominasi Portugis, Inggris, Belanda dan Amerika di Sumatera dan ketika Barat masih dalam kegelapan, Aceh sudah mengenal prinsip ‘distribution and separation of power’, lewat “Aceh Code” dan “Iskandar Muda Code”: “Adat bak bak Po-teumeureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak Putroë Phang, reusam bak Bintara”, jauh mengawali dan mengungguli teori “Trias Politica”-nya Montesquieu (tahun 1689-1755). Kejayaan “Aceh Code” dan “Iskandar Muda Code” karena pemerintahan Aceh tidak mengenal sistem kepartaian dan tidak mengekor kepada ajaran demokrasi (sistem kepartaian), walaupun Aceh bersahabat kental dengan orang Barat--Aceh tahu penempatkan diri--bahkan dalam banyak hal, Barat banyak belajar dari konsep kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasyiah, Oesmaniyah Turki dan Aceh yang masyhur selama ratusan tahun tanpa parpol.

Ketika ajaran demokrasi masuk ke ranah ketatanegaraan negara-negara bekas jajahan, maka bersamaan dengannya muncul fenomena dalam sistem kepartaian (demokrasi) yang melahirkan sejumlah masalah. Misalnya: bangunan hukum Islam, mustahil ditegakkan tanpa wujud suatu pemerintahan yang menghendakinya. Oleh sebab itu, muncul wacana mendirikan partai-partai berbasis Islam, yang inginkan supaya syariat Islam diatur dalam Konstitusi negara. Fenomena di atas akhirnya berubah menjadi dilema dan malapetaka dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, yakni: ketika PNI (Nasionalis), Masyumi, Perti (Islam) dan PKI (Komunis), mempertahan masing-masing konsep dalam sidang Konstituate, yang akhirnya gagal dan Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno--tidak membubarkan PNI&PKI--dan menamatkan sengketa ideologis ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam literatur Islam, urusan pemerintahan memang disinggung dalam suatu Hadis: “tidak ada agama tanpa kelompok, tidak ada kelompok tanpa pimpinan dan tidak ada pimpinan tanpa seorang pemimpin”. Dasar pijakan ini bersumber dari “Manusia itu adalah umat yang satu.” [Q: surat Al-Baqarah, ayat 213.] Jadi, konsep “ummatan wahidah” (kaum muslimin harus berada dalam sebuah ikatan kenegaraan) merupakan keharusan, bukan suatu keniscayaan. Karena belum ada penegasan tentang aplikasinya, maka Peter Mansfield menyimpulkan: “Islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah negara. Namun, seluruh bangunan hukum, tradisi dan ajaran-ajaran Islam bertumpu pada kekuasaan negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jelas...” (History of the Middle East). Perkara ini mudah terlaksana karena penguasa berkehendak. Sementara itu, dalam masyarakat plural tidak semudah dibayangkan, karena sarat dengan berbagai kepentingan golongan. Inilah konsekuensi logis dari kegagalan Masyumi-Perti dan PNI-PKI; sebab nama parpol bertopeng agama nasionalis dan ideologi yang bukan ideologi negara. Lain halnya Partai Komunis di Cina dan Rusia, di mana Komunisme merupakan satu-satunya ideologi negara dan rakyat, bahkan berhasil menduniakan komunisme lewat slogan lama: “Semua Orang Adalah Saudara” kepada slogan internasionalnya: “Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” [Kongres pertama Liga Komunis di London tahun 1847], yang terang-terangan memperjuangkan ideologi Komunisme, bukan ideologi pembebasan yang mensejahterakan rakyat.

Akhirnya, ke-29 parpol yang ikut bertanding dalam pemilu 1955, memakai nama dan simbul parpol bertopeng ideologi, nasionalis, organisasi keagamaan, patriotisme dan slogan-slogan sosial-politik. Nama parpol yang ‘bukan-bukan’ ini, berulang dalam pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 parpol; berulang kembali dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 yang ikuti oleh 3 parpol; 48 parpol dalam pemilu tahun 1999; 24 parpol dalam pemilu tahun 2004 dan 38 parpol dalam pemilu tahun 2009. Rakyat terjebak dalam proses pembodohan politik lewat simbol-simbul parpol yang membingungkan. Di Indonesia, proses pembodohan politik ini sudah berlangsung sejak tahun 1907, saat Haji Misbach mendirikan “Insulinde”, partai berhaluan ‘persatuan lokal’ di Pulau Jawa dan “Indische Partij” (Partai Hindia) berhaluan “nasionalisme Hindia” yang didirikan oleh Douwes Dekker tahun 1911. Bukankah ini parpol dan nasionalisme yang ‘bukan-bukan’?

Anehnya, politisi lokal Aceh ikut mendirikan parlok dengan nama yang ‘bukan-bukan’, seperti: Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh, yang semuanya tidak jelas konsep, arah dan wawasan perjuangannya.

Inilah kisah selintas mengenai sejarah parpol yang bertopeng suara rakyat. Tegasnya, ketiadaan visi, missi, identitas kolektif yang jelas dan kontrak politik antara parpol dan rakyat, akan memperpanjang masa kebodohan rakyat. Untuk itu, demi mengelak dari wujudnya identitas/nama parpol yang ‘bukan-bukan’, maka saatnya rakyat bangkit mendirikan parlemen tanpa parpol, yakni: parlemen yang seluruh anggotanya merupakan refresentatif langsung dari suatu unit masyarakat tertentu, seperti: organisasi wanita, petani, nelayan, lembaga pendidikan, pemuda dan mahasiswa, pedagang, budayawan, organisasi keagamaan dan lembaga independen lainnya. Hal ini, selain memudahkan hubungan antara rakyat dan wakilnya di Parlemen, juga rakyat bebas menyuarakan ide, protes dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada wakil-wakilnya, bila didapati berpikir sungsang.

Lupakan saja parpol dari benak kita, konsentrasi dan bentuk organisasi profesi yang dimanaj secara profesional, dipimpin oleh orang berilmu, jujur, ikhlas, bertanggungjawab, dan berakhlaqul karimah untuk menduduki dan menguasai kursi parlemen yang akan datang. Jika jawabannya: mungkin; inilah langkah menghidupkan sejarah. Jika tidak; perpanjang masa kebodohan dan bernyanyilah: “Buat apa susah, buat apa susah; susah itu tak ada gunanya”!

Thursday, June 16, 2011

Aceh: Ujian Demokrasi



Yusra Habib Abdul Gani

Kursi pemimpin itu amanah dan memilihnya adalah sunnah. Jadi, harakah dari pertarungan perebutan kursi pemimpin se-Aceh pada Pilkada akan datang adalah untuk men-desain pemimpin dalam bingkai sunnah yang bercorak amanah.
Bicara soal pemimpin –lewat proses demokratis sekali pun- ianya tidak akan lepas dari persoalan moral, etika dan identitas yang melekat pada diri seorang figur pemimpin, yang pada akhirnya; kemampuan berinteraksi dan berdialog dengan pihak lain-lah yang berperan dan menjadi salah satu faktor penentu untuk memperoleh pengakuan. Masalahnya sekarang, orang Aceh belum menemukan identitasnya yang authentik –yang tengah berjuang melalui Pilkada- untuk menjaring dan melahirkan pemimpin berwibawa, berilmu, bertanggungjawab, profesional, amanah, berani, jujur dan berjiwa pemersatu. Aceh, masih meraba-raba dalam remang-remang cahaya demokrasi yang di’sewa’ di Helsinki lewat kontrak politik dengan Jakarta. Pakailah, sebelum ada model demokrasi yang baru sebagai penggantinya dan belajar prinsip demokrasi yang ”tidak hanya menentukan secara bersama, tapi merundingkan bersama.” (Charles Taylor. Dilemmas and Connections, hlm. 129. Harvard University Press, 2011)
Tetapi, jika demokrasi dimaknai sebagai kebebasan untuk melawan secara brutal, tidak berani mencari kebenaran melalui forum dialog dan hendak menjadikan pertarungan perebutan kuasa sebagai medan perang total politik (’total political war’), maka siapa pun boleh mengadopsi doktrin I-Tjing (panglima perang Cina) yang mengajarkan: ”Jika anda hanya tahu kekuatan sendiri, tidak tahu kekuatan musuh, anda akan kalah;… jika anda hanya tahu kekuatan musuh, tidak tahu kekuatan diri sendiri, anda akan kalah; … jika anda tahu persis peta kekuatan anda sendiri dan peta kekuatan musuh; barulah anda menang.”
Kendati pada awalnya, doktrin ini dimaksud dan dipakai untuk mengukur kekuatan diri dan musuh dalam perang bersenjata, namun relevan pula agaknya dipakai dalam kancah ’perang’ Pilkada. Hanya saja, jika maksud Pilkada hanya bertumpu untuk menduduki kursi kekuasaan, sementara orientasi politik mengabaikan type pemimpin berkwalitas atau pemilih (konstituent)yang mentalitasnya cenderung bersikap fanatik (ta’assuf) ketimbang mengedepankan pertimbangan logis, maka Aceh akan menuai malapetaka, yakni: pembagian dan pemerataan dalam perolehan dan pembanguan yang tidak adil; bahkan lebih dari itu akan melahirkan kekuatan ’clan’ berkedok sahabat seorganisasi serta bourgouis baru yang tidak berpihak kepada rakyat.
Proses memilih pemimpin, berkaitan langsung dengan prinsip demokrasi; yang selain mendorong, melibatkan rakyat dan perwakilan rakyat untuk berperan dan berpartisipasi dalam pelbagai aspek kehidupan bernegara, juga mendidik kesadaran politik, dimana rakyat dan media massa punya ruang dan berhak menilai secara bebas -kalau pun bukan melahirkan kesepakatan (konsensus)- untuk berdialog dan sekaligus mendengar langsung bagaimana komitmen, konsep dan program, hingga rakyat merasa bahwa figur dimaksud layak didaulat sebagai pemimpin. Ujian demokrasi ini belum atau mungkin dianggap tabu dalam tradisi/budaya masyarakat kita. Pada hal membentang visi dan missi secara tertulis dan lisan dari seorang calon pemimpin sangat penting guna mengukur kemampuan berdebat di depan umum.
Dengan mengenyampingkan atau ketiadaan tradisi berdialog dan kritik ini, maka penilaian terhadap identitas politisi Aceh sebagai pengidap penyakit ”Scriptophobia”, yakni: kelainan jiwa yang tidak yakin (takut) menyuarakan sesuatu secara tertulis atau lisan pada publik; adalah sah, wajar dan logis. Sebab, tidak seorang pun calon pemimpin berani bersuara vocal mem’publish’ idé, konsep dan program cemerlang untuk membangun masa depan Aceh, walau Pilkada sudah mendekati pintu gerbang. Sikap (baca: taktik) menutup diri ini dalam dunia binatang; burung Tiung-lah yang dikenal cerdik mematuk sarang semut dari luar sambil menjulur lidah yang menyimpan air liur rasa manis. Saat semut terkecoh menghampiri dan mencicipi; sang Tiung pada posisi tidak terlihat segera menelan mangsanya. Harimau dalam rimba, juga kerap memakai taktik sembunyi di lintasan yang dilalui Rusa.
Dalam realitasnya, bukan jenis penyakit ini saja; penyakit ”Heliophobia”, yaitu: perasaan takut terhadap apa saja yang menyangkut sinar matahari juga merebak; yang secara simbolik merupakan refresentasi dari figur politisi yang takut pencerahan dan takut kebenaran; oleh sebab tidak punya idé, konsep dan program. Tegasnya, pengidap ”Heliophobia”-inilah refresentasi dari ”Tiung” dan ”Harimau” yang licik memanfaatkan masa ”sok mok” (”bingung”) yang menunggu di jalan pintas untuk merebut kuasa dan mendadak kaya.
Phenomena sosial-politik tersebut adalah diantara penyebab munculnya rasa pesimis dan kurang bergairah rakyat menyahut pesta demokrasi, ditambah dengan kesaksian dan pengalaman sebelum ini yang telah pekak mendengar slogan-slogan: ”angka kemiskinan di Aceh menurun”; ”JKA kebanggaan kita”; ”Aceh negeri kaya”; sementara itu, menafikan realitas bahwa Aceh menempati ranking ke-7 sebagai Provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan 20.98%. (Data: tahun 2010).
Malangnya, rakyat kelas bawah pun diserang oleh ”Allodoxaphobia”, yakni: kelainan jiwa yang khawatir dan takut pada pendapat diri-sendiri atau orang lain; disebabkan oleh aksi dor dari pintu ke pintu, pesan sms dan lain-lain cara untuk mempengaruhi atau menekan supaya orang tertentu dipilih. Selain itu, ”Rhabdophobia” juga menjalar, yakni: perasaan khawatir dan takut dihukum, dianiaya atau dicederai dengan suatu alat tertentu; terutama jika nafsu orang arogan tidak dipenuhi. Rakyat model inilah korban dari politisi yang meniru gaya sergap hewan ”karnivora”, yang memanfaatkan sebagai ’constituent’ (pemilih) untuk memilih pemimin.
Ada pula figur politisi yang menderita kelainan jiwa, karena khawatir dan takut terhadap kegagalan atau kekalahan. Dalam psykhologi disebut ”Kakorrhaphiophobia”. Ianya berpunca dari rendahnya kwalitas ketokohan atau punya beban psikhis, yang sebelumnya mungkin pernah memeganag jabatan jauh lebih mentrèng dan terhormat dibanding posisi yang diperebutkan, atau tidak punya barometer untuk mengukur kekuatan sendiri dan tidak tahu persis peta kekuatan musuh atau tahu kekuatan sendiri, tidak tahu persis peta kekuatan musuh. Dengan berbekal perasaan takut gagal/kalah ini, dia berusaha melancarkan manuver-manuver politik untuk menghalang/menyumbat laluan rival.
Perasaan tersebut muncul karena dibayang-bayangi oleh rasa khawatir dan takut kepada kebebasan; yang dalam dunia Psykhologi kelainan jiwa ini disebut ”Eleutherophobia”. Kebebasan untuk berdialog dan berdebat secara terbuka merupakan perkara yang menakutkan, karena merasa dirinya kosong idé, konsep, program dan menghindar dari masyarakat umum. Sebaliknya, di belakang layar mendoktrin, supaya hanya dia dipilih. Manuver lain, misalnya: menyekat pelbagai perangkat hukum untuk kepentingan umum di lembaga Legislatif. Hal ini terjadi, selain sebagai taktik menghalangi gerak lawan, juga terbukti memang tidak punya kemampuan merumuskan peraturan, merasa tertekan, khawatir dan takut bagaimana membuat keputusan. Dalam psykhologi, kelainan jiwa kolektif dan perorangan ini dinamakan ”Decidophobia”. Inilah fotrait politik kontemporer Aceh yang dilematis. Para pesakit ini jualah peserta ujian demokrasi di Aceh. Lantas, apa hasil dari Pilkada Aceh nantinya? Dalam falsafah komunikasi, yang paling penting adalah: sebelum menjawab pertanyaan tersebut; terlebih dahulu harus menjawab: ’Apa yang sedang kita lakukan dan untuk tujuan apa?

Yang Bersimpuh, Moyang siapa?


Yusra Habib Abdul Gani

Dalam koresponden via fb., Ketut Wiradnyana, komandan operasi dari Balai Arkheologi (Balar) Medan, mengatakan sedang menyiapkan laporan lengkap tentang penemuan kerangka manusia purba di dua lokasi: Ceruk Mendalé dan Ujung Karang, Aceh Tengah. Hasilnya sudah tentu bisa dijadikan pedoman atau referensi untuk menyibak kembali rahasia dan misteri kesejarahan masa lalu orang Gayo yang belum diungkap.

Pada 30 Maret 2011, Khalisuddin dari Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Aceh Tengah dan Ketut, mengajak saya ke lokasi Ujung Karang guna menyaksikan hasil temuan Balar Medan. Arkheolog ini menjelaskan dengan dengan cermat dengan interpretasi anthropologis yang mengagumkan. Diantara yang menarik adalah: diterapkannya teori „prediksi” untuk menditeksi, menemukan benda-benda pra-sejarah dan bahkan dengan ketajaman naluri; arkheolog sampai ke tahap berpikir, menganalisa, menafsirkan dan menyimpulkan objek temuannya. Selain itu; faktor kesabaran, perasaan, kerjasama, kemampuan berdialog imaginatif dan ikatan bathin (emosional) dengan objek; merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan, hingga berhasil ditemukan kerangka manusia purba (remaja di bawah usia 17 tahun) pada posisi bersimpuh, mendekap periuk, menghadap ke arah kiblat, bentuk gigi sangat cantik dan bersih di Ceruk Mendalé dan Ujung Karang pada kedalaman kurang dari 2 meter. Disamping artifak, seperti: kendi, periuk, piring yang terbuat dari tanah liat dalam kondisi sudah pecah; Kampak terbuat dari batu dan anyaman (kerajinan tangan) terbuat dari rotan berwarna putih gading, juga dijumpai di sekelilingnya. „Usia jasad anak muda ini 3.580 tahun” Ucap Ketut kepada saya. Ini berarti, kedua orang tua dan saudara Ayah/Ibunya diperkirakan 3. 650 atau lebih, sudah memiliki suatu peradaban yang berpusat di sekitar tepi Danau Laut Tawar.
Pasca penemuan ini, orang Gayo yang bukan berasal dari keturunan Batak 27 dan keturunan Batak 27, merasa gundah dan khawatir, kalau-kalau hasil DNA Moyang ini nantinya tidak ada hubungan darah –genetik dengan mereka. „Cik, jantungku berdebar menunggu hasil DNA ini…“ bisik seorang anak muda kepada saya.

Siapa anak muda ini? Apakah pendatang dari Pesisir yang menelusuri Sungai Pesangan sampai ke tepi Danau Laut Tawar? Kalaulah hasil DNA menunjuk ke arah itu, maka jawabannya adalah keratan Hadéh Maja yang menyebut:
/Ayuhai ékhuwan aneuk Acéh (/Wahai saudaraku anak Aceh)
/Asai jadéh éndatu gata (/Asal-usul yang jelas Moyang Anda)
/Ureuëng pheut tujuh sukèë (/Orang Empat tujuh suku)
/Turun dilèë nibak lhèë bansa (/Turun dahulu dari tiga bangsa)
/Nibak Arab nibak Turuki (/Dari Arab dan dari Turki)
/Nibak Parisi asai bansa (/Dari Parsi (sekarang: Iran) asal-usul bansa). Dr. Mohd. Harun, M.Pd. Memahami orang Aceh, halaman 4, cetakan pertama, 2009.)
Atau anak muda inikah cikal bakal orang Gayo, yang konon berasal dari rumpun Melayu tua dari ethnis Hui dan Uighur yang menetap di Provinsi Ningxia dan Xinjiang, Cina. Apakah Melayu tua dari Kamboja atau suku Puyuma yang tinggal di pulau Formosa, Taiwan? Apakah salah satu suku yang datang dari Rum? Atau dari….? Mudah-mudahan hasil test DNA yang dilakukan terhadap 250 orang siswa SMP dan SMA Takengon, akan membantu menjawab, walau pun ianya bersifat relatif. Test DNA, bukan satu-satunya kebenaran mutlak untuk menentukan garis hubungan darah (genetik) antara suatu generasi dahulu dengan generasi sekarang.

Yang pasti, dengan ditemukannya jasad Moyang ini, akan membuka tabir bahwa di tanah Gayo sejak ribuan tahun lalu, sudah dikenal suatu komunitas yang punya peradaban: etika, estitika, budaya, religious dan mithos. Misalnya: Moyang ini punya tatacara pemakaman yang specifik, dimana kerandanya tidak berbentuk segi empat, melainkan berbentuk oval, yang tidak pernah dijumpai dalam masyarakat mana pun di dunia ini. Moyang ini dihormati, dimakamkan dengan upacara ritual mengikut kepercayaan dan budaya dengan posisi jasad menghadap kiblat, bersimpuh, mendekap periuk nasi dan gigi yang bersih.

Menghadap kiblat adalah simbol bahwa: semua orang akan menuju ke arah yang pasti berakhir, sebagaimana pastinya Matahari tenggelam di upuk Barat dan menurut Ketut bahwa: Moyang ini mengamanahkan kepada generasi mendatang, agar orang membangun rumah menghadap ke Timur; sebab: selain pertimbangan kesehatan yang diperoleh dari sinar cahaya mentari pagi, juga hidup harus sebati dengan arah terbit dan terbenam Matahari.Bersimpuh, berarti: manusia pada kahirnya akan kembali pada posisi semula, suci dari segala dosa seperti bayi dalam kadungan Ibu. Mendekap periuk di dadanya dan artifak lain seperti: kendi, dan piring yang terbuat dari tanah liat dalam kondisi sudah pecah; Kampak yang terbuat dari batu dan anyaman dari rotan berwarna putih gading, adalah simbol bahwa: akan wujud suatu kehidupan di dunia lain –alam baqa/akhirat– untuk itu, seseorang mesti membekali diri: amalan/ibadah, agar di dunia ghaib itu seseorang tidak kelaparan, kehausan dan menghiasi ”rumah” (Syurga) dengan ukiran/anyaman, dll. Soal gigi yang besih licin, Ketut memberi komentar bahwa: Moyang ini sudah punya etika hidup yang bersih dan saya rasa; gigi merupakan organ tubuh yang sangat penting saat melakukan interaksi –temu wicara– sesama manusia. Ianya simbol keakraban, kegembiraan (tertawa) dan senyuman. Jadi, gigi memainkan peranan penting. Ini menunjukkan Moyang ini punya visi untuk menghadapi masa depan yang pasti-pasti.

Dari sudut pandang kebudayaan; keseluruhan artifak purbakala ini membuktikan bahwa Moyang ini sudah memiliki karakterisktik yang khas, berbeda dengan ethnis lain; punya budaya: etika, budi pekerti (moral) dan pengetahuan berupa keterampilan kraf tangan. Melihat kepecahan kendi, piring dan anyaman rotan di samping Moyang ini, nampaknya dikerjakan secara profesional dan perkakas ini sebagai khazanah peradaban yang mena’jubkan.

Terlepas dari pertimbangan apa pun nantinya –sebelum segalanya terjawab secara ilmiah dan sambil menunggu hasil test DNA– pada 3. April 2011, di hadapan ratusan pengungjung pegelaran: ”Gayo dalam Puisi dan Nada”, di lokasi Ceruk Mendae; tanpa siapa perintah dan tegah, Seniman L.K. Ara ”bertayamum” dengan tanah pusara moyang yang kotor ini dan bersama Salman Yoga, Fikar W. Eda dan Nasruddin (Bupati Aceh Tengah), meronta-ronta ”men-talkin-kan” Moyang ini dengan puisi yang garang memecah langit biru, merasa dan mengaku bersatu, setanah air, sejiwa dan senasib seketurunan dengan Moyang ini. Syairnya telah merenggut perasaan semua orang, membasahi tanah dan bebatuan, mentating bait-bait syair di atas rumput dan dedaunan, hingga saya pun yang diminta bicara, terjebak terharu dan menangis. Tapi bertuah, sebab air mata ini saya anggap air suci untuk ”memandikan” jenazah Moyang yang sudah lama kesepian dan keseorangan. Kami datang menyambut nilai-nilai peradabannya.

Akhirnya, walau pun Moyang dan kita, hidup dalam dua dunia yang berbeda, tokh sentuhan rasa emosional dan kesejarahan akan menghangatkan, terus kita bina, jalin dan majukan untuk menyatukan rasa persaudaraan diantara kita. Semoga kedua pihak damai.