Monday, January 30, 2012

Haul Sultan Iskandar Muda

Yusra Habib Abdul Gani


Tepat pada 27/12 tahun ini, 475 tahun Iskandar Muda meninggalkan kita. Figur politisi Aceh yang ulung di abad ke-16 ini, tetap bersemi dalam sanubari orang Aceh. Walaupun pakar sejarah Aceh tidak lengkap mengisahkan riwayat hidup beliau, tetapi beruntung “La Grand Encyclopedie. An authoritative 17th century French map”, berhasil menunjukkan peta wilayah kedaulatan Royame D’Achem (Kingdom of Acheh) semasa Iskandar Muda berkuasa, meliputi: Sumatera, Tanah Semenanjung Malaya, hingga ke Kalimantan (Borneo) Barat dan Jawa Barat; yang diterbitkan oleh pemerintah Perancis. Itu sebabnya, orang tidak akan melupakan engkau, Sultan! Dengan begitu,generasi Aceh sekarang tidak kehilangan jejak sejarah dan tidak sesat meneruskan perjalanan masa depannya.
Walaupun demikian, geliat politik dunia selalu berubah, akibat daripada perang melawan kolonial yang berkepanjangan dan seiring dengannya, tapal batas wilayah kedaulatan Aceh menyempit; sebagaimana digambarkan dalam „A contemporary English map, 1883. Published as Suplement to The Graphic, London, September 22, 1883. Another contemporary English map, Published by Fullerton & Co., London, Dublin & Edinburg, 1890.” Kedua peta ini memperlihatkan bahwa: batas wilayah kedaulatan Aceh mencakup sebagian Sumatera: ke sebelah Barat sampai Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ke sebelah Timur, hingga Sungai Kampar, Riau. Ini berarti, kembali semula kepada batas wilayah kedaulatan Aceh sewaktu Ali Mughayat Syah berkuasa tahun 1500-an. Untuk dimaklumi bahwa: batas wilayah kedaulatan Aceh inilah yang dituntut supaya diserahkan kepada Belanda, yang dalam “Ultimatum” penguasa militer Belanda pada 26. Maret 1873, antara lain menyebut: “Aceh mesti serahkan wilayah kedaulatannya atas sebagian Sumatera.” Ratusan tahun kemudian, batas wilayah Aceh menyusut berdasarkan UU. No.24/1956, UU. No. 18/2001 dan UU no.11/2006, seperti yang wujud dan kita kenal sekarang.
Bertuah, Davis –saksi mata– yang pernah berkunjung ke Aceh memberi kesaksian bahwa: ”They have divers termes of payment, as cashes, mas, cowpan, pardaw, tayell.“ (baca: Denys Lombard. Kerajaan Aceh. Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Balai Pustaka, Jakarta 1986. Mata uang Kerajaan Aceh ini beredar pula di beberapa negara-negara tetangga, sebagaimana diakui dan digambarkan secara detail oleh J.B. Tavernier,tahun 1679. (Baca:Les six voyages, jilid II, halaman. 601-602). Ini pula alasannya, orang tetap mengenang engkau, Sultan! Beberapa ragam mata uang Aceh dipakai sebagai alat pembayar dan transaksi sampai tahun 1874. Kini, mata uang tersebut disimpan dalam mesium di negeri Belanda, Perancis dan di tangan kolektor-kolektor partikuler barang-barang antik.
Berbahagia, ada surat Iskandar Muda kepada pemerintah Perancis bertinta emas di atas kertas yang sangat halus; tulisannya dikelilingi oleh beberapa hiasan emas dan gambar, yang membuktikan bahwa Aceh punya peradaban tinggi. Naskah aslinya disimpan di Mesium Paris,Perancis. Itu sebabnya, orang selalu mengingat engkau, Sultan!
Terpesona,karena Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam, budaya Melayu dan perdagangan, dimmana saudagar-saudagar asing datang membeli lada hitam, kapur Barus, buah Pinang dan barang ekport lainnya, termasuk membayar bea-cukai kepada semua kapal asing yang melintasi Selat Melaka. Beban bea-cukai ini merupakan implementasi dari MoU antara Aceh-Inggris yang disepakati pada tahun 1603. Para pedagang asing, seperti diakui Davis; kerap mengaku mengeluh atas patokan harga, tetapi Iskandar Muda tegas berkata: „Barang-barang yang kami ekport berkualitas tinggi, jika saudara mau beli dengan harga yang ditetapkan, bayar! jika tidak: pulang ke negeri tuan.“ Para pedagang asing terpaksa membeli walaupun harganya mahal, sebab mereka memerlukannya. Ini merupakan kisah menarik yang telah mengharumkan lembaran sejarah Aceh. Karena itu, orang selalu mengagumi engkau, Sultan!
Bangga, oleh sebab Iskandar Muda berhasil menjalin persahabatan, hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara terkemuka di dunia, seperti: Portugis, Sepanyol, Inggris, Perancis, negara-negara Arab, India dan Cina. Lebih daripada itu, di saat Barat masih meraba-raba dengan konsep nasionalisme dan bernegara, Iskandar Muda sudah lebih awal meletakkan dasar dan melaksanakan prinsip „separation and distribution of power“, dalam: “Adat bak po-teumeuruhôm, hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putroë Phang, reusam bak Bintara”. Artinya: Aceh lebih unggul dan mengawali teori “contract social” atau “Trias Politika” (Theory of separation of powers) Montesquieu (1689–1755) yang telanjur dibangga-banggakan itu. Itu sebab itu, orang tak akan dapat menafikan idé engkau, Sultan!
Dalam konteks ini, Barat baru sadar dan belajar mendirikan suatu pemerintahan yang berwibawa; sesudah Tariq Ibn Ziyad mengalahkan pasukan Visigoth hingga berjaya menguasai Andalusia, Cordova, dan Toledo di Spanyol. Sejak itulah Bani Umayyah memperkenalkan model kepemimpinan Islam –sistem kekhalifahan. Seterusnya, dilanjutkan oleh kekhalifahan Oesmaniyah Turki, dimana Aceh –satu-satunya negeri dari kawasan Dunia Melayu– yang ikut bergabung di dalamnya. Dalam kaitan ini dikatakan: “Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa itu - di Maroko, Istambul, Isfahan, Agra, Aceh - adalah pembina-pembina sejarah yang berhasil.” (Prof. Wilfred Cantwell Smith, “Islam in Modern History”, 1975, p.38). Oleh karena itu, hati orang Aceh selalu bergetar bila menyebut nama engkau, Sultan!
Iskandar Muda, satu-satunya figur politisi masyhur di Asia Tenggara yang berjaya meletakkan nilai-nilai islami yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sebagai konstitusi negara yang dituangkan dalam „Qanun Al-Asyi“ dan menghormati eksistensi Mahkamah Qadhi Malikul `adil. Demikian pula paham nasionalisme yang berteraskan kepercayaan dan agama. Hal ini nampak dari konsep “Ummatan wahidah”, yang dipakai untuk menyatukan administrasi dan mempersatukan kekuatan dunia Melayu untuk melawan kolonialisme.
Pada permulaan abad ke-19, pemikir politik Eropah baru sadar bahwa: keyakinan dan agama ternyata boleh melahirkan nasionalisme, seperti diakui oleh Prof. Sebastian de Grazia: “Dasar persamaan dan kesatuan yang terpokok sekali dari sekian warganegara ialah keyakinan dan agama mereka yang memperlihatkan dan menyatukan cita-cita mereka mengenai hubungan antara satu dengan lainnya dan antara mereka dengan pemeritahnya. Dengan tiada keyakinan dan agama itu, dengan tiada persamaan ini, maka boleh dikatakan bahawa masyarakat itu tidak ada.” (Prof. Sebastian de Grazia. The Political Community.)
Dalam rangka khaul Iskandar Muda, riwayat di atas dapat dijadikan barometer dan studi pembanding untuk mengukur: siapa kita di depan cermin sejarah Aceh. Yang pasti, Iskandar Muda berjaya membangun tradisi berpikir ilmiah, melahirkan sederetan Ulama terkemuka, membina peradaban dan martabat Aceh yang tegar, disegani, diteladani dan bermarwah. Dalam radius „marwah“ inilah Iskandar Muda mengukir prestasi. Jadi, „marwah Aceh“ sebenarnya: kedaulatan atas tanah, ekonomi, hukum, agama, ilmu pengetahuan, moral, etika, tradisi, resam, kebudayaan dan politik/kekuasaan. Semoga kita damai dalam dua dunia yang berbeda, SULTAN!

Merangkai Kearifan Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

SUATU hal penting yang kerap luput dari perhatian dan kurang dipahami adalah: konstruksi sosial-politik yang kita saksikan; bukan saja harus diterima sebagai suatu konsensus, tetapi juga menerima perbedaan-perbedaan, termasuk konflik sekalipun. Ini romantika dan dialektika sosial yang normal –bukan saja normal, mungkin juga baik atau terbaik dalam pandangan manusia– karena ’ego jahat’ dan ’ego baik’ dalam diri/jiwa manusia; yang secara simbolik disebut ’fujur’ dan ’taqwa’ (Q: 91 ayat 8), selamanya terjadi pertarungan untuk saling mempengaruhi dan mengalahkan. Aksioma psycho-sosial ini wujud dalam pelbagai bentuk benturan fisik, seperti: perkelahian, demontrasi, kerusuhan dan perang. Sementara benturan non-fisik, seperti: perbedaan pendapat, idé, mazhab dan penafsiran. Jadi, ”jangan berpikir bahwa kita secara mutlak bergantung kepada suatu dunia, karena kita sebetulnya perlu kedamaian dalam diri kita-sendiri dan dalam hubungan kita dengan yang lain. Dunia mengakui kekerasan, tetapi di saat peradaban kita nampak lemah untuk mengamankan diri kita; ketika pula kita nampak kehilangan harapan.” (Maclntyre. The Peaceable Kingdom. Brenda Almond, The Sources of Public Morality – on The Ethics and Religion Debate.) Berangkat dari sini, diharap agar siapapun mesti peka terhadap phenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam teori konflik, untuk mengubah dari kisruh kepada damai, memerlukan suatu proses dan melibatkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti: psychology, sociology dan hukum yang mengedepankan pendekatan persuasif, toleran, kearifan yang diangkat dari agama dan budaya. Lebih dari itu, perlu ada figur yang punya konsep untuk menamatkan suatu konflik. Dengan begitu: “beruntung bagi mereka yang mensucikannya” (Q: 91, ayat 9). Upaya demikian perlu motivasi yang boleh mendorong supaya konflik diselesaikan secara komprehensif. Jika tidak, maka “rugi bagi mereka yang mengotorinya.” (Q: 91, ayat 10).
Dalam pandangan umum, konflik selalu dikaitkan dengan ‘form’ budaya atau peradaban suatu masyarakat dan bangsa, yang boleh melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, konflik boleh menyadarkan sesorang, segolongan masyarakat dan suatu bangsa dari pengalaman buruk yang pernah berlaku dan berhasrat untuk tidak mengulanginya. Ianya merupakan pelajaran berharga untuk membangun kembali semangat, kesadaran dan kepentingan nasional baru. Jepang misalnya: mulai membangun sejak gerakan Restorasi Meiji (Meiji Ishin) dicetuskan oleh Sakamoto Ryōma tahun 1866, tetapi hancur-lebur semasa perang Dunia ke-II tahun 1945. Hanya satu yang diminta kepada kekuatan sekutu: Lembaga Kekaisaran Jepang jangan dihapus!. Selain insaf atas kesalahan yang pernah dibuatnya, Jepang juga berhasil mengalihkan image buruk menjadi form peradaban baru, merangkai kembali fragmen-fragmen kearifan yang tertimbun dan mengembangkan sains tehnologi hingga mampu menyetarakan, bahkan mengungguli kemajuan ekonomi dan tehnologi Barat. Kedua, konflik tetap diperlihara sebagai sentimen pribadi, clan, ethnis suatu masyarakat dan negara untuk diwariskan. Disini, luka lama (dendam) akan meledak seperti gunung berapi. Sentimen yang sudah berakar akan membiak dalam bentuk form konflik; sesuai dengan scenario. Inilah yang terjadi di Somalia, konflik yang tak berujung. Ketiga, faktor-faktor penyebab konflik masa lalu disimpan sebagai boom waktu oleh pihak tertentu dan pada saat tepat, dihidupkan dan dipakai sebagai konspirasi untuk mengobok-obok antara sasama masyarakat atau faksi dengan cara mempertajam perbedaan keberagaman budaya, kepentingan, pandangan, sehingga koflik terus mengalir sepanjang jalan sejarah peradaban. Indikasi ini nampaknya wujud di Aceh.
Berbanding dengan Jepang yang hanya tiga tahun dilanda konflik (1942-1945) mampu eksis kembali; konflik antara Aceh-Belanda berlangsung selama 69 tahun (1873-1942), disambung lagi konflik Aceh-Jepang selama 3 tahun (1942-1945). Aceh yang kaya pengalaman, seharusnya mampu menyulam nilai-nilai peradabannya yang pernah gemilang. Sayang, kedua peristiwa ini secara kejiwaan, ternyata berefek negatif, yakni: orang Aceh tidak kehilangan percaya diri, merasa rendah diri dan merasa ketergantungan kepada penjajah. Kelainan jiwa ini dalam psychology dinamakan ‚inferiority-complex‘. Terbukti, ketika Jepang sudah takluk kepada serdadu sekutu; segelintir kaum Ulèëbalang berusaha supaya Belanda berkuasa kembali di Aceh; sementara PUSA ingin pemerintah RI berkuasa di Aceh. Untuk itu, perjuangan Tengku Thjik di Tiro diperalat oleh Ulama Aceh yang antara lain menyebut: „... perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Tgk. Tjhi'k di Tiro....“ [Maklumat Ulama Seluruh Aceh, 15 Oktober 1945, yang ditandatangani oleh: (1). Tgk. Hadji Hasan Kruëng Kalé, (2). Tgk.M.Daud Beureu-eh, (3). Tgk. Hadji Dja’far Sidik Lamjabat, (4). Tgk.Hadji Ahmad Hasballah Indrapuri, T.Njak Arif dan Tuanku Mahmud.] Pernyataan ini dikeluarkan, justeru di saat masa depan, status Aceh tidak menentu dan orang Aceh tidak bersatu. Kenyataannya, dalam rentang masa desember 1945-februari 1946, Ulama PUSA-Ulèëbalang (dua kelompok yang dihormati, berpengaruh dan punya massa) terlibat perang saudara. Jika mereka terlibat konflik berdarah; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif? Ujung-ujungnya, pemerintah RI menyelesaikan dengan memberi abolisi melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri RI NO. 14/Keh.WKPM, tgl. 21 Desember 1949.
Konflik antara Darul Islam (DI-Aceh) dan RI tahun 1953-1962, mula-mula disepakati MoU tentang penghentian permusuhan antara RI-DI-Aceh, 5 April 1957. Syama’un Gaharu (putra Aceh), penguasa perang saat itu berkata: ”yang bertemu bukan aparat pemerintah dengan para pemberontak DI Aceh, tetapi putra Aceh dengan putra Aceh lainnya antara sesama orang Aceh, yang sedang membicarakan masalah Aceh. Hasil musyawarah inilah kemudian dinamai „IKRAR LAMTÉH“ yang berisi: (1). Menjunjung tinggi kehormatan Islam (2). Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh. Butir-butir ini selanjutnya dijabarkan kedalam SK Perdana Menteri No. 1/Misi/1959. Pada awalnya faksi Tengku Daud Beureuéh, Hasan Ali, Tengku Ilyas Leubé, dkk. menghendaki supaya pelaksanaan SK tersebut diatur dalam Undang-undang; sementara faksi Hasan Saleh (pelaku Kudeta atas kepemimpinan Tengku Daud Beureuéh, pada 15 Maret 1959) dan Husen Mujahid, dkk. merasa puas. Rupanya konflik intern terjadi di kalangan pimpinan pergerakan DI-Aceh. Konflik intern ini, semakin memperkuat missi Let. Kol. Syama’un Gaharu (penguasa perang) dan Ali Hasymi (Gubernur Aceh) untuk menamatkan konflik. Akhirnya, gerakan DI-Aceh diselesaikan dengan SK Perdana Menteri No. 1/Misi/1959. Tuntutan supaya pelaksanaan SK ini diatur dengan UU ditolak, ditukar dengan Surat Keputusan No. KPTS/PEPERDA-61/3/1962, dikeluarkan oleh penguasa perang, tgl. 7 April 1962. Tengku Daud Beureuéh akur dan turun gunung.
Menyusul kemudian konflik antara GAM-RI (1976-2005). GAM menuntut merdeka, sementara pemerintah RI mau GAM menyerah tanpa syarat. Akhirnya dicapai kompromi „Aceh tetap dalam NKRI dengan Otonomi khusus.“ di Helsinki, 15 Agustus 2005. (Hamid Awaludin. Damai Di Aceh, hlm. 36. Centre for strategic and International studies, 2008). Putaran sejarah Aceh berulang ketika Gubernur Aceh –sebagai simbol pemersatu– DPRA + KIP + KPU –simbol demokrasi tempat rakyat mengadu– terlibat konflik karena perbedaan pendapat soal calon independen dan tahapan pilkada. Masing-masing merujuk kepada pemerintah pusat, ketimbang bermusyawarah antar lembaga untuk diselesaikan di Aceh. Nampaknya, mekanisme penyelesaian konflik antar lembaga belum ada ‚rule of the gam‘-nya di Aceh. Akhirnya dirujuk ke MK, Mendagri dan Presiden. Masalahnya; jika para elite politisi Aceh terlibat dalam konflik; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif? Seharusnya, pengalaman masa lalu dapat memberi ´iktibar dan Aceh bangkit membangun masyarakat dan pemerintah yang bertamadun berteraskan nilai-nilai moral seperti: rasa malu, percaya diri, berilmu, rendah hati, toleransi dan menjaga marwah. Aceh akan hidup, jika tidak mengulangi kesalahan masa lalu; sebaliknya akan mati, jika terus mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya.

Bagaimana menyulam kearifan?
Jawabannya tersimpan dalam peradaban Aceh masa lampau, yang kaya dengan keberagaman budaya dan ethnis, seperti: ethnis Aceh pesisir berbasis India, Tamil/Kling, Arab, Portugis, Gayo, Klut, Haloban, Aneuk Jamèë dan Melayu Temiang. Pemimin (politisi) Aceh pada masa itu, nyatanya mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis. Didapati pula sebilangan kerajaan kecil, seperti: kerajaan Seudu, Purwa Indra, Indra Puri, Indra Patra, Meureudu, Jeumpa, Peureulak, Linge dan Pasé; yang suatu ketika dahulu pernah terlibat dalam konflik. Ternyata, Syèh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan berhasil menanamkan kesadaran bahwa: kebersamaan hak, persatuan, toleransi, persaudaraan dan menghargai HAM, musyawarah merupakan prasyarat dalam suatu negara. Ini sesuai dengan anjuran: “… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. 49:13) dan atas dasar kesadaran itu mereka sepakat menyatukan diri kedalam kesatuan negara Aceh Darussalam yang berdiri pada 1. Ramadhan 601 H. Selain itu, karena budaya Aceh sebati dengan nilai-nilai Islam, maka kembali semua kepada konsep: ”Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q: Fushilat, 34). Konflik politik yang kusut di Aceh, insya-Allah boleh diselesai oleh orang Aceh sendiri, tanpa harus melibatkan pihak luar, sekiranya sadar dan paham bahwa: „... disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu....”(Q: Ali-Imran, 159). Ini paradigma penyelesaian konflik universal. Sayangnya, kemampuan menyatukan berbilang kaum, kerajaan-kerajaan kecil dan mengedepankan musyawarah-mufakat –déskrispi kearifan Aceh suatu masa dahulu– sudah terkubur. Adakah figur politisi Aceh mampu menysulam kerarifan itu kembali? Wallahu’aklam bissawab!

Aceh Rebuilding civilization

Yusra Habib Abdul Gani


Abstract.
Among the values of Aceh civilization that needs to be exemplary and inherited are: unifier, friendly attitude, professional, ethics and dialogue. Recognized that the civilization of Aceh in the past, a lot of things that contain the positive and negative values. However, today, the positive values of civilization that we discussed scientifically. If necessary, soul and spirit are transferred or adopted into the social-political life of Aceh today. Therefore, many people do not know the values of history, which still has not been revealed. For a while, do not remember the negative values in the history of Aceh. Perhaps in the future, we need to discuss things that are negative in particular. Although it was less fair and honest –because let negative things– but, it's better for us to talk about good things and we take only fragments of the history of Aceh, which is useful. That's why: I'm happy to use-the word "rebuilding".
Key words: Aceh, civilization and history

Introduction.

After identification and inventory, we found that: Aceh, at least have 10 basic guidelines as a basis and reference for building a civilization. It is impossible to discuss all of them in this limited forum. Therefore we confine it on: unifier, professionalism, ethical and dialogue.
With this restriction, it would be easier for us to discuss in detail, and to offer the best solution for the internal conflict in Aceh, from the standpoint of history, morals and ethics. I purposely chose these four points, because It was relevant in the context of contemporary politics is going on in Aceh.
Most Acehnese people forget that, they are actually under way to follow in the footsteps of his predecessors. They think that their presence in Aceh society, regardless of historical ties. Apparently, the historical facts relating to ethics and morals, especially when dealing with opponents and social relations in society; there is an emotional connection, from one generation to the next generation. For example: Aceh's education system in ancient times, the superiority, not only recognized by Muslim communities in the Malay World, but also recognized by non-Muslim community, even they want to emulate.
We know now, because The New York Times review it in an editorial column, on May 15, 1873. We just know now that, from 6.643 University around the world, none of the University in Aceh, both public and private, were entered into the ranking list; because the information was published in webomitrics.info.com about "Web Ranking of World Universities, USA, UK, Canadian, Australian and others, July 2011. This fact may be refuted in Aceh, which considers the news paper or web. has no scientific standards.
Similarly Aceh border. Until now, many people do not know. We will not find in a scholarly book, written by experts in history though, unless found in special reports, such as those drawn up by Britain and France. Now we understand, what the background of the war in Aceh against the Dutch, because the newspaper: the London Times 1873, 1874, New York Times 1873, 1874, Basyirat Turkey 1873, 1874 ; Franzer's Magazine 1873 review in detail.
Now we understand that, before the war erupted between Aceh and the Dutch in 1873; ongoing dialogue between Aceh negotiators with the commander of the Dutch war, on a Dutch warship. After reading the telegram –letter secret– from the Sultan of Aceh to the government of the United States, we know now that, United State of America is a close friend of Aceh, when war erupted between the Aceh against the Dutch. The contents of the letter was not found in scientific books, but written in the New York Times in 1873 and 1903. The story above proves that, Aceh had a high civilization. Our task is now to analyze, interpret and connect the facts of history in a contextual sense, not textual. Let us discuss and we test the truth of references presented, mutual respect and complement.

Methodology (provide short methodology)

To write this paper, I use the method of literature, compiled from several sources, such as: scientific papers (books), newspaper, special reports and limited, especially regarding map -territory of Aceh- compiled by the British and French intelligence agencies. In addition, I use a correlation approach, which try to connect the chain of past history with the politics of contemporary Aceh. I also use the analysis and interpretation of all the facts, about the history of Aceh. Because, I think that, we have the right to correct our own history. Thus, this discussion expected to help find the best solution to resolve the internal conflict in Aceh from the historical approach.

Discussion
Sjèh Abdullah Kan'an and Merah Johan had succeeded in uniting several kingdoms, such as: “kingdom of Seudu, Purwa Indra, Indra Patra, Indra Puri, Indra Purba, Peureulak, Pase, Continent and Linge into the kingdom of Aceh Darussalam”;[1] … Ali Mughayat Shah managed to unite the “territorial sovereigtnty of Aceh, to the east until the Kampar River in Riau and westward to the Padang Pariaman, West Sumatra.”[2] Iskandar Muda managed to unite the kingdom of Aceh include: “Sumatra, Malay Peninsula Land, West Borneo and West Java.”[3] This fact proves that, Aceh is the unifier that unifies the power to repel invaders. Mughayat Ali Shah said: “During the small kingdoms remained independent and did not join in a strong force of the kingdom and united, then the resistance will not have much meaning. "

Forget for a moment about mega projects undertaken by Ali Mughayat Shah and Iskandar Muda. They are brilliant thinker about big things, managed to unite the administration, the soul and the views of some ethnic and country into the territory of the kingdom of Aceh. Not our class to think like that. What is important is: how can the present generation to revive the spirit, soul and the idea that the Acehnese can be united; Aceh needs to figure to lead, which can bring together, unify their views and see Aceh as belonging together, build together and organize together.

Turkey's experience very well be the lesson of history, losing a vast empire territory, then they are aware of the mistakes of his past and rose to revive the spirit of Turkey; in the sense: never again think to expand the territory, but rather unite to build the civilization of Turkey's future is more bright and glorious. The difference: if Turkey does not lose the country, building on behalf of the state; while Aceh lost the state, building on behalf of the province.

Aceh also had diplomatic and trade relations with the Netherlands, placing Tengku Abdul Hamid as Aceh Ambassador plenipotentiary to the Netherlands. “The Aceh Government has allowed the Dutch government's request to establish representation (consulate) in Padang Netherlands in 1602.”[4] The success of Iskandar Muda political relations, trade with some countries that are influential in the world at that time, such as: Turkish, Dutch, English, American, French, Portuguese, and the Arab world, even in Aceh became “a member of the bloc of the Islamic world -The big five - with Turkey, Morocco, Isfahan and Mongolia.”[5] This fact proves that, Aceh is a nation that is open to the outside world. Aceh is also central to the coaching and development in various fields of science: literary, jurisprudence, criminal law and politics, etc., give space and freedom to the Ulama to build a tradition of scientific thinking and spawned a number of leading scholars in Aceh, such as: “Sjèh Yacoub al-Singkili, Shamsuddin Sumaterani, Nuruddin Arraniri and Hamzah Pansuri, etc.”[6]

The above events can be stimulating and inspiring that: if the former Aceh have diplomatic and trade relations with the countries leading the world. Why does the current generation, not trying to set up trade representative, so merchants from Aceh can conduct trade contractions with countries in Southeast Asia, the Middle East, Europe and America. If the fast, Aceh became a center of education, cultural studies and Malay. Why now, Aceh is not seen as central to the scientific world? It is time to think about, in order to Aceh to build tradition of scientific thinking. People who have the insight to the future of Aceh will ask: how foreigners pinned their hope and come to continue their study at universities in Aceh, not the opposite of!

Malaysian government policy in the 70's is right, invited teachers from Indonesia to teach in schools in Malaysia and sending students abroad. Now, Malaysia has mastered and become the center of modern education in Southeast Asia. In the 1990s, Malaysia has also attracted many foreign investors in various industrial fields. Now, Malaysia is ahead in the field of technology transfer and open up many job opportunities. Aceh had to look inward and strive to build trust so that foreign investors come to Aceh. For this, prepare all the instruments and infrastructure, so that foreign investors are not disappointed.

Cooperation between Aceh and several foreign countries in the education program is already running. Aceh has sent thousands of students to study abroad in various fields of science. The problem is: whether their expertise is required in accordance with the quota in Aceh? Therefore, many Acehnese graduate students abroad to complain; because after graduation, no jobs available in Aceh and finally, they work outside of Aceh. These problem relates to the workings of a government, professional or not.

Speaking of professionalism. In the past, the education system in Aceh is not only recognized by the Islamic community in the Malay world, but also recognized by non-Muslim communities, who consider that Aceh education, it was time to imitate and emulate as a reference. In this context puts it: "Now it may be said that education was begun in Aceh to the descendants of a new Christian. Soon to be known publicly that the people of Aceh was not a savage nation that is not deep nerves (not good at thinking), but they are a very good Muslim society and the nation's heroes.”[7]

Finally: as a civilized people, Aceh know and use ethics when dealing with opponents and always favored dialogue rather than violence. For example: when the Dutch envoy Warlords went ashore and deliver a message containing: "Aceh must be surrendered to the Dutch and or give one of the city, where the Dutch hung."[8] Accordingly, Aceh negotiators went upstairs to meet the Commander of the Dutch war ship and deliver the Sultan of Aceh following mandate: "Aceh is an alliance of independent states and Turkey Osmaniyah Daulah. So will we let this matter prior to the Turkish government. After that the Dutch warship left the waters of Aceh.”[9] Here, it is clear that, Aceh have ethics or manners when dealing with the enemy and promoting dialogue, before deciding to war! This is a beautiful thing in the piece the history of Aceh, which teaches that: ethics and dialogue are the two things are very important in order to create a harmonious circumstances, orderly and safe in the community. So, what's wrong, if we focus on ethics and dialogue, to reduce political tensions and to avoid the occurrence of horizontal conflicts among the Acehnese. Islam teaches to consulted (musyawarah), before deciding a case, moreover concerning the future of politics and the people of Aceh.

Conclusion.

If we look carefully, in Aceh civilization there are many historical values, which deserves to be imitated, exemplary and inherited. It means, Aceh has assets and capital. That's the power of history of Aceh. Not all the nations of the world has a heritage of history. Aceh is one of the nation who have it. So, we must redefine the treasures of the past of Aceh.

It was different from the history of Japan. In Japan, the Meiji Restoration reform movement (Meiji Ishin) spearheaded by the new Ryoma Sakamoto in 1866 AD until 1869, which made contact with the U.S. Navy, led by Matthew Perry. At that time, Emperor Mutsuhito ruling (January 25, 1868 - July 30, 1912). He changed the name, from Emperor to Emperor Meiji Mutsuhito. “He is announcing five "5 chapters decree", include:

- The establishment of legislative councils.
- Involving all community groups to conduct inter-state relations.
- The recall of taxation rules and restrictions in the job class.
- Replacement of "Satan tradition" with "natural law".
- Send an envoy to Europe and America to study Western science and strengthen the legal foundation of the Meiji government.” [10]

For reasons that I use the word "rebuilding"; because Aceh did have a heritage of civilization that remain relevant long used as a reference. I do not use the word "to build", so It was to give meaning and interpretation that the Acehnese had no civilization and must build a new civilization that is not clear footing and referent.

References:
[1] . Meurah Johan Raja Aceh Darussalam Pertama. Panitia Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV, Kabupaten Aceh Tengah, Takengon, 21 Jumadil Akhir 1425 H; 8. Agustus 2004 M. Halaman 9.
[2] A contemporary English map showing Achehnese territory in 1883 –ten years- efter the beginning of war with Holland. Published as Suplement to The Graphic, London, September 22, 1883. Another contemporary English map, Published by Fullerton & Co., London, Dublin & Edinburg, showing Achehnese territory in Sumatra in 1890 – 17 years since the of Dutch invasion The Shaded area representing Acehnese territory falling under Dutch occupation. See also; Yusra Habib Abdul Gani. Status Aceh Dalam NKRI, halaman 190 & 192. Penerbit, Institute for Ethnics Civilization Research, 2008.
[3]. La Grand Encyclopedie. An authoritative 17th century Frech map, showing other, the territory of the Royame D’eAchem (Kingdom of Acheh) in Sumatra, Malaysia, West Borneo and West Java. See also, Yusra Habib Abdul Gani. Status Aceh Dalam NKRI, halaman 178. Penerbit, Institute for Ethnics Civilization Research, 2008.
[4]. Yusra Habib Abdul Gani, Mengapa Sumatera Menggugat. Diterbitkan oleh: Biro Penerangan Angkatan Aceh Sumatera National Liberation Front, 2000. See also; Editorial, The New York Times, tgl. 15 Mei 1873.
[5]. Prof. Wilfred Cantwell Smith, Islam and Modern History, 1975, p.38.
[6]. Yusra Habib Abdul Gani, Mengapa Sumatera Menggugat. Diterbitkan oleh: Biro Penerangan Angkatan Aceh Sumatera National Liberation Front, 2000, halaman 28.
[7]. Pidato Ilmiah Tengku Hasan M. di Tiro. Perkara & Alasan di hadapan “Scandinavian Association of Southeast Asian Social Study”, Gôtteborg, Sweden, 23. Agustus 1995.
[8]. Basyirat Turky (Newspaper). See also; The New York Times, on Mei 5, 1873.
[9]. Ibid.
[10]. Web: Okyakusama, Moshimoshi, netne net. e Youkusoo!!! Zaman Meiji (1868 M – 1912 M).

Phenomena Kebudayaan dan Falsafah Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

Kebudayaan, selamanya menjadi thema menarik untuk dibincang; bukan saja karena mengandung aspek pengetahuan, keterampilan, simbol komunikasi antara sesama manusia dan seni; akan tetapi juga karena ianya sebagai gerakan akhlak/moral. Dikatakan demikan, oleh karena akar kata ‘budaya’ berasal dari ‘Buddhayah’ [bahasa Sangskerta]; yang berarti: budi atau akal. Maka berbicara tentang kebudayaan, berarti membincangkan soal upaya membentuk dan menimbang kadar karat intelektual dan moral dalam peradaban kita. Inilah sesungguhnya saripati dari kebudayaan.

Walaupun kebudayaan berasal dari buah pikiran –bukan agama wahyu– tetapi dalam masyarakat Aceh diakui, bahwa budaya (termasuk resam dan adat-istiadat) berhubung erat, bahkan dipakai sebagai pelindung agama. Dengan kata lain: “Adat pagar agama” dan hubungan antara keduanya ’lagèë zat deungon sifeuët’. Dalam prakteknya didapati bahwa, phenomena agama sarat dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar pikiran manusia, eksistensi, logika dan hasil karyanya; dicoba diterjemahkan ke dalam bahasa untuk dipahami. Tetapi demi konsepnya sendiri, agama merupakan petunjuk hidup (wahyu Allah) bernilai universal bagi manusia itu memiliki nilai-nilai multak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam pemikiran kebudayaan. Namun begitu, para ilmuan berusaha menguhubungkan antara keduanya –setidak-tidaknya– menguji “religion as an historical and social phenomenon, as the medium of tradition and communication among men.”[1]
Dalam pandangan Burkert, agama merupakan perantara yang bersangkut-paut antara tradisi, lintas pendapat, phenomena sosial dan kesejarahan dalam masyarakat. Ini suatu langkah maju dalam pemikiran sejarah, kebudayaan, tradisi dan agama itu sendiri. Pengakuan ini sebagai salah satu alasan utama ‘mengapa agama dalam realitasnya memiliki peran penting dalam tatanan kehidupan masyarakat.’ Dalam konteks ini dikatakan: “religion is a stabilizing factor of the first order in society. As such it appears in its enduring aspect, always a given tradition which is modified time and again but never replaced by something entirely new.”[2] Tegasnya, agama sebagai faktor penyeimbang dalam tatanan sosial. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa benturan-benturan antara konsep moral dan nilai-nilai tradisi yang bersumber dari budaya, yang bersifat dogmatis dan bersumber dari agama tetap saja terjadi. Bukan saja itu, dalam peradaban manusia yang berbilang kaum, gèsèsan dan konflik antar budaya sulit dielakkan. Jadi, apa pun alasan dan motif perselisihan faham tentang kebudayaan, semestinya ia tetap berada dalam koridor moral, akal dan pengetahuan. Perkara inilah yang merangsang kita untuk segera merumuskan definisi kebudayaan yang baku, konsep, bentuk, aktivitas, cakupan, standarisasi dan korelasi kebudayaan yang bercorak ke-Aceh-an; khususnya mengenai eksistensi bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Kluet dan Jamèë. Secara nazhriyah (teoritis), masalah budaya, bahasa dan sejarah sering didiskusikan dalam Seminar atau forum ilmiah lainnya, namun secara amaliyah (praktis) belum nampak impact positifnya dalam masyarakat, apalagi mewujudkan bahasa ini sebagai alat berpikir untuk meluahkan ide dalam tulisan ilmiah.
Kita baru memiliki kamus, tetapi belum dijumpai buku-buku yang ditulis dalam bahasa Aceh atau Gayo yang membahas ikhwal agama atau ilmu pengetahuan umum berstandard ilmiah. Belum ada orang dan lembaga bahkan Pemda sekali pun yang mempelopori penerbitan Suratkabar atau Majalah budaya (bulanan), media visual (TV) dalam bahasa Aceh dan Gayo. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Malaysia; dimana Suratkabar, Majalah Keluarga dan hiburan populer diterbitkan dalam bahasa Melayu, Cina, Tamil dan Inggeris, termasuk tayangan TV dengan beragam bahasa. Secara jujur mesti diakui bahwa, bahasa Aceh dan Gayo hanya dipakai dalam lingkungan terbatas (keluarga dan dalam komunitas tertentu). Orang Aceh tidak seluruhnya mengenal huruf abjad, menulis, tidak mampu berpikir cepat dan ilmiah dalam bahasa Aceh atau Gayo, dibandingkan menulis dan berpikir dalam bahasa Melayu (Indonesia).
Jika tidak diupayakan perumusan konsep, akan mendatangkan malapetaka kebudayaan dalam peradaban kita dan para budayawan akan mengekor kepada mazhab Charles Tailor, yang memasukkan hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia –termasuk agama– ke dalam definisi ’culture’ dan lebih jauh dikatakannya: ”tindakan-tindakan kultural kita bukan hanya bersifat pribadi atau subjektif, melainkan dibentuk secara sosial; itulah ’intersubjektive’.” Demikian pula W. A Haviland, yang memberi definisi ’culture’ sbb: ”peraturan standard yang jika dipatuhi oleh suatu masyarakat, akan menghasilkan prilaku yang dianggap layak dan diterima oleh masyarakat lain.” Selain itu, Clifford Geerlz mendefinisikan ’culture’ begini: ”sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna dari hidup kita yang dikenali lewat sistem simbol-simbol.” Definisi ketiga antropolog di atas semata-mata berangkat dari ’culture’ yang mereka kenali dalam struktur masyarakat tertentu yang beraneka ragam coraknya, sekaligus merumuskan nilai-nilai dan kredibelitas budaya. Pada hal temuan mereka sangat berbeda dengan konsep ‘Buddhayah’ yang kita miliki dan maksudkan. Oleh karena kita belum mampu merumuskan konsep dan bentuk-bentuk kebudayaan menurut pikiran kita, maka selama itu pula terperangkap dengan postulate kebudayaan asing yang kandungan dan missinya belum tentu relevan dengan agama (Islam), nilai-nilai tradisi dalam peradaban kita.
Dalam konteks kebudayaan, nampaknya kita masih mencari-cari identitas. Budaya dan tradisi kita sedang berada di persimpangan jalan, tidak bisa mengelak dari arus globalisasi informasi dan budaya yang berlangsung lewat interaksi dan asimilasi budaya yang terus-menerus merapatkan antara kelompok budaya dengan kelompok budaya lain, bahkan interaksi budaya antara suatu bangsa dengan bangsa lain. Silang budaya tadi, di satu sisi bisa saja saling memajukan, menghidupkan, melengkapi, memodikasi bentuk –mungkin rusak atau indah– dan di sisi lain, akan dikuasai dan hilang, karena kalah dalam pertarungan budaya untuk saling menguasai dan bahkan mematikan suatu salah satu daripadanya. Pengaruh dari interaksi budaya tadi bisa dirasakan dari ’trend’ masyarakat yang ganderung meniru budaya dan bahasa asing, sebaliknya merendahkan prestige budaya, tradisi dan bahasa asli. Kini saatnya kita menentukan pilihan! Mengakui dan menghormati budaya kita bukan berarti menolak sepenuhnya kehadiran budaya asing. Kita menerima budaya dan bahasa asing dalam batas-batas tertentu, sejauh tidak merusakkan akar budaya kita.
Dalam kaitan ini dikatakan: ”... Salah satu sikap salah kita, yaitu: seolah-olah bahasa Inggeris boleh memperkatakan ilmu modern dan bahasa Melayu tidak mempunyai kemampuan langsung. Hakikat sebenarnya ialah manusia Melayu itu. Dialah yang penting, jika dia berilmu, tidak kira dalam bahasa apa pun ilmu itu disampaikan, dia mencatat kemajuan. Orang Perancis, walau pun tahu berbahasa Inggeris, tidak mau memakai bahasa tersebut, sebaiknya dengan tegas menggunakan bahasa kebangsaan mereka.” [3] Betapa pentingnya bahasa bagi suatu masyarakat dan bangsa, sehingga Perancis bersedia menjadi promotor dalam aksi kampanye supaya negara-negara Caribian sampai Indocina yang termasuk dalam ”Lafrancophonie” (”kumpulan negara-negara berbahsa Perancis”) tetap bertutur dan mempertahankan bahasa Perancis. Dalam Sidang Istimewa tahun 1993, Perancis menegaskan dan mau supaya 47 negara anggota kumpulan itu memperluas peranannya, bukan saja mempopulerkan bahasa dan kebudayaan Perancis, tetapi juga diplomasi internasional bagi melindungi dari pengaruh penguasaan bahasa Inggeris (Amerika Serikat). Tegasnya menantang arus pengaruh penguasaan kebudayaan Anglo-Saxon, khususnya dalam konteks hak budaya. Diantara prestasi gemilang dalam diplomasi kebudayaan Perancis ialah: ditetapkannya bahasa Perancis sebagai bahasa resmi yang tertera pada Kop Surat PBB (UNHCR). Sekali lagi, kita tidak menolak cerita roman atau kesejarahan asing, sejauh ianya mampu membangkitkan imajinasi dan ide untuk menghidupkan kembali khazanah budaya. Kisah Doremon atau Atromen dalam siri film karton Jepang misalnya; yang secara sengaja menitipkan nilai-nilai budaya Jepang, mulai dari nama tokoh, pakaian, lingkungan alam, wajah pelaku dan kebiasaan-kebiasaan yang disajikan, nampak berteraskan budaya Jepang dan diterima di seluruh dunia. Dalam perluasan cerita ini jelas nampak unsur dagang, dengan menjual kartu dan patung Doremon-Atromen yang membuat anak-anak seluruh dunia ’gila’ membelinya.
Inilah diantara cara dan taktik Jepang mengubur kesan negatif semasa perang Dunia ke-2 demi memulihkan image kepada generasi dunia di masa mendatang. Cerita fiksi asing ini bisa diambil idenya, sehingga khazanah budaya (cerita rakyat), seperti: ”Amat Rhah Manyang”, ”Atu Belah” dan ”Malim Dewa” yang sudah terkubur, menjelma kembali dalam bentuk novel dan atau mem-film-kan. Kebudayaan, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari cara berpikir, kreasi, politik, ekonomi, identitas, falsafah dan kehidupan keagamaan. Jadi, ‘gerakan politik nilai-nilai’ dalam konteks kebudayaan bisa ditafsir, dipahami dan diserap lewat cerita rakyat, sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Hiraclitos di Yunani, dimana para seniman dan budayawan memanfaatkan dialog dalam drama ”Antigone” dan “Olympus” sebagai suatu ‘gerakan politik nilai-nilai’ dan sekaligus ajakan agar rakyat selalu peka terhadap nilai-nilai budaya dan politik, menyikapi ketidak-adilan, tindakan sewenang-wenang, kebenaran dan keadilan. Masalahnya: budayawan kita tidak punya nyali, kekurangan ide dan pengecut.
Satu hal yang menarik dan harus perhatikan dalam perbincangan budaya; bahwa dalam tubuh kebudayaan, melekat di dalamnya karateristik, mudah memotret dan mengenali dari dekat streotype dari pemilik budaya. Melalui penelitian dan kajian intensif, orang akan menemukan kunci untuk membuka benteng kekuatan budaya dan menakluki pemilik budaya (masyarakat atau negara) tersebut. Sebagai contoh: hasil penelitian Francis Xavier (seorang pakar peneliti sastera Melayu yang diutus oleh Portugis sebelum memerangi Melaka tahun 1511) sangat menarik untuk disimak. Xavier menyimpulkan, bahwa bangsa Melayu adalah orang mata duitan, irihati dan dengki. Mula-mula dia terfokus kepada bait pantun: "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang. Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah." Ini refreksi patriotisme dan heroisme orang Melayu. Tetapi Xavier tak mau berhenti sampai di sini. Dia terus menelusuri lebih jauh jejak-jejak dan menyibak rahasia di sebalik sastera Melayu, hingga menemukan bait pantun: "Puas saya bertanam keladi, Nenas juga ditanam orang; Puas saya bertanam budi emas juga dipandang orang." Ini yang sangat menarik dalam sorortan Xavier. Maka untuk membuktikan kadar kekuatan politik dan militier kesultanan Melaka, Portugis melakukan ujian.
Untuk itu, dalam kunjungan resmi ke Melaka tahun 1509, diplomat Portugis sengaja memberi kalung emas kepada Bendahara kesultanan Melaka dan tidak memberi apa pun kepada Mahmud Syah (Sultan Melaka.) ”Rupanya, Nina Chattu dan Uthimutha (pegawai Istana Melaka keturunan India), sudah lebih awal diloby (diperalat) oleh Alfonso D´ Albuquerque (dinas intel Portugis) yang menjanjikan sesuatu kepada mereka. Atas dasar janji inilah, keduanya menghembuskan berita ini di kalangan Istana, hingga muncul keretakan dalam pemerintahan Mahmud Syah. Dalam situasi kacau-balau itulah, Portugis menyerang Melaka tahun 1511. Diakui bahwa, kejatuhan Melaka tidak terlepas dari konspirasi politik tadi.” [4]
Di sini terbukti bahwa pantun: "Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah" dipadamkan oleh bait: "Puas saya bertanam budi: emas juga dipandang orang." Ternyata diagnoze Xavier akhirnya terbukti. Jatuhlah Melaka ke tangan Portugis!
Di Aceh lain pula kisahnya. Salah satu faktor penyebab gagalnya serangan Belanda ke atas Aceh tahun 1873, karena Belanda belum menemukan kunci budaya dalam serangannya. Bangsa Aceh punya falsafah: ”Nibak singèt got meutunggéng; nibak tjeurah got beukaih” Secara moral berarti: orang Aceh lebih memilih mati syahid daripada hidup dijajah. Falsafah ini dijabarkan lebih lanjut dalam ’Hikayat Prang Sabi’ yang mengobarkan semangat patriotisme dan hiroisme Aceh. Tetapi menjelang tahun 1880-an, pakar psyckhology perang, ditambah lagi setelah kedatangan penasehat militer Belanda (Snouck Hurgronje) ke Aceh, yang berpendapat bahwa ’Hikayat Prang Sabi’ ini sangat berbahaya, sebab di mata orang Aceh, Belanda adalah orang kafir dan perang melawan kafir disifatkan sebagai Perang Suci (Holy War), yang kalau gugur dalam medan perang berarti mati syahid. Apa pun dalihnya, pakar psychology perang Belanda tidak mau kecut dengan kegarangan falsafah dan ’Hikayat Prang Sabi’. Di sela-sela itu, mereka menemukan pepatah yang bisa membuka tabir atau aurat moral politik Aceh, yakni: "Meunjoë bak pèng gadoh djanggôt" (dengan uang, janggut bisa hilang).
Inilah yang membangkitkan semangat petinggi militer Belanda. Orang Aceh diklasifikasikan sebagai gila wanita, harta, gelar, kuasa dan pengkhianat. Maka, dalam sejarah perang melawan Belanda, Aceh terperangkap dengan kekuatan jaring-jaring budaya yang dipasang Belanda. Banyak pejuang dan politisi Aceh akhirnya tergilas oleh kenderaan ’tank tank’ budaya –pèng grék, gelar, pangkat dan penghargaan– misalnya saja: Habib Abdurrahman Zahir (Menlu Aceh) yang terperangkap oleh tawaran juru runding Belanda saat berunding di Pulau Pinang, tahun 1875. Dia kemudian berkhianat kepada negara Aceh dengan menikmati fasilitas perumahan dan jaminan biaya seumur hidup selama tinggal di Saudi Arabia dan ratusan gelar dan pangkat yang ditabur kepada Ulèëbalang dan kepada kombatan perang yang mengkhianati Aceh. Dengan taktik inilah Belanda, yang kendati pun selalu dalam keadaan ketakutan dan tidak pernah merasa aman di bumi Aceh, tetapi mampu juga bertahan selama puluhan tahun (1874-1942).
Perjuangan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Tengku Daud Beureu’eh (priode 1953-1961), ”yang secara militer dan politik sudah berdaulat selama 4 bulan di Aceh, khususnya wilayah Aceh Tengah dan Aceh Utara”[5], akhirnya menerima paket: ”Aceh Daerah Istimewa” dalam bidang: pendidikan, budaya dan syari’at Islam. Penerimaan ini, secara moral tidak terlepas dari falsafah: : ”Nibak buta got juléng, nibak putôih got geunténg.” Daripada tidak wujud NII (wilayah Aceh); lebih baik terima gelar ”Aceh Daerah Istimewa” –sekurang-kurangnya berdiri Unsyiah– pemberian rezim Soekarno kepada Aceh, sebagai gelar susulan ”Aceh Sebagai Daerah Modal” dari Soekarno tahun 1948, disertai dengan pemberian kompensasi –pèng grék– kepada petinggi D.I Aceh.
44 tahun kemudian, GAM yang punya cita-cita dan berjuang memerdekan Aceh, akhirnya menerima paket ’self government’ dalam MoU Helsinki (15/08/2005) –yang menurut Ketentuan Umum UUPA adalah Otonomi khusus yang diperluas– dan mengakui kedaulatan dan konstitusi Indonesia di Aceh. Penerimaan ini, secara moral berkaitan dengan falsafah: "Meunjoë ka seupakat, lampoh djeurat ta peugala" ("Kalau sudah sepakat, tanah kuburan kita gadai. ") Secara simbolik dan atau refleksi dari falsafah ini dapat disaksikan dari pernyataan ini: ”… GAM telah membuat banyak konsesi.” [6] dan ”Apapun hasilnya, MoU ini mesti ditanda tangani.” [7] Bukti lain misalnya: ”Apakah para perunding GAM lebih baik pulang dengan tangan kosong dari Helsinki dan membiarkan perang terus berlanjutan dalam suasana bencana tsunami yang baru menelan lebih dari 230.000 nyawa rakyat Aceh?” [8]
Pernyataan ini merupakan refleksi dari falsafah dagang politik Aceh: ”Bloë Siploh, peubloë Sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” (Beli sepuluh, jual sembilan, dalam ruang itu cari laba”) Ini ‘total materialistist’, yang tidak mau rugi sepeser pun. Artinya: sah-sah saja kecundang di Helsinki –mencampakkan cita-cita merdeka dan menerima konsep Otonomi Khusus yang diperluas, yang dalam realitasnya juga banyak point-point MoU yang tidak bisa direalisasikan, karena dijabarkan lebih lajut dalam UUPA dan perlu perangkat hukum seperti: Inpres, Kepres, qanun dll, yang seharusnya sudah ada aturan petunjuk, satu tahun setelah UUPA disahkan– tapi dalam ruang kekalahan itu mencari dan memperoleh laba, seperti: menjabat Bupati, Sekjen dan anggota BRR, Ketua dan angota BRA, Ketua, wakil dan anggota DPRA/DPRK dan munculnya klass bourgeois baru di Aceh.
Sekarang, aurat moral politik dan budaya Aceh sudah dikenal orang secara meluas. Oleh sebab itu, untuk membina suatu bangunan peradaban dan masa depan Aceh yang cerah dan mulia; Aceh harus merumuskan konsep, standarisasi, struktur kesadaran budaya dan politik baru, pemikiran baru dan falsafah modern, strategi untuk merekonstruksi rasa kebanggaan ke-Aceh-an kembali. Hanya saja, sejauh mana komitmen penguasa Aceh dalam menyahut dan mengagihkan dana dan penyediaan sarana. Terus terang, strategi budaya kita belum tiba ke tahap mempengaruhi dan menawarkan sesuatu kepada dunia luar. Di hadapan kita musuh menyerang dengan bersenjatakan: ”mission sivilstrice”, ”The white men’s burden”, ”culture colonialism and imprialism” dan ”saving natives” dan menerobos benteng kebudayaan dan kesejarahan kita dengan peluru tanpa suara. Bangun dan megahkan, sembari mencari daya tangkal untuk menghadapi serangan budaya asing tersebut, agar budaya kita selamat, terhormat, tidak terkikis dan terusir.

Referensi:
[1] . Walter Burkert. ‘Homo Necans. The Anthropology of Ancient Greek Sacrificial Ritual and Myth’, halaman xxii. University of California Press, 1983.
[2] . Idem, xxiii
[3] . Prof Dr. Nafsiah Karim, Guru besar Universitas Malaysia. ‘Persoalan Masyarakat Melayu Menjelang Abad ke-21: Perspektif Bahasa’. “Utusan Malaysia”. Malaysia, medio 1996,
[4] . Armando Cortesao. ‘The Suma Oriental of Tome Pires’. Halaman 287. London, 1994
[5] . Cornelis van Dijk. Darul Islam: sebuah pemberontakan. Grafiti Pers,1983
[6] . Pernyataan Tengku Malik Mahmud pada Upacara penandatanganan MoU GAM-RI, Helsinki, 15. Agustus 2005.
[7] . Pernyataan Tgk. Usman Lampohaweé dari Penjara Sukamiskin, Jawa Barat. Acehkita.com, medio tahun 2005.
[8] . Nur Juli (Mantan Perunding GAM). ‚Arti Kunjungan Martti’. Kolom: Opini Serambi Indonesia, 20. Nopember 2010.