Tuesday, January 25, 2011

“Finest hour” dan “Biëng Bak Babah Bubèë”

Yusra Habib Abdul Gani

Dalam sejarah Inggris, istilah “finest hour” (“putaran jam terbaik”) tidak dimaksudkan ketika Inggris berjaya menjajah sebagian benua Amerika, Australia, New Zealand selama ratusan tahun dan beberapa negeri di kawasan Dunia Melayu, India dan sebagian lagi di Afrika; melainkan menunjuk kepada waktu dan situasi kritikal, di saat Inggris harus menyelamatkan negaranya dari ancaman pendudukan militer Nazi dalam rentang masa (1939-1945).
Inggris mengingsafi bahwa, kalaulah bukan karena bantuan tentara sekutu, bisa dipastikan bumi Inggrispun akan ranap menjadi padang tekukur, sebagaimana dialami oleh beberapa negara lainnya di Eropa. Betapa tidak, Inggris telah kehilangan kapal perang Royal Oak Navy di pangkalan sendiri dan semenjak oktober 1941; 144 kapal perang dan 73 kapal dagang berhasil ditenggelamkan oleh tentara Laut Nazi dibawah pimpinan Dönitz dengan memakai sistem penyerangan Wolf Park. Untuk mengingati pengalaman pahit inilah, Admiral Sir Andrew Cunningham sadar benar, bahwa ‘meskipun hanya butuh waktu 3 tahun untuk membangun sebuah kapal, tapi butuh waktu 300 tahun untuk membangun tradisi.’
Inggris bangkit melawan Nazi, rakyat dilibatkan secara langsung dan tidak sendirian. Politisi Inggris meloby Amerika serikat dan mitra lain, untuk bersama-sama menggebuk kekuatan Nazi yang hampir tak tertahankan itu, akhirnya berjaya merebut jembatan Bènouville dan menghancurkan jembatan sungai Dives, yang dianggap sebagai jalur penghubung tentara Nazi dari wilayah Jerman, menyerang pantai Sword dan mempercundangi pasukan Nazi di kawasan Bayeux dengan mengerahkan 314.547 personel, 54.000 kenderaan, 102. ton persiapan senjata. Sementara tentara Amerika memiliki 314.504 personel, 41.000 kenderaan dan 116.000 ton persediaan. Selamatlah Inggris!
Romantika kebijakan militer dan politik yang melahirkan istilah “finest hour” Inggris itu, diulas secara rinci oleh Lawrence James dalam “The Rise and Fall of the British Empire” 1994, yang bisa dipandang sebagai sinar inspirasi untuk menyadarkan orang bahwa kombinasi antara kekuatan rakyat, kemitraan dan pemegang kebijakan politik adalah kunci utama untuk menyelamatkan maruah suatu bangsa.

Kalaulah istilah “finest hour” kita pinjam dan hubungkan dengan GAM yang berjuang merebut kedaulatan Aceh sejak tahun 1976-2011, yang selama rentang masa itu beberapa kali terlibat kontak senjata, prang urat saraf dan rundingan antara GAM-RI di Geneva, Tokyo (priode 2000-2003) dan rundingan Helsinki tahun 2005, secara politik dan militer bukan “finest hour” GAM. “Finest hour” GAM wujud, ketika pemerintah Indonesia: terutama kalangan militer dan politisi, media cetak dalam dan luar negeri dan dunia Internasional tahu, sepakat dan mengaku terus terang bahwa: roda pemerintahan Indonesia sudah lumpuh, 80% roda administrasi pemerintahan di Aceh sudah dikuasai oleh GAM dalam rentang masa di separuh tahun 1998-akhir 999, kecuali: DPRA dan jabatan Gubernur, semua pejabat dalam jajaran eksekutif, legislative dan yudikatif di tingkat bawah: mulai dari Geucik, Camat dan Bupati secara resmi menyerahkan Stempel negara RI kepada penguasa militer GAM. Kendali politik dan militer waktu itu sepenuhnya berada di tagan GAM, bahkan berjaya menghimpun dan mengadakan upacara peringatan hari kemerdekaan Aceh, pada 4. Desember 1998 di lapangan terbuka di wilayah Batèë Iliëk di bawah pengamanan militer GAM. Rentang masa yang berkesan, terindah dan bersejarah inilah pantas disebut sebagai “finest hour” GAM, oleh sebab kedaulatan Aceh sempat wujud, walau tidak bertahan lama. Sayang!
Perjuangan SIRA dari tahun 1999-2011, yang dalam rentang masa itu telah merubah status dari SIRA (sebagai kekuatan sipil) kepada Partai Politik lokal dan merubah cita-citanya dari memperjuangkan referendum kepada perjuangan politik –pengagihan kuasa– dalam panggung demokrasi; Muhammad Nazar (Ketua SIRA) sebagai wakil Gubernur-pasangan Irwandi Yusuf dengan sokongan dan suara rakyat mayoritas dari jalur calon independence –bukan kenderaan SIRA– yang dalam pilkada 2011 juga maju dari jalur independence; berhasil memperjuangkan “kemenangan kelompok pro demokrasi yang dimotori partai SIRA dalam memperjuangkan hak seluruh kalangan untuk bisa dipilih” dan “bersedia “pasang badan” demi terjaminnya hak-hak demokratis rakyat Aceh dalam ruang partisipasi politik di 2011.” (Serambi, 3 Januari 2011 Calon Independen; Pondasi Perubahan Aceh. Helmy N Hakim), bukanlah “finest hour” SIRA.
“Finest hour” SIRA terjadi, saat mata dunia internasional dan penguasa Indonesia terkesima menyaksikan 2 juta rakyat Aceh bagaikan pasukan lebah dan ‘pasukan Ababil’ berhimpun di lapangan Masjid Baiturrahman Banda Aceh bersenjatakan suara: ‘referendum, referendum dan referendum’, telah memecahkan gumpalan awan di langit dan menggegarkan dunia itu, walaupun berlangsung hanya dalam hitungan jam, pada 8. Nopember 1999. Sayang hujan tak turun, miris!
Kedua peristiwa bersejarah ini telah memperkaya dan menghiasai lembaran sejarah Aceh, tetapi kemudian dicatat bahwa rakyat Aceh adalah orang yang pandai membuat peristiwa bersejarah sekaligus pengkhianat sejarah. GAM dan SIRA (baca: rakyat Aceh) harus belajar dari kegemilangan dan kegagalan masa lalunya. ||“Suatu bangsa tidak akan mati, jika mereka menyadari dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Suatu bangsa akan mati, jika terus-menerus mengulangi kesalahan yang pernah diperbuatnya.”||. Van Sweten, Panglima perang Belanda tahun 1874.
Dalam hubungan ini, apa salahnya kita mengadopsi jiwa tradisi dari luar bahwa: dalam budaya politik dan militer Inggris, yang dipertanyakan bukan saja: ‘mengapa kita kalah’, akan tetapi juga menyoal: ‘mengapa kita menang dalam medan pertempuran?’ Secara natural, membangun suatu tradisi, moral perang dan moral politik; tubuh dan jiwa rakyat adalah batu batanya, air mata dan darah rakyat adalah lim perekatnya. Sistem moral inilah yang diinsafi oleh politisi Inggris dan tidak akan pernah melupakan peran dan keterlibatan rakyat untuk bersama-sama melahirkan “finest hour”
Di Aceh, atas kesadaran politik rakyat, kesamaan langkah dan tujuan, rakyat memberi harta dan nyawa, larut bersenyawa dalam teriakan –referendum– yang penuh resiko inilah yang melahirkan “finest hour” SIRA. Rakyat yang mengantar ke pintu gerbang kegemilangan, hingga GAM mampu bertahan dalam saff perang bertahun-tahun lamanya; memberi harta, air mata, darah, kehormatan dan nyawa demi perjuangan. Rakyat memiliki andil besar untuk mewujudkan “finest hour” GAM, terlepas dari ujung-ujungnya melahirkan MoU Helsinki. Karena itu, sangat beralasan mengapa banyak orang terperanjat membaca kutipan Otto Syamsuddin dalam wall facebooknya (5/01/11), yang mengingatkan kembali ucapan Adnan Beuransyah, notulensi Rapat I Pansus Tata Tertib DPRA, 19 Oktober 2009 bahwa: “Lahir MoU ini karena GAM, bukan karena rakyat, harus kita ingat kemuliaan mereka.” Ucapan ini tercetus terkait dengan riuhnya pembahasan calon independence dalam Pilkada 2011, yang dalam kebijakan politik masa depan PA menentangnya, kendatipun sebelumnya disetujui oleh pimpinan GAM dan KPA ini; telah memutus mata rantai antara rakyat dengan politisi asal GAM, yang tiba-tiba punya sayap dan terbang, tanpa dikerami dan dibesarkan terlebih dahulu dalam sarang rakyat. Dalam ukuran moral, ucapan ini merupakan refleksi dari karakter seseorang yang berjiwa retak, sekaligus racun pembunuh jiwa rakyat.
Asbabun nuzul penolakan ini karena pasangan idola (Humam Hamid-Hasbi Abdullah) dikalahkan oleh pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dalam Pilkada 2006. Jadi, PA merasa bersyukur atas pasal 256 UUPA untuk menghajar masa depan calon independence. Perlawanan PA semakin lantang dengan menolak putusan MK, yang meluluskan permohonan uji materi pasal 256 UUPA, yang ‘secara konstitusional dinilai berseberangan dengan UUD 1945 dan saat ini tidak mempunyai kekuatan hukum.’ PA kecewa, karena menurut Ligadinsyah (Jubir PA), Mahkamah Konstitusi tidak melakukan klarifikasi dengan DPRA (Waspada, 4/1/2011). Masalahnya: ‘apakah dalam sistem hukum Indonesia, diperkenankan lembaga legislatif lokal mencampuri putusan lembaga yudikatif (setingkat MK) yang sifatnya independence itu?’
Di Aceh perlu politisi yang memuliakan rakyat, membangun tradisi kekuasaan berteras moral dan berjiwa demokratis. Untuk membangun suatu tradisi politik terhormat perlu masa dan dalam ruang itulah orang belajar untuk tidak mencontoh prilaku ’Biëng bak babah bubèë’ (’Kepiting di depan pintu jaring ikan’) Kepiting ini kurang ajar –masuk tidak menghindar pun tidak dan tidak memberi laluan kepada ikan lain.
Streotype ’Kepiting’ ini ramah, tapi tidak mau bergeming dari ”babah bubèë”, karena kecurigaan atau prejudis mendahului naluri keputusannya. Kehadiran politisi yang lebih layak dan cerdas bermain politik secara wajar tidak dia terima. ’Kepiting’ ini hanya mengandalkan potensi fisik, gertak (gerhèm) dan teror, tapi kurang nalar otak, egoist yang hanya menghalang-halangi politisi lain yang coba menerobos dan mendobrak kejumudan politik dalam arena demokrasi.
Sebenarnya, ’ikan-ikan’ yang sudah merapat di depan ”babah bubèë” bisa mengusir dengan cara menjebak ’Kepiting’ ini lewat gerak-gerak tipuan dengan memuntahkan kotoran (baca: proyek) dari mulut ikan dari arah jauh tapi terlihat oleh dia. Dengan begitu si ’Kepiting’ ini akan hengkang mengejarnya. Namun demikian, apapun cerita dan alasannya, yang pasti politisi bermental ’Biëng bak babah bubèë’ sesungguhnya tidak punya tempat dalam ruang demokrasi dan kebebasan yang secara yuridis adalah sah dan dijamin.

Tuesday, January 18, 2011

Islamikah Budaya Gayo?


Yusra Habib Abdul Gani*
Sejak pemerintahan Genali (Raja Linge 1) yang berpusat di Buntul Linge, Islam sudah bertapak di tanah Gayo. Acara penyumpahan oleh qadhi malikul ’Adil kepada semua aparat kerajaan di lingkungan kerajaan Linge dilaksanakan mengikut tatacara Islam, budaya menuntut ilmu –menyekolahkan Johansyah (anak sulung raja Linge) ke Dayah Cot Kala, Peureulak dibawah asuhan Sjèh Abdullah Kan’an– dan upacara pengkhitanan menurut syariah Islam sudah diamalkan pada ketika itu. Semenjak itu pula istilah ”Sunet Rasul” yang berarti ”khitanan” sudah dikenal, sehingga dalam masyarakat gayo dianggap lumrah jika orang bertanya: ”Nge ke sunet rasul ko Win” (”Sudahkah kamu dikhitan”). Bahkan kerajaan Linge pada ketika itu sudah memiliki bendera (bahasa Gayo: Elem) yang ditengah-tengahnya bertulis ’Dua Kalimah Syahadah’ dan di masing-masing sudut terdapat nama empat sahabat Rasulullah. Ini diantara fakta yang membuktikan bahwa peradaban Islam ketika itu sudah wujud. Bahkan, atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ikatan persaudaran Islam; Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak (pelarian politik asal Peureulak lebih kurang 300 jiwa) untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq, yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq, berdiri puluhan tahun sebelum Kerajaan Pasè di bawah pimpinan Malikus Salèh yang berasal dari keturunan Datok Mersa dari tanah Gayo. Malik Ishaq diperintahkan abangnya (Raja Peureulak) untuk menyingkir ke daerah pedalaman, dengan maksud mempersiapkan bahan logistik untuk menghadapi serangan serdadu Sriwijaya ke atas Kerajaan Peureulak.
Islam mengajarkan bahwa salah satu kebajikan adalah menyantuni musafir yang memerlukan pertolongan (Surah Al-Baqarah, ayat 177). Rasa pri-kemanusiaan dan solidaritas inilah dituangkan dalam falsafah gayo: ’setie maté, gemasih papa, ratip sara nanguk, nyawa sara peluk’ (’Setia sampai mati, kasih hingga papa, ratip satu angguk, nyawa satu peluk’) dan kesetiaan orang Gayo terlukis dari pepatah ini: ’Patal terlis tauhi uren, aku gere rejen bertudung tetemi, bier murensé tubuh ôrôm beden, aku gere rejen berubah janyi’ (’Pematang sawah diguyur hujan, aku tak rela bertudung kayu jerami, walau hancur tubuh-badan, aku takkan mau berubah janji’) Dalam pergeseran nilai-nilai sosial, ini mesti diuji kembali.
Pengaruh Islam dalam budaya gayo terjadi melalu proses peng-gayo-an beberapa kata Arab. Misalnya saja kata: ’Waaassaluuualéééééééé’! Dalam masyarakat gayo, ucapan ini dikomandangkan secara serentak dengan suara mayor oleh sekumpulan orang ketika hendak meletakkan tiang utama Masjid, Mushalla, jembatan kayu, tiang rumah atau ketika menarik bakal perahu dari hutan ke tepi Danau Laut Tawar. Tanpa disadari, ucapan ini sebenarnya berasal dari kata: ’Wassalamu’alaik’ yang berarti selamat sejahtera. Demikian pula ucapan “Assalamu’alaikum”, ternyata berasal dari bahasa Arab. Umat muslim dianjurkan: “Ucapkan: ‘salamu’alaikum’” sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, ayat 54.
Selain itu, didapati prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang ditransformasi dari bahasa al-Qur’an kedalam bahasa Gayo dalam bentuk pepatah dan sastera. Hal ini ada kaitannya dengan strategi dakwah yang dilancarkan oleh para Ulama sewaktu menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Gayo. Maksudnya, agar orang Gayo tidak shock dan terkejut menerima nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang datang dari luar, sehingga para pendakwah terpaksa mencari formula atau melakukan pendekatan kultural untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam jantung hati orang gayo.
Untuk melihat dari dekat, dapat dibuktikan dari munculnya istilah ’Sumang’, yang dalam takaran adat-istiadat dan pandangan umum menunjuk kepada pengertian bahwa: suatu prilaku dinilai kurang sopan dan kurang beradab bila dilakukan di depan umum maupun di tempat sunyi sekalipun. ’Sumang’ adalah standard moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena –yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral– dalam masyarakat. Misalnya: sepasang muda-mudi yang bukan muhrim bergandéng tangan atau berciuman di depan khalayak ramai. Ini dinilai suatu penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam. Ini berkaitan dengan aba-aba yang berbunyi: ”Kendalikan pandanganmu, pelihara kemaluan (aurat) mu dan pandanganmu jangan culas (berkhianat)” (Q: An-Nur, ayat 30 dan Q: Al-Mukmin, ayat 19). Aba-aba ini di-adat gayo-kan dengan sebutan: ’Sumang penèngonen’. Intinya ialah: jangan sampai pandangan membayangkan hal-hal negatif. Itu sebabnya gadis remaja Gayo zaman dulu selalu menutup aurat ketika hendak keluar rumah, menghindari dari perkara-perkara yang bisa merangsang nafsu birahi kaum lelaki. Ini sejiwa dengan anjuran Allah: ”… janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya…” (Surah An-Nur, ayat 31) dan ”orang-orang yang menjaga kemaluannya” (Surah Al-Mukminun, ayat 5), yang diklasifikasikan Al-Qur’an sebagai orang yang menang.
Akan halnya dengan sikap angkuh dan sombong, menampilkan diri dengan pakaian dan perhiasan yang berlebihan. Inilah yang dinamakan ’Sumang perupuhen’ (pakaian). Dari itu, ’Sumang’ juga simbol hukum yang di dalamnya mengandung unsur ’preventif’ terhadap tindakan yang dinilai bisa merusakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, ’Sumang’ adalah kata lain dari perintah Allah: ”Janganlah mendekati zina.”
Seterusnya, prilaku yang memperlihatkan dirinya sebagai orang paling cantik dan gagah yang berlebihan dan merendahkan pribadi orang lain. Hal seperti ini dilarang, sebab al-Qur’an menyatakan: ”Jangan kamu memalingkan muka karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh…” (Surah Luqman, ayat 18). Anjuran ini ditransformasi ke dalam adat gayo menjadi sebutan ’Sumang pelangkahen’. Demikian pula dengan prilaku melècèhkan pendapat orang lain, menganggap dirinya-lah yang paling benar dan hebat. Ajaran Islam menekankan supaya orang hidup di atas dunia tidak congkak. Allah mengingatkan: ”… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surah Luqman, ayat 18), yang dalam masyarakat Gayo disebut ’Sumang peceraken’.
Demikian juga, Islam mengajarkan supaya orang berkata sopan, tidak menyakiti perasaan orang lain, menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Allah berfirman: ”Jangan teriak. Berbicaralah sopan dengan melembutkan suaramu” (Surah Lukman, ayat 19). Prinsip-prinsip moral ini untuk selanjutnya dijabarkan secara puitis dalam Didong Musara Bintang dengan judul: ”Mongot” (”Menangis”) yang sekerat liriknya berbunyi: ’Manis berperi gelah lagu madu, sejuk natému lagu bengi ni nami. Berperi berabun, bertungket langkahmu, kusihpé beluhmu berbudi pekerti.’ (’Bertutur manis bagai madu, hatimu sejuk bagai embun pagi. Sopan bicara dan pakai kompas saat melangkah dan berbudi perkerti kemanapun pergi’.)
Nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan juga dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, seperti: ’Katakan dengan mulutmu, seperti yang terlukis di hatimu.’ (Ali ‘Imran, ayat 167) dan ’Bersikap rendah hati dan ucapkan keselamatan kepada siapa yang menegurmu’ (a-Furqan, ayat 63). Ini sejalan dengan sastera Gayo yang mengungkapkan: ’ Tingkah serakah seriet bersebu, aku becerak ari putih naténgku.’ (’Saya berkata dari relung hati yang putih’) Akan halnya dengan rasa kesetia-kawanan dan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sisi yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini dinyatakan: ”… Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Surah Ali-Imran, ayat 103). Prinsip sosial kemasyarakatan ini, dituangkan oleh pakar adat ke dalam bentuk pepatah Gayo yang berbunyi: ’Rempak lagu ré, mususun lagu belo. Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen ’ (’sejajar seperti sisir, bersusun bagai daun sirih, pergi satu arah haluan, tinggal satu kumpulan’).
Untuk membangun suatu masyarakat madani, maka ikatan kebersamaan tadi akan semakin kokoh, sekiranya individu-individu menghormati etika, ketentuan hukum dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (Surah Al-Maidah, ayat 8). Seterusnya: ”… Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (Surah An-Nisa’, ayat 135). Hal ini disenyawakan ke dalam pepatah dan falsafah Gayo tentang keadilan: ’Edet enti pipet atur enti bele, pantiken genuku.’ (’Adat tidak boleh kaku (rigit), aturan tidak boleh pilih kasih, tegakkan keadilan’).
Akhirnya, pembuktian di atas didasarkan pada kajian ilmiah dengan menyertakan refersensi utama –alQur’an, falsafah, pepatah dan seni sastera gayo– dan berusaha me-minimal-kan interpretasi, apalagi unsur-unsur yang dianggap tidak valid dan tidak relevan. Memandangkan keabsahan fakta mengenai hubungan dan pengaruh nilai-nilai Islam dalam peradaban orang gayo yang universal ini, diharapkan orang gayo terangsang rasa ke-gayoan-nya kembali dalam makna yang positif dan bergairah merekonstruksi ke dalam kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama oleh penyelenggara negara. Ini memerlukan komitmen untuk menerapkan nilai-nilai qur’ani yang mengacu kepada format hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari al-Qur’an dan men-senyawa-kan dengan budaya kita. Tangan kita masih kotor, mengotori nilai-nilai Islam dan budaya. Oleh sebab itu ”…jangan kamu mengatakan dirimu suci…” (Surah- An-Najm, ayat 32). Wallahu’aklam bissawab!

*Director Institute for ethnics Civilization research, Denmark

Sunday, January 9, 2011

Seudati Papan Demokrasi


Yusra Habib Abdul Gani

DARI kajian anthropologi diakui bahwa: cara pandang dan kemajuan peradaban maupun gerak perubahan sosial-politik dalam suatu masyarakat, tercermin dari nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Oleh sebab itu, kebudayaan selalu dipakai oleh peneliti sosial untuk mengenali lebih dekat bentuk budaya dan pantulannya dalam prilaku individu dan kolektif dari suatu masyarakat.Dalam konteks ini, Seudati –sebagai salah satu seni budaya Aceh– dijadikan objek untuk mengenali dan menyimpulkan: ’apakah benar Seudati punya nilai-nilai demokratis yang positif?’

Seudati –seni yang mengkombinasi gerak, lirik sastera dan suara– sebenarnya mengandung muatan politik yang bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik; sebab orang bebas mengungkap dan mengekpresikan segala isu dalam bahasa sastera yang unik dan menarik –bukan hahasa kekerasan– dimana kesannya bisa menyentuh hingga ke relung hati yang paling dalam.
Diakui bahwa kebudayaan adalah rangkuman dan perwujudan dari cara berpikir manusia yang dituangkan ke dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan dan gerak, yang memberi manfaat kepada kehidupan masyarakat. Dari itu, Seudati adalah salah satu wujud dari format pemikiran kebudayaan yang menggambarkan karakteristik orang Aceh.

Jika diamati secara teliti, Seudati merupakan ajang untuk mengungkap pelbagai bentuk keresahan, phenomena alam dan sosial, seperti: kekejaman, kemiskian, racisme, kerusakan alam, ketidak adilan dalam dunia hukum, moral, agama, kesenjangan sosial dan pengetahuan; yang sepenuhnya memberi informasi dan mengajar orang agar peka terhadap lingkungan sekitarnya yang menganggap bahwa: kehidupan manusia akan indah dan harmonis, sekiranya meneguk ramuan-ramuan nasehat, pandangan dan kritik membangun yang diluahkan dalam bahasa seni sastera yang perlu tafsiran intensif. Bukankah masalah di atas menjadi thema utama dalam demokrasi, jika benar demokrasi diartikan sebagai wadah, dimana orang bebas menyalurkan pendapat dan aspirasi politik.
Itu pasalnya, sjèh Seudati ditunut supaya menguasai segala masalah kemasyarakatan; karena pada glirannya, mesti menangkis isu, hujjah, kritik, sindiran yang disodorkan oleh pihak lawan. Sjèh Seudati adalah seniman, budayawan, filosuf, Ulama, politisi, pakar hukum, Hakim, pemerhati masalah kemanusiaan , ekonom dan rakyat jelata yang siap memberi penjelasan menurut konteksnya. Pentas Seudati seumpama pertarungan politisi dalam ’gedung Parlemen’ yang masing-masing partai/fraksi membentangkan usul atau idé ke hadapan anggota Dewan, siap dikaji, dianalisa dan diperdebatkan. Apabila sjèh Seudati tidak cermat dan argumentasinya lemah, maka pihak lawan berkata: ”Alahai Teungku, keupeuë peuleumah beuho dikeuë ureuëng inong, peuleumah carong bak ureuëng buta.” Secara simbolik berarti, hujjah yang dikemukakan tidak relevan atau tidak tepat sasaran. Arti lain ialah: jika kaum lelaki berkelahi lawan perempuan dipandang ’aib dalam budaya Aceh, membunuh rakyat yang tidak bersenjata dengan senjata modern adalah perbuatan ’aib, amoral, pengecut dan terkutuk dalam peradaban manusia yang mengamalkan demokrasi. Jadi dalam seni Seudati, walaupun bebas mengeluarkan pendapat, namun tetap dituntut supaya objektif, setara pengetahuan dalam membahas isu dan bertanggungjawab.
Penonton (baca: rakyat) menyimak secara cermat keratan-keratan sastera yang diluahkan. Oleh sebab itu, para pihak (group Seudati) yang berlomba –terutama sjèh– mesti bersikap dewasa, mampu menahan emosi dan bijak dalam menjawab pertanyaan lawan. Ini merupakan prasyarat dalam pentas politik (demokrasi), yang menuntut para politisi menguasai masalah, mesti merespons sekecil apapun isu dalam masyarakat, tidak menutup keran informasi, peka terhadap masalah dan perubahan yang sedang bergulir dalam masyarakat, terbuka dan bertanggungjawab.
Perlu diketahui bahwa Seudati, tidak pernah akan keluar dari koridor religious. Hal ini terbukti dari prolog, yang selalu diawali dengan ucapan salam, selawat kepada Nabi dan pujian kepada Allah sang Khaliq. Jadi, apapun bentuk perseteruan dalam arena Seudati sah-sah saja, asalkan masing-masing sadar bahwa, yang dibincangkan berfaedah sebagai pencerahan umat dengan mengedepankan rasa persaudaraan, ”watawa shaubil haq dan watawa sahabil shabr” sebagaimana diamanahkan al-Qur’an.
Oleh karena Seudati merupakan salah satu bentuk pendidikan politik informal, maka: isu atau fakta yang dipaparkan mestilah segar dan akurat, bukan fitnah dan propaganda. Seudati sekaligus mengajar orang supaya saling hormat-menghormati dan menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis, bukan otoriter. Penonton atau fans masing-masing, akan melihat dengan jeli kemampuan wakil mereka yang bertengkar/berhujjah dan menangkis. Seni Seudati benar-benar ajang pendidikan kesadaran politik, yang mengajarkan semua orang untuk berpikir positif, bebas mengeluarkan pendapat, tidak mengandalkan kekerasan, intimidasi, teror dan main ”dor”.
Melalui pementasan seni seperti inilah, orang Yunani kuno diajak oleh seniman menyaksikan drama ”Antigone”, yang di dalamnya sarat dengan unsur pendidikan dan kritik kepada penguasa bathil pada ketika itu. Ternyata lewat pementasan seni drama ini, rakyat memperoleh pencerahan dan kesadaran politik.
Walau Sjèh Seudati (pemimpin) tidak bergabung dalam barisan penari, tokh dia selalu berada di suatu sudut, yang setiap saat mengawasi gerak langkah anak buahnya (baca: rakyat), memberi isyarat dan arahan dari jarak dekat. Kecepatan dan polarisasi konfigurasi gerakan diatur oleh suatu sistem managemen yang mengharuskan Sjèh (pemimpin) dan penari (rakyat) tunduk kepada ’rule of the game’ yang sudah disepkati bersama. Ini sekaligus memberi informasi bahwa: mana pemimpin dan yang dipimpin (rakyat). Di sini jelas!
Berbeda dengan seni Didong dan Saman, dimana pemimpin (Cèh) bersimpuh, bertemu lutut dan bahu bersama dalam lingkaran pemain, yang memaksanya tidak boleh lari dari ikatan jama’ah. Akan tetapi segalanya kontradiktif, yakni: di satu sisi, ikatan moral dan kebersamaan yang merekat dan rapat di atas pentas Seudati, Didong dan Saman; sementara dalam realitas sehari-hari mereka menjaga jarak, sebagaimana jaraknya ’Sultan’ dan ’abdi dalem”. Misalnya saja: dalam perhimpunan, posisi dan kursi pemimpin terasing dan lebih empuk daripada kursi orang awam, belum lagi perlakuan-perlakukan istimewa yang berlebihan kepada pemimpin. Masyarakat Aceh yang kita saksikan sekarang justeru gambaran dari golongan masyarakat ”pharia” dan ”ninggrat”. Tragis! Terlepas dari semua itu, dalam seni Seudati segalanya jelas, hanya saja masih banyak kawan yang belum mengerti akan arti semua pesan yang disampaikan.
Akhirnya, belajarlah demokrasi melalui pendidikan seni Seudati yang mampu menyegarkan kesadaran, emosional dan mengelakkan dari kejumudan berpikir. Mengapa tidak memanfaatkan seni Seudati sebagai dunia pendidikan demokrasi yang sarat dengan adab, disiplin dan merakyat. Jadi tidak berlebihan kalau dikatakan: ’Seudati adalah papan demokrasi’.!

Alquran di Eropa


Yusra Habib Abdul Gani

KISAH pasukan Tariq Ibn Ziyad mengalahkan pasukan Visigoth hingga berjaya menguasai Andalusia, Cordova, dan Toledo di Spanyol dan riwayat pasukan Aburrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi yang merambah masuk menguasai wilayah Piranee, Bordeau, Poitiers, Tours, Zaragoza dan Leon di Perancis, semasa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, telah menghiasi lembaran sejarah kegemilangan Islam dan seiring dengannya, Alquran bergema di Eropa.

Ini berarti, sejak itulah sebagian bumi Eropa dikuasai oleh pemerintahan Bani Umayyah, yang berpusat di Damsyik (periode 718-756M). Wilayah berdaulat Bani Umayyah pada saat itu meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.

Gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah, digagas khalifah Al-Mansur (745-775M), diteruskan Harun Al-Rasyid, bahkan dalam pemerintahan Abdul Malik (685-705M), buat pertama sekali memerintahkan supaya bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan dan bahasa persatuan. Jadi, tidak mengherakan kalau Oliver Leaman berkata, “Islam di Spanyol punya reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ini mirip seperti posisi Amerika sekarang, dimana beberapa universitas penting berada. Siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiah, mesti pergi ke Andalusia.”

Keberhasilan ini merupakan mata rantai dari kemajuan peradaban dunia Islam sejak masa Rasulullah saw (622-632M); Khulafatur-rasyidin (632-661M); daulat Umayyah (661-750M) dan daulat Abbasiyah (750-1258M), yang ketika berada di puncak kejayaan selama kurang lebih 700 tahun. Untuk itu, patut Dr. Gustave Le Bone berkata, “Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengubah suatu masyarakat yang berteras Perancis. Hal ini terjadi bagi seluruh bangsa dan umat, terkecuali umat Islam, sebab Nabi Muhammad ternyata mampu menciptakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan (23 tahun) yang tidak dapat ditiru atau dilakukan oleh orang lain.”

Dalam rentang masa daulat Umayyah dan Abbasiyah-lah muncul tokoh-tokoh pemikir seperti: Ibnu Sina, Ibn Rush dan Al-Farabi yang berpusat di Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus dan Bukhara. Pemikiran mereka telah mengungguli pemikir Eropa yang tenggelam selama beberapa abad. Untunglah Robertus Ketenensis bangkit, dibantu oleh Petrus Venerabilis untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Latin pada tahun 1143 dan Ibn Rush adalah di antara pemikir Islam unggul pada saat itu menjadi idola mereka, oleh sebab menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti: filsafah Islam, Ilmu kedokteran, Mathematik, astronomi, grammar, theology Islam, Shari’ah dan Fiqh, yang sejak tahun 1160 mengabdi di Seville, Cordova dan Marocco. Beliau memulai karirnya dengan membantu Ibn Tafail menyelesikan Novel ‘Hayy ibn Yaqdhan’ juga menulis soal perobatan dalam Kitab ‘Al-Kulyat fi al-Tibb’, yang mendapat inspirasi dari Kitab ‘Al-Taisir fi al-Mudawat wa al-Tadbir.

Debat teologi antara Ramon Cull (1316) versus Ibn Rush (1126-December 10, 1198) atau Averroes, yang dijuluki Alain de Libera dalam “Averroès et l’averroïsme” sebagai bapak pemikir sekuler dan salah seorang bapak sepiritual Eropa, telah merangsang pemikir teologi Eropa. Ini pasalnya Jacob Anatoli, bergairah menerjemahkan beberapa karya Ibn Rush dari bahasa Arab ke dalam bahasa Ibrani (Hebrew) pada dekade abad ke-13 dan diterjemahkan dari bahasa Ibrani kedalam bahasa latin oleh Jacob Mantino, Abraham de Balmes dan Juntine, diterbitkan di Venice tahun 1562-1574. Di mata Eropa, Ibn Rush (Averroes) semakin menarik dengan ucapannya, “tidak terdapat konflik antara agama dan falsafah. Keduanya dinilai sebagai istrument untuk melengkapi pemahaman dalam mencari kebenaran.”

Sewaktu Khalifah Utsmaniyah Turki bangkit sebagai penerus (successor) kegemilangan Islam, kaum teolog Eropa terus meneliti masalah Islam (Quran), seperti Luther menulis “Des paster und Türken Mord” dan Daniel menulis “Melanchthon Muhammad”. Alquran terus mendapat perhatian, walaupun Luther pernah keliru berkata, Islam adalah “Türkish religion”. Maka muncullah Alquran versi bahasa Latin, dicetak di Basel tahun 1543 setelah 400 tahun terhenti, sementara di Itali Alquran dicetak tahun 1547, di Jerman tahun 1616 dan di Belanda tahun 1641.

Bagaimanapun, Paus Alexander VII telah memberi arahan, supaya tidak mempublikasikan terjemahan Quran, namun demikian tetap juga dicetak edisi ke-4 di Hamburg oleh Pendeta Hinckelemann tahun 1694, dicetak lagi di Maracci tahun 1698 dengan penyelipan uraian-uraian penting yang disadur dalam “Prodromus and refutation Alquran”.

Memasuki abad ke-15, Nicolas Cusanus dalam “Sifting of the Qur’an” mengulas agak lebih rinci, terutama hal-hal yang berkaitan dengan konsep perluasan wilayah kuasa Khalifah Oesmaniyah, yang juga meng-identik-kan Islam sebagai “Turkish Religion”. Studi tentang Islam semakin mencuat ke permukaan di abad ke-16, di mana W. Postel (1581) dan Scaliger-keduanya dikenal lebih berpandangan liberal- berupaya menguraikan konsep “Hijrah” dalam “De emendatione temporum”. Kajian ini menjadi bahan studi di Belanda dan buat pertama sekali diedit teks klassik, khususnya mengenai “Sunnah”.

200 tahun kemudian, diterbitkan grammer bahasa Arab oleh Golius tahun 1667, disebarkan sampai ke Hotitinger, Swissland dan diulas lebih mendalam lagi dalam “Historia Orientalist”. E.Pocock menyorot dari segi lain dalam “Specimen Historia Arabun” tahun 1671, dengan menghadirkan karya-karya Ibn Tufail seperti “Hayy Ibn yaqzan, philosofus Autodidactus” dan Bartholoni D’ Herbelot yang tekun menyusun Encyclopedia “Biblioteque Orientalé” Islam.

Pemikiran teologi Islam di Eropa semakin semarak, setelah Boulainvilliers menulis tentang Islam dan H. Reland yang menulis “De religione Muhammadanica”, yang diterjemahkan oleh Gragner tahun 1723. S. Sale menerjemahkan quran tahun 1734. Penjelasan penting dalam “Preliminary discource” ditulis oleh D.F. Megerlin dan F.E Boysen tahun 1773.

Walaupun Samuel Zwemer’s, dalam: “Islam: A challenger to faith” (1908) masih trauma dengan kehadiran Islam di Eropa. Katanya: “The man must shut his eyes to the broadest and must conspicuous fact of the history of Islam who denies that the sword has been the greatest of progating his religion.”, tapi konsep keadilan, kejujuran, penegakan hukum dan premis ilmu pengetahuan dalam Quran, dalam realitasnya tetap menjadi referensi penting dan diakui bahwa literatur-literatur tentang Islam terlengkap tidak berada di dunia Muslim, melainkan di perpustakaan-perpustakaan di Eropa.

Akhirnya, kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan modern, antara lain disebabkan melemahnya penguasaan spesialisasi keilmuan, minimnya terjemahan karya-karya ilmiah, referensi yang tidak memadai dan silabus pendidikan “out of date”. Penguasalah yang bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita ketinggalan kereta, tapi harapan masih ada dalam otak orang yang bermental optimis.