Yusra Habib Abdul Gani*
Sejak pemerintahan Genali (Raja Linge 1) yang berpusat di Buntul Linge, Islam sudah bertapak di tanah Gayo. Acara penyumpahan oleh qadhi malikul ’Adil kepada semua aparat kerajaan di lingkungan kerajaan Linge dilaksanakan mengikut tatacara Islam, budaya menuntut ilmu –menyekolahkan Johansyah (anak sulung raja Linge) ke Dayah Cot Kala, Peureulak dibawah asuhan Sjèh Abdullah Kan’an– dan upacara pengkhitanan menurut syariah Islam sudah diamalkan pada ketika itu. Semenjak itu pula istilah ”Sunet Rasul” yang berarti ”khitanan” sudah dikenal, sehingga dalam masyarakat gayo dianggap lumrah jika orang bertanya: ”Nge ke sunet rasul ko Win” (”Sudahkah kamu dikhitan”). Bahkan kerajaan Linge pada ketika itu sudah memiliki bendera (bahasa Gayo: Elem) yang ditengah-tengahnya bertulis ’Dua Kalimah Syahadah’ dan di masing-masing sudut terdapat nama empat sahabat Rasulullah. Ini diantara fakta yang membuktikan bahwa peradaban Islam ketika itu sudah wujud. Bahkan, atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ikatan persaudaran Islam; Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak (pelarian politik asal Peureulak lebih kurang 300 jiwa) untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq, yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq, berdiri puluhan tahun sebelum Kerajaan Pasè di bawah pimpinan Malikus Salèh yang berasal dari keturunan Datok Mersa dari tanah Gayo. Malik Ishaq diperintahkan abangnya (Raja Peureulak) untuk menyingkir ke daerah pedalaman, dengan maksud mempersiapkan bahan logistik untuk menghadapi serangan serdadu Sriwijaya ke atas Kerajaan Peureulak.
Islam mengajarkan bahwa salah satu kebajikan adalah menyantuni musafir yang memerlukan pertolongan (Surah Al-Baqarah, ayat 177). Rasa pri-kemanusiaan dan solidaritas inilah dituangkan dalam falsafah gayo: ’setie maté, gemasih papa, ratip sara nanguk, nyawa sara peluk’ (’Setia sampai mati, kasih hingga papa, ratip satu angguk, nyawa satu peluk’) dan kesetiaan orang Gayo terlukis dari pepatah ini: ’Patal terlis tauhi uren, aku gere rejen bertudung tetemi, bier murensé tubuh ôrôm beden, aku gere rejen berubah janyi’ (’Pematang sawah diguyur hujan, aku tak rela bertudung kayu jerami, walau hancur tubuh-badan, aku takkan mau berubah janji’) Dalam pergeseran nilai-nilai sosial, ini mesti diuji kembali.
Pengaruh Islam dalam budaya gayo terjadi melalu proses peng-gayo-an beberapa kata Arab. Misalnya saja kata: ’Waaassaluuualéééééééé’! Dalam masyarakat gayo, ucapan ini dikomandangkan secara serentak dengan suara mayor oleh sekumpulan orang ketika hendak meletakkan tiang utama Masjid, Mushalla, jembatan kayu, tiang rumah atau ketika menarik bakal perahu dari hutan ke tepi Danau Laut Tawar. Tanpa disadari, ucapan ini sebenarnya berasal dari kata: ’Wassalamu’alaik’ yang berarti selamat sejahtera. Demikian pula ucapan “Assalamu’alaikum”, ternyata berasal dari bahasa Arab. Umat muslim dianjurkan: “Ucapkan: ‘salamu’alaikum’” sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, ayat 54.
Selain itu, didapati prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang ditransformasi dari bahasa al-Qur’an kedalam bahasa Gayo dalam bentuk pepatah dan sastera. Hal ini ada kaitannya dengan strategi dakwah yang dilancarkan oleh para Ulama sewaktu menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Gayo. Maksudnya, agar orang Gayo tidak shock dan terkejut menerima nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang datang dari luar, sehingga para pendakwah terpaksa mencari formula atau melakukan pendekatan kultural untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam jantung hati orang gayo.
Untuk melihat dari dekat, dapat dibuktikan dari munculnya istilah ’Sumang’, yang dalam takaran adat-istiadat dan pandangan umum menunjuk kepada pengertian bahwa: suatu prilaku dinilai kurang sopan dan kurang beradab bila dilakukan di depan umum maupun di tempat sunyi sekalipun. ’Sumang’ adalah standard moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena –yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral– dalam masyarakat. Misalnya: sepasang muda-mudi yang bukan muhrim bergandéng tangan atau berciuman di depan khalayak ramai. Ini dinilai suatu penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam. Ini berkaitan dengan aba-aba yang berbunyi: ”Kendalikan pandanganmu, pelihara kemaluan (aurat) mu dan pandanganmu jangan culas (berkhianat)” (Q: An-Nur, ayat 30 dan Q: Al-Mukmin, ayat 19). Aba-aba ini di-adat gayo-kan dengan sebutan: ’Sumang penèngonen’. Intinya ialah: jangan sampai pandangan membayangkan hal-hal negatif. Itu sebabnya gadis remaja Gayo zaman dulu selalu menutup aurat ketika hendak keluar rumah, menghindari dari perkara-perkara yang bisa merangsang nafsu birahi kaum lelaki. Ini sejiwa dengan anjuran Allah: ”… janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya…” (Surah An-Nur, ayat 31) dan ”orang-orang yang menjaga kemaluannya” (Surah Al-Mukminun, ayat 5), yang diklasifikasikan Al-Qur’an sebagai orang yang menang.
Akan halnya dengan sikap angkuh dan sombong, menampilkan diri dengan pakaian dan perhiasan yang berlebihan. Inilah yang dinamakan ’Sumang perupuhen’ (pakaian). Dari itu, ’Sumang’ juga simbol hukum yang di dalamnya mengandung unsur ’preventif’ terhadap tindakan yang dinilai bisa merusakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, ’Sumang’ adalah kata lain dari perintah Allah: ”Janganlah mendekati zina.”
Seterusnya, prilaku yang memperlihatkan dirinya sebagai orang paling cantik dan gagah yang berlebihan dan merendahkan pribadi orang lain. Hal seperti ini dilarang, sebab al-Qur’an menyatakan: ”Jangan kamu memalingkan muka karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh…” (Surah Luqman, ayat 18). Anjuran ini ditransformasi ke dalam adat gayo menjadi sebutan ’Sumang pelangkahen’. Demikian pula dengan prilaku melècèhkan pendapat orang lain, menganggap dirinya-lah yang paling benar dan hebat. Ajaran Islam menekankan supaya orang hidup di atas dunia tidak congkak. Allah mengingatkan: ”… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surah Luqman, ayat 18), yang dalam masyarakat Gayo disebut ’Sumang peceraken’.
Demikian juga, Islam mengajarkan supaya orang berkata sopan, tidak menyakiti perasaan orang lain, menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Allah berfirman: ”Jangan teriak. Berbicaralah sopan dengan melembutkan suaramu” (Surah Lukman, ayat 19). Prinsip-prinsip moral ini untuk selanjutnya dijabarkan secara puitis dalam Didong Musara Bintang dengan judul: ”Mongot” (”Menangis”) yang sekerat liriknya berbunyi: ’Manis berperi gelah lagu madu, sejuk natému lagu bengi ni nami. Berperi berabun, bertungket langkahmu, kusihpé beluhmu berbudi pekerti.’ (’Bertutur manis bagai madu, hatimu sejuk bagai embun pagi. Sopan bicara dan pakai kompas saat melangkah dan berbudi perkerti kemanapun pergi’.)
Nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan juga dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, seperti: ’Katakan dengan mulutmu, seperti yang terlukis di hatimu.’ (Ali ‘Imran, ayat 167) dan ’Bersikap rendah hati dan ucapkan keselamatan kepada siapa yang menegurmu’ (a-Furqan, ayat 63). Ini sejalan dengan sastera Gayo yang mengungkapkan: ’ Tingkah serakah seriet bersebu, aku becerak ari putih naténgku.’ (’Saya berkata dari relung hati yang putih’) Akan halnya dengan rasa kesetia-kawanan dan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sisi yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini dinyatakan: ”… Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Surah Ali-Imran, ayat 103). Prinsip sosial kemasyarakatan ini, dituangkan oleh pakar adat ke dalam bentuk pepatah Gayo yang berbunyi: ’Rempak lagu ré, mususun lagu belo. Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen ’ (’sejajar seperti sisir, bersusun bagai daun sirih, pergi satu arah haluan, tinggal satu kumpulan’).
Untuk membangun suatu masyarakat madani, maka ikatan kebersamaan tadi akan semakin kokoh, sekiranya individu-individu menghormati etika, ketentuan hukum dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (Surah Al-Maidah, ayat 8). Seterusnya: ”… Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (Surah An-Nisa’, ayat 135). Hal ini disenyawakan ke dalam pepatah dan falsafah Gayo tentang keadilan: ’Edet enti pipet atur enti bele, pantiken genuku.’ (’Adat tidak boleh kaku (rigit), aturan tidak boleh pilih kasih, tegakkan keadilan’).
Akhirnya, pembuktian di atas didasarkan pada kajian ilmiah dengan menyertakan refersensi utama –alQur’an, falsafah, pepatah dan seni sastera gayo– dan berusaha me-minimal-kan interpretasi, apalagi unsur-unsur yang dianggap tidak valid dan tidak relevan. Memandangkan keabsahan fakta mengenai hubungan dan pengaruh nilai-nilai Islam dalam peradaban orang gayo yang universal ini, diharapkan orang gayo terangsang rasa ke-gayoan-nya kembali dalam makna yang positif dan bergairah merekonstruksi ke dalam kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama oleh penyelenggara negara. Ini memerlukan komitmen untuk menerapkan nilai-nilai qur’ani yang mengacu kepada format hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari al-Qur’an dan men-senyawa-kan dengan budaya kita. Tangan kita masih kotor, mengotori nilai-nilai Islam dan budaya. Oleh sebab itu ”…jangan kamu mengatakan dirimu suci…” (Surah- An-Najm, ayat 32). Wallahu’aklam bissawab!
*Director Institute for ethnics Civilization research, Denmark
Tuesday, January 18, 2011
Islamikah Budaya Gayo?
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 7:45 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)