Tuesday, March 24, 2009

Parpol di Negeri Impian

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

DI “NEGERI IMPIAN” itu, penghuninya punya kebebasan bermimpi tentang apa saja; termasuk mimpi mempunyai banyak parpol. Untuk hidup di negeri tadi, orang tidak perlu memakai logika dan rasio, sebab segalanya hanya impian, bukan pengalaman empiris yang membutuhkan semangat, tekad dan kemauan politik untuk merealisasikan satu dunia bernama “negeri impian”.

Konsep “negeri impian” sebenarnya sederhana dan bisa diwujudkan melalui sistem dan mekanisme politik, dimana Parpol yang melahirkan pemimpin, harus punya daya khayal (imaginasi) yang mengagumkan, merumuskan menjadi ide, konsep dan direalisasikan lewat program terencana. Misalnya saja pembangunan Putrajaya (Pusat pemerintahan Federal Malaysia) yang dinilai oleh kebanyakan orang sebagai ”negeri impian”. Ini terujud, berkat tekad, kemauan politik, kemampuan me-manage keuangan dan seiring dengan itu, merangsang pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan sarana umum. 

“Negeri impian” ini berakar dari khayalan penguasa (baca: Parpol). Parpol sekaligus sebagai laboratorium yang mensortir politisi-politisi bajingan agar tidak bergentayangan dalam jajaran legislative dan eksekutif dan menutup ruang gerak untuk tidak leluasa menggarap konsep “negeri impian” seenak jidatnya memperkaya diri secara illegal. Rakyat diberi pendidikan dan kesadaran politik. Dengan begitu, rakyat bisa mengukur kualitas dan moralitas politisi yang menerima mandat. Walau pun antara pemilih dan yang dipilih tidak setara mutu mimpi, tetapi kedua pihak punya sentimen kebersamaan (kolektif) dan tanggungjawab untuk mewujudkan “negeri impian” untuk dinikmati bersama.

Dalam literature Aceh dikenal “tjet langet” (“mengecat langit”), yang berarti khayalan (imaginasi). Sayangnya, “tjet langet” difahami sebagai kepasrahan, diam, kemustahilan, apatisme dan ketidakpastian, bukan motivasi. Padahal, jika kalimat: “tjet langet” dipadankan dengan khayalan Ramlah (seorang penyair Gayo), maka kalimat tersebut akan hidup dan bersemangat. Karena ide dan konsepnya jelas.

Kata Ramlah: “Kao i langit selo ku tuyoh, kalei tubuh. Sige ku pasang berkite uluh, buge ruh (Kau di langit kapan jatuh ke bawah, aku idamkan. Aku pasang tangga dari bambu bercabang untuk menggapainya, semoga pas. “Ko le bintang simale kin suluh, cermin terangku” (Kaulah bintang sebagai obor, cermin yang terang). Berarti, ”tjet langet” (khayalan) bisa diaktualisasikan melalui instrument yang pas untuk menggapainya! Sayang, orang tidak mampu menyelami dalamnya lautan falsafah. Untuk sementara, belum ditemui politisi di Aceh yang punya daya khayal (imaginasi) untuk mewujudkan suatu “negeri impian” yang baldatun thaibbatun warabbul ghafur, apalagi menjabarkan khayalan tadi menjadi ide atau konsep pembangunan bernilai universal. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah, budaya, moral, kemampuan berkhayal dan berpikir.

Instrument politik perlu untuk mewujudkan “tjet langet” (khayalan). Instrumen yang dimaksud bisa diartikan sebagai “blue print pembangunan fisik dan infrastructure politik”. Jika tidak punya instrument, maka penguasa musiman (selama 5 tahun atau lebih), tidak tahu apa yang mesti dilakukan, termasuk pengalokasian anggaran pembangunan. Buktinya: eks Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud) yang keduanya pakar ekonomi, dan Abdullah Puteh mengembalikan sisa dana Otonomi ke Pusat. Ini Gubernur abnormal! Kini giliran kinerja Irwandi [pemerintahan Aceh pasca MoU Helsinki (wakil GAM), sedang gladiresik sekaligus sebagai barometer untuk menentukan kualitas penguasa di masa depan, juga mengembalikan sisa dana Otonomi Aceh ke Pusat.

Realitas politik ini mesti diakui bahwa, politisi Aceh sesungguhnya tidak punya daya khayal (imaginasi), ide, visi, konsep dan program untuk mewujudkan Aceh sebagai “negeri impian”. Lantas, kemana rakyat bersandar? Kepada politisi Parlok: PA, GAPTHAT, PAAS, SIRA, PRA dan politisi Parnas: PPP, Golkar, PAN, PKS, PBB, PKB, PDI-P dan PDI yang diprediksi mampu menyedot suara mayoritas dari dua juta pemilih dalam Pemilu nasional April 2009? Wallahu’alam! Yang jelas, daun mangga tidak jauh jatuh dari perdunya. Artinya, mereka adalah “pengkhayal-pengkhayal” tidak berkualitas dan tandus imaginasi, ide, visi dan konsep. Mereka adalah petualang politik yang memakai rakyat sebagai kendaraan untuk mengantarkannya ke singgasana.

Masih dalam kaitan itu; bagaimana rakyat bisa melahirkan seorang pemimpin atau wakil rakyat berkualiatas dari 10 Parlok dan 34 Parnas yang bertarung di Aceh? Sementara seperempat rakyat Aceh [angka perkiraan] saja yang memiliki kualitas, selebihnya tidak memenuhi standar –tidak punya pengetahuan– untuk memilih pemimpin. Rakyat Aceh akan berhadapan dengan dilemma, bahwa antara pemilih dan yang dipilih tidak setara mutu mimpi, tidak punya sentiment kebersamaan (kolektif), tidak bertanggungjawab untuk mewujudkan Aceh sebagai “negeri impian”. Hal ini, selain terjadi di tingkat lokal, juga dialami di tingkat nasional. 

Idealnya, Parpol sejak jauh hari sudah mesti menawarkan khayalan (imaginasi) atau “tjet langet” yang siap dikemas dalam bentuk ide dan konsep pembangunan fisik dan infrastructure politik di “negeri impian”. Di mata orang optimis, langit bisa dicat, asalkan instrumennya tepat. Semua ini tergantung pada mekanisme demokrasi atau membiarkan psemisme bergulir: “Ban ka hana tjangguk di blang, darut tjanggang djeuet keu raja (Ketika sudah tidak ada kodok di sawah, belalang pun bisa jadi raja).

Kodok adalah komunitas elite di areal sawah berbanding komunitas belalang. Aceh membutuhkan “kodok” dari jenis “kodok” berkualitas dan bermoralitas yang disokong rakyat untuk jadi penguasa di “negeri impian”. Jika tidak, maka posisi raja akan diambil alih oleh komunitas “belalang” yang tidak punya khayalan (imaginasi), visi, ide dan konsep. Apalagi jika ‘raja’ pengganti “kodok” tadi dipegang dari jenis belalang representatif yang bisa hidup dengan hanya makan angin.

Oooh, susahnya cari “kodok”! Bagaimanapun, tidak boleh patah semangat, apalagi para filosuf tidak pernah berhenti mengajak; “Kebahagiaan bukanlah terletak pada realitas yang sedang anda saksikan, melainkan berada dalam pikirkan anda.” Inilah peran politisi (Parpol) untuk mewujudkan “tjet langet” menjadi “negeri impian.

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark .
[Serambi Indonesia, 30 August 2008]

Sunday, March 15, 2009

“Inen Mayak Pukes” (Pesan Legenda)


Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

MAAF Aman Mayak (Pengantin lelaki), karena tanganku telah lancang menyentuh isterimu dalam keadaan tidak berpakaian “Upoh Ulen-ulen”, kusandarkan tangan ke bahunya yang dingin, kusentuh tubuhnya yang sedang ’berbadan dua‘ (hamil) dengan telapak tangan, yang telah turut mengotori nilai-nilai legenda ini. Bertuah, saat itu tidak lewat pegawai ronda Wilayatul Hisbah, hingga tidak sempat menyeretku ke Mahkamah atas tuduhan berkhawat dengan seorang wanita yang bukan muhrim. Semua ini berlaku di penghujung Juli tahun 2006, di hadapan isteri, adik, adik ipar, anak-anak dan keponakanku tanpa tersirat sekelumit nafsu berahi, melainkan sekedar ingin merapatkan perasaan, membagi hangat, emosi dan menjiwai lebih dalam tentang hubungan moral isterimu dengan generasi sekarang dan akan datang, yang menurut legenda ini bernama “Inen Mayak Pukes”. Ada sumber mengatakan bahwa, patung “Inen Mayak Pukes” yang asli, nampak tetesan air matanya yang sedang mengepit kendi. Fakta tersebut musnah sudah. Sosok tubuhnya yang tegak sekarang, tak ubahnya seperti bentuk Labu manis panjang. Walau begitu, saya sudah telanjur percaya dan meyakini legenda ini.

Ketika menyentuh “Inen Mayak Pukes”, terbayang lukisan terkenal “Monalisa” di Mesium Paris, yang dipajang dalam satu ruang, dilengkapi alat security modern, untuk mengelak tangan-tangan jahil menyentuh, mencederai atau mencurinya. Pengunjung hanya bisa melihat jelas dari jarak 4-5.m dengan bantuan sorotan sinar yang terfokus ke Monalisa. Pemda Paris, menyediakan dana khusus untuk memelihara Mesium ini agar terjaga rapi dan aman. Selain itu teringat juga kepada patung sepasang manusia telanjang bulat dalam sebuah kolam kecil buatan dilengkapi air mancur dengan campuran sabun berbusa putih menggelembung, terletak di samping Kantor Gubernur di Århus, Denmark. Orang lalu-lalang bebas melihatnya, tapi tidak merapat, menyentuh dan mencederainya. Walau patung ini hanya sebagai hiasan yang tidak memiliki nilai historis, namun Pemda (Kommune) membiayai perawatannya.

Berbeda dengan “Inen Mayak Pukes” yang keadaannya menyedihkan dengan sosok tubuh remuk dan kehilangan bentuk, akibat ulah “seribu‘ tangan jahil yang tidak bertanggung jawab telah menggebuki dan mencederai wajahnya, untuk menghalang agar dia dibenci; mencederai telinganya, agar tidak mendengar bisikan ayat-cinta; mencederai matanya, agar tidak bisa lagi menatap suaminya; melukai hatinya agar putus mata rantai emosi dan sejarah legenda ini dengan generasi sekarang dan mendatang.

Pengisah legenda sengaja memisahkan antara mereka berdua sejauh 200.meter. Pengunjung bebas merapat dan menyentuh “Aman/Inen Mayak Pukes”, tanpa ada upaya Pemda membangun pagar pelindung untuk merawatnya. Saat saya tanya kepada qadam penjaga: “Apakah Pemda membantu membiayai perawatan kawasan ini?”. “Sepecer pun tidak pernah dibayar oleh Pemda. Bahkan saya mesti menyetor pajak dalam jumlah tertentu kepada Pemda.” Tutur qadam singkat.

Untuk melihat “Inen Mayak Pukes”, pengunjung mesti membayar Rp. 3000/orang dewasa dan 1000/anak-anak. Kemudian qadam menyalakan lampu petromak tua, mengajak masuk kawah sempit dan meriwayatkan selintas kisah patung “Inen Mayak Pukes”. Di sini juga terdapat “Batu Seribu Arti” seukuran boneka kecil, lusung penumbuk padi dan terowong menuju “Aman Mayak Pukes”, yang jauhnya 200.m ke atas bukit. Saya tanya: “adadah brosur yang mengisahkan legenda ini kepada pengunjung?.” “Tidak ada” jawab qadam. Inilah cara Pemda Aceh Tengah menghargai legenda “Aman/Inen Mayak Pukes”, khazanah budaya (benda archeology) yang memiliki nilai legenda tersendiri, terletak di Pukes, kira-kira 1,5 km dari kampung Kebayakan ke arah Bintang, di bibir Danau Laut Tawar. Sampai hati memungut jatah, membiarkan telanjang tanpa berpakaian “Upoh Ulen-ulen”, tidak memberi biaya untuk membeli sabun, shampo, bedak dan alat kosmetik lainnya agar “Aman/Inen Mayak Pukes” nampak lebih gagah dan “mampat-belangi” (“cantik”). Entahlah!

Tentang jarak [200.m antara “Inen dan Aman Mayak Pukes”,] mengandung missi khusus tentang nilai kultural dan moral. Siapa saja, tidak terkecuali: pasangan suami/isteri sekali pun, tetap dipandang tabu bergandèng tangan, apalagi dalam perjalanan jarak-jauh atau memasuki kawasan kampung lain. Sebab, status mereka belum diketahui secara meluas oleh masyarakat. Jika ternyata belum menikah, urusannya bisa dibelasah oleh masyarakat atas alasan bertentangan dengan anjuran Alquran [Surat An-nur, ayat 30 & 31], yang dibahasa adat Gayo-kan dengan istilah: “Sumang”. 

Jarak posisi adalah simbolik adab dalam Adat Gayo (Aceh), yang mengutamakan kesan positif kepada khalayak (umum). Aktualisasi dari jiwa legenda ini nampak dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari. Dalam acara kenduri (jamuan makan), kematian atau perkawinan misalnya; kaum lelaki dipisahkan tempat duduknya dari kaum wanita, walau suami/isteri sekali pun. Realitas ini sudah menjadi “tacit” (tahu sama tahu) atau konsensus yang diakui masyarakat dan akan heboh, jika konsensus ini diterjang. Dalam msyarakat Gayo (Aceh), hampir tidak dijumpai pasangan suami/isteri berjalan bergandeng tangan di tempat umum, sebab dipandang memalukan umat!. Mereka menjaga jarak sebagai simbol moral/aurat umum. Inilah refleksi penjiwaan terhadap makna jarak antara “Aman dan Inen Mayak Pukes”. Sekarang, ada kecenderungn nilai-nilai legenda tadi sudah membusuk, mengangkangi jarak aurat di depan umum atau di tempat gelap. Buktinya, 3.000 pasang suami/isteri setiap tahun mengajukan gugatan cerai di Mahkamah syari‘ah Aceh Tengah, karena berselingkuh (data tahun 2006). Ini merupakan kegagalan orang Gayo memahami makna “jarak” dalam legenda ini. 

Mengikut alur cerita legenda dipercayai bahwa: “Aman/Inen Mayak Pukes” menjadi batu karena tidak memegang amanah orang tua: “Kalau kalian berdua sudah meninggal ruang (rumah) ini, jangan menangis dan menoleh ke belakang, sebab akan jadi batu.” Rasanya, terlalu èntèng kalau hanya karena pelanggaran terhadap kalimat ini bisa berbuntut manusia manjadi batu, walau pun dalam tradisi dan ajaran Islam menyebut: “jangan katakan Aaach kepada orang tuamu. Bertuturlah sopan santun.” Tapi, ini kenyataan: “Aman/Inen Mayak Pukes” menjadi batu. 

Terus terang, kalau diamati dengan teliti, posisi “Aman/Inen Mayak Pukes”, ternyata tidak menoleh ke belakang, tetapi memandang dan melangkah ke depan. Berarti, tidak cukup alasan menuduh -tidak memegang amanah- dan karenanya tidak patut menjadi batu. Jadi, dimana letak pelanggaran moralnya? Dalam konteks ini, kita tidak perlu mengusut. Yang perlu ditafsirkan di sini ialah: realitas (patung), bukanlah makna harfiah dari suatu pelanggaran, melainkan simbol dari ajaran moral, harapan dan pandangan futuristik yang zaman dahulu digambarkan lewat bahasa sandi, batu pahat berukir dan ornamen. Interpretasi dari amanah: “... jangan menoleh ke belakang, sebab akan jadi batu” ialah: Pertama: sosok “Aman/Inen Mayak Pukes” adalah manusia [kita], yang tengah menuju suatu kehidupan yang sarat dengan tantangan dan tanggungjawab, tak usah menoleh lagi ke masa remaja; benar kemaren adalah milik pribadi, tetapi esok lusa adalah milik bersama, yang menuntut keberanian bersabung dan bertarung untuk merebut pelbagai peluang. Si penakut akan hanyut dibawa arus hidup itu sendiri dan yang ragu-ragu akan kehilangan kesempatan. Ayunkan langkah dengan pasti ke depan, jangan menoleh lagi ke belakang. “Walal akhiratu chairullaka minal ula” (Surat Dhuha, ayat 4). Jadikan air matamu sebagai cairan perangsang yang menggairahkan semangat dan menegarkan jiwamu, sebab masa depan Anda adalah kepastian dan ketidak pastian. Dua perkara inilah sebenarnya milikmu. Jadi, jangan heran kalau satu saat, sesuatu yang sudah digenggam akan hilang disambar elang. Hidup tidak boleh “membatu”, tetapi mencair ke dalam larutan hidup dan nekad mendaki lereng-lereng gunung yang curam dan terjal untuk menggapai kebahagiaan; Anda mungkin sampai ke puncak kebahagiaan atau terjungkal ke dalam lembah yang dalamnya tanpa batas. 

Kedua, kita adalah sosok lain dari “Aman/Inen Mayak Pukes” yang tidak memegang amanah -tidak bisa dipercayai- karena melakukan “wan prestasi”: artinya: kita tidak melakukan sama sekali apa yang sudah diamanahkan; ... kita melakukan, tetapi tidak melakukan sebagaimana yang diamanahkan; ... kita melakukan, tapi hanya melakukan sebagian dari yang diamanahkan; ... kita melakukan, tapi terlambat dari masa yang diamanahkan. Sekurang-kurangnya, arti “jarak atau jauh” dan dua perkara paradok inilah yang saya selami sampai ke dasar, melalui pendekatan falsafah kontemporer, sesudah melihat dan berdialog imaginasi dengan “Aman/Inen Mayak Pukes” . Tegasnya, jika tokoh legenda ini menjadi batu karena tidak amanah; kita yang terang-terangan “wan prestasi”; ternyata diam, bisu, sombong, keras kepala dan “membatu”, bukan? 

Qadam mengajakku mendaki menjumpai “Aman Mayak Pukes”. Tapi, kaki terasa lelah melangkah dan nyeri sendi mendaki. Terus terang, ini hanya satu dari beberapa dalih, bahwa saya sebenarnya mengelak, kalau nanti “Aman Mayak Pukes” bertanya: “Sana keber ton numah ku?” (Apa kabar isteri saya?)”. Ini pesan dan saya tidak sanggup menjawab, walau dialog imaginasi terus dilakukan. Kulambaikan tangan sebagai isyarat perkenalan, bukan perpisahan. Karena perpisahan hanya terjadi, ketika seseorang merasakan bahwa pesan legenda ini tidak memiliki hubungan emosional dengan dirinya. Legenda ini tidak kosong, hanya saja orang tidak pandai membaca, menafsir dan menerjemahkan ke dalam konteks kehidupan ke-kini-an kita. Wallahu‘aklam bissawab!

* Director Institute for Ethnic Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 15/03/2009]