Thursday, February 21, 2008

Aceh Terhempas di Tapal Batas

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

SELAIN juru runding GAM, banyak orang tidak tahu dan tidak mau tahu tentang apa sebenarnya rahasia di balik kalimat: "Batas Aceh berdasarkan 1 Juli/1956" yang disebut pada poin 1.1.4 MoU Helsinki. Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata dalam perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan suatu undang-undang yang mengatur tentang batas Aceh pada 1 Juli 1956. Lalu, mengapa 1 Juli 1956 dipakai oleh juru runding GAM-RI sebagai dasar hukum menentukan batas wilayah Aceh? Prediksi yang paling mendekati ialah UU No.24/1956, tentang: "Pembentukan Deretan Otonom Propinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera-Utara", selain itu tidak ada.

Tetapi UU ini baru disahkan pada 29 November 1956 dan diundangkan pada 7 Desember 1956, bukan pada 1 Juli 1956. Boleh dikatakan, status UU No.24/1956 pada 1 Juli 1956, masih berbentuk draf (RUU), berupa embrio hukum yang belum dibubuhi nomor. Secara yuridis formal, sejak tarikh 29/11/1956 dan atau 7/12/1956 inilah UU No.24/1956 baru mempunyai kepastian yang mengikat dan sah dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan demikian, MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sangat rapuh, cacat hukum, dan illegal.

[SELAIN juru runding GAM, banyak orang tidak tahu dan tidak mau tahu tentang apa sebenarnya rahasia di balik kalimat: "Batas Aceh berdasarkan 1 Juli/1956" yang disebut pada poin 1.1.4 MoU Helsinki]

Juru runding GAM sama sekali tidak tahu saat menandatangani MoU Helsinki tahun 2005, tentang kelicikan politik Indonesia dalam arena negosiasi, yang memakai taktik 'pengelabuan kalimat' lewat jebakan-jebakan jitu--mutasyabuhat (kalimat kontroversial)--yang seakan-akan benar, tetapi sebetulnya melanggar. Susunan ayat dalam suatu MoU mesti muhkamah (yang pasti-pasti) dan jika sekiranya terpaksa dipakai juga ayat mutasyabihat, mesti diberi penjelasan, sehingga tidak menimbukan interpretasi yang berbeda. Jika tidak, akan besar resikonya seperti yang kini terjadi.

Selain itu, Indonesia memakai falsafah politik dagang: "menjual kucing dalam karung" di Helsinki. Buktinya, yang dijadikan batasan Aceh berdasarkan patokan pada 1 Juli 1956, yang masih berupa draf UU yang belum dibubuhi nomor, lalu kini diterima GAM dan dipakai sebagai dasar menentukan batas wilayah Aceh. Ini perbuatan tercela. Dari kacamata moral dan keadilan, fakta ini sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia bersikap tidak jujur. Ini suatu kesalahan yang boleh dituntut, karena telah membiarkan suatu pelanggaran terjadi, dengan membenarkan yang tidak benar sebagai kebenaran (Omissi). Hanya saja mungkin suatu hal memalukan, karena Aceh sudah terbiasa dalam sejarahnya beli "kucing Indonesia dalam karung". Yang terjadi di Helsinki hanyalah pengulangan sejarah yang memalukan. Sekarang, juru runding GAM (orang Aceh) baru sadar bahwa mereka sudah telanjur dan sudah pula memamerkan kebodohan kita di mata dunia internasional.

[Hanya saja mungkin suatu hal memalukan,
karena Aceh sudah terbiasa dalam sejarahnya beli "kucing Indonesia dalam karung".
Yang terjadi di Helsinki hanyalah pengulangan sejarah yang memalukan.]

Seterusnya, maksud Indonesia menyebut 1 Juli 1956 --draf UU, selanjutnya disebut UU No.24/1956--untuk memberkas, menggiring GAM supaya terpojok dan menerima paket Otonomi. Dikatakan demikian, oleh karena UU ini dinamakan: "Undang-undang Tentang Pembentukan Deretan Otonom Propinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera-Utara". Di sini jelas sudah, kendati kehadiran UU ini "sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat di daerahnya masing-masing" (Pertimbangan UU No.24/1956), tetapi maksud dilahirkan UU ini untuk menentukan status Aceh (Provinsi baru) yang dimekarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan berdasarkan MoU Helsinki, Aceh ternyata tetap sebagai salah satu Provinsi dalam NKRI.

Menyinggung soal batas dalam UU.No.24/1956, maka wilayah Keresidenan Aceh yang dimaksud dalam Staatsblad 1934 No. 539, ditetapkan: Daerah Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Aceh Besar, 2. Pidie, 3. Aceh-Utara, 4. Aceh-Timur, 5. Aceh-Tengah, 6. Aceh-Barat, 7. Aceh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 tahun 1950 dan dibentuk menjadi daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri, tingkatan ke-I dengan nama "Propinsi Aceh" (pasal 1, ayat 1, UU.No.24/1956). Secara harfiah, tidak disebut Kab. Aceh Tenggara, Aceh Temiang, Aceh Jeumpa, Bener Meriah, Gayo Lues, Pidie Jaya, Aceh Singkil, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Simeulue dan Aceh Jaya. Dalam hal batas Aceh, kedua belah pihak mesti mencari dasar hukum yang pasti-pasti (undisputed), sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Apalagi kelahiran Kabupaten-kabupaten tadi lebih awal daripada MoU Helsinki.

Dengan menyebut 1 Juli/1956 sebagai dasar hukum, otomatis batal demi hukum, karena tidak mempunyai kepastian hukum. Kalau UU No.24/1956 dan poin 1.1.4 MoU Helsinki dipakai sebagai dasar hukum menentukan batas wilayah Provinsi NAD, tetap akan merumitkan dan menimbulkan masalah baru, oleh sebab terjadi tumpang-tindih peraturan. Buktinya, dalam "Memori Penjelasan UU No.24 tahun 1956 disebut: "Dengan terbentuknya kembali daerah otonom Propinsi Aceh ini maka wilayah daerah otonom Propinsi Sumatera Utara akan meliputi hanya wilayah keresidenan-keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur saja." Wilayah keresidenan-keresidenan Tapanuli yang dimaksud meliputi: Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Nias, Nias Selatan, Dairi, dan Pakpak Bharat. Sementara "Sumatera Timur", wilayahnya meliputi: Kabupaten/Kota yang akan tergabung di antaranya adalah: Langkat, Binjai, Medan, Karo, Deli Sumatera Serdang, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, Labuhan Batu.

Dalam konteks ini, Kabupaten Aceh Tenggara yang dibentuk berdasarkan UU No. 4/1974, diundangkan pada 4 Juni 1974, pada pasal 2 (1) disebut: "Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara meliputi dan terdiri atas kecamatan-kecamatan: a. Pulonas, b. Bambel, c. Lawe Sigala-gala, d. Blangkejeren, e. Kutapanjang, f. Rikit. Gaib, g. Lawe Alas, h. Terangon, i. Babussalam, yang dipisahkan dari Kabupaten Aceh Tengah yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1956 juncto Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956" yang menghadapi masalah tapal batas, karena Kab. Aceh Tenggara sebelah Timur berbatas langsung dengan Provinsi Sumatera Utara. Kalau ketentuan 1 Juli/1956 sebagai dasar hukumnya, ianya batal demi hukum, sebab tidak mempunyai kepastian hukum. Jika UU No. 24 Tahun 1956 dasar hukumnya, berarti wilayah Provinsi NAD merambah masuk sebagian Kab. Karo dan Kab. Langkat wilayah Provinsi Sumatera Utara. "Mengapa MOU mengutak-atik perbatasan yang sudah ada di Lawe Pakam." Dengan kata lain, "Jika rujukan yang dipakai perbatasan 1 Juli 1956, berarti yang dimaksud adalah perbatasan di Kecamatan Lawe Baleng, Kabupaten Karo. Padahal, perbatasan di sisi timur sekarang adalah Desa Lawe Pakam, Kecamatan Babul Makmur, Aceh Tenggara. Lawe Baleng sendiri berarti sungai perbatasan karena sejak dulu batasnya di situ" (Kompas, 23 September 2005).

Sisi lain yang mengecohkan ialah, selalu disebut "juncto Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956" setiap pembentukan Kabupaten di wilayah Provinsi NAD, bukan "juncto 1 Juli 1956." Jadi, apa pasal pihak RI-GAM menyepakati batasan berdasarkan 1 Juli 1956, tanpa penjelasan secara rinci. Ini memperkuat tuduhan bahwa MoU Helsinki adalah merk dagang politik berlabel: "kucing dalam karung".

Dari fakta di atas, membuktikan betapa rancunya peraturan tentang batas Aceh. Peraturan yang ada masih diperselisihkan (disputed law). Pada hal semuanya sudah terang. Berdasarkan dokumen resmi--ultimatum-Pemerintah Hindia Belanda (26 Maret 1873), salah satu dari lima butir ultimatum itu berbunyi: "Kembalikan seluruh bagian wilayah Sumatera yang dikuasai oleh ke-Sultanan Aceh". Wilayah Aceh yang dimaksud, secara konkrit bisa dilihat pada peta Aceh tahun 1883 dan 1890 yang disusun Inggris. Wilayah Aceh yang diakui oleh dunia internasional yaitu Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Turki, Portugis, Spanyol dan Jepang, yang diancam supaya diserah kepada Belanda. Klaim tentang batas Aceh sejalan dengan prinsip hukum Internasional, yakni: `Status Quo Ante Bellum". Batas Aceh mempunyai kekuatan hukum yang pasti-pasti, yang tidak perlu diperselisihkan (Undisputed law).

Tapi sudahlah! Kalau berani, tuntut supaya wilayah Kecamatan Lawe Baleng, Kabupaten Karo dan bagian-bagian lain wilayah Langkat dikembalikan/dimasukkan ke dalam wilayah NAD, jika memang UU. No. 24/1956 dipakai sebagai dasar hukum menentukan tapal batas Aceh. Untuk apa berkomentar "pembentukan ALA dan ABAS melanggar poin 1.1.4 Mou Helsinki dan Bab II, pasal 3 ayat a, b, c dan d UU No. 11/2006."

Bukankah lebih bertanggung jawab bila memperdebatkan poin 1.1.4 MoU Helsinki yang illegal, ketimbang bicara pemekaran yang semata-mata bukan urusan juru runding GAM. Barangkali yang akan terjadi, bukan saja tidak berani menuntut wilayah-wilayah yang disebut tadi dikembalikan, tetapi lebih dari itu, setengah dari wilayah Provinsi NAD akan hilang dengan terwujudnya Provinsi ALA dan ABAS. Ini belum cukup! Provinsi NAD perlu dimekarkan lebih banyak Provinsi, lagi pun ini urusan dalam negeri Indonesia, buat apa ikut campur. "Ureuëng njang gulam hana geuhon, njang kalon huru-hara" (Orang yang panggul saja tidak merasa berat, yang melihat malah susah hati). MoU Helsinki di mata orang Aceh persis bak kata pepatah: "Tertawa di depan umum, menangis di belakang layar. Menang sorak, kampung tergadai." Kegagalan diplomasi Aceh jangan bertanya kepada si pembual, tapi bertanyalah kepada juru runding Aceh si penjual.[]

*Director Institute for Ethnics Cilivization Research
[Tabloid Kontras Edisi Kamis 21/02/2008]

Saturday, February 2, 2008

ALA, Sejarah yang Terkoyak

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

AKANKAH dua kuntum bunga –Renggali-Seulanga– akan rontok dari kelopaknya? Secara politis, bukan mustahil wil. Provinsi NAD terkoyak geograpinya, seandainya pembentukan Provinsi ALA menjadi kenyataan. PP No. 78/2007 sebagai pengganti PP No. 129/2000 dasar hukumnya. Sebelumnya, tersandung pada mekanisme perundang-undangan dan kemauan politik (political will) DPR-RI dan Pemda. Penguasa Provinsi NAD tak rela berpisah, sementara perwakilan dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Merie, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Alas dan Singkil sudah berbenah mau berpisah tak mau lagi tinggal satu rumah.

Keengganan berpisah, mungkin karena alasan sejarah, sosial budaya atau ingin mempertahankan prestige rapuh (pragile prestige), yang seakan-akan perpisahan ini menggugat wibawa Pemda Acheh dan memperuncing perbedaan politik dan budaya antara komunitas Gayo dan komunitas Acheh Pesisir yang sejak ratusan tahun hidup bersama, senasib dan seperjuangan. Dalam konteks inilah yang diulas di sini.

Secara sosiologis, Renggali-Seulanga seumpama lirik lagu, yang baru bisa nikmati lantaran paduan dari beberapa jenis instrumen musik yang saling mendukung. Berbeda bunyi tapi konsep dan kuncinya sama. Begitulah kehidupan politik dan sosial budaya antara komunitas Gayo dan Acheh Pesisir. Persis seperti di-ilustrasi-kan dalam lirik Didong (group Musara Bintang): ”Renggali Megah i Biruën, i Takéngon bunge Seulanga” (”Renggali Megah di Bireuën di Takéngon bunga Seulanga.”) Di sini terdapat indikasi tentang adanya korelasi ikatan sejarah dan sosial budaya yang menghubungkannya.

Perbedaan itu ada, misalnya: ”Pakriban u meunan minjeuk; Pakriban du meunan aneuk”. (Bagimana Kelapa, begitu pula minyaknya; Bagaimana Ayah begitu juga anaknya.) Berbeda dengan falsafah Gayo: ”Anakni reje mujadi kude, anak ni Tengku mujadi asu” (anak raja bisa jadi kuda, anak Tengku bisa jadi anjing”.) Model pertama mengikuti teori integral (pembulatan), sedang model kedua mengikuti teori deferensial (relativitas). Tokh dalam sejarahnya, kedua model ini bisa bersatu dalam adonan kimiawi sosial-politik, hingga mampu melahirkan bangunan negara –ACHEH– suatu masa dahulu.

Secara historis, Renggali-Seulanga bagaikan organisme tubuh yang saling ketergantungan satu dengan lainnya. Hidup bersama dalam wadah Acheh, sebagai negara merdeka dan berdaulat. Fakta sejarah membuktikan bahwa, Sultan Acheh memberi hak penuh kepada raja-raja sulurh Acheh, untuk mengatur negeri masing-masing, termasuk memberi hak kepada Reje Linge untuk mencetak uang Acheh [Ringgit] yang dipercayakan kepada ”Kupang Repèk” di Takèngon, khusus untuk keperluan hantaran uang dalam perkawinan dan transaksi perdagangan lokal. Hak ini diberi, atas pertimbangan sarana transportasi dan komunikasi yang sukar dijangkau pada masa itu. Reje Linge, akan melaporkan jumlah uang yang dicetak kepada Sultan Acheh. Ini merupakan fakta yang tidak kurang menariknya dalam sejarah Acheh.

Untuk melihat bagaimana membangun kepercayaan (trust building) antara Renggali-Seulanga, bisa dilihat dari fakta sejarah sbb: Meurah Johan Syah Al-Khahar (anak Raja Linge) misalnya, megah sebagai Renggali di Acheh Pesisir. Beliau diangkat menjadi Sultan Acheh Darussalam, hari Jum’at, 1 Ramadhan tahun 601-631 H (1205-1234 M) dengan gelar Sultan Alaidin Johan Syah. ”Dalam Kerajaan Acheh Darussalam, yang akan menjadi rajanya ialah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, perdamaian, keikhlasan dan cinta kasih dan siapapun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini” (Meurah Johan, Sultan Aceh Pertama. A Hasjimi. Bulan Bintang, 1976, halaman 103). Meurah Johan Syah sebagai panglima perang yang menakluki Johor dan Meurah Johan Syah-lah sebenarnya peletak dasar penyatuan seluruh Acheh [sebagaimana wujud sekarang]. Ali Mugyat Syah –Sultan Acheh pertama– yang berkuasa tahun 1500-an dalam keadaan terima jadi.

Datu Beru –sepucuk Renggali– satu-satunya wanita yang duduk dalam Parlemen Acheh di masa pemerintahan Ali Mughayat Syah. Sebagai seorang filosuf, ahli hukum dan politisi kondang, beliau berani berhujjah dengan Qadhi malikul ´adil dalam kasus pembunuhan Bener Meria (anak kandung Meurah Johan) oleh Reje Linge ke-12.

Tengku Tapa adalah Renggali yang harum di Acheh Timur saat peperangan melawan penjajahan Belanda. Karena keberaniannya, hingga Komando Pusat Militer Belanda mempropagandakan bahwa Tengku Tapa enam kali mati.

Malik Ahmad, anak kandung Meurah Sinubung [cucu Munyang Mersa] diangkat menjadi Raja Jeumpa menggantikan mertuanya, karena berhasil menghentikan perseturuan antara kerajaan Jeumpa dan Samalanga. Meurah Silu, adik kandung Malik Ahmad, dilantik menjadi raja Pasé pertama, karena kwalitas ketokohannya yang berhasil menghentikan perang antara Lhôk Sukon dan Geudông. Kata „Meurah“ dalam bahasa Gayo, berarti „Malik“ dalam bahasa Arab. Kata „Silu“ dalam bahasa Gayo, bermakna „saléh“ dalam bahasa Arab. Itu sebabnya, Renggali dari dataran tinggi Gayo ini kemudian populer dengan panggilan Sultan Malikussaléh.

Selain itu, Meurah Pupuk, yang mengembangkan agama Islam ke Lamno Daya; Meurah Bacang, yang mengembangkan agama Islam ke Tanah Batak; Meurah Putih da Meurah Item (Hitam), yang mengembangkan agama Islam ke daerah Beracan Meureudu; Meurah Jernang, yang mengembangkan agama Islam ke Kalalawé Meulabôh; Meurah Silu [bukan Meurah Silu yang kemudian menjadi Raja Pasé], yang mengembangkan agama Islam Gunung Sinubung Blang Kejren, adalah juga Renggali-Renggali yang megah dalam sejarah pengembangan Islam di Acheh. Sampai sekarang keturunan mereka masih memakai gelar „Meurah“, yang berasal dari keturunan Munyang Mersa, nenek moyang orang Gayo.

Tokoh Gayo di atas adalah Renggali-Renggali berasal dari jenis benih unggul, yang watak dan kwalitasnya melebihi standard umum dan dipandang sebagai representative dari semua sebutan dan jenis Renggali yang kita kenal. Keharuman Renggali unggul ini menembus tembok sentimen sukuisme, clan, fanatisme dan ethnosentris yang kaku. Mereka mampu mengalahkan harumnya bunga-bunga dari jenis lain, sekalipun Seulanga di Acheh Pesisir, yang datang bertandang dari kaum minotitas, tetapi mampu bersaing secara sehat dalam kancah politik Acheh, megah dan dikagumi.

Sementara itu, figur Seulanga di Gayo lebih dikenal sebagai toké. Lintas-dagang antara dataran tinggi Gayo dan Pesisir sudah berlangsung lama sekali. Kita bisa saksikan, pusat perdagangan strategis di kota Takengon dan daerah sekitarnya, dimoninasi oleh saudagar asal Acheh dan imigran asal Minangkabau. Orang Gayo tidak merasa iri dan benci, walau wilayah kedaulatannya di coup oleh asing. Selain itu, interaksi sosial terjadi karena hubungan perkawinan.

Diakui bahwa, silang budaya seni antara Seulanga-Renggali tidak mungkin dipadu, tapi tidak pernah beradu. Perbedaan bahasa bukan faktor perenggang dan berinteraksi, karena bahasa Melayu dipakai sebagai pertuturan sehari-hari. Bahasa Melayu adalah bahasa resmi di Acheh dari zaman dahulu sampai sekarang. Surat-menyurat resmi, seperti: surat Panglima Polém Cs. yang mengajak Tengku Tjhik Mahyuddin di Tiro menyerah pada tahun 1907 dalam bahasa Melayu jawi, bukan bahasa Acheh.

Kisah di atas adalah khazanah cerita lama. Sekarang segalanya sudah berubah, terjadi globalisasi dan pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menggerogoti keaslian budaya kita. Di kalangan komunitas Gayo, terjadi proses pemudaran (ubes). Renggali yang dahulu pernah mekar, kini tidak lagi harum di Acheh. Dalam konteks ini ada dua faktor penyebab. Pertama, faktor intern, yakni: kurangnya penghayatan nilai-nilai sejarah Gayo dan masih mempertahankan nilai-nilai lama yang tidak seiring dengan tuntutan zaman.

Padahal Tjèh Toèt pernah berdendang: „Tutu mesin gere mubelatah, mah ilen ku roda. Rôh ke lagu noya“ ( Padi yang digiling di fabrik sudah bagus, buat apa dibawa lagi ke Roda. Logiskah itu?). Secara pragmatis, Toét mengajak agar bersikap terbuka, kritis, peka dan cerdas membaca tanda-tanda zaman. Kedua, faktor extern, yakni: munculnya krisis kepercayaan dengan menyekat Renggali-Renggali untuk berperan dalam jajaran birokrasi, khususnya di tingkat Provinsi. Tindakan ini dilakukan secara sistematis lewat dominasi clan dan sentimen kesukuan terselubung. Misalnya saja: dari 21 Gubernur Acheh [mulai dari Teuku Nyak Arief – 1945-1946 sampai kepada Irwandi Yusuf – 8. Februari 2007-2012], tidak sekuntum Renggali pun dipetik. Soalnya ialah: tidak memenuhi standard verifikasi kwalitas atau korban dari ketidak percayaan? Hal ini perlu dikaji dan didiskusikan.

Yang menjadi kendala latén di kalangan kita ialah: masih kentalnya budaya tabu dan „tak enak“ mempersoalkan secara terbuka masalah politik dan sosial kemasyarakatan dalam urusan intern Acheh. Ini merupakan faktor penghalang untuk menyatukan persepsi tentang Acheh dalam arti perasaan memiliki dan tanggungjawab bersama. Jika nilai-nilai budaya tadi masih terus dipertahankan, sudah tentu melahirkan rasa cemburu dan praduga negatif antara sesama, sebab setiap institusi kemasyarakatan memiliki sentimen: rasa kebanggaan terhadap seni budaya, resam dan sejarah masing-masing. Dalam kaitan inilah, orang Gayo merasa berjasa dalam sejarah kepemimpinan Acheh lewat Renggali-Renggali yang harum, tetapi tidak menduga kalau satu saat, jasa itu tidak dikenang dan tidak dihargai orang, lemas dalam cemas.

Ketika tengah berada dalam situasi yang demikian, barulah orang Gayo nyeloteh: „Kusuen Lumu murip we kerlèng, kusuen budi murép we rèngèng.“ (Ku tanam Keladi tumbuh juga èncèng gondok, kutanam budi tumbuh juga lirikan sinis.) Dalam dinamika sosial, melupakan jasa adalah sah-sah saja. Dalam pepatah Acheh disebut: „Leupah krueng, glung rakit“ (Selamat ke seberang sungai, tendang rakit). Hal ini terjadi di saat Renggali dinilai tidak lagi perlu sebagai tiang penopang. Bagaimanapun juga, tindakan seperti ini, bukan berarti mengubur atau mengurangi arti sejarah itu sendiri.

Akankah Renggali tidak megah lagi di Bireuën dan Seulanga tidak megah lagi di Takengon? Secara politik-geography akan terbukti seandainya Provinsi ALA wujud. Jika kita mau jujur, kehadiran Provinsi ALA sebenarnya konsekuensi logis dari prilaku kolektif, yang selama bertahun-tahun menabur ketidak percayaan, pilih kasih dan ketidak adilan dalam konstribusi dan peluang berpartisipasi dalam birokrasi kepada non komunitas Acheh Pesisir. Sekarang, tibalah waktunya kita munuai Provinsi ALA. Bersyukurlah! Mengapa mesti ditolak, apalagi Provinsi NAD dan ALA berada dalam kandungan NKRI dan sama-sama satu Ibu dan menyusu kepada induknya - Jakarta. Sepuluh Provinsi lain boleh saja lahir di bumi Acheh, yang pasti, Acheh sudah memiliki surat tanah -setifikat- sebagai bukti sebuah negara berdasarkan peta yang dibuat oleh Inggeris tahun 1883 dan 1890. Ketahuilah Renggali selamanya mencintai Seulanga, tapi cinta tidak mesti harus bersatu. Bukan?[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia 2 Februari 2008]