Monday, December 13, 2010

Nasib Bahtera Pemerintahan Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

Bahtera pemerintahan Aceh tengah berlayar, yang kompasnya menunjuk ke arah yang tidak menentu. Pasalnya: ”Seperti yang tertulis menurut kandungan MoU ini. Pemerintahan sendiri (Self Government), akan kita dirikan dan bentuk di Aceh sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh bangsa kita…” {Ucapan Malik Mahmud, 15/08/2005, atas nama Pemerintah Negara Aceh.} Sementara itu disebut: “MoU Helsinki hanya suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Anatomi ideal dalam kerangka di atas memberikan konsiderasi filosofis, yuridis dan sosiologis dibentuk UU Pemerintahan Aceh. Hal yang mendorong lahirnya UU Pemerintahan Aceh ini dengan prinsip Otonomi seluas-luasnya…” (Penjelasan Umum UU No.11/2006) Lantas, mana yang benar dan mana satu diantara keduanya yang berlaku di Aceh: MoU Helsinki atau UUPA; Pemerintahan sendiri (Self Government) atau Otonomi seluas-luasnya? Hampir enam tahun lamanya sudah berlayar, namun rakyat Aceh masih belum tahu, dimana posisi bahtera yang ditumpanginya.
Rakyat telanjur makan propaganda: ”masa transisi tahun 2006, pemerintahan sipil akan kita (GAM) kuasai, tahun 2009 Aceh merdeka.” (Ucapan Amny Ahmad Marzuki, Penjara Sukamiskin, Agustus 2005.) Ditimpali lagi: ”Dalam masa transisi tahun 2006-2009, Gubernur Aceh akan dipegang oleh GAM, tahun 2009 Aceh Meredeka” (Pengakuan Nurdin AR, Rotterdam Belanda, Agustus 2005). Bahkan mengingatkan kita kepada persilangan pendapat antara Darwis Djinéb versus Nurdin AR soal pengangkatan Sekretaris Daerah di lingkungan Pemda Aceh Jeumpa (Bireuën). Menurut Darwis: ”buat apa dilantik Sekda, tokh tahun 2009 Aceh sudah merdeka.” Nurdin AR (salah seorang juru runding GAM) membisu, setelah tahu bahwa otonomi seluas-luasnya berlaku di Aceh. Situasi ini, oleh Laurence J. Peter digambarkan dalam bahasa lain: “Jika anda sedang tidak tahu sedang menuju kemana, kemungkinan besar perjalanan anda akan berhenti entah dimana.”
Secara yuridis, jawabannya mesti merujuk kepada asas/prinsip hukum: “Lex specialis derogat legi generali” bahwa dalam konteks perbedaan dalam aturan normatif antara perundangan yang sama derajatnya, mengatur hal sama pula, maka norma yang bersifat khusus dianggap membatalkan norma yang bersifat umum. Undang-undang khusus menyatakan bahwa masalah tertentu secara lebih spesifik dan prinsip hukum yang dapat diterima di banyak jurisdiksi adalah bahwa suatu undang-undang yang bersifat ’lex specialis’ lebih unggul daripada suatu undang-undang yang bersifat ’lex generalis’ dalam masalah yang secara khusus dibahas dalam undang-undang khusus.” Ini bermakna: dengan dijabarkannya point-point MoU Helsinki ke dalam UU No. 11/tahun 2006, maka kedudukan MoU Helsinki menjadi ’legi generali’ dan UU No. 11/tahun 2006 sebagai “Lex specialis. Konsekuensinya, juru runding dan pemerintah Aceh tidak berhak lagi mengungkit point-point MoU Helsinki. Itu sebabnya Martti, tidak bergairah meng-amandemen MoU Helsinki dan lebih ”berhasrat untuk mengamandemen UUPA dan ICMI akan mengawal proses amandemen ini.” (Hai, Martti. Otto Syamsuddin. Serambi, 23/11(2010). Dalam kaitannya dengan sisa Tapol Aceh, dia berkata: ”Saya akan melihat bagaimana sistem hukum nasional Indonesia” Ini konsekuensi logis asas hukum “Lex specialis derogat legi generali”. Sayang, rakyat Aceh tidah tahu di sebalik semua ini.
Makin terasa anèh ketika Nur Juli berkilah: ”Apakah MoU itu baik atau tidak untuk Aceh?” Kononnya MoU yang berlaku. Di sebalik itu, dia berdakwah: “Saya yakin, kesatuan dan persatuan berbagai komponen masyarakat Aceh dengan Pemerintah yang mereka pilih sendiri akan lebih meyakinkan Pemerintah Pusat ” (pen: UUPA) untuk menepati janjinya.” Terus terang, ini ucapan orang penderita ”gile bebok” (”gila bicara”). Petinggi GAM juga mengidap penyakit yang sama, buktinya: ”... In the spirit of our continued commitment to a peaceful solution, we request that a neutral government offer to act as mediator for future talks” (“The Exchange of Views on: Human Rights In Indonesia”1 Oktober, 2003, European Parliament, Brussels.) Zaini Abdullah juga berucap: “Kita mau, negara ketiga (fasilitator) itu yang langsung mengontak kita.” (Pengakuan Dr. Zaini Abdullah, 26/01 2005) Terbukti kemudian, pimpinan GAM pilih CMI (NGO yang bermarkas di Helsinki) dan menolak tawaran Norwegia sebagai mediator. Dalam kaitan ini Nur Juli bilang: “GAM menolak tawaran mediasi Norwegia dari apa yang saya katakan bahwa penolakan itu oleh Pemerintah RI bukan oleh GAM.” Logikanya: kalau Indonesia menolak dan penolakan itu di-amin-kan GAM, berarti GAM ikut bersekongkol menolak. Sebenarnya, masalah tawaran Norwegia dan Jepang sebagai mediator, sejak 17/11/2003 lagi sudah saya bincang bersama Malik Mahmud. (lihat: Status Aceh Dalam NKRI, halaman 112), bukan diskusi dengan Nur Juli, yang bukan anggota GAM.
Sesungguhnya, validitas MoU Helsinki tidak lazim terjadi dalam precedence internasional. Misalnya saja: ”Oslo Agreement” tahun 1993 & 1995, yang disepakati antara Palestine-Israel. Implementasinya tidak dijabarkan secara sepihak oleh Knesset (Parlemen) Israel; segalanya dibahas dan dirumuskan di meja runding. Jika muncul masalah di kemudian hari, diselesaikan melalui pihak mediator, bukan merujuk ke Tel Aviv. Demikian pula ”Oslo Agreement” tahun 1998 & 2001 yang disepakati antara PNG-Bougainville. Semua masalah yang dipersengketakan dirumuskan secara rinci di meja runding. Bahkan keharusan Congress PNG mengamandemen Konstitusinya, diputuskan di meja runding. Keduanya ‘agreement’ siap pakai! Anéh bin ajaib, juru runding GAM memberi wewenang kepada DPR-RI –yang sama sekali tidak tahu soal desain pelaksanaan self government– untuk menjabarkan MoU Helsinki secara sepihak ke dalam UUPA. Sementara dilaungkan motto: ”Tidak ada kata sepakat, sebelum kedua belah pihak sepakat.”
Dalam konteks inilah Thomas Jefferson (politisi USA) mengingatkan: “Terkadang manusia tidak dapat diberi kepercayaan mengemban self-government, lantas dapatkah dia dipercaya manakala berada di bawah pengaturan orang lain?” Ucapan ini harus dipahami secara lain. Artinya: berjiwa self-government adalah orang yang punya perencanaan matang, percaya diri untuk menjalankan adminitrasi yang bercorak ke-daerah-an, mandiri dan menciptakan daerah untuk tidak selamanya menyusu kepada pemerintah pusat, kecuali: dalam hal-hal yang diperjanjikan dan tidak bermental ”abdi dalem”. Tegasnya: “Kita adalah bangsa yang mampu mengatur Pemerintahan Sendiri dan sangat layak untuk itu”, imbuh Thomas Jefferson kepada Isaac Weaver. Jadi, bukan bermental Nur Juli yang berkata: ”syukur kalau dia (baca: Ahtisaari) berhasil melakukan sesuatu untuk membuat Pemerintah Pusat memenuhi janji-janjinya, tetapi kalau tidak, maka kita sendirilah yang harus berusaha lebih kuat.” Apa maksud keratan kalimat: ”… kita sendirilah…”? Rakyat Aceh yang tidak tahu MoU Helsinki atau Juru runding GAM yang harus berusaha lebih kuat?
Secara tersirat, kalimat tersebut, hendak menyeret rakyat Aceh ke dalam ”kita sendirilah” di saat butir-butir MoU tidak dilaksanakan di Aceh, walau sudah dijabarkan ke dalam UUPA sekalipun. GAM-RI yang menanda tangani MoU Helsinki dengan mengambil Aceh dan sistem pemerintahannya sebagai objek Perjanjian. Kedua belah pihak berhak meng’claim’, jika salah satu pihak ingkar janji (’wan prestasi’). Secara yuridis, materi MoU Helsinki-lah yang di’claim’, bukan UUPA made-in Senayan, dimana GAM tidak dilibatkan dalam proses perumusannya. Disini aturan normatifnya yang dipertanyakan, berikut materinya. Lantas, mengapa berharap ”nabi”-nya Nur Juli harus ”melakukan sesuatu untuk membuat Pemerintah Pusat…” Ini pola pikir sungsang!
Atas ketidak jelasan perangkat hukum mengatur Aceh –MoU Heslsinki atau UUPA– hingga Otto Syamsudin mengulas selintas kisah MoU dan Helmy N. Hakim menulis: ”… juru runding GAM terbuka, memberi teladan dan bertangungjawab…” Masing-masing telah direspons Nur Juli dengan nada apologi pribadi, pada hal perkara ini tanggungjawab koleftif (juru runding). Secara simbolik, suara Helmy boleh dianggap sabagai suara yang mewakili ”semut-semut”, yang suatu ketika dahulu kala, “semut-semut” ini pernah mengingatkan supaya waspada terhadap prilaku Nabi Sulaiman dan arogansi pasukan berkudanya yang hendak beraksi menerjang. Belum lagi Jin Ifrid di lingkaran kekuasaan Nabi Sulaiman yang konon mampu memindahkan Istana Balqis (baca: mampu mendatangkan investor-investor asing ke Aceh). Walaupun kemudian terbukti bukan Jin Ifrid melakukannya. Suara semut-semut –kelas bawah– ini kemudian menyadarkan penguasa saat itu. Sayangnya suara Helmy diterima oleh orang yang frekuensi berpikirnya terbatas dan ”paneuk antèna.”
Katakan kepada rakyat hal sesungghunya bahwa, yang berlaku di Aceh adalah UUPA, bukan MoU Helsinki, demi menghindarkan terjadinya dualisme hukum dan multi interpretasi yang salah kaprah. Yang runyam adalah mentalitas orang Aceh –terutama juru runding– yang menerapkan falsafah: “Bloë siploh peublë sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” saat berunding di Helsinki. Ini nampak dari ucapan Nur Juli: “Apakah para perunding GAM lebih baik pulang dengan tangan kosong dari Helsinki dan membiarkan perang terus berlanjutan dalam suasana bencana tsunami yang baru menelan lebih dari 230.000 nyawa rakyat Aceh?” Falsafah ini menggambarkan orang Aceh sebagai ‘total materialistism’, tidak mau rugi sepeser pun. Sah-sah saja kecundang di Helsinki, tapi dalam ruang kekalahan itu mencari laba untuk kepentingan pribadi dan kelompok, seperti: menjabat Bupati, Sekjen BRR, Ketua BRA, ”Wali Nanggroe”, Ketua, wakil dan anggota DPRA/DPRK dan menjadi klass bourgeois baru. Suara Helmy: “seharusnya GAM dapat membawa konsep pemerintahan yang lebih nyata untuk diterapkan di Aceh…” adalah mustahil dibawa ke meja runding, sebab ”konsep pemerintahan GAM adalah konsep Aceh Merdeka” kata Nur Juli. Konsep itu dikubur. Sekarang musim “Bloë siploh peublë sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” di celah-celah situasi yang sulit sekali pun, termasuk memperdalih bencana Tsunami.

Sunday, December 12, 2010

Kiprah Ulèëbalang Di Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

LITERATUR yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Aceh di masa silam. Untung, catatan pribadi beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Aceh merekamnya.
Menurut sejarahnya, jabatan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Aceh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh. Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857, merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Aceh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Aceh di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam. {Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi Indonesia, november, 2009}. Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Aceh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda dan sampai mati setia kepada Belanda.
Tjut Njak Meutia adalah Ulèëbalang berani mati, yang bergabung dengan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata. Fakta ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang –Tjut-Tjut dan Teuku-Teuku– sebenarnya, selain berdarah biru, juga berani bertandang menumpahkan darah merah! Namun, ada saja suara minor yang menilai Ulèëbalang sebagai kaum elite, arogan dan berpihak kepada Belanda, terutama setelah meletus perang Aceh tahun 1873 - tahun 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya, dakwaan negatif yang ditujukan kepada Ulèëbalang terbukti, ketika Belanda menerapkan pola “Serampai Tiga Mata” secara serentak menyerang Aceh: yakni: (1). Operasi militer, dengan membuka front perang di semua lini melumpuhkan pejuang; (2). Mematikan sumber ekonomi rakyat, dengan cara membakar kampung, menebang pohon-pohon yang menghasilkan buah2-an, membunuh hewan ternak yang ditinggalkan {Testimony Thomsom, MP, debat soal Aceh dalam Sidang Parlemen Belanda, 5-6 November 1907}. (3). Menyekat/menjarah asset Aceh, dengan cara menguasai sumber utama perekonomian negara yang dikelola oleh Ulèëbalang. Untuk itu, Belanda mendekati, mitra dagang dan sekaligus menyekat kuasa Ulèëbalang yang sebelumnya diberi kuasa oleh Sultan Aceh untuk mengelola hartanah negara Aceh.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Aceh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Aceh) yang diberi hak otonomi khusus untuk mengelola hartanah negara untuk membiayai roda administrasi pemerintahan dan perang. Dalam hierarchi pemerintahan, posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan. { James T. Siegel dan The Rone of Cod Berkeley and Los Angeles University of California Press.}, yang meneliti di Pua, Aceh Timur. Misalnya, dalam (priode: 1855-1873), Sultan Aceh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.” {Ch. Bogaert "Nota van toelichting over De Oostkust van Atjeh". J.A. Kruijt melaporkan dalam ”Atjeh en de Atiehers. Leiden: Guaith Kolff, 1877. p. 234.}
Segalanya berubah setelah perang Aceh meletus. Beberapa Ulèëbalang kini menjadi mitra Belanda yang diserahi mengelola Perkebunan Lada, Kelapa Sawit, Minyak goreng dan perusahaan Minyak gorèng. Contoh: Aceh Timur, khususnya wilayah Simpang Ulim yang kemudian diblockade Belanda; merupakan produsen Lada terbesar tahun 1877 yang dikelola kaum Ulèëbalang; kantong-kantong perekonomian dikontrol langsung. Penerimaan dari semua sektor dibebani Belanda membayar pajak sebesar 40 %. Beban ini sebagai pengganti. Artinya: jika sebelumnya disetor kepada Sultan, sekarang disetor kepada Belanda. Pada hal sebelumnya, Sultan Aceh hanya membebani satu suku (1.25%) setiap pikul. Begitu pun, tidak semua Ulèëbalang mau menyetor pajak dan sikap ini pernah memperuncing situasi politik antara Ulèëbalang-Sultan. “Karena Ulèëbalang mengabaikan pembayaran kepada Sultan dalam beberapa priode, ini sudah tentu mengurangi pendapatan negara, tetapi dari sudut pandang hukum adat yang hidup ketika itu, mempersolkan aturan mainnya.” {Teukè Mohsin, "Atjeh, Mei - September 1899", LCL I. (1900), halaman 79} Jadi, adakalanya kuasa Sultan berkurang, dikala mayoritas Ulèëbalang mengabaikan kewajibannya.

Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya Belanda mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’. {Paul van't Veer. De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers. 1969. p. 216.} Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat dan baru dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.
Di awal tahun 1900-an –di saat para pejuang Aceh terus berguguran di medan perang– Ulèëbalang Peureulak mendadak kaya raya dari hasil kompensasi sebesar f 54,097.77 selama setahun kerja (1904-1905 di “Perlak Petroleum Company”, ditambah pesangon selama 10 bulan (January-September) yang mencapai f 36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb (Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan. {Laporan R. Broersma dalam "De Locomotief", July-October, 1923 p 39.} Sistem penggajian yang tidak seragan ini ditantang. Teuku Thjik Muda Peusangan misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan patokan Belanda. {Paul van 't Veer, De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers, halaman 217.
Di sini, kontradiksi fakta wujud, artinya: pada saat sebilangan Ulèëbalang di Aceh Timur berpesta menikmati dana kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), di masa bersamaan kelompok Ulèëbalang di belahan bumi Aceh lain: Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan menesaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912) dan pasukan Marsusé menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi, aniaya terjadi di mana-mana. Dari tahun 1920-an – 1942 saja, tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Aceh versus Belanda. {Perang Aceh. Paul van 't Veer.}
Biarlah fakta ini tegak menjadi saksi, agar semua orang tahu selintas kifrah Ulèëbalang dalam lembaran sejarahan Aceh, sekaligus mengenal wajah penjajah: yang telah ‘berhasil’ memilah-milah, mencabik-cabik semangat, sentimen kolektif, kekuatan dan rasa ke-Aceh-an, sampai kita kehilangan prestige dan tidak mampu menjawab: ‘siapa sebenarnya kita di depan cermin sejarah Aceh.’[]

Friday, November 5, 2010

Menangkis Franz Magnis

Yusra Habib Abdul Gani
{Arsip tahun 2000)


SEBUAH Lokakarya "Melacak jejak Demokrasi di Aceh, Dulu, sekarang dan akan datang" digelar di Aceh pada 11/Oktober 2000. Pertemuan yang bernuansa politik ini berupaya menanam opini dan menggiring Aceh supaya menerima realitas sosial-politik bahwa: Aceh adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia. Dengan analisis yang dangkal, Magnis menyimpulkan: "... banyak sekali bentuk persatuan antara wilayah-wilayah, seperti Provinsi Aceh, yakni di antaranya pemberian otonomi khusus yang secara formal tidak berpisah dengan negara kesatuan Republik Indonesia".
Bungkusan analisis Magnis menyamai missi Hardi era pemerintahan Ali Sastroamijoyo yang memberi nama ”Daerah Istimewa Aceh”, yang ternyata berisi cèk kosong. Magnis mengklasifikasikan Aceh sebagai keledai, karena jatuh beberapa kali kedalam lubang yang sama. Untuk itu, perlu melibatkan semua perangkat: mulai dari ABRI, jongos, wanita jalang, Ulama/Kiyai, politisi, ilmuan dan budayawan sebagai kekuatan sosial untuk melakukan trik politik yang secara serentak dikerahkan oleh penguasa dengan tujuan akhir: "... agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh..." Kata Magnis.
Baru objektif menganalisis politik di Aceh, kalau terlebih dahulu menempatkan diri anda sebagai sosok budayawan neutral yang jarak jangkauan analisisnya bukan saja mampu menembus realitas sosial-politik yang terjadi, melainkan juga menawarkan format menyelesaikan konfilk vertikal antara Aceh-Jakarta. Saya merasa pesimis, anda bisa melakukannya. Sebab, suara anda adalah nada minor yang tidak menunjukkan seorang budayawan neutral, melainkan sebagai kaki tangan penguasa yang didanani oleh mafia politik di Aceh dan Jakarta.
Melacak demokrasi di Aceh dalam konteks politik nasional Indonesia, sama artinya dengan petualangan demokrasi semu, ianya tidak akan ketemu dan bersentuhan, karena memang tidak adanya bukti yang kuat yang menghubungkan antara sejarah Aceh dengan perjalanan demokrasi di Indonesia.
Lihat saja, di saat orang mengatakan: ”rezim Orde Lama dinilai 'berhasil' dengan pemberian label "Daerah Istimewa Aceh"; tokh dalam realitasnya gagal menyelesaikan masalah Aceh secara menyeluruh dan komprehensif. Begitu juga, jika dikatakan: ”rezim Orde Baru dinilai 'berhasil' dengan mengandalkan kekuatan militer”, tokh nyatanya tidak mampu meredam keinginan Aceh memperjungkan cita-citanya (merdeka). Demikian juga dengan rezim Habibie dan Gusdur ”yang dinilai 'berhasil' dengan taktik menabur janji-janji”, ternyata tidak mampu melunturkan semangat Aceh menuntut kemerdekaan. Perkara inilah yang tidak dikupas dan dikoreksi Magnis. Pada hal semua fakta sosial-politik diatas merupakan gambaran dari akhlaq politik politisi Indonesia.
Terus terang bahwa: sejarah, gerak dan perubahan politik Indonesia, termasuk nasib masa depan Indonesia dibahas dalam sylabus pendidikan ideologi Aceh Merdeka dan merumusakan dalam kalimat yang tidak pajang bahwa: ”semua dalil, siapapun dan dari kalangan manapun bersuara, ianya adalah suara penguasa.” Apalagi anda berkata: "... pemerintah tidak akan menerimanya bila opsi yang diminta bergabung atau berpisah dengan NKRI." Analisa 12/okt, 2000. Politisi GAM tahu persis, berapa harga politik Indonesia, sebagaimana diketahui berapa nilai Rupiah sehari-hari di Bursa Effek Jakarta (BEJ). Nilai Rupiah tidak ditentukan di Jakarta, akan tetapi ditentukan di Wall Street, New York. Harga politik Indonesia tidak ditentukan di Senayan dan Bina Graha Jakarta, tetapi sangat tergantung kepada politik dunia internasional (PBB.)
Bacaan politik nasional dan internasional tentang Aceh semakin mendekati klimaks. Indikasinya ialah: kantor-kantor Bupati, Camat dan Kepada Desa yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, khususnya di Wilayah Pidië, Wilayah Pasè (Aceh Utara), Wilayah Batèë Iliëk, Wilayah Peureulak (Aceh Timur), Wilayah Meulaboh, Wilayah Tapak Tuan dan Wilayah Linge (Aceh Tengah) sudah bubar di Aceh. Hal ini diakui oleh Syarifuddin Tipe bahwa: ”80% roda pemerintahan di Aceh telah dipegang oleh GAM.” Tinggal lagi Muhammad Yus bersama konco-konconya di DPRD/tkt I dan Ramli Ridwan bersama konco-konconya di Pemda tkt I (Gubernur), yang nafasnya masih berdenyut. Kedua lembaga inipun mungkin tak lama lagi akan dimakaman ('requem'). Atas dasar realitas inilah, hingga ada peserta lokakarya berkata: "waktu untuk memaksakan sesuatu apapun pada rakyat Aceh sudah lewat." Andaikan anda turun ke lapangan kesimpulan ini akan lebih akurat.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan adalah: sebelum ini wujud suatu keadaan, dimana bentuk-bentuk keresahan, teror, intimidasi dan pembunuhan tidak terbatas kepada pejuang Aceh saja, akan tetapi juga 'Inem-inem' di lokasi-lokasi transmigrasi, ayam, itik, kerbau, sapi dan tanaman, bersuara seperti ucapan anda: "… menolak solusi militer untuk mengatasi konflik di Aceh, sebab ianya tidak adil, tidak manusiawi dan oleh karena itu dalam situasi apapun tidak dapat dibenarkan lagi." Soal kemudian sdr berkata: "Indonesia sudah lewat melakukan sesuatu untuk Aceh..." dan berharap: "agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh. Terlalu panjang dan penting ikatan sejarah dan budaya yang mempersatukan Aceh dengan Indonesia". Itu hak anda. Yang penting, sepakatkah kita bahwa, menyelamatkan satu jiwa manusia berarti menyelamatkan kebenaran, yang sama artinya dengan membina mahligai di dunia yang bisa didiami oleh berjuta-juta manusia yang cintakan keamanan dan perdamaian. Inilah Kemerdekaan! Wallahu'aklam bissawab.

Wednesday, November 3, 2010

Menyibak Selubung KMB


Yusra Habib Abdul Gani

Sesudah melewati setengah abad, barulah Ratu Belanda atas nama pemerintah Belanda merencanakan memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, sekaligus “menyudahi berpuluh-puluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengaku penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, melalui Perjanjian KMB, 27/12/1949.” (Antara Press, 04/10/2010).
Pemberikan pengakuan akhirnya bantut –untuk sementara gagal– setelah pejuang RMS di pengasingan (Belanda) mengajukan Sidang pra-peradilan (kort gedig) terhadap Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atas tuduhan melakukan sederetan pelanggaran HAM di Maluku yang rencananya digelar bersamaan dengan kunjungannya ke Belanda. SBY (Presiden Indonesia) adalah satu-satunya kepala negara di dunia yang merasa khawatir dan takut atas tidak mujarabnya kekebalan hukum atas seorang Kepala Negara (diplomat) yang nyata-nyata dijamin oleh Resolusi PBB.
Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu sekaligus mengakhiri drama sejarah yang sarat dengan hal-hal yang kontroversial di sekitar penanda tanganan Pejanjian KMB, seperti: keharusan Indonesia membayar kompensasi sebesar 600 juta Golden kepada Belanda atas dasar pe-nasionalisasi-an seluruh hartanah Belanda di wilayah “Netherlans Easts Indies”, yang pembayarannya baru lunas tahun 2003. Naskah Perjanjian yang mewajibkan Indonesia membayar 600 juta Golden kepada Belanda, ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX (wakil RIS) dan A.H.J Lovink (Wakil Belanda) di Jakarta. Perbuatan ini dirahasiakan oleh penguasa (pelaku sejarah Indonesia) kepada rakyat dan baru terungkap di kalangan elite politisi Indonesia, setelah wartawan detikcom berhasil menelusuri jejak langkah kompensasi yang aneh bin ajaib itu dan membeberkan kepada masyarakat umum pertengahan tahun 2003. Selain itu, Keberadaan Perjanjian KMB, pada 27/12/1949, ‘benarkah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia (NKRI)?’ Demikian juga masalah status Aceh dalam hubungannya dengan isi Perjanjian KMB yang belum sempat terungkap sampai sekarang. Untuk itu, pembuktian di bawah ini kiranya bisa membuka tirai sejarah Indonesia.
Dalam Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dan Komisi Umum Belanda, pada 25 Maret 1947 disepakati: (1). Belanda mengakui secara de facto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura; (2). Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada 1 Januari 1949; (3). RI dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indoensia serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya adalah RI; (4). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. {Baca: 30 tahun Indonesia Merdeka 1945 – 1949. Sekretaris Negara Indonesia, cetakan ke-7, 1986}
”… wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...” yang disebut dalam point 1 ialah: ”Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan Negara Sumatera Selatan.” Hal ini ditegaskan dalam Piagam Konstitusi RIS, ayat 6–7 yang disahkan pada 14 Desember 1949. Perjanjian ini tidak menyinggung status Aceh, yang ketika itu merupakan wilayah yang bebas dan merdeka. Tegasnya, Aceh bukan sebagian wilayah negara Sumatera Timur.
Sewaktu Van Mook membentuk: (1). Negara Pasundan, 4 Mei 1947; (2). “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 9 Mei 1947; (3). ‘Daerah Istimewa Borneo Barat’, 12 Mei 1947; (4). Negara Madura, 23 Januari 1948; (5). Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948; (6). Pemerintah Federal Sumatera; (7). Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Disini jelas, Van Mook (Belanda) tidak pernah masuk ke Aceh dan membentuk negara Aceh.
Dalam Perjanjian Renville, 17/01/1948 disepakati: “wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam perjanjian Linggarjati dipaksa dikosongkan mulai dari sebagian Sumatera, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur dari penguasaan tentara RI, yang dikenal dengan ‘garis Van Mook’.” Ibukota RI (Yogyakarta) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948, Sukarno-Hatta ditahan dan dibuang ke Bangka. ‘Garis Van Mook’ tidak pernah direntang Belanda sampai ke Aceh.
Perjanjian Roem-Royen, 7/05/1949 menyetujui: “Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan republik. Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda jangan lagi diganggu gugat. Fakta ini membuktikan bahwa Aceh wilayah yang dituntut RI.
Konferensi antara wakil RI dan BFO (19/07 - 2/08/1949) menghasilkan: (1). Membentuk susunan dan hak Pemerintah RIS, kewajiban-kewajiban RIS dan Belanda jika terjadi penyerahan ”kekuasaan” dari Belanda kepada RIS; (2). Menyiapkan Piagam Konstitusi RIS untuk ditanda tangani pada 14 Desember 1949 oleh wakil dari 16 negara bagian. (1). Mr. Susanto Tirtoprodjo (Republik Indonesia), (2). Sultan Hamid II (Kalimantan Barat), (3). Ide Anak Agoeng Gde Agoeng (Indonesia Timur), (4). R.A.A Tjakraninggrat (Madura), (5). Mohammad Hanafiah (Banjar), (6) Mohammad Jusuf Rasidi (Bangka), (7). K.A. Mohhammad Jusuf (Belitung), (8). Muhran bin Haji Ali (Dayak Besar), (9). Dr R.V Sudjito (Jawa Tengah), (10). Raden Sudarno (Jawa Timur), (11). M. Jamani (Kalimantan Tenggara), (12). AP. Sastronegoro (Kalimantan Timur), (13). Mr. Djumhana Wiriatmadja (Pasundan), (14) Radja Mohammad (Riau), (15). Abdul Malik (Sumatera Selatan) dan (16). Radja Kaliamsyah Sinaga (Sumatera Timur); (3). Memilih Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO) ke KMB. Disini jelas, Aceh tidak ikut campur dalam urusan BFO dan RIS. Akan halnya dengan:
1. Naskah KMB ditanda tangani tgl 2/11/1949 oleh Mr. J.H. Van Maarseveen (wakil Belanda), Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO);
2. Penyerahan Kekuasaan dari Belanda kepada Negara Indonesia Serikat (RIS) pada tgl 27/12/1949. Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS;. Delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan);
3. Penyerahan Kekuasaan ini ditanda tangani juga secara terpisah di Jakarta oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink;
4. Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta.
Ke-empat peristiwa tersebut membuktikan bahwa, Aceh tidak terlibat dalam urusan politik antara RIS, RI dan Belanda. Perjanjian tersebut secara hukum hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji, tidak termasuk Aceh.
Fakta diatas mebuktikan bahwa, Belanda bukan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia (NKRI), melainkan kepada RIS. Jika Ratu Belanda memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, yang wilayahnya mencakup bekas “Netherlans Easts Indies”, maka mestilah memansyukhkan terlebih dahulu isi Perjanjian KMB 27/12/1949. Jika tidak, terjadi ‘overleving’ hukum. Sebab R.I yang terima Penyerahan Kedaulatan waktu itu, wilyahnya hanya Jogyakarta dan daerah sekitarnya, plus wilayah dari 15 negara bagian Republik Inidonesia Serikat (RIS). Pengakuan Belanda ini sudah tentu berimbas politik, yakni: pelimpahan kuasa dari “Netherlans Easts Indies” kepada “Indonesia”. Dalam konteks ini, status Aceh tetap tidak tergugat, oleh karena salah satu point Ultimatum Komisaris Pemerintah Hindia Belanda kepada Kesultanan Aceh, 26 Maret 1873, diantaranya menyebut: “Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Acheh” Penyerahan ini tidak pernah terjadi. Dengan demikian, Aceh bukan atau tidak pernah menjadi sebagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.” Dalam etika hukum diakui bahwa: “Dianggap tindakan illegal, jika satu pihak menyerahkan sesuatu barang yang bukan hak miliknya kepada orang lain.” Artinya, jika pengakuan (‘recognation’) Belanda mengakibatkan Aceh menjadi bagain dari Indonesia, maka secara yuridis, tindakan Belanda illegal, karena dalam sejarahnya, Aceh tidak pernah menjadi bagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.”

Friday, September 3, 2010

Menyingkap Misteri Lailatul Qadr


Yusra Habib Abdul Gani
PADA malam ”lailatul qadr”, dilancarkan ”Operasi Kemuliaan” yang menerjunkan team gabungan Malaikat, terkait dengan missi penyebaran dan pembagian: keberkahan, pahala dan kebajikan; yang diperkirakan terjadi dalam rentang masa 10 hari menjelang berakhirnya bulan ramadhan. Banyak hadits yang menyebut demikian. Tetapi pada umumnya mengatakan bahwa ”lailatul qadr” terjadi pada malam ke-27. Sebab ada teori mengatakan: kalimat ”lailatul qadr” terdiri dari 9 huruf, sebanyak 3 kali disebut, sehingga menghasilkan: 9 x 3 = 27. Atas dasar itu pula di beberapa negara Arab, Nuzulul qur’an diperingati setiap 27 dan 17. Ramadhan. Operasi ini berlangsung dibawah arahan langsung dari Allah. ”Pada malam itu turun para Malaikat dengan seizin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” (Q: Al-Qadr, ayat 4).
Yang menjalankan puasa, shalat Tarawéh dan ibadah lain berharap agar terjaring dalam operasi yang membawa paket keberkahan yang ganjarannya = beribadah selama 1000 bulan (83 tahun 4 bulan) dalam perkiaraan waktu manusia. Maha Kuasa dan Maha Pengasih Engkau ya Allah! Dalam konteks inilah, Imam Al-Ghazali berkata: ”Kenikmatan dimaksud hanya bisa digapai oleh mereka yang tingkatan puasanya sudah mencapai ’khuwasul khuwashah’, yakni: orang-orang yang mampu berpuasa dengan meningkatkan dan mengembangkan kesadaran hati (the heart councious) setelah lolos dari pelbagai godaan pancaindera.”
Pross terjadinya lailatul qadr tidak akan mampu dicerna oleh logika, tanpa dibantu oleh kajian tentang hubungan waktu, kecepatan cahaya dan tingkatan sepiritual manusia. Untuk itu, ”The big idea: Einstein and Relativity” (1997) karya Paul Strathern, yang mengisahkan pengalaman seorang Ayah berusia muda (27 tahun) terbang ke ruang angkasa dengan kenderaan yang kecepatannya mendekati kecepatan cahaya. Saat ia meninggalkan bumi, anaknya baru berumur 3 tahun, akan tetapi 30 tahun kemudian (perkiraan waktu bumi), ayahnya landing ke bumi. Betapa terkejut saat mendapati anaknya sudah berumur 33 tahun. Padahal berdasarkan perkiraan ayah, waktu yang dialaminya mengikut putaran jarum jam di tangannya berkisar hanya 3 tahun. Artinya, usia anaknya 3 tahun lebih tua daripada sang ayah.
Kisah ini membatu menyibak tabir tentang misteri waktu dan pergerakan benda-banda alam, yang oleh para ahli fisika berpendapat bahwa: perjalanan fisik tidak mungkin dilakukan seseorang, sebab jasad akan hancur berkeping-keping, jika bergerak yang kecepatannya mendekati kecepatan cahaya.
Agustinus dalam karyanya: ”Confessioness” menyimpulkan: ”phenomena waktu tidak akan bisa ditemukan jawabannya secara pasti tanpa melibatkan pengalaman seseorang terhadap suatu peristiwa.” Artinya: soal waktu adalah sah bersifat subyektif. Misalnya: pengalaman seseorang tengah bercinta yang merasakan singkatnya waktu, dibanding pengalaman seseorang sedang kedinginan dalam salju yang merasakan beberapa saat, seakan-akan telah berjam-jam. Dengan bantuan penemuan tentang perbedaan waktu dan gerak perputaran benda-benda alam tadi, bisa dikaitkan langsung dengan dalil relativitas waktu Albert Einstein, yang mengaku: ”waktu berhubungan erat dengan pengalaman seseorang dalam suatu peristiwa, sekaligus menentukan lama atau cepatnya waktu.” Jika hal ini di-asosiasikan dengan cerita pemuda Kahfi yang tertidur selama 309 tahun, akan muncul pertanyaan: Benarkah tertidur selama jangka masa itu? Pengalaman pemuda Kahfi, membuka tabir tentang perbedaan waktu, yang secara matematik disebut dalam qur’an: ”Kadar kecepatan Malaikat, dalam sehari = 50 tahun” (dalam perhitungan manusia) (Q: Al-Ma’arij, ayat 4). ”sehari disisi Tuhanmu =1000 tahun dalam perhitunganmu” (Q: Al-Hajj, ayat 47). ”sehari = 1000 tahun lamanya dalam perhitunganmu” (Q: As-sajdah, ayat 5).
Secara logika, turunnya Malaikat pada lailatul qadr sungguh sulit dimengerti dan dipahami tanpa dibantu oleh penjelasan Prof. Bahaudin Mudhary, seorang pakar fisika sekaligus Ulama yang merumuskan dalil interdepensi jiwa, bahwa: manusia sebenarnya punya dimensi cahaya yang berteduh dalam jiwa-raganya sebagai ruh. Menurut Mudhary: ”kualitas ruh inilah yang mampu mengubah persepsi seseorng tentang waktu” dan rahasia disebalik orang merasakan nikmat dalam durasi menit itu, hanya dapat dipahami, jikalau dihubungkan antara ruh (muatan amal) dan jasad yang dijabarkan serara ilmiah dengan postulat Albert Einstein: E = Mc2 (E= energi, m= massa dan c=kecepatan cahaya.) Dalam arti: c= potensi ruh (sepiritualitas) dan m= jasad (tubuh manusia). Dengan melakukan hipothesa seperti ini, diketahui bahwa: “pengembangan ruhaniyah seseorang bisa melipat-gandakan seluruh potensi dirinya yang sekaligus memparkaya penghayatannya terhadap waktu.” (Bimo Satrio Widarto. “Lailatur Qadr dan fenomena waktu.” Republika, 5/11/2005)
Dari dalil Albert Einstein inilah Mudhary memperoleh inspirasi, hingga dia memberi tafsiran intensif –secara lain– kedalam dunia keagamaan dan tingkatan sepiritualitas seseorang (khususnya Islam), yakni: ruh “tercerahkan” yang bersemayam dalam jasad manusia, diartikan sebagai refleksi dari cahaya keimanan seseorang yang bisa bertemu dan bergabung dalam gelombang yang sama dengan sumber cahaya lain yang datang dari luar dirinya. Di saat kedua sumber cahaya ini bertemu, ianya akan melahirkan suatu kekuatan baru yang daya kekuatannya berlipat ganda. Jadi, interpretasi Mudhary memastikan bahwa: jika gerakan ibadah fisik (m) yang sudah ditabung selama setahun, ditambah lagi dengan gerakan (ibadah khusyuk) pada malam lailatur qadr; yang dihidupkan oleh kesadaran tinggi, penghayatan dan penyerahan diri kepada Allah secara totalitas yang tercerahkan (c2); sudah tentu akan melahirkan ledakan energi dalam bentuk pahala, keberkahan dan kebajikan (E) yang muatannya menyamai dengan ibadah selama 1000 bulan. Dengan demikian, sangat relevan ucapan Fakhruddin Iraqi dalam: “Ghayah Al-Imkan fi Dirayah Al-Makan” bahwa: “semakin tinggi tingkatan sepiritual makhluk, maka ia semakin dekat dengan waktu Ilahi. Dalam hubungan ini, Qur’an menyebut: “Tahukah engkau malam kemuliaan itu? Yakni: malam kemuliaan yang lebih baik daripada 1000 bulan.” (Q: Al-Qadr, ayat 2-3).
Di malam “lailatul qadr” itu benar-benar bertabur keberkahan yang datang dari sisi Allah, membumi dan menghampiri hati orang-orang yang tingkat sepiritualnya sudah prima (karim dan ridha.) Keberkahan yang menjelma seketika dalam “sejuta rasa” itu, hanya terjadi dalam bulan ramadhan, sebagai jawaban dari “Ibadah puasamu semata-mata untuk-KU” (Hadits).
Apapun yang terjadi, yang pasti adalah: kehadiran cahaya-cahaya (Malaikat) yang mentating keberkahan ke setiap relung hati yang suci dan dalam, hanya bisa ditangkap oleh frekuensi cahaya yang sama, yakni: ruh-ruh yang tercerahkan. Ya Allah! Adakah kami termasuk dalam daftar (list) di malam “lailatul qadr” tahun ini, sebagai golongan yang akan mencicipi nikmat keberkahan yang Engkau limpahkan? Pintu hati kami terbuka, agar team gabungan Malaikat yang Engkau kirim; sudi kiranya singgah, menyerahkan keberkahan, “ribuan pesona” dan “jutaan rasa” yang Engkau taburkan untuk dikemas dalam bingkai sukma kami yang paling indah dan mendalam. Hati ini bergetar menanti! Sebaliknya, jika Engkau merasa keberatan memberi keberkahan, insya-Allah kami tidak bersikap seperti orang Quraish, yang: “... tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang selayaknya...” dan ngomèl: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” (Q: Al-An’am, ayat 91), dikala mereka tidak kebagian apa-apa. Kami adalah kami; bukan Quraish yang tidak tahu mensyukuri nikmat. Kepada-Mu kami berserah, yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pemurah.[]

Kisah dan Masalah di Sebalik MoU Helsinki

Yusra Habib Abdul Gani

BICARA soal perjanjian, ianya tidak lepas dari politik pemakaian bahasa, mantiq dan politik hukum yang melahirkan akibat hukum dan aplikasinya. Dalam konteks ini –khususnya dalam politik Islam– Perjanjian Hudaibiyah boleh dijadikan rujukan, karena bahasa hukum yang dituangkan dalam pasal-pasal bersifat muhkamat (yang pasti-pasti), bukan kalimat mutashabihat (kontroversial), sehingga tidak muncul aneka penafsiran yang berbeda dari kedua belah pihak. Inilah prinsip yang paling mendasar dalam perundingan! Lebih daripada itu, jiwa dan sikap keterbukaan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat saat menyusun draft ’agreement’ itu patut menjadi teladan. Misalnya, Umar bin Khattab pada awalnya tidak setuju dengan klausul yang menyebut: ”Umat Islam di luar Mekkah tidak diperkenan melaksanakan ibadah Haji pada tahun pertama seusai perundingan ini ditanda tangani.” Setelah Rasulullah memberi penjelasan bahwa: ”untuk point ini kita surut selangkah, sebab umat Islam di Mekkah, tokh tidak dilarang menunaikan ibadah Haji. Target dan strategi kita ialah: bagaimana supaya nasib umat Islam yang berada di Mekkah dijamin keselamatannya, bebas dari diteror, intimidasi, bebas beribadah dan Mekkah segara kita kuasai.” Sebelum Umar meng-ya-kan, beliau bertanya: ”Baginda bicara sebagai Muhammad pribadi atau sebagai Nabi?” ”Sebagai pemimpin dan Nabi” Jawab Baginda Rasul.
Jiwa dan sikap keterbukaan seperti ini patut diteladani oleh juru runding GAM di Helsinki (Februari-Agustus 2005), tapi sayang tidak terjadi. Draft MoU dirahasiakan, termasuk kepada Tengku Hasan di Tiro (Wali negara), Muzakkir Manaf (Panglima Perang) dan anggota kombatan lainnya. Mereka baru tahu, seminggu sebelum ditanda tangani. Itupun, setelah dibocorkan oleh Fadlon Tripa anggota GAM di Belanda). Memang benar, beberapa kali aktivis sivil society dari Aceh diundang oleh LSM Oluv Palma dalam rangka menjaring saran dan pendapat. Tetapi kehadiran mereka ternyata bukan untuk membincang draft MoU, melainkan meng-amin-kan MoU Helsinki, apapun hasilnya. Demkian juga terjadi dalam Rapat Sigom Donja GAM di Denmark, April 2005, dimana draft preamble MoU Helsinki yang berbunyi: ”Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Acheh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan dan Konstitusi Republik Indonesia.” disembunyikan oleh juru runding. Dalam kaitan ini, Irwandi Yusuf berkata kepada Tengku Abdullah Ilyas, perwakilan GAM di Belanda: ”Sekiranya klausul MoU Helsinki sempat diketahui oleh kombatan GAM, rundingan ini dipastikan gagal” {Kesaksian (testimoni) Tengku Abdullah Ilyas kepada penulis di Rotterdam, Belanda, 23. Juli 2010, jam: 22:55, waktu Eropah.}
Selam lima tahun MoU berjalan, banyak terjadi perselisihan paham. Misalnya saja: point-point mengenai penggunaan lambang, emblem, bendera Aceh, lambang dan bendera partai lokal, dll, yang tidak diatur secara jelas. Akibatnya muncul aneka penafsiran yang tidak beragam. Buktinya: ”Partai GAM berlambang bendera bulan bintang -bendera kebesaran GAM.” Kata Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakkir Manaf. Dipertegas lagi oleh Sekretaris Jenderal Partai GAM T.M. Nazar: "Bendera bukan simbol militer. Jadi tanda gambar dan lambang Partai GAM yang serupa dengan bendera GAM bukanlah simbol militer GAM.," Sementara itu, Kapoltabes Zulkarnain mengirim bantahan resmi dengan no surat. B/10/VII/2007 bahwa: ”Kepolisian keberatan terhadap penggunaan nama GAM dan lambang bendera bulan bintang.” (Detik.com: GAM Resmi Dirikan Partai Lokal Sabtu, 7. Juli 2007). Bayangkan, MoU yang disepakati oleh masing-masing diplomat tingkat tinggi negara, bisa diobok-obok oleh Kepolisian tinggal Provinsi (lokal).
Selain itu terdapat point yang memalukan, yakni: pasal 1.1.4 MoU Helsinki yang mengatur soal batas Aceh. Dikatakan: ”batas Aceh berdasarkan pada 1 Juli 1956.” Setelah ditelusuri, ternyata tidak ditemukan UU yang mengatur tentang batas Aceh pada 1 Juli 1956. Prediksi yang paling mendekati ialah UU No. 24/1956, tentang: "Pembentukan Deretan Otonom Provinsi Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera-Utara". Tetapi UU ini baru disahkan pada 29/11/1956 dan diundangkan pada 7/12/1956, bukan pada 1 Juli 1956. Artinya, status UU No. 24/1956 pada 1 Juli 1956, masih berbentuk draf (RUU), berupa embrio hukum yang belum dibubuhi nomor. Secara yuridis formal, sejak tarikh 29/11/1956 dan atau 7/12/1956 inilah, UU No.24/1956 baru mempunyai kepastian yang mengikat dan sah dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan demikian, poin 1.1.4 MoU Helsinki MoU Helsinki cacat hukum dan illegal. Kedua belah juru runding ini ternyata buta hukum, tapi rumusan orang-orang tolol hukum ini berlaku. Anèh tapi nyata!
Seterusnya, rakyat Aceh baru tahu kalau: ”MoU Helsinki menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai dan saya tidak mau kemukakan point-point-nya” {Kesaksian Malik Mahmud, dalam peringatan 5 tahun MoU Helsinki, Jakarta 15.Agustus 2010. Serambi Indonesia, 16/08/2010.} Yang berarti, salama 5 tahun dipendam dan dirahasiakan. Jadi, tidak heran kalau nasib sisa para Tapol Aceh yang meringkuk dalam Penjara Cipinang yang hingga sekarang belum dibebaskan. Menurut hukum positif Indonesia, status mereka jelas bukan sebagai tapol Aceh. ”Kasus tiga tahanan asal Aceh bukan kategori politik, sehingga tidak dapat dibebaskan begitu saja --dengan dasar perjanjian Helsinki-- sebagaimana tahanan politik lainnya. Ini bukan persoalan politik dan tidak masuk kategori perjanjian Helsinki.” {Patrialis Akbar: 3 Tahanan Aceh Bisa Ajukan Grasi. VIVAnews, 17. Agustus 2010} Pada hal dalam BAP para tersangka mengaku sebagai anggota GAM). Akar masalahnya ialah: pimpinan GAM tidak mau mengaku, bahwa pelaku pembom BEJ dilakukan oleh anggota GAM. [Untuk diketahui saja. Kode etik yang menyangkut rahasia negara, umumnya baru boleh dibeberkan setelah 30 tahun. Bahkan Indonesia merahasiakan pembayaran 600 juta golden –kompensasi perang– yang wajib Indonesia bayar kepada Belanda mulai sejak Perjanjian KMB ditanda tangani tahun 1949 dan baru lunas dan bocor tahun 2003. Hitung saja barapa tahun?] Jika MoU menyisakan masalah itu masih rahasia, tunggu saja, yang sudah lewat 5 tahun! Yang pasti, rakyat Aceh wajib belajar dari pengalaman masa silam. Bagaimana juru runding GAM pernah mengalami teror, intimidasi dan dijebloskan kedalam tahanan Polda dan penjara. Faktor penyebabnya karena rumusan CoHA Geneva, tidak memuat klausul tentang keselamatan para juru runding, hingga gagal menghadiri rundingan di Tokyo tahun 2003. Mereka lari menyelamatkan diri masing-masing, walaupun kemudian ditangkap dan dijebloskan lagi kedalam Penjara. Baru bebas, setelah prihal amnesty kepada tapol Aceh diatur dalam MoU Helsinki. Waktu itu, CoHA tidak mengatur tentang keselamatan dan perlindungan terhadap kombatan GAM selama proses perundingan damai, hingga syahidnya Panglima Perang Aceh, Tengku Abdullah Syafie.
Pertanyaan dan masalah mendasar disekitar MoU Helsinki ialah: ’apakah yang berlaku di Aceh: MoU Helsinki atau UU. No.11/2006? Perkara ini sudah saya kupas dalam buku: Selfgovernment (Studi Bading Tentang Desain Administrasi Negara ) yang berdear resmi di Aceh (Indonesia.) Bagi Jakarta, jawabannya sudah pasti bukan MoU Helsinki, sebab ianya sudah dijabarkan kedalam UU. No.11/2006. Jawaban mantan GAM (Aceh) ialah: MoU Helsinki yang berlaku di Aceh. Apalagi pimpinan GAM berikrar: ” ”Bak uroë njoë geutanjoë ka keumah tapeugot saboh peurdjandjian MoU deungon pihak peumeurintah Indonesia dalam usaha peuseuleusoë konflik di Atjèh deungon tjara damè dan meumartabat. Peuë njang ka djeuët keu peuneutôh bak uroë njoë nakeuh saboh langkah nibak le lom langkah ukeuë njang akan tatjok untôk peu-aman dan peumakmu nanggroë-teuh. (”Hari ini telah berhasil kita buat satu perjanjian MoU dengan pihak pemerintah Indonesia dalam upaya menyelesaikan konflik di Aceh dengan cara damai dan bermartabat. Apa yang telah diputuskan hari ini adalah satu langkah dari banyak langkah ke depan yang akan kita ambil alih untuk mengamankan dan memakmurkan negeri kita”)
”.... lagèë njang meutuléh meunurôt asoë nibak MoU njan. Peumeurintah Keudroë-teuh atawa Self Government akan tapeudong dan tabeuntuk di Atjèh seusuai deungon peuë njang geumeuhadjat uléh bansa droëteuh, antara laén, geutanjoë bibeuëh dalam peukara politék, ekonomi, peundidékan, agama, seureuta hukôm keuadilan seutjara demokrasi.” (... ”Seperti yang tertulis menurut kandungan MoU ini. Pemerintahan sendiri (Self Government), akan kita dirikan dan bentuk di Aceh sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh bangsa kita, antara lain: kita bebas dalam perkara politik, ekonomi, pendidikan, agama, serta hukum, keadilan secara demokrasi.” {Ucapan Malik Mahmud di pengasingan kepada bangsa Aceh, pada hari penanda tanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, atas nama Pemerintah Negara Aceh. (Kantor Perdana Menteri: P.O. Box 130, S-145 01 Norsborg Sweden, telp: +46 8 531 83833 FAX: +46 8 531 91275.)
Ucapan Malik Mahmud yang ditujukan kepada bangsa Aceh ini, merupakan tipu daya terhadap orang Aceh, yang ketika itu masih gelap pengetahuan tentang apa sebenarnya pemerintahan sendiri (self government) itu. Orang Aceh ditipu oleh orang Aceh sendiri, bukan ditipu oleh orang (pihak) lain. Tujuannya, supaya orang Aceh dari seluruh lapisan masyarakat memberi sokongan sepenuhnya tehadap implementasi MoU di Aceh. Disini dibuktikan penipuan itu bahwa Malik Mahmud, ternyata bersikap double standard (munafik) tidak berani mengutarakan suara (hal) yang sama saat dia menyampaikan pidato di hadapan juru runding Indonesia, CMI dan masyarakat Internasional. Dia hanya berani mengatakan: “... rakyat mempunyai hak suara dan bahwa suara mereka itu didengar dan keinginan mereka diikuti. Ini berarti pembentukan satu system politik yang menggalakkan kebebasan berbicara, memperkembangkan banyak pendapat dan kesempatan ikut serta dan diwakili sepenuhnya dalam proses politik yang demikian itu. Jalan satu-satunya untuk menjamin perdamaian di Acheh adalah dengan melalui pelaksanaan demokrasi yang sejati. Demokrasi yang tidak membatasi ruang pemikiran-pemikiran yang memberi penerangan kepada partai-partai tersebut – ia menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran. Dan demokrasi yang sejati tidak berlutut di hadapan kekerasan – ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan dan ketidak-adilan. Untuk mencapai semua itu, GAM telah membuat banyak konsesi.” {Pernyataan Tengku Malik Mahmud pada Upacara penandatanganan MoU GAM-RI, 15 Agustus 2005}
Perhatikan secara cermat dan teliti: adakah terdapat kalimat: ”... Seperti yang tertulis menurut kandungan MoU ini. Pemerintahan sendiri (Self Government), akan kita dirikan dan bentuk di Aceh sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh bangsa kita, antara lain: kita bebas dalam perkara politik, ekonomi, pendidikan, agama, serta hukum, keadilan secara demokrasi” yang ditujukan kepada masyarakat Internasional? Terbukti tidak!
Di tengah pertarungan kepentingan itu, terdapat belasan masalah dalam UU. No.11/2006 yang menunggu Peraturan Pemerintah (PP) dan Instruksi Presiden, termasuk masalah pengelolaan Pelabuhan Bebas Sabang. Pada hal UU. No.11/2006 dengan jelas menyebut bahwa: ”selama-lamanya satu tahun setelah UU ini diuandangkan, Peraturan Pemerintah (PP) dan Instruksi sudah harus tersedia.” Inilah yang dituntut Pemda Aceh. Sementara itu, Malik Mahmud berkata: ”MoU Helsinki (pen: bukan UU. No.11/2006) menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai...” } GAM bilang: yang berlaku di Aceh Self Government. Indonesia bilang: Otonomi khusus. Lantas, mana yang benar? Dalam konteks inilah, Martti Ahtasari pernah meminta juru runding GAM supaya menyampaikan claim kepada CMI, sekiranya ada point MoU yang belum diimplementasikan, tapi juru runding GAM tidak mampu berbuat apa-apa. Bagaimana hendak menyusun claim, sementara hubungan antara sesama juru rundingpun sudah hancur lebur –hilang hubungan persaudaraan– dan yang wujud sekarang adalah menanam dan bertahan dengan sikap permusuhan ”abadi” antara sesama mereka dan orang lain. Orang Aceh menang sorak, tapi kampung tergadai. Tertawa di depan umum, menangis di belakang layar!!!
Akhrinya, Martti memilih diam dan menyuarakan perasaan bingung: ’dengan pihak mana duduk berembuk dan berunding? Sebab organisasi GAM, TNA sudah bubar dan klimaksnya, juru runding GAM dan pemimpin GAM sudah menyerah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi Indonesia. Dilematis dan tragis!
Akhirnya, biarlah orang Aceh belajar dari realitas politik yang sudah dan sedang terjadi, agar semakin matang berpolitik, sehingga tidak selalu ditipu oleh orang lain dan oleh orang Aceh sendiri yang terkenal dengan ”Tipu Aceh”-nya.

Friday, August 20, 2010

Harga Orang Aceh


Yusra Habib Abdul Gani

Orang Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter ”Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda dan orang lain, dengan menyebut dirinya: ”Ulôntuan” yang berarti: ”Aku adalah Tuan” atau cukup dengan ”Aku” saja. Aplikasi sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut: ”Wan”, yang akar katanya berasal dari ”Ulôntuan.” Artinya, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai ”Tuan” dihadapan siapapun juga. Termasuk, jika Ayah/Ibu memanggil anaknya atau majikan memanggil pembantunya, si anak dan si pembantu tetap menyahut: ”Wan” (Aku Tuan). Jadi, semua orang Aceh adalah tuan dan dipertuan. Inilah orang Aceh, bung! Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik.
Namun begitu, di mata Snouck Hurgronje, ”Superiority complex” ini disifatkan sebagai ’penyakit jiwa’, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck: ”Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.
Sebenarnya, untuk memperdaya atau merubah mental ”ke-tuan-an” Aceh menjadi ”babu” atau ”lamit”, ada cara yang simpathik, yakni: secara perlahan-lahan, rasa ”superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai ”barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik
Sebagaimana terbukti, ”Aceh” pernah dipakai sebagai brand, sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama ”Aceh” berpotensi melariskan barang dagang politik kontemporer. Dalam skala politik internasional misalnya: ”Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Van Sweten tahun 1874, yang berkata: ”Aceh sudah kita taklukkan”, yang ternyata bisa mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai-sampai Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Di pulau Jawa, dalam benteng-benteng Belanda dibunyikan meriam 21 kali sebagai simbul kemenangan. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru sebaliknya. Isu ”kekalahan” Aceh, ternyata mempengaruhi kebijakan British, hingga memberi hak ”belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, selain untuk menditeksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing di Selat Melaka khususnya, seperti: Belanda, Inggeris, Perancis dan USA dan di kawasan Asia Tenggara umumnya.
Kemudian, giliran ”orang Aceh” (Ulèëbalang) dari 116 Mukim di Aceh Besar yang menandatangani ”Korte Perklaring” (”pernyataan menyerah”), dipakai sebagai brand untuk merubah sikap orang Aceh secara umum terhadap Belanda. Apalagi Teuku Umar saat itu, dikenal pasti sebagai panglima perang Belanda yang bertanggungjawab menghanguskan 116 Mukim itu. Tragis!
Dalam skala nasional, ”orang Aceh” pernah dimanfaatkan Sukarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, dimana Tgk. Hasan Krueng Kalé, Tgk. Daud Beureuéh, Tgk. Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk. Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh, tgl. 5. Oktober 1945, yang menyebut: ”... Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir. Sukarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut ”Parang Sabil”
Kalimat ”maha Pemimpin” dan ”Parang Sabil” adalah brand politik made-in Aceh, untuk mempengaruhi orang Aceh melihat figur Sukarno, hingga rela terseret dalam perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Pada hal, nasib masa depan Aceh ketika itu tidak menentu. Brand politik ini menciptakan Sukarno sangat populer. Jadi tak heran, kalau dalam kunjungan Sukarno ke Acheh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju Jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.
Diakui, kalau sebutan ”Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Anèhnya, sebutan ”maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya. Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan ”maha Pemimpin” made-in Aceh itu masih sah berlaku. Mengapa? Beginilah mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.
Bukan hanya itu; pencetus idé supaya Sukarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, gubernur Aceh (periode 1957-1964). Idé tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Jika tidak lantaran itu, takkan MPRS, Ketua : Chairul Saleh; Wakil: Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, D.N. Aidit dan Kol. Wilujo Puspojudo meloloskan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup yang gila ini. Kemujarapan brand Aceh, telah memansykhkan pasal 5, UUD-1945 (sebelum amandemen yang tertera dalam pasal 7) tahun 1999, 2000,201 dan 2002, tentang: ketentuan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup semata-mata untuk menghidupkan dan memperkaya preceden dalam ketata-negaraan Indonesia...” Sukarno tidak menolak, kendatipun rumusan ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS ini dimansukhkan, itu soal lain. Yang pasti, ucapan orang Aceh, bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, tetapi laku dipakai untuk melakukan perbuatan makar terhadap konstitusi.
Selanjutnya, di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (Ketua Bulog ketika itu) bertanya kepada Tengku Daud Beureuéh yang tengah dalam keadaan koma: “Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?”. Wartawan bertanya: “apa renpons Tengku?.” “Tengku merestui”. Jawab Bustanil. “Suara asing” ini dipasarkan untuk memenangkan Golkar di Aceh ketika itu.
Dalam situasi dan isu yang berbeda; Tengku Hasan. M di Tiro yang sedang dalam keadaan koma sempat menitip pesan: “Jaga perdamaian Aceh” kepada Malik Mahmud. Demikian pengakuan Malik Mahmud kepada wartawan. [Sumber: Acehkita].
Sekarang, figur Aceh (stock “barang”) yang layak jual sudah kosong. Kadar kemampuan Ulama, politisi, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh saat ini berada di bawah standard, atau belum cukup “jam terbang.” Orang Aceh hampir sepenuhnya berubah dari mental “Tuan” menjadi “babu” politik. Oleh sebab itu, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh (06/08/1998) di Lhôk Seumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani atas inisiatif Jusuf Kalla, terpaksa dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai “barang” dagang politik dalam pesta demokrasi di Indonesia. SBY juga dianggap berjasa dalam isu Helsinki. Padahal, kalau mau jujur, tangan siapa (calon Pres-Wapres RI) yang tidak kotor di Aceh? Namun, orang Aceh tetap anthusias memenangkan SBY dengan mengantongi 93% suara di Aceh.
Semua ini wajar, karena dalam ukuran moral; orang Aceh bagaikan pucuk Tebu; dipenggal dan dihujamkan ke dalam tanah, demi tumbuhnya tunas-tunas menjadi batang dan diperas hingga kelur airnya untuk dinikmati. Dari sudut politik, orang Aceh bukan tuan politik. Pada hal tuan politik ialah: orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek kekuasaan dan bencana yang paling dahsyat dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” –nilai-nilai ke-Aceh-an– dilucuti dan diremukkan oleh suatu kekuatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya.[]

Tuesday, August 10, 2010

Mencari Tuhan Abad XXI


Yusra Habib Abdul Gani

Dalam prolog buku: GOD IS BACK, How The Global Revival of Faith Is Changing The World. John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, dikisahkan selintas tentang Wang, seorang pengusaha asal Cina yang sangat berjaya di USA. Kesibukan sehari-hari bukan halangan baginya untuk beribadah di rumah mewahnya, walau tanpa Pastor. Dia tetap teguh dengan keyakinannya memeluk agama Nasrani. Berangkat dari cerita tadi, pengarang coba mengilustrasikan dan membawa kita terbang ke suatu dunia “beragama” di masa depan di tengah-tengah gelora globalisasi, industrialisasi dan modernisasi dalam peradaban manusia.
Riwayat ini wajar, mengingat penganut Kristen di Cina seramai 14 juta tahun 1997, meningkat kepada 21 juta tahun 2006, dengan perkiraan 55 ribu Gereja Protestan dan 406 Gereja Katholik harus dibangun. (The Economist, 1 Februari 2007.) Ini suatu indikasi bahwa pluralisme beragama mengalir tenang dalam masyarakat Cina dan tidak merubah rasa hormatnya kepada Mao Zedong yang atheist, tetap dihormati sebagai pahlawan Cina. Selain itu, hasil research yang dilakukan oleh Global Attitude Project in 2006 menyimpulkan: di Cina, terdapat 31% bertahan dan merasa penting peranan agama dalam hidupnya, 11% berpendapat bahwa agama Maoist tidak lagi penting. Pada tahun 2005, terdapat 56% yang menganggap agama antara penting dengan tidak penting. (sumber: Religion in China on the Eve of the 2008. Beijing Olympics. 2 Mei 2008.) Seterusnya, diprediksi bahwa tahun 2050, Cina menjadi dunia muslim terbesar, lebih besar dari penganut Kristen. Angka ini sudah tentu setelah disatukan dengan 21 juta ethnis Hui dan Uighur muslim di Provinsi Ningxia dan Xinjiang. (sumber: God Is Back, John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, hlm 5.)
Di Rusia, terdapat 86% masih percaya kepada peranan agama dalam hidupnya, hanya 16% atheist. Hasil research lain menyimpulkan bahwa, muslim di Eropah akan melebihi 6 juta tahun 2025 dan ledakan pertambahan peganut Islam terjadi pula di Benua Amerika. Di Denmark khususnya, setiap minggu tidak kurang dari 5 orang mengucapkan dua Kalimah Syahadah. (sumber: kesaksian seorang wanita mu’allaf kepada penulis). Sebaliknya, dari 8 orang asal Iran yang saya kenal di Denmark, kedelapannya athiest. Seorang diantaranya berkata: “Saya sudah lelah mempercayai Tuhan”.
Perubahan aqidah ini mengalir secara alamiah tanpa ada tekanan dari siapapun di Eropah. Kemudahan mengakses informasi tentang agama lewat internet tidak mungkin dihalang; lagipun perkara ini mutlak pilihan pribadi seseorang. Berbeda halnya sewaktu khalifah Abu Bakar Sidiq, yang menganggap murtad sebagai kejahatan yang wajib diperangi, hingga meletus “Perang Riddah”.
Wujudnya pergolakan pemikiran tentang aqidah –khususnya di Eropah– tidak terlepas dari pandangan (fatwa) para “Nabi-nabi” Barat. Rodney Stark, Baylor university Texas berkata: “Tuhan sudah beberapa generasi mati.” Friederich Nietzsche menimpali: “God is dead. God remains dead. And we have killed Him”. “Nabi-nabi” Barat telah berhasil meng-atheist-kan, sehingga masyarakat Eropah yang disaksikan sekarang adalah generasi atheist dan Gereja-gereja kosong melompong, kehilangan simbul agama, bahkan tidak ‘aib menjual Gereja. Di Denmark dan Belanda misalnya; hampir 60% penduduknya atheist. Di Perancis dari 10 orang, seorang saja yang menyatakan agama memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun Nicolas Sarkozy dalam kampanye sebelum terpilih menjadi Prsiden Perancis berkata: “la republique, les religious, L’espérance.”
Setelah ditelusuri, sikap anti Tuhan, mengangungkan imaginasi dan intelektual manusia, semuanya berpunca dari ajaran “Nabi-nabi” Barat yang dikagumi, seperti: Friederich Nietzsche yang berkata: “I find it necessary to wash my hands after I have come into contact with religious people” (sumber: Ecco Homo, in Kafmann., basic writing of Nietzsche); ... G.K Chesterfon yang berkata: “When people stop believing in god, they don’t believe in nothing, they believe in anything”. Ini suatu bentuk kecemburuan kepada Tuhan. Sigmund Freud, juga menolak kehadiran agama; ... Jean Paul Sartre berkata lebih gawat lagi: “God doesn’t exist – the bastard”; ... E.M Forter berucap: “Terus terang, saya tidak percaya kepada Tuhan dan suatu masyarakat, baru akan maju sekiranya menanggalkan agama”.... T.S. Eliot yang menyarankan: “You should pay your respect to Hitler or Stalin”. (sumber: Idea of a Christian societies, New York, 1940.) Tegasnya, masyarakat Eropah sekarang adalah korban dari ajaran sesat ini. Maka tidak heran kalau tahun 1811, Universitas College, Oxford mempublikasikan pamplet singkat berjudul: “The Necessity of Atheism”. Percy Bysshe Shelley yang bertanggungjawab, terang-terangan menolak idé bahwa: “kita berkewajiban mempercayai Tuhan termasuk keharusan memperhatikan kapél yang membosankan atas dasar disana tidak solid bukti tentang eksistensi Tuhan.” Dua abad kemudian, Percy Bysshe ditertawakan bukan karena mulut besarnya yang seakan-akan memaksakan, tapi oleh sebab pandangan yang demikian merupakan hal lazim dalam dunia intelektual. Richard Dawkins misalnya: secara gamblang meramalkan dalam thesisnya: “The Necessity of Atheism” tentang kehancuran agama Nasrani dan keharusan menjadi atheist. Pandangan ini lebih tajam, ketimbang yang dipaparkan oleh friederich schleiermarcher tentang “cultured despisers” dari agama, dalam konteks yang berbeda. (sumber: God Is Back, New York 2009, hlm 31.) Sementara Woolston, memprediksi agama Kristen akan musnah di era tahun 1900-an, kendatipun Voltaire menuding bahwa Woolston berjiwa pesimis.
Secara umum, pandangan inilah yang membentuk manusia Barat yang menganggap bekerja bukanlah pengabdian kepada Tuhan. Prinsip ini sudah merupakan pendapat umum di Eropah. Pada gilirannya pandangan Barat tentang: ”spiritual freedom”, ”political freedom” dan ”economic freedom” mempengaruhi Kemal Ataturk, yang kemudian membedakan antara agama dengan Masjid; Jawaharlal Nehru yang membedakan antara dogma dan fanatik; Gamal Adbul Nasser dan Shah Pahlevi yang membedakan peranan Masjid dan Industri. Ujung-ujungnya muncullah ”clash of civilizations” antar agama, modernisasi dan takhyul yang diduga akan terus berkepanjangan.
“Nabi-nabi” Barat yang menawarkan atheist, merupakan bentuk kecemburuan kepada Tuhan dan protes terhadap agama Nasrani, yang menurut literatur-literatur lama ditemukan fakta tentang peranan dan keterlibatan Gereja dalam kancah politik yang negatif. Misalnya, Gereja merestui Marcopolo melakukan genocide di beberapa negeri (1296-1298). Dikatakan: “Mengikut siasatan diketahui bahwa Gereja merupakan sponsor utama dalam tindak kekerasan yang dilakukan secara teratur dan tidak mengenal belas kasihan, sesudah beberapa pendapat atau keterangan yang saling berbeda.” (sumber: Kirkpatrick Sale. “sumber: The Conquest of Paradise: Christoper Colombus and Columbian Legacy”, 1991. Berikutnya, Gereja juga terbukti sebagai sponsor dalam tindak kekerasan dalam rentang masa tahun 1500-an – 1700-an, khususnya di Eropah.
Akan halnya dengan murtad di Aceh, dipandang dari sudut ”spiritual freedom” adalah sah-sah saja, sebab murtad adalah salah satu bentuk petualangan jiwa mencari Tuhan. Bukan tak percaya Tuhan, tapi boleh jadi karena hilangnya kepercayaan kepada penguasa diskriminatif dalam pelaksanaan syariah; tidak ditemukan sosok Ulama yang patut diteladani; yang menjamur hanya ilmuan berkepribadian retak, pegawai WH gadungan yang tidak bermoral, penerapan hukum rajam hanya untuk kaum dhu’afa dan wanita, bukan untuk politisi bajingan yang haus kuasa, harta dan wanita. Pada hal Al-qur’an menegaskan: penguasa yang tidak menjalankan syari’ah adalah penguasa kafir, fasiq dan dhalim (surah Al-Maidah, ayat 44, 45 & 47). Dengan demikian: orang murtad, Ulama dan penguasa sama jahilnya? Aktivis evangelis (penyebaran ajaran Kristen/Injil) tak perlu ditahan; ajak missionaris itu diskusi secara terbuka versus pendakwah atau ilmuan dari IAIN Darussalam.
Di luar kasus di atas; dalam suatu diskusi terbatas di Markas Besar Dewan Dakwah Islamiah Tingkat Provinsi NAD, saya pernah mengemukan tiga hal. Pertama, posisi pendakwah. ”Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kabjikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar” (Surat Ali-Imran, ayat 104) Berarti, pendakwah adalah kelompok ’elite intelektualist Islam’. Kedua, trilogi dakwah, yakni: “Rabbana atina fiddunya hasanah, wafil-akhirati hasanah, waqina ‘adhabannar”. Jelas missi, target dan sasarannya. Ketiga, muatan dakwah mesti logis, realistik dan relevan dengan kondisi sosial kekinian masyarakat yang sedang berlaku, tidak melempar isu dan masalah, melainkan menerangkan, memberi jawaban yang pasti-pasti, menawarkan konsep untuk menyelesaikan masalah moral, kemiskinan dan pembangunan dan jalin hubungan antara Ulama dan ’Umara. Untuk itu, juru dakwah mesti menguasai multi disipliner: bahasa, psychologi massa, sosiologi, ekonomi, hukum (syaria’h), logika (mantiq), dll. Tugas pendakwah menunjukkan rambu-rambu jalan: shiratalmustaqim, ”maghdubi” (jalur yang dimurkai) dan ”dhallin” (jalur sesat) agar tidak sesat. Berilah kebebasan kepada orang memilih jalannya sendiri, seperti Ayaan Hirsi Ali, yang suatu ketika pernah berkata: “Kucari Tuhan, tetapi ketumukan Allah.”
Secara umum, informasi ketiga jalan ini tersebar dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijtihad. Juru dakwah dituntut bukan saja penerjemah, tetapi harus mampu menafsirkan al-Qur’an untuk memurnikan dan menyelamatkan aqidah umat Islam, sekaligus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan guna menghadapi musim, dimana orang berlomba-lomba mencari Tuhan. Wallahu’aklam bissawab![]

Monday, July 12, 2010

Hymne Bola Dan Humanisme


Yusra Habib Abdul Gani

Tindakan tidak ber-prikebola-an sebenarnya sudah berlaku di Cina, sejak zaman Dinasti Tsin dan Han (206 SM) lagi dalam permainan ”Tsu chu”. Saat itu bola berpikir, kalau Cina saja yang berbuat demikian. Ternyata orang Yunani purba melakukan dalam permainan ”episcuro”, Jepang melakukan hal yang sama sejak abad ke-8. Sementara Mesir kuno, juga mengenal permainan ini. {Baca: Bill Muray dalam “The World Game: A History of Soccer.”}
Nampaknya, orang hanya memahami permainan ini sebagai permainan rakyat dan luput dari kajian bahwa ianya berkaitan langsung dengan aspek kejiwaan, pola pikir, politik dan cara pandang terhadap manusia. Mesir, Cina, Yunani dan Jepang adalah pelopor permainan ini banyak menimba ilmu tentang taktik menendang, memenangkan permainan. Akhirnya timbul inspirasi membolakan manusia. Rezim Fir’aun dengan motto: “Ana Rabbukumul A’la” (“Aku Tuhan kalian yang agung”), rakyat diperhamba membangun Piramid dalam suatu lokasi yang dijaga aparat, hingga Allah SWT turun tangan lewat tangan Musa untuk membebaskan orang Mesir dari tindakan rezim Fir’aun. Motto Fir’aun, kemudian diadopsi oleh FIFA, dimana wasit adalah Tuhan di lapangan yang putusannya tidak bisa dianuler.
Di Cina, orang diperlakukan bagaikan binatang untuk membangun tembok Cina. Sekarang penguasa Cina melakukan genocide di Provinsi Ningxia dan Xinjiang (mayoritas muslim) terhadap ethnis Hui dan Uighur, juga di Tibét. Orang Yunani kuno bertindak biadab, ketika pasukan kuda Trojan menyerang. Jepang, berlaku biadab (tahun 1942-1945) di Asia Timur Raya. Jadi, bangsa yang punya peradaban permainan sepak bola adalah sah sebagai pelopor pelanggaran HAM.
Tidak diduga kalau kemudian, Inggris mempopulerkan permainan ini pada abad ke-19 dan mendirikan klub sepak bola pertama di dunia, yakni: Sheffield Football Club tahun 1857, membentuk Football Association (FA), untuk merumuskan “rule of the game”sepak bola tahun 1863. Permainan sepak bolapun mendunia dengan dibentuknya ”International Football Association Board” (”IFAB”) tahun 1886, yang mula-mula beranggota: Irish Football Association, Scottish Football Association dan Football Association of Wales yang saat itu bermarkas di Manchester.
Kebangkitan persepakbolaan modern yang dipelopori Inggris, disusul oleh Sepanyol, Portugal, Itali, Perancis, Jerman (Eropah), tidak terlepas dari pengadopsian konsep sepak bola zaman purba dan memodifikasi dari “membolakan bola” kepada “membolakan manusia” melalui konsep: “colonialism”, “salvation”, “capitalism” dan “imprialism”. Contoh: ketika Inggris menjajah Australia, orang Aborigin di kota Sidney dan sekitarnya sebanyak 1500 jiwa tahun 1788, kemudian menciut 200 orang tahun 1830. Ini pengakuan Arthur Philips (komandan perang Inggris). Tindakan biadab –genocide– ini berlaku, hanya karena orang Aborigin –penduduk asli– menolak Hukum Perkawinan British diterapkan. John Glover berfatwa: “The only alternative now is, if they do not ready become friendly, to annihilate them at once...” (sekarang tinggal hanya satu alternatif, jika mereka tidak mau bersahabat dengan kita, sebaiknya dihabiskan saja sekaligus”) Mereka kemudian dikapalkan ke pulau Bass Strait dan jumlah mereka: dari 200 orang, menjadi kurang dari 50 orang saja yang tinggal pada tahun 1876. Inggris membolakan orang Aborigin. Dalam konteks inilah Darwin mengaku bahwa: “Dimana saja orang Eropah telah menyakiti hati sepanjang masa dan membunuh. Memburu orang Aborigin menjadi kebanggaan sebelum mati. Kita bisa menyaksikan dengan jelas merata di setiap tempat di Amerika, Polynisia, Cape dan Australia, ternyata sama hasilnya.”
Sepanyol melalui tangan Ratu Isabela, memperhamba orang muslim dan Yahudi dan memaksa menukar agama masing-masing kepada agama Nasrani. Jika menolak, suruh pilih: mati dibunuh atau diusir ke Afrika. Columbus dengan motto: “The white men burden” bukan saja melakukan genocide di kepulauan Hawaii, tetapi juga menukar nama dari Hawaii kepada “Hispaniola”, yang akhirnya dibelah menjadi: Haiti dan Republik Dominika. Sepanyol pernah mengapalkan 3 juta orang Afrika ke Amerika Laten: Brazil, Peru Nikaragua dan Costarica, memperbudaknya dalam perusahaan perkebunan dan pertambangan. Mencetak mental anak jajahan menjadi “manusia beradab” dalam acuan “civilized” dan “cultured”, sebab di mata orang Eropah, hanya mereka saja memiliki peradaban, selebihnya tidak. Hasilnya, dari 3 juta itu hampir separoh mati bunuh diri dan meninggal akibat menderita sakit tidak diobati. Hampir semua negara Amerika Latén sudah kehilangan bahasa asli. Mereka bertutur dalam bahasa Sepanyol (bahasa penjajah). Rezim Musolini (Italia), menangkap para pejuang kemerdekaan Libya, menaikan ke pesawat dan menjatuhkan dari udara sampai remuk. Perancis berbuat zalim di Vietnam, Timur Tengah, Algeria dan Afrika. Portugis berbuat jahil di Asia Tenggara. Belanda melalui program “Cultuurstelsel” di Netherland East Indies (Indonesia). Inilah prilaku jargon-jargon sepak bola Eropah yang diidolakan itu.
Jadi pantas kita dengar jeritan ini: “Dalam arena segi empat, kami ditendang-tendang, terikat dan tak mampu melepaskan diri dari kebiadaban manusia; tubuh terasa nyeri dan ingin berlari menyelematkan diri, tapi ada saja orang yang membantu melemparkan kami kembali ke padang rumput untuk bertekuk lutut di bawah kaki-kaki dan kuasa kalian. Ada saksi mata, yakni: kedua mata kaki, tetapi merekapun kalian balut dengan kain agar tidak bisa menyaksikan penderitaan ini dan tutup mulut. Ada penjaga berdiri tegak yang berusaha menghadang agar kami tidak dijebloskan ke dalam gawang, tapi pada hakikatnya: yang menendang dan penghalang, tokh semata-mata untuk meraih kemenangan.” Rumputpun menyahut: “Penderitaan anda tak seberapa; kami juga menjerit kesakitan, karena semua ini berlaku di atas padang rumput. Sambil berlari, manusia menginjak-injak tubuh dan harga diri kami; ladam sepatunya merobek, mencabut akar hingga terpental, pada hal kami menghidangkan kesejukan. Perasaan ini luka, tapi kemana harus mengadu?” Giliran tanah bicara: “Keluh-kesah kalian –bola dan rumput– sudah kudengar, akan tetapi jika mau jujur; kamilah yang paling dizalimi dari keseluruhan rentetan permainan bola ini. Bukkankah semua kalian hidup dan melakukan semua ini di atas punggungku?”
Dari sisi humanisme; jeritan ini mengingatkan kita kepada Nelson Mandela yang menjerit, diperlakukan seperti bola, dizalimi dalam penjara khusus oleh rezim yang mengamalkan racisme selama 27 tahun. Kini, bumi Mandela menjadi saksi akan arogansi Perancis, Inggris dan Itali –penjajah yang kenyang berbuat dhalim di di Afrika– terjugkal lebih awal dalam kancah permainan sepak bola dunia, sekaligus dicemoohkan oleh bangsanya sendiri, kiranya menjadi pelajaran bahwa kesombongan dan penjajahan adalah berhala yang wajib dirobohkan.
Masalahnya sekarang, dunia Barat sudah dan sedang berusaha mengalihkan perhatian dan menggiring rasa emosional bangsa-bangsa terjajah ke arah lain, agar segalanya dilupakan. Untuk itu, konsep permainan sepak bola modern dikembangkan lebih jauh dan dikaji lewat pendekatan falsafah, mencari korelasi antara fragmen-fragmen pemikiran yang melahirkan nilai-nilai peradaban lama dan upaya penafsiran baru. Tegasnya interpretasi analogis, yang meng-qiyas-kan ”lapangan sepak bola” sebagai ”arena demokrasi.” Artinya: jika lapangan sepak bola dipakai sebagai ajang pertarungan kepentingan, kecurangan, mencederai lawan, mengalahkan musuh dengan berbagai taktik dan strategi, tokh dalam pentas demokrasi juga terjadi hal yang sama, bahkan tidak mustahil membunuh dan membunuh karakter lawan politik. ”Rule of the game” di lapangan hijau, diartikan sebagai konstitusi atau qanun dalam negara demokrasi; … pemain dan pelatih, bermakna politisi; … wasit dan penjaga garis berarti lembaga yudikatif dan legislatif. Sementara penonton diidentikkan dengan rakyat jelata yang tidak pernah tahu kalau mereka ”diperbola” dan ditipu dalam arena politik. Lantas, bangsa-bangsa terjajahpun kagum dengan demokrasi selain permainan sepak bola. Mereka tidak tahu kalau semua ini hanya untuk membalut parut kebiadaban yang pernah mereka dilakukan beradab-abad lamanya, terutama di Afrika, Asia, Australia, New Zealand, Amerika dan Amerika Latén.
Dalam konteks demokrasipun, bangsa terjajah mempercayai dunia Barat sebagai dukun demokrasi dan mengadopsi ilmunya. Berduyun-duyun orang yang berasal dari luar eropah datang menuntut ilmu tentang demokrasi ke Eropah. Barat dalam realitasnya, unggul dalam tiga hal: menduniakan permainan sepak bola, „membolakan manusia“ dan memperkenalkan demokrasi. Jadi, dalam kasus Aceh misalnya: tidak mengherankan kalau baru-baru ini (May 2010), politisi Norwegia menawarkan suatu program gratis kepada DPRA untuk mengenal pelaksanaan demokrasi fasca konflik, melatih dan memberi beasiswa supaya mampu memanfaatkan potensi kreativitas dalam suasana damai, sesudah sebelumnya Damin Kingbury, Ramasari dan Marthy Ahtisari berhasil membalut parut luka DOM dengan MoU Helsinki, menjebloskan ke dalam lembah kehinaan dan ”membolakan juru runding GAM“ untuk menjual negeri atas nama demokrasi.[]

Wednesday, July 7, 2010

Leuser untuk Siapa?



Yusra Habib Abdul Gani

DI BELAHAN planet kita, terdapat kawasan hutan Leuser yang selain menyimpan biji uranium, aneka-ragam fauna dan flora, juga dikenal sebagai salah satu khazanah ekosistem yang dipercayai mengandung zat natural yang secara reguler menyembur ke angkasa lepas, menyedot dan mampu meleburkan melekul-molekul Co2 yang berasal dari asap industri yang memengaruhi dan sekaligus membahayakan kestabilan cuaca dunia.

Kajian tentang keutamaan ekosistem Leuser sudah lama dilakukan, hingga kemudian disadari betapa arti pentingnya kawasan ini yang berfungsi sebagai paru-paru dunia sekaligus sebagai baji untuk memperkokoh bumi berpijak agar terhindar dari malapetaka menimpa alam dan suhu udara panas yang mengerikan. Jadi, kawasan hutan Leuser bukanlah kawasan hutan lindung biasa yang lazim terdapat di beberapa negara. Itu sebabnya, di era rezim Orde Baru, Bob Hasan si penjahat hutan (forest criminalist) tidak leluasa beroperasi di hutan Leuser karena pada akhirnya nanti, dia akan berurusan dengan kekuatan atau kepentingan politik internasional.

Tegasnya, yang membedakan antara struktur ekosistem hutan Lueser dengan ekosistem hutan lainnya ialah karena zat natural tadi, tidak dijumpai di hutan-hutan seluruh dunia, termasuk di kawasan hutan Amazon sekalipun. Kawasan Leuser memang harus diselamatkan dari tindakan perusak dan illegal logging, yang bisa mereduksi zat natural yang mengagumkan ini. Artinya, jika daya kekuatan zat ini melemah atau tak bisa bernafas lagi karena penggerogotan hutan Leuser secara berlebihan dan kadar kepadatan Co2 di udara terus berlipat ganda, maka bisa dipastikan terjadi ketidakseimbangan cuaca-suhu udara dunia panas secara drastis-yang bisa melecurkan kulit, terutama bagi penduduk di Eropa dan USA.

Memandang pentingnya peranan kawasan Leuser, maka penerangan kepada penduduk setempat sangat perlu dan koordinasi dalam pengelolaan yang melibatkan peran serta pemerintah daerah, masyarakat lokal dan dunia internasional. Seharusnya Irwandi Yusuf Cs, yang turut hadir dalam konferensi cuaca dunia yang dimotori PBB di Copenhagen akhir tahun 2009, yang bertekad memperbaharui konvensi Kyoto, Jepang, yakni supaya kadar kepadatan Co2 di planet kita diturunkan, harus menjelaskan kepada rakyat Aceh, khususnya kepada penduduk yang tinggal di bibir Leuser tentang pentingnya pemeliharaan dan pengawasan ekosistem Leuser dalam hubungannya dengan perubahan cuca dunia.

Kita jangan hanya terpaku kepada aspek keselamatan alam, perubahan cuaca dunia dan keselamatan nyawa manusia di benua lain; sementara itu menipu, membodohkan dan menzalimi rakyat sendiri. Rakyat awam yang tinggal di sekitar Lesuser, sebelum ini-mungkin juga hari ini, besok dan lusa-tidak tahu sama sekali apa arti kadar kepadatan Co2 dan perubahan globalisasi cuaca dunia. Yang tahu, kalau tanah mereka sudah dirampas demi kemaslahatan umum. Tidak memberi penerangan dan mendidik rakyat, sama artinya dengan melakukan kejahatan intelekual terhadap ekosistem Leuser secara sistematis.

Dalam konteks ini, ada hikmah yang bisa dipetik dari benturan kecil yang terjadi antara Forum Bersama Mahasiswa Poros Leuser dan peduli Amazon, Brazil versus Yayasan Leuser Internasional (YLI), pada 19 Mei 2010; setidak-tidaknya dari riak konflik sosial ini tersibak rahasia bahwa apa isu yang muncul ke permukaan tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan praktik kejahatan terselubung menimpa Leuser yang dilakukan kalangan intelektualis atas nama peduli lingkungan hidup.

Adalah benar demonstrasi yang dilakukan mahasiswa telah menurunkan dan mencederai spanduk YLI dan disertai kemudian dengan “penyegelan terhadap kantor Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang berada di kawasan kampus di Darussalam, Banda Aceh. (The Globe Jurnal, Sabtu, 19 Juni 2010). Akan tetapi, masalah yang mahapenting adalah argumentasi yang dibentangkan forum ini perlu disambut secara bijak, disimak, dikaji dan perlu diuji kebenarannya oleh pihak YLI. Misalnya, suara forum yang mempertanyakan status Aceh Forest and Environment Project (AFEP), suatu proyek penyelamatan lingkungan dan hutan Aceh di kawasan ekosistem Leuser dan Ulu Masen, di mana YLI telah diberi mandat melaksanakan proyek ini dengan cucuran dana bernilai USD 17,5, untuk rentang masa 5 tahun (sejak tahun 2006-2010.) Dari dana ini, sebesar USD 9,8 juta dikelola oleh YLI dan sebesar USD 7,7 juta dipercayakan kepada Fauna Flora Internasional (FFI)

Forum berpendapat bahwa kontrak proyek antara YLI dan World Bank (TF Grant No.56197, tanggal 17/02/2006), didapati ketidakseimbangan dalam pengalokasian dana. Misalnya, peruntukan bagi pekerja sipil US$ 390.000; pengadaan barang US$ 3.100.000; pelatihan dan workshop US$ 940.000; jasa konsultan) US$ 3.580.000; biaya operasional US$ 1.150.000; dan biaya hibah US$ 660.000. Total US$ 9.810.000. Di sini nampak jelas bahwa, dana operasional meliputi; gaji staf, biaya perjalanan, peralatan rental dan pemeliharaan, operasional kendaraan, pemeliharaan dan perbaikan, rental kantor dan pemeliharaan, pengadaan barang dan peralatan serta biaya komunikasi. Artinya, sebagian besar dana proyek hanya ditujukan untuk kesejahteraan pekerja bukan untuk upaya penyelamatan hutan dan kesejahteraan penduduk sipil yang tidak dibenarkan mengelola tanahnya di kawasan Leuser, dengan dalih “ini hutan lindung”. Bayangkan, hanya US$ 660.000 (Rp 6,6 miliar) yang dihibahkan ke LSM dan rakyat Leuser.

Diakui bahwa, YLI memang telah mengembangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat Leuser berupa pengembangan kolam ikan nila di Kampung Pisang, Labuhan Haji, Aceh Barat Daya, dan mengembangkan perkebunan anggrek di wilayah Leuser. Tapi, sebandingkah dana sebesar Rp 98 miliar, sementara rakyat Leuser hanya mendapat 3 hektare lebih kolam ikan dan kebun anggrek? Apalagi, seorang Manajer Ekosistem digaji sebesar Rp 50 juta/bulan atau Rp 2,4 miliar untuk priode 4 tahun kerja (2006-2009).

Pada tahun 1995-2002, melalui Unit Manajemen Leuser, YLI pernah juga menikmati dana sebesar US$ 30 juta dari Uni Eropa. Dalam realitasnya, dana ini dinilai belum tepat guna. Ini terbukti, YLI menghambur uang dan berpoya-poya dengan fasilitas kenderaan mewah, membeli 2 unit pesawat terbang, membangun kantor megah di Medan dan Jakarta, menghabiskan dana untuk membayar biaya konsultan, gaji staf dan pengurus YLI. Diketahui bahwa, dari 2,5 juta hektare kawasan Leuser, 80% berada di Provinsi Aceh, tetapi kantor pusat YLI tidak dipusatkan di Aceh Tenggara, Gayo Lues atau Aceh Selatan.

Jadi, suara minor yang menggedor kesunyian YLI selama ini, merangsang orang bertanya, Leuser Untuk Siapa? Jangan terlalu lama berendam dalam kolam konflik ini. Sadarlah bahwa, Leuser itu anugerah Allah kepada kita dan manusia adalah pereka masalah. Apapun masalah tetap harus diselesaikan lewat dialog dan kekeluargaan, bukan mengandalkan pendekatan hukum semata-mata.

Friday, June 11, 2010

Gayo Di Mata Toèt


Yusra Habib Abdul Gani

Di atas tanah gayo yang subur, bertabur ethnis gayo, menyara keluarga dan harus berani bersabung atau bertarung melawan dirinya sendiri, jika mau selamat dan tidak hendak ingin mati. Mereka hidup liar tanpa ikatan lahir bathin antara sejarah masa silam dengan kehidupan ke-kinian-nya, merasa dirinya lebih rendah dibanding orang lain (impriority complex) dan solidaritas persaudaraan diantara sesamanya begitu rapuh. Akalnya mudah dijengkal, harkat dan martabatnya gampang disipat; karena tidak lagi memiliki sentimen kolektif untuk menyelamatkan khazanah peradaban berteras ke-gayo-an. Kepribadiannya lugu, ”miskin” orang berilmu dan ulama penyejuk qalbu serta tiada tokoh pemersatu. Mereka tidak pernah merasa resah dan gelisah, kalau satu ketika nilai-nilai budayanya akan punah; tidak pernah khawatir dan terpikir, kalau satu saat komunitas gayo akan tersingkir; dalam hatinya tidak pernah tersirat, kalau satu masa bahasa gayo akan terjerat; tidak pernah pula merasa cemas, kalau satu ketika tanah dan hasil buminya akan dikuras. Walau demikian, Toèt tetap berikrar: ”Akupè galak demu Belang Bebangka” (”baca: Akupun cinta kepada gayo.”), lirik lagu ”Tari Dangdut”.
Cinta? Ianya sah-sah saja, tapi orang gayo tidak sadar (”kesamun”), kalau masalah sudah bertimbun dan menindihnya, misalnya saja: pemakaian bahasa gayo bercampur bahasa Indonesia (Melayu) dalam lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, kantor-kantor dan di pasar-pasar; bahkan lebih cenderung bertutur dalam bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo. Phenomena ini akan menempatkan orang gayo seperti ethnis Pidgin di New Zealand, yang sudah kehilangan identias. Bahasa asli mereka dicampur-aduk dengan bahasa Inggris. Akhirnya, Pidgin bukan; British juga tidak! Bayangkan: ”Jesus is our leader” mereka tulis ”Yesus em i forman bilong yumi.” (Randolph Quirk. “The Use of English”, p. 16, Longman Group Limited, London, Third impression, 1970.) Dalam konteks ini, muncul prediksi bahwa: “Bahasa gayo termasuk salah satu bahasa yang akan hilang karena dipengaruhi budaya dan bahasa luar. Salah satu contohnya jika bertanya pada anak-anak masyarakat Gayo yang berada di perkampungan, sebutan ”Ama” untuk panggilan Bapak, sudah tidak lagi diketahui anak-anak.” Bahkan ”Sudah ada masyarakat gayo yang tidak lagi peduli akan budaya, bahasa dan sejarah gayo karena dianggap tidak berfaedah. Kalau bahasa gayo hilang, maka identitas gayo juga akan hilang. Masyarakat gayo akan kehilangan identitas.” Prof. Yunus Melalatoa. ”Forum diskusi mahasiswa Gayo se-Indonesia,Yogyakarta, 2002”. Jika bertutur dalam bahasa Indonesia, merasa dirinya kaum terpelajar dan bahasa gayo asli dianggap sebagai bahasa premitif. Indikasi ini membuktikan bahwa jaringan urat saraf orang gayo sudah putus dan bocor. Rangkuman dari keseluruhan situasi inilah, secara simbolik Toèt luahkan dalam lirik lagu: ”Urang Uten” (”Penghuni Hutan”) sbb:
//”Tanuk nakang nge cungkah-cangkih” //(”Tanduk rusa sudah tak karuan”)
//”Anak ni kedéh nge bala-bili” // (”Anak monyet sudah puntang-panting”)
//”Ike masa bekenak”// (”Jika masa berkehendak”).

Inilah potrét masyarakat gayo yang liar, terbiar, kucar-kacir, mangsa dari politik ekonomi, tidak punya tangkal untuk mempertahankan nilai-nilai budaya asli dari pengaruh globalisasi budaya yang mengalir deras; sebagai konsekuensi logis dari persilangan pendapat, kebijakan tentang masa depan ekonomi, budaya dan bahasa gayo yang tidak sehaluan. Jadi, tidak mengherankan kalau Kab. Aceh Tenggara suatu ketika dahulu, mencari dan punya Ayah Angkat berasal dari Jawa Barat.
Situasi demikian, boleh menjerumuskan orang gayo ke lembah yang dalam tanpa batas. Tidak sadar, kalau letak geographi gayo sebenarnya tidak berarti apa-apa dalam peta politik ekonomi pronvinsial dan nasional. Image tanah gayo hanyalah suatu lokasi ”jin beranak”, wilayah pinggiran yang terisolir dari arus lalu-lintas yang menghubungkan transportasi antar kota; bukan tempat transit, bukan lintasan perdagangan dan bukan pula pusat dunia pendidikan dan budaya. Mungkin atas pertimbangan ini, perantau asal gayo sendiri enggan pulang dan memilih daerah lain untuk menghabiskan sisa hidupnya. Mereka seumpama ”bayi tabung”* (*sosok yang terasing, tanpa ikatan moral dan tanggungjawab antara diri dan induknya - tanah leluhur), yang sesekali bertandang mengunjungi sanak saudara, canggung bertutur bahasa gayo untuk memperlihatkan diri mereka sebagai golongan ”elite” dan kemudian hengkang lagi. Ilmuan gayo di perantauan belum pernah membentuk suatu team pemikir apalalgi membuat konsep dari untuk membangun negerinya. Tambahan pula, kelakuan politisi lokal musiman yang kerap kabur lewat ”pintu belakang” ke Jakarta, melihat kilauan lampu malam dan jembatan tanpa sungai, ”manusia berjubel dan kereta payung di Taman Mini” (lirik lagu: ”Tari Dangdut”). ”Urang uten” kurang bahagia masuk kota!
Diakui bahwa, faktor kesuburan tanah gayo kurang menantang dan hal ini mempengaruhi cara berpikir orang asli yang pada umumnya lebih bermental budak (pegawai) ketimbang bermental saudagar atau tuan. Semangat merantau kental, tetapi tidak sadar kalau negerinya sudah dikuasai kaum pendatang dan hasil buminya dikuras dan dilarikan keluar. Pedagang ’asing’ ini tidak meng-invest modalnya secara besar-besaran di gayo, tapi justeru dilarikan ke daerah asalnya. Menurut Toèt, semua bisa terjadi ”Jika masa berkehendak”. Toèt agak apathis! Saya justeru berpikir sebaliknya: ”kehendaklah yang menentukan nilai masa.” Masa tidak bermakna, jika tidak diwujudkan dengan tindakan. Ini lebih optimis!
Akan halnya dengan kopi gayo; jangankan di tingkat nasional, di kalangan masyarakat Aceh pesisir saja, nama kopi ”Solong” Ulèë Karéng, ternyata lebih populer ketimbang nama kopi gayo. Pada hal ”Solong”, hanya nama warung kopi yang kebetulan lokasinya di Ulèë Karéng, Banda Aceh, bukan kawasan pertanian kopi. Pedagang kopi gayo tidak mampu menanamkan keyakinan dan meng-gayo-kan otak penduduk Indonesia atau penduduk dunia, agar setiap mereka minum kopi: INGAT kopi gayo!
Lebih tragis lagi: orang gayo yang empunya kopi, Belanda yang punya nama dan hak Paten ekport-import kopi gayo, karena Belanda lebih awal mendaftarkan ke ”Lembaga Hak Paten Internasional”. Begitu pula nasib Tari Saman. Orang gayo yang punya; Unesco dan Pemda Aceh mendaftarkan Tari Saman sebagai khazanah budaya milik Indonesia. Dalam konteks inilah Toèt menghempaskan deru perasaannya:
//”Lipé orom katak munikot janyi” //(”Ular dan kodok mengadakan Perjanjian bilateral”)
//”Katak berlailah wan tunah kemili”//( Kodok bertahlil dalam kubang Kemili”)
//“Benang muserit gere ijegei” //(„Benang kusut tak diurus“).

Secara simbolik: Belanda, Lembaga Hak Paten Internasional, Unesco dan Pemda Aceh adalah refresentasi dari ”Lipé orom katak munikot janyi”; sementara ”katak berlailah wan tunah kemili” adalah orang gayo yang suka berkoar-koar, mengupat, asyik bertengkar di arena Didong, meraung-raung dalam Tari Saman dan bernafas dalam lumpur kubang yang enggan bergeming.
Realitas sosial lain yang tidak bisa dipungkiri ialah: berlomba-lomba orang gayo menjual tanah milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, terutama di kawasan perkotaan –central ekonomi– kepada kaum pendatang. Pemda, tidak memiliki konsep untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi rakyat dan melindungi rakyat yang buta hukum. Rakyat terjepit yang disebabkan oleh faktor intern (mental budak) dan faktor ektern, yakni: tidak adanya perangkat hukum (qanun), dimana rakyat wajib diurus dibawah suatu managemen administrasi negara yang apik dan profesional. Rakyat bagaikan benang kusut yang dililiti oleh status-quo dan sistem politik lokal. Kondisi ini yang Toèt sebut: Benang kusut tak diurus (“Benang muserit gere ijegei”).
Thesa yang dibangun Toèt mencoba meledakkan fragmen-fragmen kebuntuan dan kejumudan berpikir melalui rumus introspeksi diri dari M. Aris Dahlan, cèh Teruna Bujang: ”Aku adalah penyair dan diriku hendak kusindir”. Maka, Toètpun berkhotbah tentang futurism, katanya: ”Tutu mesin gere mubelatah, jangkat ilen ku roda”(”Beras dari fabrik penggiling padi sudah bagus, angkut lagi ke roda”). Pesan ini bersifat universal –setidak-tidaknya– menjadi pembelajaran kepada orang yang mendesain kemasan kopi gayo, yang mirip seperti kalèng penyimpan peluru serdadu Nipon Jepang semasa perang dunia ke-II dan kemasan produksi buah kemiri, seperti kemasan tapè singkong Sarè, Seulawah; tidak menarik dan kurang merangsang konsumen. Orang gayo masih berpikir kolot, akibat kurangnya interaksi dan penyerapan informasi dari luar. Jadi menurut Toèt, ”katak-katak” ini sudah saatnya melompat ke darat dan tangkas membaca tanda-tanda zaman.
Toét sudahpun melompat dan terbang dari kumpulannya menuju Malang Jawa Tengah, menyaksikan aksi ”katak bernyanyi membersihkan daki” (”katak berdènang munekaran tungem”) Lirik lagu: ”Idém-idém”. Mengapa harus ’bersuci diri’ ke luar gayo? Sebab Toèt merasakan ada ”bau najis” dalam komunitas orang gayo.
//”Ara bebujang sinyanya penadi” //(”Ada remaja yang bikin susah”)
//”Dabuh muniri kuwan waih jernih” //(”Dia mandi dalam air jernih”)
//“Waih jernih dabuh ikeruh“ //(„Ari jernih diobok-obok hingga kotor“)
//“Ruh ke lagu noya“ //(„Logiskah ini
?“).
Artinya: ada orang terjun ke dalam kolam berpikir jernih, tetapi idé dan pikiran positif tersebut diobok-obok hingga keruh dan mentah. Toèt sendiri mempertanyakan potrèt „Urang Uten“ ini. Logiskah ini? („Ruh ke lagu noya“?)

Lantas, apa yang harus dilakukan sekarang?
Tiada jalan lain, kecuali: orang gayo harus berhenti menjadi orang gayo; bukan dalam arti genitik dan ethnik, karena ini merupakan prinsip dari silsilah keturunan dan perekat tali persaudaraan; akan tetapi dalam pengertian moral bahwa: untuk membangun gayo, diperlukan pemikir berkualitas tinggi sebagaimana pemikir Hong Hong, yang mampu merubah alam gersang dan terjal menjadi pusat perdagangan Internasional yang diperhitungkan. Mengapa pemikir gayo tidak mampu menciptakan tanah gayo sebagai „ka’bah“ agricultural economics, budaya dan wisata? Membangun masyarakat yang terbuka dalam batas-batas yang wajar, bersatu dan merekrut generasi penerus yang mampu meloby, menerobos peluang dan merangsang agar orang datang menikmati keindahan alam dan khazanah seni budaya gayo. Menurut Toèt, hal ini bisa terwujud, jika orang gayo berhenti meniru tabiat penghuni hutan (”pawang tue” {baca: jin}.
//”Urang uten dabuh mungerje” // (”Penghuni hutan mengadakan perkawinan”)
//”Pawang tue naran kinduri” // (”pawang tue” {baca: jin} mengadakan pesta”).
//”Akang renges nyeluk sunting” // (”rusa jantan dihiasi anting-anting”)
//”Dabuh i iring lagu mah bai” // (”Diarak seperti mengantar pengantin lelaki”)
.
Dalam bahasa lain: PKI rebut kuasa di Jakarta, Islah (orang gayo) bakar Masjid Bebesen; ... TNA berperang versus TNI, dia sibuk bentuk Peta, Milisi dan pasukan Merah Putih; …orang lain tèkèn kontrak politik, dia sibuk menyelimuti „group Helsinki“ dengan ”opoh Ulen-ulen”, mengarak keliling kota dan mengukir kursi perdamaian. Inilah kerja penjilat (”pawang tue“) yang haus perhatian dan menjijikkan. Terima kasih Toèt, karena lirik lagumu telah mengoyak mata yang pejam. Semoga engkau damai di sisi-NYa.[]