Monday, December 13, 2010

Nasib Bahtera Pemerintahan Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

Bahtera pemerintahan Aceh tengah berlayar, yang kompasnya menunjuk ke arah yang tidak menentu. Pasalnya: ”Seperti yang tertulis menurut kandungan MoU ini. Pemerintahan sendiri (Self Government), akan kita dirikan dan bentuk di Aceh sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh bangsa kita…” {Ucapan Malik Mahmud, 15/08/2005, atas nama Pemerintah Negara Aceh.} Sementara itu disebut: “MoU Helsinki hanya suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Anatomi ideal dalam kerangka di atas memberikan konsiderasi filosofis, yuridis dan sosiologis dibentuk UU Pemerintahan Aceh. Hal yang mendorong lahirnya UU Pemerintahan Aceh ini dengan prinsip Otonomi seluas-luasnya…” (Penjelasan Umum UU No.11/2006) Lantas, mana yang benar dan mana satu diantara keduanya yang berlaku di Aceh: MoU Helsinki atau UUPA; Pemerintahan sendiri (Self Government) atau Otonomi seluas-luasnya? Hampir enam tahun lamanya sudah berlayar, namun rakyat Aceh masih belum tahu, dimana posisi bahtera yang ditumpanginya.
Rakyat telanjur makan propaganda: ”masa transisi tahun 2006, pemerintahan sipil akan kita (GAM) kuasai, tahun 2009 Aceh merdeka.” (Ucapan Amny Ahmad Marzuki, Penjara Sukamiskin, Agustus 2005.) Ditimpali lagi: ”Dalam masa transisi tahun 2006-2009, Gubernur Aceh akan dipegang oleh GAM, tahun 2009 Aceh Meredeka” (Pengakuan Nurdin AR, Rotterdam Belanda, Agustus 2005). Bahkan mengingatkan kita kepada persilangan pendapat antara Darwis Djinéb versus Nurdin AR soal pengangkatan Sekretaris Daerah di lingkungan Pemda Aceh Jeumpa (Bireuën). Menurut Darwis: ”buat apa dilantik Sekda, tokh tahun 2009 Aceh sudah merdeka.” Nurdin AR (salah seorang juru runding GAM) membisu, setelah tahu bahwa otonomi seluas-luasnya berlaku di Aceh. Situasi ini, oleh Laurence J. Peter digambarkan dalam bahasa lain: “Jika anda sedang tidak tahu sedang menuju kemana, kemungkinan besar perjalanan anda akan berhenti entah dimana.”
Secara yuridis, jawabannya mesti merujuk kepada asas/prinsip hukum: “Lex specialis derogat legi generali” bahwa dalam konteks perbedaan dalam aturan normatif antara perundangan yang sama derajatnya, mengatur hal sama pula, maka norma yang bersifat khusus dianggap membatalkan norma yang bersifat umum. Undang-undang khusus menyatakan bahwa masalah tertentu secara lebih spesifik dan prinsip hukum yang dapat diterima di banyak jurisdiksi adalah bahwa suatu undang-undang yang bersifat ’lex specialis’ lebih unggul daripada suatu undang-undang yang bersifat ’lex generalis’ dalam masalah yang secara khusus dibahas dalam undang-undang khusus.” Ini bermakna: dengan dijabarkannya point-point MoU Helsinki ke dalam UU No. 11/tahun 2006, maka kedudukan MoU Helsinki menjadi ’legi generali’ dan UU No. 11/tahun 2006 sebagai “Lex specialis. Konsekuensinya, juru runding dan pemerintah Aceh tidak berhak lagi mengungkit point-point MoU Helsinki. Itu sebabnya Martti, tidak bergairah meng-amandemen MoU Helsinki dan lebih ”berhasrat untuk mengamandemen UUPA dan ICMI akan mengawal proses amandemen ini.” (Hai, Martti. Otto Syamsuddin. Serambi, 23/11(2010). Dalam kaitannya dengan sisa Tapol Aceh, dia berkata: ”Saya akan melihat bagaimana sistem hukum nasional Indonesia” Ini konsekuensi logis asas hukum “Lex specialis derogat legi generali”. Sayang, rakyat Aceh tidah tahu di sebalik semua ini.
Makin terasa anèh ketika Nur Juli berkilah: ”Apakah MoU itu baik atau tidak untuk Aceh?” Kononnya MoU yang berlaku. Di sebalik itu, dia berdakwah: “Saya yakin, kesatuan dan persatuan berbagai komponen masyarakat Aceh dengan Pemerintah yang mereka pilih sendiri akan lebih meyakinkan Pemerintah Pusat ” (pen: UUPA) untuk menepati janjinya.” Terus terang, ini ucapan orang penderita ”gile bebok” (”gila bicara”). Petinggi GAM juga mengidap penyakit yang sama, buktinya: ”... In the spirit of our continued commitment to a peaceful solution, we request that a neutral government offer to act as mediator for future talks” (“The Exchange of Views on: Human Rights In Indonesia”1 Oktober, 2003, European Parliament, Brussels.) Zaini Abdullah juga berucap: “Kita mau, negara ketiga (fasilitator) itu yang langsung mengontak kita.” (Pengakuan Dr. Zaini Abdullah, 26/01 2005) Terbukti kemudian, pimpinan GAM pilih CMI (NGO yang bermarkas di Helsinki) dan menolak tawaran Norwegia sebagai mediator. Dalam kaitan ini Nur Juli bilang: “GAM menolak tawaran mediasi Norwegia dari apa yang saya katakan bahwa penolakan itu oleh Pemerintah RI bukan oleh GAM.” Logikanya: kalau Indonesia menolak dan penolakan itu di-amin-kan GAM, berarti GAM ikut bersekongkol menolak. Sebenarnya, masalah tawaran Norwegia dan Jepang sebagai mediator, sejak 17/11/2003 lagi sudah saya bincang bersama Malik Mahmud. (lihat: Status Aceh Dalam NKRI, halaman 112), bukan diskusi dengan Nur Juli, yang bukan anggota GAM.
Sesungguhnya, validitas MoU Helsinki tidak lazim terjadi dalam precedence internasional. Misalnya saja: ”Oslo Agreement” tahun 1993 & 1995, yang disepakati antara Palestine-Israel. Implementasinya tidak dijabarkan secara sepihak oleh Knesset (Parlemen) Israel; segalanya dibahas dan dirumuskan di meja runding. Jika muncul masalah di kemudian hari, diselesaikan melalui pihak mediator, bukan merujuk ke Tel Aviv. Demikian pula ”Oslo Agreement” tahun 1998 & 2001 yang disepakati antara PNG-Bougainville. Semua masalah yang dipersengketakan dirumuskan secara rinci di meja runding. Bahkan keharusan Congress PNG mengamandemen Konstitusinya, diputuskan di meja runding. Keduanya ‘agreement’ siap pakai! Anéh bin ajaib, juru runding GAM memberi wewenang kepada DPR-RI –yang sama sekali tidak tahu soal desain pelaksanaan self government– untuk menjabarkan MoU Helsinki secara sepihak ke dalam UUPA. Sementara dilaungkan motto: ”Tidak ada kata sepakat, sebelum kedua belah pihak sepakat.”
Dalam konteks inilah Thomas Jefferson (politisi USA) mengingatkan: “Terkadang manusia tidak dapat diberi kepercayaan mengemban self-government, lantas dapatkah dia dipercaya manakala berada di bawah pengaturan orang lain?” Ucapan ini harus dipahami secara lain. Artinya: berjiwa self-government adalah orang yang punya perencanaan matang, percaya diri untuk menjalankan adminitrasi yang bercorak ke-daerah-an, mandiri dan menciptakan daerah untuk tidak selamanya menyusu kepada pemerintah pusat, kecuali: dalam hal-hal yang diperjanjikan dan tidak bermental ”abdi dalem”. Tegasnya: “Kita adalah bangsa yang mampu mengatur Pemerintahan Sendiri dan sangat layak untuk itu”, imbuh Thomas Jefferson kepada Isaac Weaver. Jadi, bukan bermental Nur Juli yang berkata: ”syukur kalau dia (baca: Ahtisaari) berhasil melakukan sesuatu untuk membuat Pemerintah Pusat memenuhi janji-janjinya, tetapi kalau tidak, maka kita sendirilah yang harus berusaha lebih kuat.” Apa maksud keratan kalimat: ”… kita sendirilah…”? Rakyat Aceh yang tidak tahu MoU Helsinki atau Juru runding GAM yang harus berusaha lebih kuat?
Secara tersirat, kalimat tersebut, hendak menyeret rakyat Aceh ke dalam ”kita sendirilah” di saat butir-butir MoU tidak dilaksanakan di Aceh, walau sudah dijabarkan ke dalam UUPA sekalipun. GAM-RI yang menanda tangani MoU Helsinki dengan mengambil Aceh dan sistem pemerintahannya sebagai objek Perjanjian. Kedua belah pihak berhak meng’claim’, jika salah satu pihak ingkar janji (’wan prestasi’). Secara yuridis, materi MoU Helsinki-lah yang di’claim’, bukan UUPA made-in Senayan, dimana GAM tidak dilibatkan dalam proses perumusannya. Disini aturan normatifnya yang dipertanyakan, berikut materinya. Lantas, mengapa berharap ”nabi”-nya Nur Juli harus ”melakukan sesuatu untuk membuat Pemerintah Pusat…” Ini pola pikir sungsang!
Atas ketidak jelasan perangkat hukum mengatur Aceh –MoU Heslsinki atau UUPA– hingga Otto Syamsudin mengulas selintas kisah MoU dan Helmy N. Hakim menulis: ”… juru runding GAM terbuka, memberi teladan dan bertangungjawab…” Masing-masing telah direspons Nur Juli dengan nada apologi pribadi, pada hal perkara ini tanggungjawab koleftif (juru runding). Secara simbolik, suara Helmy boleh dianggap sabagai suara yang mewakili ”semut-semut”, yang suatu ketika dahulu kala, “semut-semut” ini pernah mengingatkan supaya waspada terhadap prilaku Nabi Sulaiman dan arogansi pasukan berkudanya yang hendak beraksi menerjang. Belum lagi Jin Ifrid di lingkaran kekuasaan Nabi Sulaiman yang konon mampu memindahkan Istana Balqis (baca: mampu mendatangkan investor-investor asing ke Aceh). Walaupun kemudian terbukti bukan Jin Ifrid melakukannya. Suara semut-semut –kelas bawah– ini kemudian menyadarkan penguasa saat itu. Sayangnya suara Helmy diterima oleh orang yang frekuensi berpikirnya terbatas dan ”paneuk antèna.”
Katakan kepada rakyat hal sesungghunya bahwa, yang berlaku di Aceh adalah UUPA, bukan MoU Helsinki, demi menghindarkan terjadinya dualisme hukum dan multi interpretasi yang salah kaprah. Yang runyam adalah mentalitas orang Aceh –terutama juru runding– yang menerapkan falsafah: “Bloë siploh peublë sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” saat berunding di Helsinki. Ini nampak dari ucapan Nur Juli: “Apakah para perunding GAM lebih baik pulang dengan tangan kosong dari Helsinki dan membiarkan perang terus berlanjutan dalam suasana bencana tsunami yang baru menelan lebih dari 230.000 nyawa rakyat Aceh?” Falsafah ini menggambarkan orang Aceh sebagai ‘total materialistism’, tidak mau rugi sepeser pun. Sah-sah saja kecundang di Helsinki, tapi dalam ruang kekalahan itu mencari laba untuk kepentingan pribadi dan kelompok, seperti: menjabat Bupati, Sekjen BRR, Ketua BRA, ”Wali Nanggroe”, Ketua, wakil dan anggota DPRA/DPRK dan menjadi klass bourgeois baru. Suara Helmy: “seharusnya GAM dapat membawa konsep pemerintahan yang lebih nyata untuk diterapkan di Aceh…” adalah mustahil dibawa ke meja runding, sebab ”konsep pemerintahan GAM adalah konsep Aceh Merdeka” kata Nur Juli. Konsep itu dikubur. Sekarang musim “Bloë siploh peublë sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” di celah-celah situasi yang sulit sekali pun, termasuk memperdalih bencana Tsunami.

Sunday, December 12, 2010

Kiprah Ulèëbalang Di Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

LITERATUR yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Aceh di masa silam. Untung, catatan pribadi beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Aceh merekamnya.
Menurut sejarahnya, jabatan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Aceh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh. Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857, merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Aceh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Aceh di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam. {Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi Indonesia, november, 2009}. Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Aceh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda dan sampai mati setia kepada Belanda.
Tjut Njak Meutia adalah Ulèëbalang berani mati, yang bergabung dengan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata. Fakta ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang –Tjut-Tjut dan Teuku-Teuku– sebenarnya, selain berdarah biru, juga berani bertandang menumpahkan darah merah! Namun, ada saja suara minor yang menilai Ulèëbalang sebagai kaum elite, arogan dan berpihak kepada Belanda, terutama setelah meletus perang Aceh tahun 1873 - tahun 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya, dakwaan negatif yang ditujukan kepada Ulèëbalang terbukti, ketika Belanda menerapkan pola “Serampai Tiga Mata” secara serentak menyerang Aceh: yakni: (1). Operasi militer, dengan membuka front perang di semua lini melumpuhkan pejuang; (2). Mematikan sumber ekonomi rakyat, dengan cara membakar kampung, menebang pohon-pohon yang menghasilkan buah2-an, membunuh hewan ternak yang ditinggalkan {Testimony Thomsom, MP, debat soal Aceh dalam Sidang Parlemen Belanda, 5-6 November 1907}. (3). Menyekat/menjarah asset Aceh, dengan cara menguasai sumber utama perekonomian negara yang dikelola oleh Ulèëbalang. Untuk itu, Belanda mendekati, mitra dagang dan sekaligus menyekat kuasa Ulèëbalang yang sebelumnya diberi kuasa oleh Sultan Aceh untuk mengelola hartanah negara Aceh.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Aceh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Aceh) yang diberi hak otonomi khusus untuk mengelola hartanah negara untuk membiayai roda administrasi pemerintahan dan perang. Dalam hierarchi pemerintahan, posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan. { James T. Siegel dan The Rone of Cod Berkeley and Los Angeles University of California Press.}, yang meneliti di Pua, Aceh Timur. Misalnya, dalam (priode: 1855-1873), Sultan Aceh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.” {Ch. Bogaert "Nota van toelichting over De Oostkust van Atjeh". J.A. Kruijt melaporkan dalam ”Atjeh en de Atiehers. Leiden: Guaith Kolff, 1877. p. 234.}
Segalanya berubah setelah perang Aceh meletus. Beberapa Ulèëbalang kini menjadi mitra Belanda yang diserahi mengelola Perkebunan Lada, Kelapa Sawit, Minyak goreng dan perusahaan Minyak gorèng. Contoh: Aceh Timur, khususnya wilayah Simpang Ulim yang kemudian diblockade Belanda; merupakan produsen Lada terbesar tahun 1877 yang dikelola kaum Ulèëbalang; kantong-kantong perekonomian dikontrol langsung. Penerimaan dari semua sektor dibebani Belanda membayar pajak sebesar 40 %. Beban ini sebagai pengganti. Artinya: jika sebelumnya disetor kepada Sultan, sekarang disetor kepada Belanda. Pada hal sebelumnya, Sultan Aceh hanya membebani satu suku (1.25%) setiap pikul. Begitu pun, tidak semua Ulèëbalang mau menyetor pajak dan sikap ini pernah memperuncing situasi politik antara Ulèëbalang-Sultan. “Karena Ulèëbalang mengabaikan pembayaran kepada Sultan dalam beberapa priode, ini sudah tentu mengurangi pendapatan negara, tetapi dari sudut pandang hukum adat yang hidup ketika itu, mempersolkan aturan mainnya.” {Teukè Mohsin, "Atjeh, Mei - September 1899", LCL I. (1900), halaman 79} Jadi, adakalanya kuasa Sultan berkurang, dikala mayoritas Ulèëbalang mengabaikan kewajibannya.

Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya Belanda mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’. {Paul van't Veer. De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers. 1969. p. 216.} Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat dan baru dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.
Di awal tahun 1900-an –di saat para pejuang Aceh terus berguguran di medan perang– Ulèëbalang Peureulak mendadak kaya raya dari hasil kompensasi sebesar f 54,097.77 selama setahun kerja (1904-1905 di “Perlak Petroleum Company”, ditambah pesangon selama 10 bulan (January-September) yang mencapai f 36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb (Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan. {Laporan R. Broersma dalam "De Locomotief", July-October, 1923 p 39.} Sistem penggajian yang tidak seragan ini ditantang. Teuku Thjik Muda Peusangan misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan patokan Belanda. {Paul van 't Veer, De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers, halaman 217.
Di sini, kontradiksi fakta wujud, artinya: pada saat sebilangan Ulèëbalang di Aceh Timur berpesta menikmati dana kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), di masa bersamaan kelompok Ulèëbalang di belahan bumi Aceh lain: Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan menesaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912) dan pasukan Marsusé menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi, aniaya terjadi di mana-mana. Dari tahun 1920-an – 1942 saja, tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Aceh versus Belanda. {Perang Aceh. Paul van 't Veer.}
Biarlah fakta ini tegak menjadi saksi, agar semua orang tahu selintas kifrah Ulèëbalang dalam lembaran sejarahan Aceh, sekaligus mengenal wajah penjajah: yang telah ‘berhasil’ memilah-milah, mencabik-cabik semangat, sentimen kolektif, kekuatan dan rasa ke-Aceh-an, sampai kita kehilangan prestige dan tidak mampu menjawab: ‘siapa sebenarnya kita di depan cermin sejarah Aceh.’[]