Yusra Habib Abdul Gani
LITERATUR yang meriwayatkan Ulèëbalang terbatas sekali, sehingga agak sulit mengungkap secara detail tentang status dan peranan Ulèëbalang dalam pemerintahan Aceh di masa silam. Untung, catatan pribadi beberapa pegawai pemerintah Belanda yang bertugas di Aceh merekamnya.
Menurut sejarahnya, jabatan Ulèëbalang sudah lama dikenal di Aceh –paling tidak– sejak tahun 1641-75 (semasa pemerintahan Sultan Safiyat ad-Din Taj al-Alam dan Raja Permaisuri Putri Sri 'Alam 1675-78 Sultan Naquiyat ad-Din Nur al-Alam) sudah wujud. Njak Asiah atau Tjut Njak Karti yang dipanggil juga Tjut Njak Keureutoë, adalah Ulèëbalang bijak yang memimpin wilayah Keureutoë dan sekitarnya (priode: 1641-75). Dalam rentang masa yang sama, Ulèëbalang Tjut Njak Fatimah berkuasa di Meulaboh. Begitu pula Ulèëbalang Po Tjut Meuligo di Salamanga yang berkuasa tahun 1857, merangkap sebagai penasehat perang dalam perlawanan menentang Belanda. Ulèëbalang Tjut Njak Dien, yang menguasai wilayah Mukim VI yang mencakupi 25 Sagi, daerah militer di Aceh Barat, dimana Ayahnya (Teuku Nanta Setia) dikenal sebagai Panglima Perang yang menurut sejarahnya pernah bertugas sebagai Duta Besar Aceh di Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat, yang diwarisi sacara turun-temurun sejak Sultanah Tajjul Al-Alam. {Informasi ini sekaligus menjadi rujukan pembanding kepada Teuku Kamal Fasya, yang menyebut Tjut Njak Dien berdarah Minang. Serambi Indonesia, november, 2009}. Ulèëbalang Po Tjut Baren Biheuë di Aceh Barat yang gigih melawan Belanda, walau kemudian Lieutenant H. Scheurleer berhasil membujuk dan memberi kaki palsu kepadanya setelah ditembak oleh pasukan Belanda dan sampai mati setia kepada Belanda.
Tjut Njak Meutia adalah Ulèëbalang berani mati, yang bergabung dengan suaminya (Teuku Thjik di Tunong) sewaktu melawan Belanda. Setelah suaminya mati syahid, beliau tampil sebagai komandan bersama 45 pasukan dan punya 13 pucuk senjata. Fakta ini membuktikan bahwa kaum Ulèëbalang –Tjut-Tjut dan Teuku-Teuku– sebenarnya, selain berdarah biru, juga berani bertandang menumpahkan darah merah! Namun, ada saja suara minor yang menilai Ulèëbalang sebagai kaum elite, arogan dan berpihak kepada Belanda, terutama setelah meletus perang Aceh tahun 1873 - tahun 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya, dakwaan negatif yang ditujukan kepada Ulèëbalang terbukti, ketika Belanda menerapkan pola “Serampai Tiga Mata” secara serentak menyerang Aceh: yakni: (1). Operasi militer, dengan membuka front perang di semua lini melumpuhkan pejuang; (2). Mematikan sumber ekonomi rakyat, dengan cara membakar kampung, menebang pohon-pohon yang menghasilkan buah2-an, membunuh hewan ternak yang ditinggalkan {Testimony Thomsom, MP, debat soal Aceh dalam Sidang Parlemen Belanda, 5-6 November 1907}. (3). Menyekat/menjarah asset Aceh, dengan cara menguasai sumber utama perekonomian negara yang dikelola oleh Ulèëbalang. Untuk itu, Belanda mendekati, mitra dagang dan sekaligus menyekat kuasa Ulèëbalang yang sebelumnya diberi kuasa oleh Sultan Aceh untuk mengelola hartanah negara Aceh.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, Ulèëbalang adalah aparatur negara Aceh yang dilantik resmi oleh Sultan dengan “cap sikureuëng” (cap negara Aceh) yang diberi hak otonomi khusus untuk mengelola hartanah negara untuk membiayai roda administrasi pemerintahan dan perang. Dalam hierarchi pemerintahan, posisi Ulèëbalang sangat menentukan pola kebijakan politik Sultan. Bahkan diakui, secara teori di bawah kekuasaan Sultan, akan tetapi dalam prakteknya adalah “king” yang punya kewenangan mutlak di suatu kawasan. { James T. Siegel dan The Rone of Cod Berkeley and Los Angeles University of California Press.}, yang meneliti di Pua, Aceh Timur. Misalnya, dalam (priode: 1855-1873), Sultan Aceh memerintahkan Ulèëbalang Idi Rayeuk dan Simpang Ulim supaya nilai ekport dari sektor perkebunan ke Penang mencapai 100,000 pikul/tahun. “Diketahui, pada tahun 1873 saja, kawasan Simpang Ulim dan Idi Rayeuk diperkirakan menghasilkan lebih dari 35,000 pikul; Juluk Rayeuk, Peureulak dan Peudawa Rayeuk mencapai 10,000 picul/tahun.” {Ch. Bogaert "Nota van toelichting over De Oostkust van Atjeh". J.A. Kruijt melaporkan dalam ”Atjeh en de Atiehers. Leiden: Guaith Kolff, 1877. p. 234.}
Segalanya berubah setelah perang Aceh meletus. Beberapa Ulèëbalang kini menjadi mitra Belanda yang diserahi mengelola Perkebunan Lada, Kelapa Sawit, Minyak goreng dan perusahaan Minyak gorèng. Contoh: Aceh Timur, khususnya wilayah Simpang Ulim yang kemudian diblockade Belanda; merupakan produsen Lada terbesar tahun 1877 yang dikelola kaum Ulèëbalang; kantong-kantong perekonomian dikontrol langsung. Penerimaan dari semua sektor dibebani Belanda membayar pajak sebesar 40 %. Beban ini sebagai pengganti. Artinya: jika sebelumnya disetor kepada Sultan, sekarang disetor kepada Belanda. Pada hal sebelumnya, Sultan Aceh hanya membebani satu suku (1.25%) setiap pikul. Begitu pun, tidak semua Ulèëbalang mau menyetor pajak dan sikap ini pernah memperuncing situasi politik antara Ulèëbalang-Sultan. “Karena Ulèëbalang mengabaikan pembayaran kepada Sultan dalam beberapa priode, ini sudah tentu mengurangi pendapatan negara, tetapi dari sudut pandang hukum adat yang hidup ketika itu, mempersolkan aturan mainnya.” {Teukè Mohsin, "Atjeh, Mei - September 1899", LCL I. (1900), halaman 79} Jadi, adakalanya kuasa Sultan berkurang, dikala mayoritas Ulèëbalang mengabaikan kewajibannya.
Kaum Ulèëbalang Peureulak dipercaya Belanda mengelola dan diberi ‘licence’ untuk mencari sumber minyak pada “Perlak Petroleum Company.” Pada tahun 1895, produksinya anjlok akibat dikuranginya beberapa ‘licence’. {Paul van't Veer. De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers. 1969. p. 216.} Tapi, maju kembali setelah perusahaan ini dialihkan kepada “Royal Company for the Exploitation of Petroleum Wells in the Netherlands Indies” di Telaga Said Langkat dan baru dimulai beroperasi pada akhir abad ke-19.
Di awal tahun 1900-an –di saat para pejuang Aceh terus berguguran di medan perang– Ulèëbalang Peureulak mendadak kaya raya dari hasil kompensasi sebesar f 54,097.77 selama setahun kerja (1904-1905 di “Perlak Petroleum Company”, ditambah pesangon selama 10 bulan (January-September) yang mencapai f 36,896.31. Setelah tahun 1915 terjadi perubahan, dimana kaum Ulèëbalang hanya dibayar gaji setiap bulan. Misalnya: Teuku Thjik Muhammad Tayeb (Ulèëbalang Peureulak) digaji sebesar f 1,000/bulan; Ulèëbalang Idi Rayeuk digaji f 968.507/bulan; Ulèëbalang Langsa f 400/bulan, sementara Ulèëbalang di Peudawa Rayeuk digaji hanya f 125/bulan. {Laporan R. Broersma dalam "De Locomotief", July-October, 1923 p 39.} Sistem penggajian yang tidak seragan ini ditantang. Teuku Thjik Muda Peusangan misalnya, mengundur diri karena tidak sepakat dengan patokan Belanda. {Paul van 't Veer, De Atieh-Oorlog. Uitgever; De Arbeiderspers, halaman 217.
Di sini, kontradiksi fakta wujud, artinya: pada saat sebilangan Ulèëbalang di Aceh Timur berpesta menikmati dana kompensasi dan pesangon dari tuannya (Belanda), di masa bersamaan kelompok Ulèëbalang di belahan bumi Aceh lain: Teuku Keumangan bertarung melawan Belanda dan menewaskan Kapten Helden, komandan pasukan Belanda (1905); ... Teuku Johan menesaskan Vander Zeep (1905); ... Teuku Tandi Bungong Taloë menewaskan de Bruijn di Meulaboh (1902); Teuku Tjhik Muhmamad dan Teuku Tjhik Tunong di Keureutoë menewaskan Steijn Parve (1902); ... Teuku Nago bersabung dengan serdadu Belanda yang menewaskan Behrens dan Molenaar; ... Teuku Raja Sabi mati syahid dalam medan perang Lhôk Sukon (1912) dan pasukan Marsusé menyerang membabi-buta dan membunuh orang tua, anak-anak dan perempuan di Kuta Rèh tahun 1905; tindakan teror, intimidasi, aniaya terjadi di mana-mana. Dari tahun 1920-an – 1942 saja, tidak kurang 10 kali lagi terjadi peperangan besar antara pejuang Aceh versus Belanda. {Perang Aceh. Paul van 't Veer.}
Biarlah fakta ini tegak menjadi saksi, agar semua orang tahu selintas kifrah Ulèëbalang dalam lembaran sejarahan Aceh, sekaligus mengenal wajah penjajah: yang telah ‘berhasil’ memilah-milah, mencabik-cabik semangat, sentimen kolektif, kekuatan dan rasa ke-Aceh-an, sampai kita kehilangan prestige dan tidak mampu menjawab: ‘siapa sebenarnya kita di depan cermin sejarah Aceh.’[]
Sunday, December 12, 2010
Kiprah Ulèëbalang Di Aceh
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 10:52 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)