Sunday, November 29, 2009

Konsep Jihad dalam Saman


Yusra Habib Abdul Gani

Konfigurasi gerak tari Saman, selama ini dipahami orang sebagai kreasi seni tari biasa. Tak hanya bisa dimaninkan orang Gayo dalam bahasa Gayo, tetapi juga bisa dipentaskan oleh siapa saja dan dalam bahasa apa saja. Ini kesalahan fatal sekaligus pelècèhan terhadap missi dari Saman itu sendiri. Tari sejuta tangan ini tidak bisa dicerna dan dihayati, sekiranya tidak memahami keseluruhan gerak yang diperagakan. Saman adalah tari yang mengandung konsep jihad yang disimbulkan lewat irama dan gerak. Dari komposisi, sjèh (pemimpin) atau disebut juga ‘Pengangkat’ mesti duduk di tengah para pemain yang jumlahnya ganjil (13, 15 atau 17 orang). Sjèh bukan remote untuk menggerakkan orang lain beraksi, tetapi sosok pemimpin yang mesti sinkron dengan aturan main; memimpin sekaligus menjadi orang yang dipimpin. Tari Saman tidak menghendaki terjadi: “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sementara kamu mengelakkan diri...” (Q: Al-Baqarah, ayat 44).

Karena tari ini dimainkan dalam bentuk group, maka sjech bukan tokoh tungggal yang dikultuskan. Dia didampingi oleh ‘Pengapit’ (staf) sebelah kiri dan kanan yang berperan membantu gerak maupun syair. Jadi, tari Saman, menolak falsafah ‘individualism’, dan menganut penegakan ‘colletivism’. Kebersamaan harus disokong dan diperkuat oleh tiang penyangga antara sesama anggota. Karena itu, dipasang ‘Penupang’, yang posisinya berada di sisi paling kanan dan kiri. Peranan ‘penupang’ disifatkan sebagai akar tunggang rumput “jejerun” (bahasa Gayo), sebagai simbol kekokohan. Komitmen “Bersatu teguh, bercerai rubuh.” maka jangan ada satu pun anggota yang membuat kesilapan dan kesalahan gerak. Karena akan berimbas dan menghancurkan seluruh gerak dan irama. Jadi, sinkronisasi gerak dan persamaan perasaan sangat diutamakan. Ini berarti, pemimpin baik dalam situasi revolusi atau damai, harus berada di tengah-tengah masyarakat, tidak merasa dirinya sebagai tokoh tunggal, akan tetapi sebagai bentuk kekuatan kolektif yang ditopang oleh jamaah.

Tari Saman dimulai dengan gerak “Rengum”, yakni: suara ngauman dipimpin oleh syèh, senyawa dengan ucapan “salam”. Pada tahap ini, terdengar suara magic berdengung, mengalun bersama ayunan tubuh yang lentur dalam posisi ‘berlembuku’ rapat membujur membentuk garis horizontal, sambil melafadhkan kalimah:

“Hmmmm laila la ho

Hmmmm laila la ho

Hmmmm tiada Tuhan selain Allah

Hmmmm tiada Tuhan selain Allah”

Nada dan gerak “rengum” adalah ‘kasat, ‘takrat’ dan ‘takyin’ untuk memulai tari, agar masing-masing peserta memusatkan kekuatan (concentration). Atasnama kalimat tauhid inilah gerak group bermula. “Rengum” diucapkan dalam suara minor yang mampu menggetarkan jiwa-jiwa yang mati dan perasaan kuyu menjadi garang. Kalimat tauhid ini sengaja disisipkan sjèh Saman (tokoh penemu Saman) sebagai missi jihad dan dakwah Islam lewat tari Saman yang sebelumnya diperankan dalam “Pok Ane-ané” (permainan rakyat yang dimainkan secara bebas). Keseragaman dalam gerak “rengum”, bagaikan sebilah pedang Samurai yang sudah diisi dengan kalimat tauhid untuk melakukan berapa varian gerak berikutnya. Gerak ini menukar rasa ke-aku-an (individualism) kepada rasa ke-kami-an dan akhirnya wujud rasa ke-kita-an (collectivism) dan melarutkan diri masing-masing ke dalam lautan gerak dan irama hidup. Mereka layaknya seperti pasukan lebah menyerang, dimana sang ratu lebah tidak nampak; semua penari adalah komandan dan anak buah. Inilah yang disebut “ratip sara nanguk, nyawa sara peluk” (“ratip satu angguk, nyawa satu peluk”). Dalam falsafah Aceh dikatakan: “hudép beusaré, maté beusadjan, sikrék kapan saboh keureunda”. Gerak “rengum”, selain dikenal dalam Saman, terdapat juga dalam pengantar mantra doa untuk menghidupkan ‘pedang berkunci’, yaitu: alat perang yang khas di tanah Gayo. Inilah proses pengenalan diri dalam jiwa masing-masing.

Tahap kedua adalah gerak “Dering”, yaitu: varian gerak yang dimainkan oleh semua penari. Gerak ini diantarkan oleh irama ‘Ulu ni lagu’ ( ‘kepala lagu)’. Para penari akan memasuki tahap memperagakan pelbagai ragam gerak. Proses perubahan dari gerak “rengum” kepada “dering” hanya berlangsung dalam seketita saja. Setelah dirangsang oleh suara syèh, secara perlahan-lahan penari memperagakan variasi gerak tangan, menepuk dada, gesekan badan dan putaran kepala. Pada peringkat ini, suara dan gerakannya masih datar dan lamban.

“Dering” adalah sylabus pengajaran kepada masyarakat yang berbeda tingkat kesadaran, pengetahuan dan pemahaman; tidak ada unsur paksaan, disuarakan dalam bahasa asli (Gayo) yang sopan dan jelas. Barulah kemudian, syèh mengalunkan suara melengking, sekaligus memberi aba-aba akan memasuki tahap gerak cepat. ‘Warning’ itu berbunyi: “Inget-inget pongku male i guncang” (“Ingat-ingat teman akan diguncang”). Inilah klimaks gerakan tari saman, dimana penari secara optimal mengetengahkan varian gerak putaran kepala yang mengangguk (girik), tangan yang menepuk dada dan paha maupun gerakan badan ke atas-bawah, miring ke kiri-kanan bersilang (singkéh) maupun petikan jari (kertèk). Di sini tidak terdapat lirik, irama dan suara. Sepenuhnya aksi. Di tengah kemucak itu, tiba-tiba menyusul gerak “Uak ni kemuh” (“obatnya gerak”) atau gerak neutral yang disenyawakan dengan nada minor yang datar. Saat stamina penari pulih semula, aksi gerak cepat beraksi kembali. Inilah tahap kesaksian dan pengenalan fakta yang disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Tahap ketiga adalah: gerak “Redet”. Menampilkan lagu dalam lirik singkat dan jelas. Ianya pesan singkat yang harus didengar sambil menanti arahan selanjutnya. Pengkabaran (informasi) agar orang tahu persis akan pesan yang disampaikan. Yang berarti, manusia adalah pelaku dari informasi yang didengarnya!

Tahap keempat adalah: gerak “Syèh”. Menyampaikan warkah. Pada peringkat ini, syèh mengalunkan lagu dengan suara tinggi melengking dan panjang, sebagai aba-aba akan terjadi pertukaran gerak. Inilah kiat dari roda kehidupan manusia yang sarat dengan perubahan. Penciptaan dan penghancuran; penjajahan dan kemerdekaan; kekayaan dan kemiskinan; kehidupan dan kematian.

Tahap kelima (terakhir) adalah: gerak “Saur” atau penutup. Gerak ini adalah pengulangan bunyi reff yang disuarakan syèh oleh seluruh penari. Ini mengisaratkan tentang bay’ah massal, dedikasi, setia dan taat kepada pemimpin. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa: “Rengum” adalah kesadaran, kesaksian dan komitmen; “dering” berarti introspeksi, pengenalan, pengajaran dan kesopanan; “Redet” adalah pesan singkat, nota penting dan harapan; “Syèh” ialah seruan umum, imamah dan tanggungjawab dan “Saur” yang berarti pernyataan kesetiaan, dedikasi dan kekompakan.

Keseluruhan variasi gerak Saman seperti: guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua bahasa Gayo) adalah refleksi dari pesan-pesan, hanya saja orang acuh dan hanya terpaku dengan geraknya. Saman bukan konsep hijrah dan menyerang (ofensive) melainkan konsep bertahan (defensive). Di sini dibuktikan bahwa, refleksi ruh tari Saman terpantul dalam perang melawan Belanda di Kuta Rèh, Penosan, dll tahun 1907. Ketika pasukan Van Dallen merambah masuk ke Gayo Luwes; hanya orang yang sudah melewati “rengum”, “dering”, “Redet”, “Syèh” dan “Saur” saja yang bersabung dengan serdadu Belanda. Selebihnya: anak-anak, perempuan dan lekaki tidak menyelamatkan diri ke dalam hutan. Mereka membentuk gerak Saman dengan cara merapatkan shaff (ingat: barisan penari Saman yang membentuk garis horizontal) dan mengurung diri dalam satu kawasan yang dipagar dengan babu runcing. Tidak mau bergeming. Inilah sumpah tentang: tanah, negara dan kehormatan. Di atas yang bertuah ini kami lahir dan mati dengan darah. Darah adalah rahasia! Dalam konteks ini, Van Dallen berkata: “sepanjang sejarah penaklukan bangsa-bangsa lain, belum pernah kami mendapati orang yang begitu berani dan fanatik, kecuali: orang Gayo.”

Orang Gayo hanya tahu mempertahankan diri, bukan melarikan diri. Itu sebabnya, semasa perang melawan Belanda, mereka tidak menyelamatkan diri ke luar Aceh. Bagaimana aplikasi jiwa Saman dalam situasi sekarang? Haruskah mengisolasi diri dalam pagar “kuta Rèh”?, No! Saatnya orang Gayo Luwes menyatukan diri dalam kebulatan tekad dan suara untuk menentukan nasib masa depan Daerah ke arah yang lebih maju dan gerak Saman perlu ditafsirkan semula dalam konteks kehidupan ke-kini-an kita. Insya-Allah! (Serambi Indonesia,22 November 2009