Masjid Raya Baiturrahman |
Kebelakangan ini kita baru tahu dan sadar, kalau Aceh sebuah bangsa yang memiliki tamadun berteraskan Islam, pernah menawarkan identitas kebangsaan Aceh melalui ketulusan politik kepada kekhalifahan Osmaniyah Turki, sambil menyerahkan ’bungong jaroë’ berupa Lada dan bendera Aceh. Saat berlabuh di pelabuhan Ankara, diplomat Aceh mengibarkan bendera Turki di atas geladak kapal Aceh, sebagai isyarat mau bersahabat, sekaligus menyatakan tunduk dan meminta diikut-sertakan menjadi salah satu negara di bawah perlindungan kekhalifahan Turki. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1520.
Diplomat Aceh menunggu lebih dari sebulan lamanya dalam kapal, sebelum diterima oleh penguasa Turki. Tawaran identitas kebangsaan Aceh akhirnya diterima dan membuahkan hubungan persahabatan antara kedua-dua negara dan terus kekal hingga meletus perang antara Belanda-Aceh pada tahun 1873. Turki kemudian membalas tawaran Aceh dengan mengirim perlengkapan senjata perang untuk menghadapi kekutan Belanda, setelah Sultan Ibrahim Alaidin Mansur Syah (1838-1870) mengirim surat secara resmi kepada penguasa Turki. Meriam yang diberi oleh pemerintah Turki dengan mana ’Lada Sicupak’ kini disimpan dalam Mesium militer di Bronbeek, Arnhem, Nederlands.
Dari sudut pandang moral politik dan hubungan Internasional; tawaran identitas kebangsaan Aceh bersulam ketulusan hati (common sense) kepada pemerintah Turki, adalah merupakan sebuah tradisi terhormat dalam sejarah perjalanan tamadun manusia. Tradisi memperkenalkan dan menawarkan identitas kebangsaan dengan ketulusan politik yang demikian, sudah pernah diIakukan oleh Rasulullah, ketika mengirim sepucuk surat kepada raja RUM dengan menyebut ’Dari Muhammad Rasulullah/Hamba Allah, kepada Harikal ’Adhim ar-Rum’ pada kepala surat. Pemberian gelaran ’harikal ’adhim’ merupakan simbol identitas Islam yang sangat mulia. Selanjutnya Baginda menulis ”…. Aku menyeru engkau dengan seruan Islam. Islamlah! niscaya engkau selamat. Allah memberi pahala kepadamu dengan dua jenis. Pertama, kepada engkau. Kedua, rakyat engkau. Jika engkau berpaling, maka engkau menanggung dosa rakyatmu…” (Teks lengkap tersimpan di Mesium di Istanbul, Turki). Pangeran Maurits van Nassau, juga mengamalkan tradisi menawarkan identitas kebangsaan Belanda melalui surat yang dikirimnya kepada Sultan Alaudin Ali Riayat Syah IV (1589-1604) dengan menyebut ’Sri baginda yang mulia dan yang Maha berkuasa.’ Surat tersebut ditutup dengan mengucap ’Kami cium tangan Sri Baginda’ (Yusra Habib Abdul Gani: 2008, hlm. 169). Maurits bahkan mengadu kepada Sultan Aceh prihal penderitaan bangsanya di bawah jajahan Sepanyol. Belanda respek dan simpathi dengan sikap politik Aceh yang telah memberi pengakuan (recognation) bahwa Belanda adalah negara merdeka, di saat Belanda masih lagi merupakan salah satu dari 17 Provinsi di bawah jajahan Sepanyol. Namun, ketulusan politik Belanda tercoreng, apabila Belanda menganggap telah melakukan kesalahan karena telah mengakui bahwa, Aceh sebagai sebuah negara merdeka melalui Traktat London tahun 1824. Bahkan memprovokasi segelintir Ulèëbalang hingga nekad mengibarkan bendara Belanda di Idie, Aceh Timur dan menolak membayar pajak kepada pemerintah Aceh. Peristiwa ini berlaku, justeru setelah perjanjian persahabatan antara Belanda-Aceh ditandatangani pada tahun 1857. Tragisnya, Inggeris yang menandatangani perjanjian Raffles 1819, terpengaruh dan sanggup mengkhianati Aceh lewat ’Perjanjian Sumatera’ tahun 1871. ’Inggeris membatalkan Perjanjian itu pada tahun 1871 dan Aceh membatalkannya pada 1 Mei 1873.’ (Anthony Reid: 2007, hlm 150.) Pada hal Ratu Inggeris pernah menawarkan identitas kebangsaannya kepada Aceh, yang diutarakan melalui surat diplomatik kepada Sultan Iskandar Muda. Jenderal de Beaulieu juga pernah menawarkan identitas kebangsaan Perancis dengan ketulusan politik melalui sepucuk surat dari kepala negara Perancis yang diserahkannya kepada Sultan Iskandar Muda. Surat tersebut dibalas dengan tulisan bertinta emas, yang antaranya menyebut, ’berhubungan dengan tawaran, apakah saya memerlukan sesuatu dari Perancis, saya sampaikan melalui Kapten Jenderal de Beaulieu sebuah laporan untuk menunjukkan betapa besar penghargaan saya, dan saya katakan pula jika Allah mengarahkan surat ini dengan selamat, saya mengharapkan jawaban dengan kapal-kapal yang bakal datang dengan muatan barang dagangan….’ (Lihat: Yusra Habib Abdul Gani: 2008, hlm. 164). Betapa pentingnya moralitas dan identitas kebangsaan ini, nampak dari prilaku seorang Ulèëbalang di Aceh Timur, dimana pedagang Perancis pernah menitipkan barang dagangannya selama jangka masa 2 tahun lamanya, tanpa mengalami kerusakan apa pun, sebab dijaga dengan amanah. (Anthony Reid: 2007) Fragmen-fragmen identitas kebangsaan Aceh dan ketulusan politik terhadap sesama masyarakat Islam maupun non-muslim yang mengagumkan ini terlaksana karena Aceh dihormati sebagai sebuah negara merdeka. Kekaguman bangsa luar terhadap Aceh, masih tetap menyerah hingga abad ke19. Namun begitu, kegemilangan tersebut, tiba-tiba reduk dan terhempas oleh kencangnya badai ideologi kolonialisme yang diperagakan oleh kolonial Eropah, yaitu ketika kuasa Eropah terlibat dalam pertarungan kepentingan politik, ekonomi dan keamanan di Selat Melaka dan Sumatera, fasca perang Eropah tamat tahun 1815 yang melibatkan Perancis, Inggeris, Sepanyol dan Belanda. Sejarawan mencatat bahwa konflik Internasional ini berpengaruh kepada Aceh, karena posisi Aceh merupakan penentu kestabilan keamanan di Selat Melaka dan Sumatera. (Lem Kam Hing: 1995). Memasuki abad ke-20, posisi Aceh mulai terhimpit oleh dua kekuatan –yaitu munculnya kuasa Eropah yang menanam benih ideologi nasionalisme dan demokrasi kepada anak jajahannya dan sikap politik Eropah yang mengisolasi dari peta politik Internasional, karena dinilai Aceh telah kehilangan sahabat setia, seperti Turki dan Inggeris– hal ini terbukti kemudian bahwa, kedua masalah inilah yang melilit hingga Aceh tidak dapat lagi membebaskan diri dari perangkap itu. Lebih dari itu, Aceh dikepung, disembelih dan dilapah bersama-sama oleh kuasa Eropah dan anak-anak wathan yang telah terpengaruh oleh ajaran nasionalisme dan demokrasi Barat. Seiring dengan itu, identitas kebangsaan Aceh tenggelam ke dasar lautan, yang hampir-hampir tidak dapat dikenali lagi wujudnya. Aceh menghilang dari pentas politik Internasional dan nama Aceh pun tidak lagi bergetar di dada masyarakat Melayu. Berangkat dari fenomena sosial-politik dan sejarah inilah, Hasan di Tiro bangkit bersaksi di depan cermin sejarah Aceh dengan menyatakan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Keputusan politik ini sebenarnya untuk menghadirkan identitas kebangsaan Aceh yang telah menghilang, menghidupkan jiwa-jiwa yang mati agar bangkit membangun mimpi-mimpi tentang fragmen-fragmen identitas Aceh yang sudah tenggelam diangkat ke permukaan, agar ianya hidup bersemi dalam kehidupan bangsa Aceh, karena identitas kebangsaan yang tersimpan dalam ’fragmentasi masa lalu Aceh yang tenggelam itu, bukan saja telah terjadi proses kehancuran; tetapi juga terjadi kristalisasi yang terjadi di kedalaman laut, dimana ia tenggelam dan merusak apapun yang pernah hidup. Beberapa hal yang “menanggung perubahan laut” dan bertahan hidup dalam bentuk-bentuk dan wajah baru yang terkristalisasi, yang tetap kebal terhadap elemen-elemen itu dan mereka hanya menanti penyelam mutiara yang pada suatu hari akan mendatangi mereka dan membawanya ke dunia kehidupan –sebagai “fragmen-fragmen pemikiran”, sebagai sesuatu “yang kaya dan asing”– dan mungkin sebagai ’Urphae-nomene’ yang abadi.’ (Maurizio Passerin d’Entéves dalam Filsafat Politik Hannah Arendt: 1982). Memandangkan semua itu, ketika si penyelam (Hasan Tiro) itu hadir dan berjuang untuk menghidupkan tradisi berfikir dan identitas kebangsaan Aceh yang mati dibunuh oleh penjajah; disambut hangat di Aceh dan di gelanggang politik Internasional. Dunia mesti sadar bahwa ”isu Aceh itu berbeda dengan isu yang terjadi di Pulau Jawa, sebab Aceh memiliki hubungan Internasional, terutama dengan Turki, Inggeris dan Amerika.” (Paul Van Veer: 1985) dan Hasan Tiro berorasi: ”Bangsa Aceh itu adalah ’anak singa’, bukan keturunan biri-biri yang kapan saja dapat dibeli, disembelih dan dilapah oleh algojo-algojo. Oleh itu, fragmentasi masa silam tidak hanya sekedar untuk diingati, ’melainkan mendidik, agar kita tidak terjerumus kedalam kejumudan dan memenjarakan jiwa. Manusia historis perlu merubah jiwanya kepada kesadaran ‘supra-historis’, mempunyai keyakinan dan harapan akan masa depan, yang memandang kebahagiaan itu selalu berproses dan disempurnakan pada setiap waktu.’(Frederich Nietzsche, filosuf asal Jerman.) Wallahua’klam bissawab!
1 Comments so far
Halo