Wednesday, August 31, 2011

UUPA TANPA PENGECUALIAN

Yusra Habib Abdul Gani
DARI 273 pasal UUPA; hanya pasal 256 yang mengatur soal nasib masa depan calon independen yang sudah dimansukhkan oleh MK dan pasal 269 ayat (3), yang DPRA pakai sebagai dasar hukum pembanding untuk menyatakan ketidakabsahan pasal 256, merupakan dua pasal yang paling populer dan diminati sepanjang lahirnya UUPA 1 Agustus 2006. Hal ini mengalahkan pasal-pasal yang berhubungan dengan memajukan perekonomian, memasukkan muatan lokal dalam pengembangan budaya, pendidikan, simbul ke-Aceh-an, dll. Selain itu, ketentuan mengenai Wali Nanggroe diprediksi menjadi materi hangat, tinggal menunggu saat.

Lepas dari adanya unsur kesengajaan atau ketidaktahuan dari tim penyusun undang-undang DPR pusat, yang pasti: lembaga legislatif dan eksekutif pusat berhasil memasang “bom ranjau” (mine) yang akhirnya menyeret Aceh kepada konflik yuridis, sebagai konsekuensi logis dari ketidakmengertian tentang bahasa dan politik hukum dalam rumusan UUPA. Sayangnya, kalangan teoritis dan praktisi hukum Aceh, belum berhasil mengajari, mendidik dan menyadarkan DPRA-Pemda untuk tidak perlu konflik yuridis diperdebatkan di pusat, sebab ianya memalukan umat.

Diakui bahwa berbahaya sekali, apabila suatu peraturan hukum tidak dirumuskan secara jelas. Ianya akan menimbulkan multitafsir, bahkan salah tafsir oleh mereka yang tidak mengerti maksud dari hukum itu sendiri. Oleh karenanya, rumusan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, harus dijelaskan dengan kata kunci yang lazim dipakai, yaitu: ‘pengecualian’ (exceptional).

‘Pengecualian’ adalah penegasan kepada suatu subjek hukum untuk tidak atau wajib melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh hukum. Bentuk kalimat adakalanya disampaikan dalam kalimat langsung, seperti ketentuan yang terdapat pada pasal 18 (5)UUD 1945, bahwa:

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.” Di sini bisa disimak bahwa ternyata; dalam untaian kalimat: ‘menjalankan otonomi seluas-luasnya’, didapati urusan yang tetap merupakan kewenangan dari pemerintah pusat dan dirumuskan kemudian dalam undang-undang tersendiri.

Selain itu, ‘pengecualian’ disampaikan dalam bentuk kalimat tidak langsung, misalnya: “Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.” (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang: Hak Asasi Manusia Pasal 18, ayat 2). Adanya bentuk `pengecualian’ ini, untuk mempertegas bahwa `asas legalitas’ mesti dihormati dalam penerapan hukum. Artinya: seseorang tidak boleh dihukum atas tuduhan melakukan kejahatan, terkecuali sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur sebelum kejahatan tersebut dilakukan. Ini sebagai `warning’ agar penegak hukum tidak bertindak sewenang-wenang; kecuali: hakim yang boleh menafsirkan dan memutuskan suatu perkara berdasarkan keyakinannya. Inilah yang dinamakan ijtihad di lingkungan fiqh politik Islam.

Dalam hukum Islam pun, terdapat ketentuan ‘pengecualian’, sebagai bentuk penegasan mengenai objek hukum yang diharamkan, misalnya: “Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali: kalau makanan itu bangkai atau darah mengalir atau daging babi..” Surat Al-An-’aam ayat 145. Ayat ini memberi penegasan bahwa sesuatu yang diharamkan Allah, disebutkan secara tegas, supaya tidak menimbulkan perbedaan interpretasi di kemudian hari.

Alur cerita di atas merupakan pengantar dari persoalan yuridis yang tengah diperdebatkan di Aceh, khususnya yang berhubungan dengan keabsahan pasal calon independen, pasca putusan MK yang memansukhkan kandungan pasal 256 UUPA; yang akhirnya mengharuskan “DPRA mewacanakan dua syarat; pertama, harus dikonsultasikan kepada pemerintah pusat. Kedua, akan ditanyakan langsung kepada rakyat Aceh lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool) lain yang mudah dijangkau masyarakat.” (Serambi Indonesia, 17 Maret 2011). Rupanya, yang dimaksud oleh DPRA dengan pemerintah pusat adalah: Menkopulhukam, Mendagri, dan Komisi II DPR RI yang membidangi masalah hukum dan pemerintahan.

Jika itu maunya, bisa dipastikan bahwa mereka pasti merujuk kepada putusan MK yang bersifat final, sebab sebagaimana sudah kami utarakan sebelumnya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh ada campur tangan dari pihak mana pun, termasuk Presiden, yang punya hak prerogatif. Dalam teorinya demikian. Jika dalam praktik berlaku sebaliknya, maka putusan tersebut batal demi hukum! Terbukti bahwa, Kementerian Dalam Negeri RI menolak permintaan pemansukhan pasal Pasal 256 UUPA oleh DPRA yang punya dalih “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan” dan memerintahkan supaya point calon independen mutlak harus dimasukkan dalam qanun pilkada Aceh. Ini sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak mau tabrak putusan MK.

Kemudian, rakyat mana yang hendak ‘ditanyakan langsung lewat penyebaran kuesioner atau sarana (tool)? Apakah rakyat yang nota-bene masih buta hukum? Anggota DPRA sendiri tidak mengerti asas legalitas dan validitas hukum Indonesia, konon lagi rakyat Aceh yang tidak punya waktu berpikir hal itu?

akar masalah
Dengan mengenyampingkan kepentingan politik dan pro-kontra terhadap keberadaan calon independen; yang pasti: secara yuridis, rumusan pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyebut: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA” masih sangat umum sifatnya dan ujung-ujungnya akan melahirkan masalah dan berpotensi menimbulkan multitafsir di kalangan politisi, teoritis dan praktisi hukum. Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ inilah yang menjadi punca masalah dan pemicu, sehingga anggota DPRA menerobos dengan garang menerjang pagar kawasan berdaulat hukum MK.

Terus terang, bunyi pasal 269 ayat (3) UUPA harus diikuti dengan ketentuan ‘pegecualian’, sehingga berbunyi sbb: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA, kecuali: dalam hal yang berhubungan dengan putusan di lingkungan Lembaga Yudikatif, di mana permintaan ‘judicial review’ yang diajukan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.” Ketiadaan ketentuan ‘pengecualian’ dalam pasal 269 ayat (3), sama artinya dengan memasang jebakan dan korbannya adalah orang-orang yang sok tahu hukum.

Jika hendak memperalat pasal 18B UUD-1945 yang menyebut: “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.” bagi Aceh; itu pun tetap harus ada ‘pengecualian’ yang dirumuskan secara jelas.

Aturan ‘pengecualian’ ini penting, sehingga tidak perlu terjadi konflik regulasi dan kalau orang Aceh arif dan tahu ‘rule of the game’ dalam ranah hukum, tentu boleh dimusyawarahkan di Aceh dan tidak perlu berkata: “Kami percaya, pemerintah pusat sangat arif dan bijaksana dalam mencari jalan yang baik terhadap masalah Aceh.”(Serambi Indonesia, 27 Juli 2011). Buat apa berdebat/bertarung mempertontonkan kebodohan di kampung si Pitung (Betawi), kalau akhirnya pulang kampung dengan piala kehilangan marwah dan harga diri?

"GHIRAH" YANG HILANG


Yusra Habib Abdul Gani
KATA “ghirah” tidak dikenal dalam literatur bahasa Melayu (Indonesia); oleh karenanya sulit memahami tanpa kita merambah masuk, melakoni, memahami kaedah, falsafah dan jiwa kata itu sendiri. “Ghirah” berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiyah berarti “kecemburuan” yang sifatnya positif dan progresif.

Jika melihat orang kaya yang dermawan dan tidak sombong, kita merasa “ghirah” untuk melakukan hal yang sama, bahkan kalau boleh melebihinya; jika menyaksikan sebuah keluarga yang hidup bahagia, kita merasa “ghirah” untuk membangun keluarga yang sama, bahkan kalau boleh melebihinya.

Rasa “ghirah” kepada Rasulullah misalnya, karena keteladanan beliau, yang menurut Aisyah--Isteri baginda--bahwa “akhlaq rasulullah adalah Al-Quran.” Lebih dari itu, merasa “ghirah” kepada Allah yang memiliki 99 nama (Asmaul Husna). “Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang baik)” (Surah Thaa-Haa, ayat 8); disebut juga dalam surah Al Israa’, ayat 110; surah al-A’raaf, ayat 180 dan surah Al-Hasyar ayat 24. Misalnya, Allah Maha Pembalas Budi (Menghargai), Bijaksana, Melindungi, Memberi Kesejahteraan, Memberi Keamanan, Penyantun, Pemurah, Pengasih, Penyayang, Pemberi rezeki, Pemaaf,dll. Dengan kata lain, sekiranya ada orang merasa “ghirah” kepada Asmaul Husna, maka insya Allah tercipta suatu negeri yang masyarakatnya merasa aman, harmonis, terlidung, sejahtera dan makmur. Inilah “ghirah”, yakni: kecemburuan yang tidak berpotensi menimbulkan permusuhan dan kejahatan, karena cemburu dalam bercinta, perniagaan dan memperebutkan status sosial,dll. Untuk itu, “Asmaul Husna”, perlu dipahami makna dan konteksnya, terutama yang berhubungan dengan moral dan kekuasaan dalam peradaban manusia; bukan untuk dipajang di tepi jalan raya, tiang yang bisu dan membeku, diacuhkan, dan dilècèhkan.

Secara maknawi, “ghirah” berarti juga “melindungi/membela”. Pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah SAW; di mana seorang muslimah membawa perhiasannya kepada seorang tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa’. Tiba-tiba datang sekelompok remaja Yahudi meminta supaya wanita ini membuka jilbabnya, bahkan sempat auratnya terbuka karena diganggu dan tukang sepuh menggantungkan kerudungnya. Saat dia menjerit, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda tadi langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Pemuda muslim ini pun, akhirnya dibunuh oleh orang-orang Yahudi.

Medengar peristiwa ini, Rasulullah SAW langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah tidak berkutik lagi. Pembelaan tadi hanya atas dasar adanya ikatan aqidah. Inilah “ghirah”, yang Prof. DR. Hamka sifatkan sebagai “kecemburuan”.

Dalam lingkungan keluarga, “ghirah” perlu dibangun oleh pasangan suami/isteri. Misalnya, pengakuan Sa’ad Ibn `Ubadah: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang” Ketika mendengar ucapan tersebut, Rasulullah tidak mencelanya, bahkan Baginda bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburu Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” Rasulullah bersabda: “Tidak ada satu pun yang lebih “ghirah” daripada Allah. Karena “ghirah”-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak maupun tersembunyi.” Dalam hubungan inilah, Ibn Qayyim berkata: “Hal yang pokok dari agama ini adalah “ghirah”, maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama.”

Terus terang, “ghirah” model ini terpatri dan bersemi dalam jiwa orang Aceh. Di masa pendudukan Jepang, orang Aceh menyerang serdadu Jepang yang biasa mandi dalam keadaan telanjang di tempat-tempat umum, seperti: sungai dan pantai laut, supaya wanita-wanita Aceh menontonnya. Semasa pendudukan Belanda, orang Aceh tampil secara perorangan atau pasukan, menyerang serdadu Belanda karena tindakan pelecehan terhadap kaum wanita Aceh, marwah, harga diri bangsa dan aqidah Islam. Ketika perkara ini disadari sangat berbahaya, maka Belanda menyusun strategi dan melancarkan operasi secara rahasia dan sistematik untuk melucuti, hingga “ghirah” punah dalam budaya, keyakinan dan peradaban orang Aceh.

Sekarang--zaman modern--selain isu syahwat yang dilecehkan, juga atas nama pluralisme, umat Islam hendak digiring untuk mengakui bahwa semua agama adalah sama, sama-sama baik dan sama-sama benar. Dalam konteks inilah, penjabaran mengenai ayat ke-9 dari Surah Al-Mumtahanah oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, kiranya patut direnungkan: “Orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata: “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam. Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kosongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Jadi, “ghirah” sebenarnya suatu konsep membangun moral, karakter perorangan, umat, bangsa, dan mempertahankan aqidah; terutama yang berhubungan dengan kehormatan, harga diri, marwah, budaya, kepercayaan dan peradaban. Masihkah kini, masih kini kata-kata “ghirah” bersemi di hatimu, di hatimu, di hatimu?