Yusra Habib Abdul Gani
KATA “ghirah” tidak dikenal dalam literatur bahasa Melayu (Indonesia); oleh karenanya sulit memahami tanpa kita merambah masuk, melakoni, memahami kaedah, falsafah dan jiwa kata itu sendiri. “Ghirah” berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiyah berarti “kecemburuan” yang sifatnya positif dan progresif.
Jika melihat orang kaya yang dermawan dan tidak sombong, kita merasa “ghirah” untuk melakukan hal yang sama, bahkan kalau boleh melebihinya; jika menyaksikan sebuah keluarga yang hidup bahagia, kita merasa “ghirah” untuk membangun keluarga yang sama, bahkan kalau boleh melebihinya.
Rasa “ghirah” kepada Rasulullah misalnya, karena keteladanan beliau, yang menurut Aisyah--Isteri baginda--bahwa “akhlaq rasulullah adalah Al-Quran.” Lebih dari itu, merasa “ghirah” kepada Allah yang memiliki 99 nama (Asmaul Husna). “Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang baik)” (Surah Thaa-Haa, ayat 8); disebut juga dalam surah Al Israa’, ayat 110; surah al-A’raaf, ayat 180 dan surah Al-Hasyar ayat 24. Misalnya, Allah Maha Pembalas Budi (Menghargai), Bijaksana, Melindungi, Memberi Kesejahteraan, Memberi Keamanan, Penyantun, Pemurah, Pengasih, Penyayang, Pemberi rezeki, Pemaaf,dll. Dengan kata lain, sekiranya ada orang merasa “ghirah” kepada Asmaul Husna, maka insya Allah tercipta suatu negeri yang masyarakatnya merasa aman, harmonis, terlidung, sejahtera dan makmur. Inilah “ghirah”, yakni: kecemburuan yang tidak berpotensi menimbulkan permusuhan dan kejahatan, karena cemburu dalam bercinta, perniagaan dan memperebutkan status sosial,dll. Untuk itu, “Asmaul Husna”, perlu dipahami makna dan konteksnya, terutama yang berhubungan dengan moral dan kekuasaan dalam peradaban manusia; bukan untuk dipajang di tepi jalan raya, tiang yang bisu dan membeku, diacuhkan, dan dilècèhkan.
Secara maknawi, “ghirah” berarti juga “melindungi/membela”. Pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah SAW; di mana seorang muslimah membawa perhiasannya kepada seorang tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa’. Tiba-tiba datang sekelompok remaja Yahudi meminta supaya wanita ini membuka jilbabnya, bahkan sempat auratnya terbuka karena diganggu dan tukang sepuh menggantungkan kerudungnya. Saat dia menjerit, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda tadi langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Pemuda muslim ini pun, akhirnya dibunuh oleh orang-orang Yahudi.
Medengar peristiwa ini, Rasulullah SAW langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah tidak berkutik lagi. Pembelaan tadi hanya atas dasar adanya ikatan aqidah. Inilah “ghirah”, yang Prof. DR. Hamka sifatkan sebagai “kecemburuan”.
Dalam lingkungan keluarga, “ghirah” perlu dibangun oleh pasangan suami/isteri. Misalnya, pengakuan Sa’ad Ibn `Ubadah: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang” Ketika mendengar ucapan tersebut, Rasulullah tidak mencelanya, bahkan Baginda bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburu Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” Rasulullah bersabda: “Tidak ada satu pun yang lebih “ghirah” daripada Allah. Karena “ghirah”-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak maupun tersembunyi.” Dalam hubungan inilah, Ibn Qayyim berkata: “Hal yang pokok dari agama ini adalah “ghirah”, maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama.”
Terus terang, “ghirah” model ini terpatri dan bersemi dalam jiwa orang Aceh. Di masa pendudukan Jepang, orang Aceh menyerang serdadu Jepang yang biasa mandi dalam keadaan telanjang di tempat-tempat umum, seperti: sungai dan pantai laut, supaya wanita-wanita Aceh menontonnya. Semasa pendudukan Belanda, orang Aceh tampil secara perorangan atau pasukan, menyerang serdadu Belanda karena tindakan pelecehan terhadap kaum wanita Aceh, marwah, harga diri bangsa dan aqidah Islam. Ketika perkara ini disadari sangat berbahaya, maka Belanda menyusun strategi dan melancarkan operasi secara rahasia dan sistematik untuk melucuti, hingga “ghirah” punah dalam budaya, keyakinan dan peradaban orang Aceh.
Sekarang--zaman modern--selain isu syahwat yang dilecehkan, juga atas nama pluralisme, umat Islam hendak digiring untuk mengakui bahwa semua agama adalah sama, sama-sama baik dan sama-sama benar. Dalam konteks inilah, penjabaran mengenai ayat ke-9 dari Surah Al-Mumtahanah oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, kiranya patut direnungkan: “Orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata: “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam. Dan apabila ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kosongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Jadi, “ghirah” sebenarnya suatu konsep membangun moral, karakter perorangan, umat, bangsa, dan mempertahankan aqidah; terutama yang berhubungan dengan kehormatan, harga diri, marwah, budaya, kepercayaan dan peradaban. Masihkah kini, masih kini kata-kata “ghirah” bersemi di hatimu, di hatimu, di hatimu?
Wednesday, August 31, 2011
"GHIRAH" YANG HILANG
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 8:04 PM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)