Yusra Habib Abdul Gani
Kebudayaan, selamanya menjadi thema menarik untuk dibincang; bukan saja karena mengandung aspek pengetahuan, keterampilan, simbol komunikasi antara sesama manusia dan seni; akan tetapi juga karena ianya sebagai gerakan akhlak/moral. Dikatakan demikan, oleh karena akar kata ‘budaya’ berasal dari ‘Buddhayah’ [bahasa Sangskerta]; yang berarti: budi atau akal. Maka berbicara tentang kebudayaan, berarti membincangkan soal upaya membentuk dan menimbang kadar karat intelektual dan moral dalam peradaban kita. Inilah sesungguhnya saripati dari kebudayaan.
Walaupun kebudayaan berasal dari buah pikiran –bukan agama wahyu– tetapi dalam masyarakat Aceh diakui, bahwa budaya (termasuk resam dan adat-istiadat) berhubung erat, bahkan dipakai sebagai pelindung agama. Dengan kata lain: “Adat pagar agama” dan hubungan antara keduanya ’lagèë zat deungon sifeuët’. Dalam prakteknya didapati bahwa, phenomena agama sarat dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar pikiran manusia, eksistensi, logika dan hasil karyanya; dicoba diterjemahkan ke dalam bahasa untuk dipahami. Tetapi demi konsepnya sendiri, agama merupakan petunjuk hidup (wahyu Allah) bernilai universal bagi manusia itu memiliki nilai-nilai multak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya dalam pemikiran kebudayaan. Namun begitu, para ilmuan berusaha menguhubungkan antara keduanya –setidak-tidaknya– menguji “religion as an historical and social phenomenon, as the medium of tradition and communication among men.”[1]
Dalam pandangan Burkert, agama merupakan perantara yang bersangkut-paut antara tradisi, lintas pendapat, phenomena sosial dan kesejarahan dalam masyarakat. Ini suatu langkah maju dalam pemikiran sejarah, kebudayaan, tradisi dan agama itu sendiri. Pengakuan ini sebagai salah satu alasan utama ‘mengapa agama dalam realitasnya memiliki peran penting dalam tatanan kehidupan masyarakat.’ Dalam konteks ini dikatakan: “religion is a stabilizing factor of the first order in society. As such it appears in its enduring aspect, always a given tradition which is modified time and again but never replaced by something entirely new.”[2] Tegasnya, agama sebagai faktor penyeimbang dalam tatanan sosial. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa benturan-benturan antara konsep moral dan nilai-nilai tradisi yang bersumber dari budaya, yang bersifat dogmatis dan bersumber dari agama tetap saja terjadi. Bukan saja itu, dalam peradaban manusia yang berbilang kaum, gèsèsan dan konflik antar budaya sulit dielakkan. Jadi, apa pun alasan dan motif perselisihan faham tentang kebudayaan, semestinya ia tetap berada dalam koridor moral, akal dan pengetahuan. Perkara inilah yang merangsang kita untuk segera merumuskan definisi kebudayaan yang baku, konsep, bentuk, aktivitas, cakupan, standarisasi dan korelasi kebudayaan yang bercorak ke-Aceh-an; khususnya mengenai eksistensi bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Kluet dan Jamèë. Secara nazhriyah (teoritis), masalah budaya, bahasa dan sejarah sering didiskusikan dalam Seminar atau forum ilmiah lainnya, namun secara amaliyah (praktis) belum nampak impact positifnya dalam masyarakat, apalagi mewujudkan bahasa ini sebagai alat berpikir untuk meluahkan ide dalam tulisan ilmiah.
Kita baru memiliki kamus, tetapi belum dijumpai buku-buku yang ditulis dalam bahasa Aceh atau Gayo yang membahas ikhwal agama atau ilmu pengetahuan umum berstandard ilmiah. Belum ada orang dan lembaga bahkan Pemda sekali pun yang mempelopori penerbitan Suratkabar atau Majalah budaya (bulanan), media visual (TV) dalam bahasa Aceh dan Gayo. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Malaysia; dimana Suratkabar, Majalah Keluarga dan hiburan populer diterbitkan dalam bahasa Melayu, Cina, Tamil dan Inggeris, termasuk tayangan TV dengan beragam bahasa. Secara jujur mesti diakui bahwa, bahasa Aceh dan Gayo hanya dipakai dalam lingkungan terbatas (keluarga dan dalam komunitas tertentu). Orang Aceh tidak seluruhnya mengenal huruf abjad, menulis, tidak mampu berpikir cepat dan ilmiah dalam bahasa Aceh atau Gayo, dibandingkan menulis dan berpikir dalam bahasa Melayu (Indonesia).
Jika tidak diupayakan perumusan konsep, akan mendatangkan malapetaka kebudayaan dalam peradaban kita dan para budayawan akan mengekor kepada mazhab Charles Tailor, yang memasukkan hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia –termasuk agama– ke dalam definisi ’culture’ dan lebih jauh dikatakannya: ”tindakan-tindakan kultural kita bukan hanya bersifat pribadi atau subjektif, melainkan dibentuk secara sosial; itulah ’intersubjektive’.” Demikian pula W. A Haviland, yang memberi definisi ’culture’ sbb: ”peraturan standard yang jika dipatuhi oleh suatu masyarakat, akan menghasilkan prilaku yang dianggap layak dan diterima oleh masyarakat lain.” Selain itu, Clifford Geerlz mendefinisikan ’culture’ begini: ”sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna dari hidup kita yang dikenali lewat sistem simbol-simbol.” Definisi ketiga antropolog di atas semata-mata berangkat dari ’culture’ yang mereka kenali dalam struktur masyarakat tertentu yang beraneka ragam coraknya, sekaligus merumuskan nilai-nilai dan kredibelitas budaya. Pada hal temuan mereka sangat berbeda dengan konsep ‘Buddhayah’ yang kita miliki dan maksudkan. Oleh karena kita belum mampu merumuskan konsep dan bentuk-bentuk kebudayaan menurut pikiran kita, maka selama itu pula terperangkap dengan postulate kebudayaan asing yang kandungan dan missinya belum tentu relevan dengan agama (Islam), nilai-nilai tradisi dalam peradaban kita.
Dalam konteks kebudayaan, nampaknya kita masih mencari-cari identitas. Budaya dan tradisi kita sedang berada di persimpangan jalan, tidak bisa mengelak dari arus globalisasi informasi dan budaya yang berlangsung lewat interaksi dan asimilasi budaya yang terus-menerus merapatkan antara kelompok budaya dengan kelompok budaya lain, bahkan interaksi budaya antara suatu bangsa dengan bangsa lain. Silang budaya tadi, di satu sisi bisa saja saling memajukan, menghidupkan, melengkapi, memodikasi bentuk –mungkin rusak atau indah– dan di sisi lain, akan dikuasai dan hilang, karena kalah dalam pertarungan budaya untuk saling menguasai dan bahkan mematikan suatu salah satu daripadanya. Pengaruh dari interaksi budaya tadi bisa dirasakan dari ’trend’ masyarakat yang ganderung meniru budaya dan bahasa asing, sebaliknya merendahkan prestige budaya, tradisi dan bahasa asli. Kini saatnya kita menentukan pilihan! Mengakui dan menghormati budaya kita bukan berarti menolak sepenuhnya kehadiran budaya asing. Kita menerima budaya dan bahasa asing dalam batas-batas tertentu, sejauh tidak merusakkan akar budaya kita.
Dalam kaitan ini dikatakan: ”... Salah satu sikap salah kita, yaitu: seolah-olah bahasa Inggeris boleh memperkatakan ilmu modern dan bahasa Melayu tidak mempunyai kemampuan langsung. Hakikat sebenarnya ialah manusia Melayu itu. Dialah yang penting, jika dia berilmu, tidak kira dalam bahasa apa pun ilmu itu disampaikan, dia mencatat kemajuan. Orang Perancis, walau pun tahu berbahasa Inggeris, tidak mau memakai bahasa tersebut, sebaiknya dengan tegas menggunakan bahasa kebangsaan mereka.” [3] Betapa pentingnya bahasa bagi suatu masyarakat dan bangsa, sehingga Perancis bersedia menjadi promotor dalam aksi kampanye supaya negara-negara Caribian sampai Indocina yang termasuk dalam ”Lafrancophonie” (”kumpulan negara-negara berbahsa Perancis”) tetap bertutur dan mempertahankan bahasa Perancis. Dalam Sidang Istimewa tahun 1993, Perancis menegaskan dan mau supaya 47 negara anggota kumpulan itu memperluas peranannya, bukan saja mempopulerkan bahasa dan kebudayaan Perancis, tetapi juga diplomasi internasional bagi melindungi dari pengaruh penguasaan bahasa Inggeris (Amerika Serikat). Tegasnya menantang arus pengaruh penguasaan kebudayaan Anglo-Saxon, khususnya dalam konteks hak budaya. Diantara prestasi gemilang dalam diplomasi kebudayaan Perancis ialah: ditetapkannya bahasa Perancis sebagai bahasa resmi yang tertera pada Kop Surat PBB (UNHCR). Sekali lagi, kita tidak menolak cerita roman atau kesejarahan asing, sejauh ianya mampu membangkitkan imajinasi dan ide untuk menghidupkan kembali khazanah budaya. Kisah Doremon atau Atromen dalam siri film karton Jepang misalnya; yang secara sengaja menitipkan nilai-nilai budaya Jepang, mulai dari nama tokoh, pakaian, lingkungan alam, wajah pelaku dan kebiasaan-kebiasaan yang disajikan, nampak berteraskan budaya Jepang dan diterima di seluruh dunia. Dalam perluasan cerita ini jelas nampak unsur dagang, dengan menjual kartu dan patung Doremon-Atromen yang membuat anak-anak seluruh dunia ’gila’ membelinya.
Inilah diantara cara dan taktik Jepang mengubur kesan negatif semasa perang Dunia ke-2 demi memulihkan image kepada generasi dunia di masa mendatang. Cerita fiksi asing ini bisa diambil idenya, sehingga khazanah budaya (cerita rakyat), seperti: ”Amat Rhah Manyang”, ”Atu Belah” dan ”Malim Dewa” yang sudah terkubur, menjelma kembali dalam bentuk novel dan atau mem-film-kan. Kebudayaan, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dari cara berpikir, kreasi, politik, ekonomi, identitas, falsafah dan kehidupan keagamaan. Jadi, ‘gerakan politik nilai-nilai’ dalam konteks kebudayaan bisa ditafsir, dipahami dan diserap lewat cerita rakyat, sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Hiraclitos di Yunani, dimana para seniman dan budayawan memanfaatkan dialog dalam drama ”Antigone” dan “Olympus” sebagai suatu ‘gerakan politik nilai-nilai’ dan sekaligus ajakan agar rakyat selalu peka terhadap nilai-nilai budaya dan politik, menyikapi ketidak-adilan, tindakan sewenang-wenang, kebenaran dan keadilan. Masalahnya: budayawan kita tidak punya nyali, kekurangan ide dan pengecut.
Satu hal yang menarik dan harus perhatikan dalam perbincangan budaya; bahwa dalam tubuh kebudayaan, melekat di dalamnya karateristik, mudah memotret dan mengenali dari dekat streotype dari pemilik budaya. Melalui penelitian dan kajian intensif, orang akan menemukan kunci untuk membuka benteng kekuatan budaya dan menakluki pemilik budaya (masyarakat atau negara) tersebut. Sebagai contoh: hasil penelitian Francis Xavier (seorang pakar peneliti sastera Melayu yang diutus oleh Portugis sebelum memerangi Melaka tahun 1511) sangat menarik untuk disimak. Xavier menyimpulkan, bahwa bangsa Melayu adalah orang mata duitan, irihati dan dengki. Mula-mula dia terfokus kepada bait pantun: "Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang. Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah." Ini refreksi patriotisme dan heroisme orang Melayu. Tetapi Xavier tak mau berhenti sampai di sini. Dia terus menelusuri lebih jauh jejak-jejak dan menyibak rahasia di sebalik sastera Melayu, hingga menemukan bait pantun: "Puas saya bertanam keladi, Nenas juga ditanam orang; Puas saya bertanam budi emas juga dipandang orang." Ini yang sangat menarik dalam sorortan Xavier. Maka untuk membuktikan kadar kekuatan politik dan militier kesultanan Melaka, Portugis melakukan ujian.
Untuk itu, dalam kunjungan resmi ke Melaka tahun 1509, diplomat Portugis sengaja memberi kalung emas kepada Bendahara kesultanan Melaka dan tidak memberi apa pun kepada Mahmud Syah (Sultan Melaka.) ”Rupanya, Nina Chattu dan Uthimutha (pegawai Istana Melaka keturunan India), sudah lebih awal diloby (diperalat) oleh Alfonso D´ Albuquerque (dinas intel Portugis) yang menjanjikan sesuatu kepada mereka. Atas dasar janji inilah, keduanya menghembuskan berita ini di kalangan Istana, hingga muncul keretakan dalam pemerintahan Mahmud Syah. Dalam situasi kacau-balau itulah, Portugis menyerang Melaka tahun 1511. Diakui bahwa, kejatuhan Melaka tidak terlepas dari konspirasi politik tadi.” [4]
Di sini terbukti bahwa pantun: "Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah" dipadamkan oleh bait: "Puas saya bertanam budi: emas juga dipandang orang." Ternyata diagnoze Xavier akhirnya terbukti. Jatuhlah Melaka ke tangan Portugis!
Di Aceh lain pula kisahnya. Salah satu faktor penyebab gagalnya serangan Belanda ke atas Aceh tahun 1873, karena Belanda belum menemukan kunci budaya dalam serangannya. Bangsa Aceh punya falsafah: ”Nibak singèt got meutunggéng; nibak tjeurah got beukaih” Secara moral berarti: orang Aceh lebih memilih mati syahid daripada hidup dijajah. Falsafah ini dijabarkan lebih lanjut dalam ’Hikayat Prang Sabi’ yang mengobarkan semangat patriotisme dan hiroisme Aceh. Tetapi menjelang tahun 1880-an, pakar psyckhology perang, ditambah lagi setelah kedatangan penasehat militer Belanda (Snouck Hurgronje) ke Aceh, yang berpendapat bahwa ’Hikayat Prang Sabi’ ini sangat berbahaya, sebab di mata orang Aceh, Belanda adalah orang kafir dan perang melawan kafir disifatkan sebagai Perang Suci (Holy War), yang kalau gugur dalam medan perang berarti mati syahid. Apa pun dalihnya, pakar psychology perang Belanda tidak mau kecut dengan kegarangan falsafah dan ’Hikayat Prang Sabi’. Di sela-sela itu, mereka menemukan pepatah yang bisa membuka tabir atau aurat moral politik Aceh, yakni: "Meunjoë bak pèng gadoh djanggôt" (dengan uang, janggut bisa hilang).
Inilah yang membangkitkan semangat petinggi militer Belanda. Orang Aceh diklasifikasikan sebagai gila wanita, harta, gelar, kuasa dan pengkhianat. Maka, dalam sejarah perang melawan Belanda, Aceh terperangkap dengan kekuatan jaring-jaring budaya yang dipasang Belanda. Banyak pejuang dan politisi Aceh akhirnya tergilas oleh kenderaan ’tank tank’ budaya –pèng grék, gelar, pangkat dan penghargaan– misalnya saja: Habib Abdurrahman Zahir (Menlu Aceh) yang terperangkap oleh tawaran juru runding Belanda saat berunding di Pulau Pinang, tahun 1875. Dia kemudian berkhianat kepada negara Aceh dengan menikmati fasilitas perumahan dan jaminan biaya seumur hidup selama tinggal di Saudi Arabia dan ratusan gelar dan pangkat yang ditabur kepada Ulèëbalang dan kepada kombatan perang yang mengkhianati Aceh. Dengan taktik inilah Belanda, yang kendati pun selalu dalam keadaan ketakutan dan tidak pernah merasa aman di bumi Aceh, tetapi mampu juga bertahan selama puluhan tahun (1874-1942).
Perjuangan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Tengku Daud Beureu’eh (priode 1953-1961), ”yang secara militer dan politik sudah berdaulat selama 4 bulan di Aceh, khususnya wilayah Aceh Tengah dan Aceh Utara”[5], akhirnya menerima paket: ”Aceh Daerah Istimewa” dalam bidang: pendidikan, budaya dan syari’at Islam. Penerimaan ini, secara moral tidak terlepas dari falsafah: : ”Nibak buta got juléng, nibak putôih got geunténg.” Daripada tidak wujud NII (wilayah Aceh); lebih baik terima gelar ”Aceh Daerah Istimewa” –sekurang-kurangnya berdiri Unsyiah– pemberian rezim Soekarno kepada Aceh, sebagai gelar susulan ”Aceh Sebagai Daerah Modal” dari Soekarno tahun 1948, disertai dengan pemberian kompensasi –pèng grék– kepada petinggi D.I Aceh.
44 tahun kemudian, GAM yang punya cita-cita dan berjuang memerdekan Aceh, akhirnya menerima paket ’self government’ dalam MoU Helsinki (15/08/2005) –yang menurut Ketentuan Umum UUPA adalah Otonomi khusus yang diperluas– dan mengakui kedaulatan dan konstitusi Indonesia di Aceh. Penerimaan ini, secara moral berkaitan dengan falsafah: "Meunjoë ka seupakat, lampoh djeurat ta peugala" ("Kalau sudah sepakat, tanah kuburan kita gadai. ") Secara simbolik dan atau refleksi dari falsafah ini dapat disaksikan dari pernyataan ini: ”… GAM telah membuat banyak konsesi.” [6] dan ”Apapun hasilnya, MoU ini mesti ditanda tangani.” [7] Bukti lain misalnya: ”Apakah para perunding GAM lebih baik pulang dengan tangan kosong dari Helsinki dan membiarkan perang terus berlanjutan dalam suasana bencana tsunami yang baru menelan lebih dari 230.000 nyawa rakyat Aceh?” [8]
Pernyataan ini merupakan refleksi dari falsafah dagang politik Aceh: ”Bloë Siploh, peubloë Sikureuëng, dalam ru-euëng njan mita laba” (Beli sepuluh, jual sembilan, dalam ruang itu cari laba”) Ini ‘total materialistist’, yang tidak mau rugi sepeser pun. Artinya: sah-sah saja kecundang di Helsinki –mencampakkan cita-cita merdeka dan menerima konsep Otonomi Khusus yang diperluas, yang dalam realitasnya juga banyak point-point MoU yang tidak bisa direalisasikan, karena dijabarkan lebih lajut dalam UUPA dan perlu perangkat hukum seperti: Inpres, Kepres, qanun dll, yang seharusnya sudah ada aturan petunjuk, satu tahun setelah UUPA disahkan– tapi dalam ruang kekalahan itu mencari dan memperoleh laba, seperti: menjabat Bupati, Sekjen dan anggota BRR, Ketua dan angota BRA, Ketua, wakil dan anggota DPRA/DPRK dan munculnya klass bourgeois baru di Aceh.
Sekarang, aurat moral politik dan budaya Aceh sudah dikenal orang secara meluas. Oleh sebab itu, untuk membina suatu bangunan peradaban dan masa depan Aceh yang cerah dan mulia; Aceh harus merumuskan konsep, standarisasi, struktur kesadaran budaya dan politik baru, pemikiran baru dan falsafah modern, strategi untuk merekonstruksi rasa kebanggaan ke-Aceh-an kembali. Hanya saja, sejauh mana komitmen penguasa Aceh dalam menyahut dan mengagihkan dana dan penyediaan sarana. Terus terang, strategi budaya kita belum tiba ke tahap mempengaruhi dan menawarkan sesuatu kepada dunia luar. Di hadapan kita musuh menyerang dengan bersenjatakan: ”mission sivilstrice”, ”The white men’s burden”, ”culture colonialism and imprialism” dan ”saving natives” dan menerobos benteng kebudayaan dan kesejarahan kita dengan peluru tanpa suara. Bangun dan megahkan, sembari mencari daya tangkal untuk menghadapi serangan budaya asing tersebut, agar budaya kita selamat, terhormat, tidak terkikis dan terusir.
Referensi:
[1] . Walter Burkert. ‘Homo Necans. The Anthropology of Ancient Greek Sacrificial Ritual and Myth’, halaman xxii. University of California Press, 1983.
[2] . Idem, xxiii
[3] . Prof Dr. Nafsiah Karim, Guru besar Universitas Malaysia. ‘Persoalan Masyarakat Melayu Menjelang Abad ke-21: Perspektif Bahasa’. “Utusan Malaysia”. Malaysia, medio 1996,
[4] . Armando Cortesao. ‘The Suma Oriental of Tome Pires’. Halaman 287. London, 1994
[5] . Cornelis van Dijk. Darul Islam: sebuah pemberontakan. Grafiti Pers,1983
[6] . Pernyataan Tengku Malik Mahmud pada Upacara penandatanganan MoU GAM-RI, Helsinki, 15. Agustus 2005.
[7] . Pernyataan Tgk. Usman Lampohaweé dari Penjara Sukamiskin, Jawa Barat. Acehkita.com, medio tahun 2005.
[8] . Nur Juli (Mantan Perunding GAM). ‚Arti Kunjungan Martti’. Kolom: Opini Serambi Indonesia, 20. Nopember 2010.
Monday, January 30, 2012
Phenomena Kebudayaan dan Falsafah Aceh
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 11:55 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 Comments so far
kunjungan gan .,.
bagi" motivasi .,.
jangan pernah mengeluh dengan apapun .,.
tetaplah semangat dan nikmati semua.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.