Monday, January 30, 2012

Merangkai Kearifan Aceh

Yusra Habib Abdul Gani

SUATU hal penting yang kerap luput dari perhatian dan kurang dipahami adalah: konstruksi sosial-politik yang kita saksikan; bukan saja harus diterima sebagai suatu konsensus, tetapi juga menerima perbedaan-perbedaan, termasuk konflik sekalipun. Ini romantika dan dialektika sosial yang normal –bukan saja normal, mungkin juga baik atau terbaik dalam pandangan manusia– karena ’ego jahat’ dan ’ego baik’ dalam diri/jiwa manusia; yang secara simbolik disebut ’fujur’ dan ’taqwa’ (Q: 91 ayat 8), selamanya terjadi pertarungan untuk saling mempengaruhi dan mengalahkan. Aksioma psycho-sosial ini wujud dalam pelbagai bentuk benturan fisik, seperti: perkelahian, demontrasi, kerusuhan dan perang. Sementara benturan non-fisik, seperti: perbedaan pendapat, idé, mazhab dan penafsiran. Jadi, ”jangan berpikir bahwa kita secara mutlak bergantung kepada suatu dunia, karena kita sebetulnya perlu kedamaian dalam diri kita-sendiri dan dalam hubungan kita dengan yang lain. Dunia mengakui kekerasan, tetapi di saat peradaban kita nampak lemah untuk mengamankan diri kita; ketika pula kita nampak kehilangan harapan.” (Maclntyre. The Peaceable Kingdom. Brenda Almond, The Sources of Public Morality – on The Ethics and Religion Debate.) Berangkat dari sini, diharap agar siapapun mesti peka terhadap phenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam teori konflik, untuk mengubah dari kisruh kepada damai, memerlukan suatu proses dan melibatkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti: psychology, sociology dan hukum yang mengedepankan pendekatan persuasif, toleran, kearifan yang diangkat dari agama dan budaya. Lebih dari itu, perlu ada figur yang punya konsep untuk menamatkan suatu konflik. Dengan begitu: “beruntung bagi mereka yang mensucikannya” (Q: 91, ayat 9). Upaya demikian perlu motivasi yang boleh mendorong supaya konflik diselesaikan secara komprehensif. Jika tidak, maka “rugi bagi mereka yang mengotorinya.” (Q: 91, ayat 10).
Dalam pandangan umum, konflik selalu dikaitkan dengan ‘form’ budaya atau peradaban suatu masyarakat dan bangsa, yang boleh melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, konflik boleh menyadarkan sesorang, segolongan masyarakat dan suatu bangsa dari pengalaman buruk yang pernah berlaku dan berhasrat untuk tidak mengulanginya. Ianya merupakan pelajaran berharga untuk membangun kembali semangat, kesadaran dan kepentingan nasional baru. Jepang misalnya: mulai membangun sejak gerakan Restorasi Meiji (Meiji Ishin) dicetuskan oleh Sakamoto Ryōma tahun 1866, tetapi hancur-lebur semasa perang Dunia ke-II tahun 1945. Hanya satu yang diminta kepada kekuatan sekutu: Lembaga Kekaisaran Jepang jangan dihapus!. Selain insaf atas kesalahan yang pernah dibuatnya, Jepang juga berhasil mengalihkan image buruk menjadi form peradaban baru, merangkai kembali fragmen-fragmen kearifan yang tertimbun dan mengembangkan sains tehnologi hingga mampu menyetarakan, bahkan mengungguli kemajuan ekonomi dan tehnologi Barat. Kedua, konflik tetap diperlihara sebagai sentimen pribadi, clan, ethnis suatu masyarakat dan negara untuk diwariskan. Disini, luka lama (dendam) akan meledak seperti gunung berapi. Sentimen yang sudah berakar akan membiak dalam bentuk form konflik; sesuai dengan scenario. Inilah yang terjadi di Somalia, konflik yang tak berujung. Ketiga, faktor-faktor penyebab konflik masa lalu disimpan sebagai boom waktu oleh pihak tertentu dan pada saat tepat, dihidupkan dan dipakai sebagai konspirasi untuk mengobok-obok antara sasama masyarakat atau faksi dengan cara mempertajam perbedaan keberagaman budaya, kepentingan, pandangan, sehingga koflik terus mengalir sepanjang jalan sejarah peradaban. Indikasi ini nampaknya wujud di Aceh.
Berbanding dengan Jepang yang hanya tiga tahun dilanda konflik (1942-1945) mampu eksis kembali; konflik antara Aceh-Belanda berlangsung selama 69 tahun (1873-1942), disambung lagi konflik Aceh-Jepang selama 3 tahun (1942-1945). Aceh yang kaya pengalaman, seharusnya mampu menyulam nilai-nilai peradabannya yang pernah gemilang. Sayang, kedua peristiwa ini secara kejiwaan, ternyata berefek negatif, yakni: orang Aceh tidak kehilangan percaya diri, merasa rendah diri dan merasa ketergantungan kepada penjajah. Kelainan jiwa ini dalam psychology dinamakan ‚inferiority-complex‘. Terbukti, ketika Jepang sudah takluk kepada serdadu sekutu; segelintir kaum Ulèëbalang berusaha supaya Belanda berkuasa kembali di Aceh; sementara PUSA ingin pemerintah RI berkuasa di Aceh. Untuk itu, perjuangan Tengku Thjik di Tiro diperalat oleh Ulama Aceh yang antara lain menyebut: „... perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Tgk. Tjhi'k di Tiro....“ [Maklumat Ulama Seluruh Aceh, 15 Oktober 1945, yang ditandatangani oleh: (1). Tgk. Hadji Hasan Kruëng Kalé, (2). Tgk.M.Daud Beureu-eh, (3). Tgk. Hadji Dja’far Sidik Lamjabat, (4). Tgk.Hadji Ahmad Hasballah Indrapuri, T.Njak Arif dan Tuanku Mahmud.] Pernyataan ini dikeluarkan, justeru di saat masa depan, status Aceh tidak menentu dan orang Aceh tidak bersatu. Kenyataannya, dalam rentang masa desember 1945-februari 1946, Ulama PUSA-Ulèëbalang (dua kelompok yang dihormati, berpengaruh dan punya massa) terlibat perang saudara. Jika mereka terlibat konflik berdarah; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif? Ujung-ujungnya, pemerintah RI menyelesaikan dengan memberi abolisi melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri RI NO. 14/Keh.WKPM, tgl. 21 Desember 1949.
Konflik antara Darul Islam (DI-Aceh) dan RI tahun 1953-1962, mula-mula disepakati MoU tentang penghentian permusuhan antara RI-DI-Aceh, 5 April 1957. Syama’un Gaharu (putra Aceh), penguasa perang saat itu berkata: ”yang bertemu bukan aparat pemerintah dengan para pemberontak DI Aceh, tetapi putra Aceh dengan putra Aceh lainnya antara sesama orang Aceh, yang sedang membicarakan masalah Aceh. Hasil musyawarah inilah kemudian dinamai „IKRAR LAMTÉH“ yang berisi: (1). Menjunjung tinggi kehormatan Islam (2). Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh. Butir-butir ini selanjutnya dijabarkan kedalam SK Perdana Menteri No. 1/Misi/1959. Pada awalnya faksi Tengku Daud Beureuéh, Hasan Ali, Tengku Ilyas Leubé, dkk. menghendaki supaya pelaksanaan SK tersebut diatur dalam Undang-undang; sementara faksi Hasan Saleh (pelaku Kudeta atas kepemimpinan Tengku Daud Beureuéh, pada 15 Maret 1959) dan Husen Mujahid, dkk. merasa puas. Rupanya konflik intern terjadi di kalangan pimpinan pergerakan DI-Aceh. Konflik intern ini, semakin memperkuat missi Let. Kol. Syama’un Gaharu (penguasa perang) dan Ali Hasymi (Gubernur Aceh) untuk menamatkan konflik. Akhirnya, gerakan DI-Aceh diselesaikan dengan SK Perdana Menteri No. 1/Misi/1959. Tuntutan supaya pelaksanaan SK ini diatur dengan UU ditolak, ditukar dengan Surat Keputusan No. KPTS/PEPERDA-61/3/1962, dikeluarkan oleh penguasa perang, tgl. 7 April 1962. Tengku Daud Beureuéh akur dan turun gunung.
Menyusul kemudian konflik antara GAM-RI (1976-2005). GAM menuntut merdeka, sementara pemerintah RI mau GAM menyerah tanpa syarat. Akhirnya dicapai kompromi „Aceh tetap dalam NKRI dengan Otonomi khusus.“ di Helsinki, 15 Agustus 2005. (Hamid Awaludin. Damai Di Aceh, hlm. 36. Centre for strategic and International studies, 2008). Putaran sejarah Aceh berulang ketika Gubernur Aceh –sebagai simbol pemersatu– DPRA + KIP + KPU –simbol demokrasi tempat rakyat mengadu– terlibat konflik karena perbedaan pendapat soal calon independen dan tahapan pilkada. Masing-masing merujuk kepada pemerintah pusat, ketimbang bermusyawarah antar lembaga untuk diselesaikan di Aceh. Nampaknya, mekanisme penyelesaian konflik antar lembaga belum ada ‚rule of the gam‘-nya di Aceh. Akhirnya dirujuk ke MK, Mendagri dan Presiden. Masalahnya; jika para elite politisi Aceh terlibat dalam konflik; lantas kemana rakyat mengadu dan siapa lagi orang Aceh yang arif? Seharusnya, pengalaman masa lalu dapat memberi ´iktibar dan Aceh bangkit membangun masyarakat dan pemerintah yang bertamadun berteraskan nilai-nilai moral seperti: rasa malu, percaya diri, berilmu, rendah hati, toleransi dan menjaga marwah. Aceh akan hidup, jika tidak mengulangi kesalahan masa lalu; sebaliknya akan mati, jika terus mengulangi kesalahan yang pernah dibuatnya.

Bagaimana menyulam kearifan?
Jawabannya tersimpan dalam peradaban Aceh masa lampau, yang kaya dengan keberagaman budaya dan ethnis, seperti: ethnis Aceh pesisir berbasis India, Tamil/Kling, Arab, Portugis, Gayo, Klut, Haloban, Aneuk Jamèë dan Melayu Temiang. Pemimin (politisi) Aceh pada masa itu, nyatanya mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis. Didapati pula sebilangan kerajaan kecil, seperti: kerajaan Seudu, Purwa Indra, Indra Puri, Indra Patra, Meureudu, Jeumpa, Peureulak, Linge dan Pasé; yang suatu ketika dahulu pernah terlibat dalam konflik. Ternyata, Syèh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan berhasil menanamkan kesadaran bahwa: kebersamaan hak, persatuan, toleransi, persaudaraan dan menghargai HAM, musyawarah merupakan prasyarat dalam suatu negara. Ini sesuai dengan anjuran: “… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. 49:13) dan atas dasar kesadaran itu mereka sepakat menyatukan diri kedalam kesatuan negara Aceh Darussalam yang berdiri pada 1. Ramadhan 601 H. Selain itu, karena budaya Aceh sebati dengan nilai-nilai Islam, maka kembali semua kepada konsep: ”Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q: Fushilat, 34). Konflik politik yang kusut di Aceh, insya-Allah boleh diselesai oleh orang Aceh sendiri, tanpa harus melibatkan pihak luar, sekiranya sadar dan paham bahwa: „... disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu....”(Q: Ali-Imran, 159). Ini paradigma penyelesaian konflik universal. Sayangnya, kemampuan menyatukan berbilang kaum, kerajaan-kerajaan kecil dan mengedepankan musyawarah-mufakat –déskrispi kearifan Aceh suatu masa dahulu– sudah terkubur. Adakah figur politisi Aceh mampu menysulam kerarifan itu kembali? Wallahu’aklam bissawab!

Artikel Terkait