Tuesday, March 28, 2017

Mahalnya Ultimatum Perang Belanda-Aceh

Perang Aceh-Belanda
PROKLAMASI perang kolonial Belanda pada 26 Maret 1873 ke atas Aceh, merupakan klimaks dari luapan emosi yang tidak terkendali, ditindih pula oleh logika ’keniscayaan’ yang percaya bahwa jika Aceh berhasil dicaplok, niscaya sempurnalah sudah prestasi kolonial Belanda di wilayah ’Nederlands East Indie’, karena Aceh-lah satu-satunya negeri terletak paling ujung Sumatera yang belum berhasil ditakluki oleh Belanda. 


Selain itu, Aceh dianggap aral-perintang kelancaran lintas dagang Belanda melintasi Selat Melaka menuju kawasan dunia Arab dan Eropah –terutama setelah Terusan Suez beroperasi pada 1869– karena Aceh-Inggeris berpengaruh dan merupakan pemegang kuasa di Selat Melaka berdasarkan perjanjian (1603) dan (1819). Pada hal melalui Traktat London 1824, Belanda–Inggeris berjanji menghormati kedudukan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat dan menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh. 

Untuk memperkuat komitmennya, Belanda-Aceh menandatangani perjanjian pada tahun 1857. Di belakang layar, Belanda melancarkan provokasi supaya Inggeris membatalkan perjanjian Raffles (1819) dengan Aceh, karena isinya dianggap merugikan seluruh orang Eropah, kecuali Inggeris. Di luar dugaan, Inggeris pun terpedaya dengan provokasi ini, sehingga lahirlah perjanjian Sumatera tahun 1871, dimana Inggeris memberi laluan kepada Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan militer.

Berbekal logika ’keniscayaan’ dan sokongan Inggeris, maka sebuah kapal perang Belanda merapat ke perairan Aceh dan E.R Krayenhoff (juru runding Belanda) yang berada dalam kapal itu menitip pesan singkat: ’Aceh mesti menyerah kepada Belanda atau menyediakan satu kota untuk pangkalan militer Belanda’ (The New York Times, 6 Mei 1873), yang mengutus Sidi Tahil menyampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah missi E.R Krayenhoff ini gagal, kapal itu menghilang dari perairan Aceh. Barulah kemudian muncul Ultimatum perang pada 26 Maret 1873, berisi: (1). Aceh supaya menyerah tanpa syarat, (2). Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda, (3). Hentikan melanun di Selat Melaka, (4). Serahkan semua wilayah Sumatera yang berada di bawah perlidungan Aceh dan (5). Putuskan hubungan diplomatik dengan kekhalifahan Utsmaniyah Turki.

 Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropah yang pernah mengalahkan Inggeris, di Afrika, Amerika Laten dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan Belanda di atas belahan dunia. Apapun dalihnya untuk menyerang Aceh, Belanda telah mengenyampingkan segala pertimbangan etika moral yang sanggup mengkhianati isi Traktat London 1824 dan perjanjian 1857 dan tidak sadar kalau Belanda melancarkan perang (Ultimatum 1, 2, 4 dan 5) ke atas Aceh (sebuah negara berdaulat dan merdeka). Sebelumnya, pemerintah Turki dan pegawai sivil kolonial Belanda sudah menyampaikan nasehat kepada Raja Belanda supaya tidak menyerang Aceh, karena permasalahan Aceh tidak sama dengan yang berlaku di Jawa dan di Siak. ‘Aceh mempunyai kekuatan pertahanan, hubungan ekonomi dan politik Internasional dengan Inggeris, Perancis dan Amerika Syarikat. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 55). L.W.C. Keuchenius (anggota Raad van Indë 1859-1864) juga mengutuk keras rencana Belanda menyerang Aceh, begitu pula James Loudon (Gubernor Jenderal Hindia Belanda (1861-1874) berpendapat bahwa ’setiap perluasan kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara, disifatkan sebagai satu langkah lebih dekat menuju keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda, akan merendahkan wibawa, menelan kepahitan dan bermulanya kehancuran ekonomi Belanda, sekaligus memperjudikan nasib penduduk bangsa Eropah (78,000 orang) yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda.’ Artinya, jika perang dimenangkan oleh Belanda, sudah tentu berakhir bahagia. Tetapi jika berlaku sebaliknya, maka seramai itulah orang Eropah merana dan hancur masa depan usahanya. Multatuli juga mengutarakan: ‘Pemerintah Belanda melakukan provokasi yang dibuat-buat tanpa alasan yang masuk akal sehat untuk memerangi Aceh. Jika hal ini terjadi, maka tindakan Belanda adalah merampas kedaulatan Aceh. Perbuatan demikian sungguh tidak berbudi, tidak jujur dan tidak bijaksana. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 24). Loby yang dibangun untuk mengelak dari terjadinya perang dikesampingkan. Seiring dengannya, F.N. Nieuwenhuijzen (ketua juru runding Belanda) secara sepihak menyampaikan laporan palsu kepada Pemerintah Turki bahwa Aceh kerap melakukan lanun di Selat Melaka. Hal ini dianggap merugikan kepentingan ekonomi Belanda. Adalah tidak bermoral dan keji, jika hanya karena alasan untuk membangun mahligai kolonialisme –kejayaan, kekayaan dan Kristianisasi– yang turut dimotori oleh kaum Puritan, ilmuan, politisi dan militer Belanda menyerang Aceh, yang terbukti tiada apapun harta kekayaan Aceh Belanda angkut ke Batavia dan Belanda. Perang Aceh-Belanda yang melelahkan selama 69 tahun ini, tidak diselesaikan menurut prosedur hukum perang, Resolusi PBB 1960, hasil Sidang PBB 1970 dan penerapan ‚Veinna Convention’ 1978. Belanda telah membayar mahal Ultimatum perang ini, selain mencoreng reputasi Belanda di mata dunia, mengorbankan 100.000 jiwa mati, puluhan ribu yang cedera di pihak Belanda, juga seluruh perusahaan pemerintah kolonial Hindia Belanda gulung tikar dan musnahnya masa depan 78,000 orang Eropah yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti dibayangkan oleh James Loudon (penandatangan Ultimatum); Aceh juga telah membayar mahal perang ini, bukan saja kehilangan 250.000 pejuang Aceh yang gugur dalam medan perang, 1.500 orang mengalami dipresi dan sakit jiwa. (Paul Van ‘t Veer: 1985), akan tetapi Aceh, juga gagal memanfaatkan peluang untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh –meletakkan Aceh semula sebagai sebuah negara merdeka– ketika Belanda sudah berhasil diusir dari bumi Aceh tahun 1942. Bahkan kehilangan segala-galanya, seperti institusi kesultanan, sistem dan struktur pemerintahan, batas wilayah negara, mata uang, bendera, lambang, kekuatan militer, hubungan diplomatik dengan negara luar, Konstitusi (Meukuta Alam) dan kerugian harta benda. Peristiwa ini tidak diinsafi oleh bangsa Aceh; sebaliknya beberapa putera Aceh mengundang Jepang masuk ke Aceh menukar posisi Belanda (1942). Apabila giliran Jepang angkat kaki dari Aceh (1945), Aceh gagal untuk kedua kalinya menyatakan kemerdekaan; bahkan beberapa putera Aceh (kalangan PUSA dan Ulèëbalang) berkongsi dengan pemerintah pusat Indonesia membentuk Komite Nasional Daerah (KND) Aceh untuk memerangkap dan memasukkan Aceh kedalam wilayah Indonesia pada Oktober tahun 1945. Bagaimana pun juga, Turki, Morokko, Isfahan dan Agra –sahabat Aceh yang tergabung dalam fakta pertahanan dunia Islam pada abad 16-17– lebih bernasib baik dibandingkan Aceh. Turki misalnya, walaupun terpaksa kehilangan 80% wilayah imperiumnya melalu perjanjian Sevres (10 Agustus 1920); akibat kekalahan dalam perang Dunia ke 1. Namun, setelah Mustafa Kemal Atatürk berhasil membangkitkan semangat perang dan nasionalisme, Turki mengerahkan 120.000 pejuang terbaik bertempur di medan perang Sakaria (Izmir) berhasil mengalahkan pasukan Yunani seramai 200.000 (yang berperang atas nama negara bersekutu). Akibatnya, negara-negara bersekutu Eropah terpaksa menandatangani Penjanjian Lausanne (24 Juli 1923); untuk mengembalikan semula wilayah Tukri yang hilang dalam perjanjian Sevres. Marokko (walau pun pernah menjadi negara protektorat Perancis pasca perang Dunia 1, namun meraih kemerdekaan penuh tahun 1956). Isfahan, sebuah kota yang pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu masa dahulu, tetap wujud dalam negara induk (Iran). Begitu juga Agra (pernah menjadi pusat peradaban Islam suatu ketika dahulu, tetap berada dalam wilayah negara induk (India). Artinya, untuk mengembalikan wilayah berdaulatnya, Turki mesti bertempur di medan perang Sakaria (Izmir). Sebaliknya Aceh, yang telah berhasil mengusir penjajah (Belanda dan Jepang) dari bumi Aceh tanpa harus menempuh jalan peperangan sengit seperti dialami Turki; gagal mempertahankan dan menyelamatkan Aceh, bahkan status turun derajatnya dari sebuah negara kepada Residen sejak (1938-1942), Residen Jepang (1942-1945) dan Residen Indonesia (1945-1949), salah satu Provinsi (1949-1950) dan Provinsi (1950-sekarang). Di atas pertimbangan inilah, Ultimatum perang ini dianggap menyisakan masalah politik Aceh hingga sekarang. Wallahu’klam bissawab!

Hukuman 'Jeret Naru' dalam Dilema

Danau Lut Tawar
Istilah ’jeret naru’ secara tekstual berarti ’kuburan panjang’, sementara dalam arti kontekstual (maknawi) berarti penjatuhan hukuman adat terhadap pasangan yang melakukan ’ancest’ (pelanggaran sexual) atas dasar suka sama suka yang berlaku dalam lingkungan keluarga inti, keluarga dekat atau pun satu belah/kuru. 


Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran hukum adat berat, karena menodai dan memalukan citra/nama baik keluarga, clan, belah dan kampung. Istilah tersebut hanya dikenali dalam masyarakat adat Gayo. Menurut sejarahnya, kehajatan sexual (’ancest’), termasuk kejahatan klasik yang sudah pun berlaku sejak ribuan tahun lagi dan dianggap sebagai jenis kejatahan yang amat ’aib.

Dalam psykologi, kejahatan ini disebut ’genetic Sexual Attraction’ (kecenderungan jatuh cinta dan melakukan hubungan sexual antara saudara kakak beradik, antara anak dengan Ayah/Ibu dan antara sesama keluarga dekat yang dipandang bukan sebagai sebuah fenomena asing, bahkan para ahli psykolog mengatakan, kejahatan tersebut sebenarnya merupakan sesuatu hal yang normal dan lazim dalam masyarakat tertentu.

Namun begitu, dalam kehidupan masyarakat beradab mau pun negara, pada umumnya menganggap perkara ini sebagai suatu kejahatan immoral yang serious. Namun demikian, kasus ini dipastikan sukar untuk dihilangkan, buktinya masih kerap kita dengar sampai sekarang bahwa jenayah ’ancest’ terjadi karena dalih suka sama suka, perkosaan, penipuan mau pun penganiayaan.

 Di Massachusetts (salah satu negara bagian di USA) misalnya, ’ancest’ ini dikategorikan sebagai perbuatan illegal yang hukumannya mencapai 20 tahun penjara, sementara di Hawai hanya 5 tahun. Ini menunjukkan bahwa Kejahatan ’ancest’ merupakan kejahatan tercela dalam masyarakat Krestian di USA.

Sementara itu, dalam perundangan Inggeris, kejahatan ’ancest’ ini diancam hukuman paling lama 12 tahun penjara. Misalnya, pada Juni 2004, masyarakat dikejutkan dengan berita Dr. Bruce McMahan (65 tahun), melangsungkan perkawinan lari dengan putrinya (Linda) berusia 35 tahun. Kasus ini telah menggemparkan masyarakat dunia, karena Bruce McMahan adalah seorang kaya raya. Dia adalah President dan CEO Argent Funds. (sumber: http://www.villagevoice.com)

Demikian pula kasus Jhon Earnest Deaves (61 tahun) dan Jennifer (Jenny) Anne Deaves (39 tahun) warganegara Australia, yang kedua-duanya adalah hubungan antara Ayah dan anak menjalin hubungan cinta dan akhirnya hidup bersama sebagai suami istri yang yang sempat melahirkan seorang anak. Peristiwa ini baru terbongkar pada medio April 2008. Ujung-ujungnya berhadapan ke Mahkamah Pengadilan negeri Australia yang menjatuhkan hubungan bersalah. Tidak dapat dinafikan bahwa, dalam masyarakat adat Gayo, jenayah ’ancest’ ini juga berlaku, hanya saja ditutup-tutupi dan pada umumnya pihak keluarga, Belah dan penghulu Kampung segera mengambil jalan pintas, yaitu menikahkan para pelaku secepatnya. Di kampung Kenawat Lôt misalnya –sejak tahun 1940-an sampai 1980-an– terungkap beberapa kasus ’ancest’ yang dihukum dengan hukuman minah belah, buang negeri; bahkan ada kasus dengan menjatuhkan hukuman ’jeret naru’ oleh Majlis Adat asal Kampung Kenawat. Peristiwa ini berlaku dalam masyarakat Adat Kampung Kenawat di Jakarta pada tahun 1980-an. Ini merupakan sebuah yurisprudensi penting yang masih tetap dipertahankan. Di kampung-kampung lain pun, dapat dipastikan bahwa jenayah ’ancest’ ini berlaku, hanya tidak tersebar luas dan menghebohkan masyarakat Gayo secara keseluruhan. Sejauh pengetahuan penulis, dalam yurisprudensi hukum Islam Islam baik terjadi semasa zaman Rasulullah, Khulafaturrasyidin, Tabi’in, Tabi’-tabi’in, belum kami ditemukan yurisprudensi mengenai kasus ’ancest’, terkecuali perbuatan zina yang terjadi di luar hubungan pertalian keluarga. Sehubungan dengannya, hukum Islam secara tegas menetapkan bahwa ’Pezina perempuan dan pezina laki-laki, dideralah masing-masing dari keduanya seratus (100) kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya  mencegah kamu untuk  (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.’ (Q.S. an-Nur /24:2) Ditegaskan pula bahwa, ’Aku pernah mendengar Nabi SAW memerintahkan mencambuk pezina yang belum menikah dengan 100 kali deraan dan dibuang satu tahun. (Diriwayatkan oleh Zaid Bin Khalid r.a.). Dalam konteks ini, Islam bahkan telah memberi isyarat lebih awal tentang larangan ’mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ (QS. Al-Isra, 17, ayat 32). Dalam konteks penjatuhan hukuman ’jeret naru’ dalam masyarakat Adat Gayo yang nota bene beragama Islam (muslim), ternyata tidak menerapkan secara langsung dasar-dasar Hukum Islam yang telah diatur dalam teks Al-Qur’an dan Hadits. Diakui bahwa dalam konstitusi kerajaan Linge yang terdiri dari 45 fasal, masalah ’ancest’ ada disentuh pada fasal 8, ayat 3 yang menyebut: ’Angkara, yaitu seorang yang melakukan kejahatan atau perzinaan di dalam satu belah,’. Sementara dalam fasal 8, ayat 2 menyebut secara simbolik tentang perbuatan tersebut, yaitu ’gere i pangan wéh i rukah, gere i pan ukum nikah (yang berarti tidak pada tempatnya). Namun begitu, tidak terdapat pengaturan mengenai ancaman hukuman yang pasti-pasti. Agaknya, perumus konstitusi kerajaan Linge dan hukum Adat Gayo lebih tertarik kepada Hadits yang menyebut: ’... dibuang satu tahun’, yang kemudiannya ditransformasi kedalam hukum adat Gayo dalam bentuk hukuman ’jeret naru’, yang tidak memberi peluang kepada pelaku ’ancest’ untuk kembali kampung asal buat selama-lamanya. Dikenal pasti bahwa semasa Umar bin Khattab memerintah, beliau pernah menerapkan hukum buang terhadap para pelaku zina dan tidak diizinkan kembali ke kampung asal. Bagaimana pun, eksistensi hukuman adat ’jeret naru’ dalam masyarakat Gayo mengalami dilema, akibat daripada terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosial dan agama yang berlaku dalam masyarakat majmuk, kejumudan berfikir pemuka adat Gayo, tidak ada hasrat Pemda dan anggota legislatif untuk menghidupkan kearifan daerah lantaran tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum adat Gayo untuk dituangkan kedalam qanun (Perda) bahwa, selagi masih ada kearifan lokal untuk menyelesaikan delik adat, seperti jenayah ’ancest’ melalui prosedur penyelesaian hukum Adat, maka hukum positif nasional Indonesia boleh dikesampingkan, tapi bukan dinafikan; sehingga keberadaan hukuman ’jeret naru’ ini tersepit di antara tekad untuk mengekalkan otoritas hukum adat Gayo dengan otoritas perundangan Indonesia dan prinsip HAM yang mengganjal; karena setiap jenis kejahatan yang berlaku dalam wilayah kedaulatan hukum Indonesia, tidak dirujuk kepada otoritas Hukum adat Gayo, melainkan mengakui dan mesti menerapkan hukum positif –KUHPidana– dan perundangan lain yang dianggap relevan. Lagi pula, karena kemudahan infrastruktur informasi, transfortasi dan komunikasi, amat mudah bagi pelaku untuk mengambil tindakan penyelematan peribadi –melarikan diri– ke daerah lain dan memutus rantai hubungan dengan penguasa kampung asal dan famili.

Thursday, March 9, 2017

Refleksi Kejiwaan dalam Desain Kerawang Gayo

Kerawang Gayo
FALSAFAH berfikir, identitas, karateristik, perilaku, interaksi sosial, secara simbolik dapat dipahami dari desain seni ukir Opoh Kerawang gayo bermotif ‘emun beriring’ (awan berarak), ‘tali puter tige’ (tali tiga pintal), ‘tuwis’ (pucuk rebung), ‘peger’ (pagar) dan ‘ulen empat belas’ (bulan purnama).


‘Emun beriring’ adalah dalil relativitas kehidupan, yang menggambarkan romantika dan dinamika kehidupan manusia –ada kalanya bertènggèr di lereng bukit, membentang dan berarak di langit biru –simbol dari puncak kenikmatan, keberhasilan karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman nama seseorang– yang secara natural memberi kesejukan, keteduhan, kedamaian dan keharmonisan.

Ada masanya sirna dan menghilang –itulah simbol berakhirnya kenikmatan, karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman– yang secara moral diharap tidak meninggalkan kesan parut dan tercela di mata manusia dan di hadapan Khaliq. Inilah hakikat hidup yang terus-menerus bergerak, berutar dan bergilir silih berganti: datang dan pergi, laba dan rugi, sehat dan sakit, gembira dan kecewa menjelma dalam realitas hidup.

Inilah yang dimaksudkan dalam lirik didong ini ‘wéh si manut ku lut ijo gere berulak den mata ni lao gere sabé timang’ (air yang tumpah ke laut, tak akan kembali dan posisi matahari tidak selamanya setentang di atas kepala).[1] ‘Emun beriring’, yang desain garisnya meliuk-liuk dan lepas, juga mengandung arti bahwa kehidupan ini tidak pernah akan berhenti berproses tanpa tapal batas dan bebas dari pelbagai ikatan hidup.

Dengan kata lain, keabadian itu adalah yang tidak abadi. Akan halnya dengan ‘tali puter tige’, merupakan simbol ketegaran, kekuatan, persatuan dan peluang. Inilah konsep perisai yang memberi ketegaran dan percaya diri saat berhadapan dengan pelbagai halangan yang melintang. Untuk itu, tidak ada prasyarat lain, kecuali persatuan yang diikat oleh rasa emosional dan rasa cinta ke-gayo-an yang melekat pada identitas dan bernas.

‘Tali puter tige’, juga menggambarkan kesempatan, yang pada pandangan orang gayo dan percaya bahawa ketangkasan, kecerdasan dan keberanian seseorang hanya boleh dicoba dan dibuktikan sebanyak tiga kali. Itu sebabnya, kecepatan kuda yang dipacu pada pentas pacuan kuda tradisional di gelanggang ‘Musara Alun dan Belang Bebangka’, klimaknya berlangsung pada putaran final sebanyak tiga kali keliling.

Jadi ‘Tali puter tige’ berhubung langsung dengan karakter budaya aktual. Selain itu, konsep ‘tali puter tige’ dapat dilihat pula pada ‘rempél’ rambut wanita gayo, yang diikat secara kemas dan manarik sebanyak tiga lipatan. Lipatan ganjil tersebut dipercayai lebih kuat dan bertahan. Ini dapat dibuktikan. Lebih dari itu, ‘tali puter tige’ diartikan sebagai asas manfaat (‘utilities’), yang boleh menghindari dari sifat mubazir, karena di mata orang, sesuatu yang wujud di dunia ini memberi makna: jika ‘konot kin penikot, naru kin penegu. Berarti, orang gayo tidak pernah kehilangan akal untuk memanfaatkan sesuatu, apa pun wujudnya. ‘Tuwis’ merupakan simbol pendidikan, keimanan, ketegaran dan kelenturan. Mengapa mesti “Tuwis” dan tidak menyodorkan pohon bambu? Karena pada pandangan orang gayo, proses pendidikan dan pengajaran dalam segala bidang akan berhasil jika dilakukan dari sejak awal lagi. Sejak kecil sudah dididik “Berbudi perangé den gelah jeroh lagu, berperi berabun bertungket langkahmu.” Pendidikan karakter, budi pekerti (moral) yang dilakukan sejak dini akan membawa impak positif kepada kalangsungan hidup seseorang. Artinya, jika bicara soal kegunaan bambu, maka sejak pada bentuk awal –tuwis– sudah memberi manfaat kepada manusia dan setelah dewasa –tengah kucak kin pong man, nge kul kin pong nomé- (sewaktu masih tuwis untuk sayur, sesudah besar untuk lantai atau luni, wau, seruwe, jangki, parok, suling, letep, terpèl, totor, peger den pepara.[2] Selain itu, tuwis berbentuk lancip –mengkerucut– yang melambangkan keimanan kepada ke-esaan Allah yang Maha kuasa dan Maha Tinggi. Tuwis adalah juga simbol kecerdasan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian pelbagai masalah hingga ianya mengkerucut kepada satu tujuan dan keputusan akhir yang akan diambil. ‘Peger’ adalah symbol atau pun konsep ketahanan dan perlindungan. Dalam konteks ini, masyarakat gayo mempunyai peradaban yang dikenal istilah ‘peger ni beden’, ‘peger ni keben dan ‘peger ni imen. ‘peger ni beden’ adalah ketahanan diri dari serangan penyakit yang diramu dengan mantra-mantera, supaya fisiknya sehat dan segar bugar; sementara ‘peger ni keben ‘ adalah sistem ketahanan pangan dan kekayaan (harta-benda) dengan cara menyimpan (saving) atau pun ‘reserve’ apabila terjadi bencana dan tindakan berhemat. Metodenya adalah, menyiapkan tanaman ‘gadung-kepile’ sebagai penopang dari makanan dan harta kekayaan utama –padi dan kopi– yang hanya digunakan untuk membiayai keperluan utama. ‘Peger ni imen’ itulah ‘sumang si opat’ yaitu standard moral, dimana ucapan mau pun prilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat gayo, yang dianggap ‘kemali’ (pantang), mancakupi ‘sumang penengonen’, ‘sumang pecerakan’, ‘sumang pelangkahan’ dan ‘sumang ‘kenunulen’, yang dipandang sebagai perisai untuk menjaga kemurnian iman dan adat gayo. ‘Sumang si opat’ tersebut sebagai aturan adat-istiadat masyarakat gayo yang berlaku dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sumang diartikan sebagai standard minimum dalam adat gayo yang menunjuk kepada pengertian sesuatu yang dianggap janggal dan tabu dari keseluruhan gerak/tingkah laku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Apabila disimak secara mendalam, konsep ‘sumang penengonen’ dalam adat gayo diadopsi dari pesan-pesan al-Qur’an sebagaimana dinyatakan: “…. hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya dan jangan menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat…;[3] Ketentuan ini berhubung kait dengan larangan yang menyebut: “Janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka (anak tiri), atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau sesama wanita…”[4] Aturan yang sama juga berlaku kepada kaum lelaki, “supaya menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.”[5] Ini menunjukkan bahwa standard nilai adat gayo yang berkaitan dengan adab, akhlak atau budi pekerti adalah implementasi langsung dari perintah Allah dalam al-Qur’an. Demikian pula ‘sumang pecerakan’, yang menuntut supaya kita menjaga kualitas pembicaraan dan hindari diri daripada nada suara yang dapat menyakiti perasaan orang lain, menimbulkan perasaan sakit hati, dendam dan fitnah, sehingga merusak tatatan adat-istiadat yang telah dikemas dalam tamadun gayo. Selain itu, orang dituntut supaya tidak bersikap sombong, angkuh dan takabur yang sesungguhnya dapat merendahkan derajat, martabat dan maruah pelakunya. Dalam kaitan ini dikatakan, ‘janganlah memalingkan wajahmu dari manusia, karena merasa diri sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.’[6] Budaya gayo memberi petuah supaya ‘sibijak kin perawah’, bukan “berperi sergak”. Oleh kerana itu al-qur’an menyampaikan pesan: “rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[7] Pesan ini sudah tentu ada kaitannya dengan “gerantang” dan “kelèmèng” dalam peradaban masyarakat gayo. Adab dalam tamadun Islam mensyaratkan, “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah kamu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”[8] dan “jika dikatakan ‘kembalilah’, maka hendaklah kamu pulang. Itu lebih suci bagi kamu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan.”[9] Berhubung dengan ‘sumang pelangkahan’, al-qur’an menyampaikan pesan sbb: “sederhanalah kamu ketika berjalan…”[10] Ini pesan moralitas yang sungguh mendalam artinya, karena dari cara dan gaya orang melangkah, kita dapat menangkap pesan dan faham karakternya. Umpamanya gaya orang berjalan dengan menunduk kepala[11], menantang asap/langit[12], memandang datar[13], melirik kanan-kiri,[14] muluncet/mulumpet, teragong, gentot, gedèp dan jalan ‘rodok pelu’[15]; yang dalam adat gayo semua mempunyai makna. Adab berjalan secara sibolik, telah digambarkan dalam qur’an bahwa: “janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.”[16] Ini pernyataan tentang ‘egoisme’ manusia yang tidak terpuji di mata Allah dan manusia. Dalam adat gayo, larangan tersebut dijabarkan kedalam bentuk kalimat, ‘ike ramalan enti gederdak, ike mujamut enti munyintak. Ada pernyataan lain dalam qur’an yang masih berkaitan dengan standard moral, yaitu: ‘janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka tersembunyi.’ Dalam sejarahnya, budaya melilitkan gelang emas yang berbunyi, merupakan budaya kaum jahiliyah sebedum datang peradaban Islam yang menyempurnakannya. ‘Sumang kenunulen’ adalah adab saat duduk. Dalam peradaban masyarakat gayo, tempat duduk menunjukkan status sosial seseorang –dihargai dan dihormati– dalam suatu majlis. ‘Sitetue kunul teruken, simemude kunul terduru dan Aman mayak/Inen mayak kunul atan ampang”. Artinya, masyarakat gayo mempunyai tatacara khusus cara memberi hormat kepada orang tua maupun kepada kedua pasangan pengantin yang duduk di tempat yang sudah disediakan, sekaligus membedakan tempat duduk kaum muda (beru/bujang). Kaula muda duduk di tempat khusus pula (tidak campur-aduk) dengan kaum tua. Dengan begitu, suasananya akrab. Hal ini dianggap logis, karena selain memudahkan berkomunikasi antara mereka, juga tidak tejadi percampur-bauran materi pembicaraan yang mungkin belum saatnya diketahui atau didengar oleh kaum muda. Aturan yang tidak tertulis ini, juga berlaku bagi kaum wanita yang tua dengan kaum remaja (beberu). Perempuan duduk bersimpuk –tidak boleh menyerupai gaya duduk kaum lelaki, apalagi meniru gaya duduk monyet ‘cengkung’ (duduk dengan merapatkan kedaua lutut dan mendekapnya dengan kedua tangan – Cino kepada (duduk orang China kalah judi) dan ‘tèngkang’ (ngangkang). Kaum wanita wajib menutup aurat, terutama bagian kaki, dada dan kepala dan tabuk untuk duduk ‘tèngkang’ (ngangkang). Type ukiran ‘ulen empat belas’ dalam kerawang gayo, merupakan simbol daripada imaginasi dan cita-cita tinggi, yang berharap menjadi penerang, pemberi pencerahan demi membangun peradaban manusia, agar mengamalkan nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang memancarkan sinar cahaya terang, pelita yang indah, syahdu dan damai. ‘ulen empat belas’ juga menggambarkan kecantikan (belangi), keanggunan dan panasnya cinta yang tidak membakar, tetapi hangat dalam rasa syahdu. Berangkat dari simbol ini, maka masyarakat gayo sebenarnya romantis yang sarat nilai-nilai keagamaan. Untuk difahami bahwa, warna dasar daripada opoh Kerawang gayo adalah warna hitam. Ini melambangkan warna ber-klass tinggi, abadi, anggun dan agung. Hampir semua warna pakaian kebesaran raja-raja berwarna hitam, selain warna kuning. Inilah yang membedakan antara peradaban orang gayo dengan peradaban bangsa lain. Di tengah-tengah warna hitam, terdapat bulatan putih, cahaya dan bulan purnama. Petuah adat yang terkandung didalamnya ialah nasehat: “jika masih ada secercah sinar di langit sebagai pelita hidup, maka lirikan matamu semestinya mengarah kesana, bukan kepada kegelapan yang mengitari dan melilitinya.” Dengan begitu, desain kerawang gayo merupakan rangkuman ataupun simbolik dari pelbagai aspek kehidupan manusia –imaginasi, indrawi beradab, resam, adat-istiadat, identitas dan kualitas budaya yang menghubungkan norma-norma yang bersumber dari al-Qur’an dengan kearifan, akal dan logika yang dianugrahkan Allah kepada budayawan gayo, sekaligus dituangkan dalam kalimat ‘Edet adalah peger ni agama’. Dengan perkataan lain ornamen kerawang gayo adalah kreasi yang sarat makna, pantulan moral dan keagungan imaginasi orang gayo. Terlepas daripada kemahiran kita, orang gayo senang berkata: “maté ni hukum wan ijtihad, maté ni edet wan Istana”.[] [1]. Lirik lagu Saladin (group Burak Terbang) [2]. Yusra Habib Abdul Gani, Gayo Di Mata Orang Gayo (Suatu Pendekatan Filosufis), Makalah pada acara Menatap Gayo, Hotel Lingeland, 2013. [3]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 31. [4]. Al-qur’an 31:18. [5]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 30. [6]. Surat Lukman, ayat 18. [7]. Surat Lukman, ayat 19. [8]. Surat An-Nur, ayat 27. [9]. Surat An-Nur, ayat 28. [10]. Ibid, ayat 19. [11]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang berilmu dan orang tua yang dihormati. [12]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang mempunyai kelainan jiwa. [13]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang normal dan kebanyakan orang. [14]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai kesalahan atau penakut. [15]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai sifat ceroboh dan gopoh. [16]. Surat Lukman, ayat 18.