Sunday, January 11, 2009

Alexander Aceh

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

PENGAGUM Iskandar Zulkarnain, ... tokoh yang penuh obsesi; ... tokoh reformasi yang kontroversial; ... sang diktator yang kejam; ... kepala negara yang tahu diri; ... khalifah yang konsisten dengan penegakan hukum dan keadilan; ... negarawan ulung dan masyhur; ... Sultan yang membuat jera pedagang asing; ... tokoh yang nasionalisme Aceh-nya begitu kental; ... tokoh yang dipuja-puji, dikagumi dan idola orang Aceh itu, genap 372 tahun telah meninggalkan kita. Dialah Raja Sulaiman, dialah Raja Zainal atau Raja Silan; dialah Tun Pangkat Darma Wangsa, dialah Abangta Raja Munawar Shah, dialah Raja Mahkota Alam, dialah Pancagah, dialah Johan Alam, “dialah Seri Sultan Perkasa Alam yang dalam Hikayat Aceh disejajarkan dengan Nabi Sulaiman, seorang raja Iskandar juga...” [lihat: Hikayat Aceh]. Terakhir, dialah Iskandar Muda, yang selamanya terukir dalam lembaran sejarah yang sukar dilupakan. Suatu bangsa yang tidak tahu akan sejarahnya, tidak mempunyai masa depan.

Cucu kesayangan Ala ad-Din Riayat Shah Al-Kahar [Sultan Aceh priode: 1588-1604] yang lahir dari pasangang Putri Raja Indera Bangsa atau Paduka Syah Alam dan Mansyur Syah ini, sejak kecil dimanjakan. Kakeknya memberi mainan dua ekor gajah dan dua ekor kuda yang terbuat dari emas dan selalu didendangkan kisah Iskandar Zulkarnain dalam versi lain, seperti: //Djak lôn timang puték rambôt; //Beungoh seupôt lôn peumanoë;// Beuridjang rajeuk bintang kutôb;//Ék ta leugôt dumna nanggroë”. Tidak tahu kalau kemudian, hikayat tersebut menjadi acuan yang membentuk kepribadiannya.

Prilaku kakeknya, dicurigai kedua Pamannya, kalau-kalau jabatan Sultan satu saat akan jatuh ke tangan Iskandar Muda. Untuk mengelak supaya hal ini tidak terjadi, maka Ali Riayat Syah dan adiknya (keduanya: anak lelaki Ala ad-Din Riayat Syah) curi start dengan melancarkan kudeta, sekaligus menjebloskan Ayah dan Ibu kandungnya dalam penjara sampai mati. Syukur, sebelum terjadi kudeta, Ala ad-Din Riayat Shah Al-Kahar sempat menanda tangani MoU tentang: Penggunaan Lintas Dagang Selat Malaka dengan Inggeris tahun 1603. Ali Riayat Syah pemangku Sultan Aceh [priode: 1604-1607], sementara adiknya pemangku Gubernur Pidië. Iskandar Muda, yang waktu itu berusia 21 tahun, menyaksikan terjadinya peristiwa ini. Iskandar Muda melancarkan protes yang ektrim dengan mengajak Pakciknya (Gubernur Pidië) untuk melancarkan kudeta pula terhadap Ali Riayat Syah. Sialnya usaha ini gagal dan giliran Iskandar Muda dijebloskan dalam penjara.

Bersamaan dengan itu, Portugis menyerang Aceh lewat pelabuhan Lamno Daya. Ali Riayat Syah terpaksa melepaskan Iskandar Muda dengan alasan untuk memimpin perang melawan Portugis. Aceh menang. Di saat inilah, tiba-tiba, Ali Riayat Syah meninggal. Untuk mengisi jabatan Sultan yang vacum, Iskandar Muda menempuh jalan pintas dengan cara menghabisi Pakciknya (Gubernur Pidië). Iskandar Muda menduduki singgasana Sultan Aceh [priode: 1607-1636] 

Karir Iskandar Muda diawali dengan menertibkan stabilitas politik dalam negeri dengan menyingkirkan anték-anték Ali Riayat Syah dan menukarnya dengan wajah baru yang loyal. Ahli waris dari korban reformasi ini, dialihkan menjadi aparat pemerintah dalam Istana, supaya mudah dikontrol dan semua harta warisan dikuasai dan dikelola oleh negara. Para saudagar yang sebelumnya berpengaruh dalam menentukan kebijakan Sultan tidak bisa lagi berkutik. Setiap tiga hari sekali mereka wajib lapor kepada Sultan. Rakyat dikerahkan bertanam: padi, lada, pinang, cengkeh, bawang putih, beras dan barang komoditi lain, guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Selain itu, hasil pertanian rakyat diekport ke Eropah, Canton (Hong Kong) dan ke negara-negara sahabat di dunia Arab. Infrastruktur politik ekonomi (MoU antara Aceh-Inggeris - tahun 103) dimanfaatkan sepenuhnya.

Ketika kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sudah dirasakan mapan, barulah belanja negara yang berasal dari: cukai terhadap kapal-kapal dagang atau pengguna yang melintasi Selat Malaka dan pajak dalam negeri, digunakan untuk membangun projek politik mega, yakni: menakluki satu-persatu sultan-sultan di kawasan Dunia Melayu dan meminta supaya menyetor pajak nanggroë, dengan catatan: tanggungjawab masalah pertahanan keamanan regional berada di atas pundak ke-Sultanan Aceh. Untuk itu, Iskandar Muda mendatangkan dan membayar mahal team penasehat yang brilian dan profesional dari Turki dalam bidang: ekonomi, hukum, politik, strategi militer, pembuatan perlengkapan perang: kapal Laut, meriam dan senjata taktis; fuqaha, anggota Parlemen, pakar pertanian, tenaga pengkaji dan peneliti pengembangan Ilmu pengetahuan umum, sastera dan pendidikan Islam. [baca: Prof. Hamka: “Dari Perbendaharaan Lama”].

Hasilnya, pada ketika itu berhasil mewujudkan lima kekuatan “The Big Five” dunia sebagai pembina Islam yang berjaya: Turki, Marokko, Isfahan, Agra dan Aceh Darussalam. Dalam bidang pertahanan: Aceh memiliki 6000 kapal perang dengan 60.000 personel Angkatan Laut untuk mengamankan dunia Melayu dari kuasa asing: Portugis, Inggeris, Belanda dan Perancis yang datang hanya untuk menjarah harta kekayaan alam dunia Melayu. Para pakar pertanian ditugasi untuk meningkatkan produksi, seperti: Kapur Barus, Padi, Rempah-rempahan, Cengkeh, Lada hitam-putih, timah putih dan barang-barang komoditi lain di Sumatera Tengah, barat dan Timur dan sekaligus mengawasi kualitas barang ekport. 

Pedagang asing (Eropah khususnya) mengaku jera dengan harga barang yang ditetapkan, tetapi mereka mesti akur, sebab barang-barang komoditi ekport asal Aceh-Sumatera diakui berkualitas tinggi dan diperlukan. Dalam dunia perdagangan dan politik, Iskandar Muda telah menjadi guru kepada bangsa-bangsa Eropah lewat kebijaksaan politik ekonomi, yang menekankan pentingnya kebersamaan kepentingan. Doktrin politik Iskandar Muda menanamkan atau kalau boleh dikatakan sebagai suatu pemaksaan bahwa beliaulah satu-satunya tokoh pemersatu bangsa-bangsa Melayu yang ditakuti dan disegani bangsa asing, sehingga imperium Aceh merambah ke seluruh Sumatera, melebar ke Kalimantan Barat, Malaya dan Jawa Barat. Hal ini Perancis dalam peta Royaume d‘Achem (Kingdom of Acheh in Sumatra) yang dibuat oleh Perancis Abad ke -17 nampak jelas. (Lihat: Peta ini dalam: “Status Acheh Dalam NKRI”, halaman 178).

Penaklukan Dunia Melayu, memang menyisakan seribu pertanyaan tentang: dendam, darah, kebencian, cinta dan tahta. Misalnya saja: saat menakluki Perak dan Pahang. Sultan Perak dihabisi, Putri Sultan Perak diperisteri Iskandar Muda. Sultan Pahang dibunuh beserta pengawalnya. Kemudian, salah seorang keluarga Sultan Pahang diboyong dan dinikahi Iskandar Muda. Sebaliknya, anak lelaki Sultan Pahang -Iskandar Thani- yang ketika Ayahnya dibunuh masih berusia 7 tahun, diselamatkan dan dididik dalam lingkungan Istana Sultan Aceh, dinikahkan dengan anak perempuan Iskandar Muda dan diwasiatkan mewarisi tahta Sultan Aceh [priode: 1636-1641]. Putroë Phang (isteri Iskandar Muda) dipakai sebagai simbol Kanun: “Adat bak po teumeureuhôm, hukôm bak Sjiah Kiala, Kanun bak Putroë Phang, reusam bak bintara”. Sebaliknya, dari 21.000 tawanan perang dari Malaya dipenjarakan di Aceh, sekurang-kurangnya 5000 - 6000 mati kelaparan.

Proyek politik mega Iskandar Muda sangat mahal harganya. Betapa tidak! Ribuan kapal perang dan puluhan ribu Angkatan Laut Aceh yang berjuang melawan kuasa asing (Portugis) di Melaka tidak lagi pulang ke tanah air. Mereka dikabarkan kandas di Selat Melaka dan terkubur di bumi Malaysia. Biarlah fakta sejarah ini menjadi saksi, agar semua orang tahu tentang: kemaren, hari ini dan masa depannya Aceh. Betapa tidak! Dalam kasus Meurah Pupuk -satu-satunya anak lelaki Iskandar Muda yang akan mewarisi tahta, divonis hukuman rajam sampai mati oleh Menteri Kehakiman (Sri Raja Panglima Wazir Mizan), karena tertangkap basah melakukan zina dengan isteri seorang panglima perang. Sebagai pemimpin, Iskandar Muda konsekuen dengan penegakan hukum. Beliau berpihak kepada kebenaran, bukan kepada kejahatan. Kebenaran itu berpihak! Demi kebenaran, bukan saja menumpahkan darah orang lain; tapi juga berani merajam anak kandungnya sampai mati di depan umum, kalau memang perlu untuk itu.

Iskandar Muda, di mata ahli sejarah bagaikan lukisan ekpresionisme (abstrak) yang mengkombinasikan pelbagai warna kontras di atas kanvas politik. Di mata dan di hati orang Aceh, Iskandar Muda “bagaikan Iskandar Zulkarnain waktu meninggalkan Rum untuk menaklukan dunia.” (dennys Lombard, “Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda” , hlm. 229. Kisah Iskandar Muda adalah riwayat yang mengisahkan dan sekaligus mengajarkan tentang keberanian bertindak sebagai pelakon, bukan menjadi penonton. Wallahu‘aklam bissawab!

* Director Institute for Ethnics Civilization Research
[Serambi Indonesia, 11/01/2009]

Monday, January 5, 2009

Palestina dan Solidaritas yang Rapuh

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

PALESTINA, dulu bernama negeri Syam, satu negeri di Dunia Arab yang bernasib malang. Di tanah kelahiran Isa Al-Masih yang bertuah ini, terus bergolak sejak Negara Israel tegak pada 8. Mei 1948 atas pakatan dan konspirasi politik internasional. Palestina terletak di sebelah barat benua Asia. Tapal batas dengan Libanon terletak di Ras e-Nakoura; dengan Jordan di sebelah Selatan Danau Tabariyya, kuala sungai Al-Yarmouk dan batas dengan Mesir, terletak antara pulau Seena dan gurun pasir Al-Naqab. Sejak tahun 1099, Palestina dijajah hampir satu abad lamanya oleh tentara Salib Eropa, sampai kemudian dibebaskan oleh Salahuddin Al-Ayubi tahun 1187. Palestina kemudian berada di bawah naungan Khalifah Osmaniyah.

Ketika imperium Osmaniyah mulai runtuh terutama –selama perang Dunia ke-I (1914-1918)–, status Palestina diserahkan kepada kuasa asing pada tahun 1916, melalui “mandated” yang diputuskan dalam “Sykes-Picot Agreement”, bahwa: “Palestina [sekarang: sebagian masuk wilayah Jordan, Israel dan West Bank] berdasarkan “Balfour Declaration” tahun 1917 di bawah kuasa Great Britain, sementara Libanon dan Syria diserahkan kepada Perancis.”

Pada awalnya, British merencanakan supaya orang Yahudi yang bertebaran di Eropah disatukan dan ditempatkan di Ethiopia atau di Argetina. Tetapi gagal dan akhirnya memilih bumi Palestin sebagai tapak berpijak orang Yahudi. Mandat ini sekaligus dipakai oleh Inggeris untuk menyusun strategi mendirikan negara Israel. 

Komitmen mendirikan negara Israel sudah diproklamirkan lebih awal dalam Konferensi pertama World Zionist Organization (WZO) tahun 1897 di Baslé Switzerland, yang dipelopori oleh Theodor Herzl yang pada saat itu berkata: “Di Basle saya dirikan negara Israel”. Selain itu ada factor lain, yakni: teks Perjanjian Lama menyebut: “Dan kepada keturunanmu akan kuberikan tanah ini” [Genesis/Kejadian 12:7]. Sementara itu, Genesis/Kejadian 13:15 menyebut: “Seluruh tanah ini yang bisa kamu lihat hingga kepadaKu akan kuberikan kepadamu selama-lamanya), ketika Nabi Ibrahim berdiri di atas Bukit berdekatan dengan Bethel.” Demikian pula Genesis/Kejadian 15:18 menyebut: “Untuk keturunanmu Aku telah berikan tanah ini, dari sungai Mesir (Nil) sampai ke sungai Euphrates.” 

Bermodal “Balfour Declaration”, maka sejak tahun 1922–1947, berlangsung penghijrahan besar-besaran orang Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina. Akibatnya ratusan ribu orang Palestina diusir dari tanah airnya dengan cara terror, intimidasi dari pasukan: Irgun, Levi dan Haganot yang dilatih khusus oleh militer Inggeris. “Mereka datang dari seluruh pelosok dunia yang berketurunan Ashkenia, berasal dari wilayah Khazar, Rusia dan kebanyakan mereka datang dari Eropah Barat, Amerika. Yahudi berketuruan Shepardi (Yahudi dari keturunan Bani Israel yang asal) kebanyakan datang dari Iraq, Yaman, Magribi, negara-negara Arab yang berdekatan dan juga dari negara-negara Afrika. Gerakan zionislah yang menyatukan mereka di bawah satu mimpi dan akhirnya berhimpun di bumi Palestin yang mereka namakan sebagai “Erezt Yizrael” (Bumi Israel).

Pada awalnya, kaum Yahudi ortodok menentang. Rabbi-rabbi Yahudi di Eropah telah mengeluarkan fatwa bahwa Herzl telah murtad dan gerakan Zionis adalah sebuah gerakan yang sesat. Jika tidak karena fatwa Rabbi Cook pada tahun 1925 yang disokong oleh peristiwa Holocaust dan sokongan kaum Zionis Kristian di Eropah, niscaya proyek Zionis tidak akan mendapat dukungan. Oleh sebab itulah, hanya segelintir kaum Yahudi ortodoks di Eropah, AS, negara-negara Arab dan di Afrika selatan yang menentang pebubuhan Israel dan juga gerakan Zionisme.” (Lihat: Maszlee Malik. “Analisa Palestin: Palestin, Tanah Yang Dijanjikan?”

Sejak tahun 1923, mulailah British membagi bumi Palestin menjadi dua wilayah administrative. Yahudi diberi izin menempati wilayah barat sungai Yordan. Yang berarti 75% dari bumi Palestin diberi kepada Israel secara percuma, sementara wilayah Timur sungai Yordan diserahkan kepada Emir Abdullah dari Hejaz, [sekarang Saudi Arabia]. Pada tahun 1946, bagian bumi Palestina yang terletak di lintasan Trans-Yordan, untuk selanjutnya dinamai Yordan. Yang bermakna, 2/3 dari bumi Palestina telah menjadi wilayah Yordan, sisanya ialah bumi Palestin sekarang. Jadi, bertepatan dengan 50 tahun 85 hari setelah pernyataan Theodor Herzl, akhirnya pada 29/11/1947, disahkan Resolusi PBB No. 181 tahun 1947, tentang: “kedudukan Palestina yang menetapkan: 25 persen dari bumi Palestin diduduki oleh bangsa Palestin, 75 persen diserahkan kepada kuasa Yahudi.”

Konsekuensi logis dari kebijaksanaan politik British dan PBB, mencuatlah nasionalisme Arab di Timur Tengah, terutama sesudah Hj. Amin El Huseini, (Mufti leugue Arab) memberikan fatwa dan mengobarkan semangat untuk mendirikan Palestina merdeka, tetapi sayang beberapa negara Arab tidak begitu bergairah menyambut ajakan ini. Akhirnya bergolak konflik antara dunia Arab versus Israel sampai hari ini. Jadi, nasib Palestina hari ini dan esok, tidak terlepas dari kekhilafan, kesalahan dan rapuhnya solidaritas Dunia Arab menyahut ajakan Palestina merdeka. Ketika disadari bahwa bumi Palestin sudah dirampas, mulailah muncul penolakan atas kehadiran Yahudi dan sekaligus menuntut Palestina merdeka. Aksi penolakan ini ditandai dengan kekerasan yang berlangsung sejak tahun 1939 sampai meletusnya perang Dunia ke-II (tahun 1937-1945).

Dengan munculnya negara Israel di bumi Palestina, meletus perang melawan Mesir, Yordan, Syria, Saudi Arabia, Iraq dan Yaman. Israel dalam masa yang relatif singkat –rentang masa 6 hari– sudah mampu menerobos dan berhasil menduduki West Bank, jalur Gaza, daratan tinggi Golan dan gurun Sinai. Perang ini diakhiri dengan kompromi politik yang melahirkan Resolusi PBB no. 242, bahwa: “penarikan pasukan Israel dari wilayah yang diduduki dan menetapkan wilayah dimaksud dalam status “states of belligerency”.

Pada 2 April 1947, pemerintah British memberitahu kepada PBB bahwa sebagai penerus –penerima mandate– dari liga bangsa-bangsa akan segera tamat dan melepaskan mandate pada 15. Mei 1948. PBB akan menentukan nasib masa depan mandate ini di wilayah yang dipersengketakan. Setelah PBB mengadakan Sidang yang alot dan panjang, maka diterima suatu Resolusi pada 29. November 1947, dimana ‘mandate territory‘ dipercayakan kepada tiga pihak, yakni: negara Israel, suatu negara Arab dan suatu corpus separatum di bawah ketentuan hukum internasional untuk kota Yerussalam. PBB waktu itu tidak membuat ketentuan pelaksanaan.

Tidak lama kemudian, pada 17. Desember 1947, Persatuan Liga Arab mengusulkan supaya menyekat adanya tindakan kekerasan terhadap Palestin. Rencana ini diterima oleh pimpinan Israel, yang mengharapkan supaya mandate tersebut berakhir dengan cara: beberapa jam kemudian Sabbath telah tegak sebuah negara yang disebut Israel. Hal ini ditolak mentah-mentah oleh pemimpin Palestin dan pemimpin Arab, yang bertekad akan melancarkan serangan untuk mencegah wujudnya negara Israel.
" (lihat: Bernard Lewis, Professor Emeritus of Near Eastern Studies, Princeton University, in the sixth edition of The Arab in History, p. 196.)

Setelah penyerahan isue Palestina kepada PBB, maka dibentuk suatu komisi khusus untuk menyelesaikan masalah Israel-Palestina. Upaya ini diterima dalam Sidang Umum PBB tahun 1947, disokong oleh Amerika Serikat dan Rusia, yang menginginkan supaya British ditarik dari Palestin. Apalagi, “British dinilai tidak mampu meredam meletusnya peperangan, sementara Yahudi akan terus memperluas wilayahnya. Bagaimana pun, negara tetangga Arab akan melakukan intervensi dan bisa jadi menjadi suatu perang bersiri dalam konflik lokal. Perkara ini mudah diprediksi, sebab: “Ketetapan PBB tidak menyediakan suatu perangkat penyelesaian masalah yang berhubungan dengan meningkatnya kekerasan dan munculnya protes keras dari Komisi Palestin-Arab. British. [Lihat: “The 1990 United Nations document entitled “The Origins and Evolution of the Palestine Problem": 1917-1988, part II 1947-1977.] Walau pun British akhirnya keluar dari Palestina pada 14. Desember 1948.

Itulah riwayat ringkas mengenai akar konflik vertikal dan substansi masalah Palestina. Anehnya, semua perangkat hukum internasional, mulai dari Resolusi PBB sampai kepada MoU Oslo tentang: pelaksanaan self government di Palestina (ditanda tangani tahun 1993), dalam realitasnya tetap tidak efektif, akibat daripada tidak adanya kesungguhan dunia internasional (PBB) untuk mengembalikan hak dasar (merdeka), ditambah lagi dengan sikap dunia Arab yang enggan bersatu. 

Serangan brutal Israel ke atas Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 400 orang sivil dan melukai lebih dari 1750, merupakan perang bersiri. Ianya tidak akan berhenti jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Solidaritas moral (demonstrasi), dalam politik internasional bukan instrument menyelesaikan masalah. Tragis, Palestina telah kehilangan segala-galanya. Yang tersisa dalam jiwa mereka tinggal dua hal: Tuhan dan agamanya.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 05/01/2009]