Wednesday, February 22, 2017

MARUAH GAYO DALAM TARI SINING

Kalaulah ada Tari Gayo yang sukar difahami arti geraknya, maka itulah Tari Sining yang ”geraknya lebih sukar dan menantang berbanding Tari Guel.” (Wawancara dengan Onot, Cèh Didong Kemara Bujang). (Diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Siapa pun melihatnya, dipastikan akan gagal mencerna dan memahami nilai-nilai filosufi Tari Sining secara komprehensif tanpa mengenal terlebih dahulu asbabun nuzulnya. Tarian ini hanya dipentaskan dalam dua situasi saja. Pertama, ketika upacara memandikan Raja yang akan naik tahta. Kedua, saat menaikkan tiang seri dan bumbung rumah. Dalam dua situasi ini, gerak dan lokasi tarinya juga berbeda. Tari Sining yang dipersembahkan pada upacara memandikan Raja, lokasinya di atas sebilah papan yang diletakkan melintang di atas pemukaan air kolam berukuran kecil. Dua penari yang lincah, bermata tajam dan gerak tangan gemulai berselimut opoh Ulen ulen, masing-masing datang dari arah berlawanan, melangkah perlahan-lahan dengan ujung jari kaki mengawali tarian ini. Kedua penari beraksi dengan mengepakkan kedua sayap di atas papan diiringi tatapan mata yang menantang dan menawan, sebagai simbol memandikan seorang raja yang sudah siap untuk naik tahta. Inilah Gerak Salam! Artinya, seorang raja yang hendak naik tahta, disaksikan oleh alam bebas, riak air kolam yang mengalun suci dan mensucikan, mestilah gagah, berwibawa, amanah, adil dan jujur serta melayani rakyat tanpa perantara. Barulah kemudian kedua penari melakonkan gerak "Gerdak" yang mengepakkan kedua sayap –tangan kanan melejit ke langit biru, sementara tangan kiri menukik ke bumi bertuah= secara berulang kali, sebagai simbol men=steril=kan atau mensucikan sang raja daripada sifat angkuh, ria, sombong, takabur dan lebih daripada itu adalah suci lingkungan  dari debu sosial politik, yaitu penghinaan dan pengkhianatan, sehingga raja yang memimpin dan mengatur negeri berada dalam situasi keamanan dan kenyamanan yang terjamin.  Berbeda dengan gerak Salam pada Tari Sining yang sudah mengalami proses modifikasi, kedua penari berselimut opoh Ulen Ulen yang datang dari arah yang berlawanan, sejak dari awal lagi mengepakkan sayap berulang kali dengan gerak rukuk tanpa menampakkan wajah seperti pada Tari Sining memandikan raja. Tari Sining yang digelar pada 22 Desember 2016, bukanlah refleksi daripada Tari Sining memandaikan Raja, akan Tari Sining "munik numah" _menaikkan tiang seri dan bumbung rumah_  Bagaimana pun, gerak Salam pada Tari Sining ini tetap merupakan simbol keselamatan, keberkahan dan rahmat daripada Allah. Disusul kemudian dengan  gerak "Gerdak" yang mengepakkan kedua sayap penari yang lincah, melangkah perlahan lahan dengan ujung jari kaki sambil melingkar (sènèng) mengikuti gerak jarum jam dan melompat berulang ulang.  Apabila gilirannya tiba, gerak "temabur" (terbang meluncur ke atas bumbung setinggi pinggang dan turun semula ke permukaan bumi). Kombinasi gerak  "Sènèng" dan "temabur" ini disifatkan sebagai gerak melawan arah grafitasi." (Salman Yoga, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Walau pun sebetulnya gerakan ini tetap mengikuti arah jarum jam. Dr. Ali Abubakar, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Dalam konteks  gerak "Sènèng" dan "temabur" ini"  kelihatannya tidak berdaya untuk menunjukkan jati diri _identitas asli_ Tari Sining, karena sukar untuk keluar dan membedakan dengan gerak Tari Guel yang dikenali dan popular di Tanah Gayo. Gerak Tari Sining boleh dikatakan merakit dari idea gerak Tari Guel." (Khalis Udin, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Desember 2016). Kombinasi gerak salam, gerdak dan temabur ini disusul dengan gerak Sungkem untuk mengakhiri Tari Sining ini.  Sesunggunya, kemunculan gerak dalam Tari Sining ini mempunyai asabun nuzul yang jelas, sehinggalah ianya dikenal dalam peradaban _adat istiadat dan tradisi masyarakat Gayo. Dalam konteks ini tidak dapat dinafikan bahwa, orang Gayo memang dikarunia dan dikenali sebagai komunitas masyarakat yang teramat peka dengan fenomena alam, yang tidak merasa malu belajar serta melahirkan idé dari fenomena alam tersebut mengenai keunggulan figur tertentu yang hadir sebagai representasi dari suatu kumunitas -baik ianya berasal dari dunia flora, fauna dan manusia. Orang Gayo telah melahirkan pelbagai khazanah budaya, seperti Tari Resam Berume dan Tari Bines dan Tari Saman. Tari Guel misalnya, diangkat dari kisah ketokohan Bener Merie (korban irihati dari saudara kandung -Reje Linge ke-XIII- satu Ayah lain Ibu). Dari gerak tari ini, orang akan dapat mencerna dan memahami bagaimana karakteristik orang Gayo yang memiliki kepelbagaian perasaan,  baik hati, hasat dan dengki kepada saudara sendiri dan kemunculan Bener Merie yang dirangkai dalam gerak Tari Guel,  merupakan pementasan aurat orang Gayo. Sementara itu, Tari Sining diilhami dari ketokohan "Manuk Wo" atau "Unguk", yang memiliki karakter istimewa dan dinilai asing berbanding dengan ragam burung di Tanah Gayo, seperti "Derah" berbulu merah, "Jejok Ines" yang terbang lincah, "Kukur" dan "Cicimpala". Kini "Manuk Wo" termasuk jenis burung yang sudah langka, bahkan mungkin sudah punah. Burung ini hanya memperkenalkan diri lewat suara yang mengisaratkan keagungan, keteguhan, kegigihan, kesyahduan dan kepasrahan di kegelapan malam yang hening. Pada siang hari dia terbang tenang, membisu dan tidak mau memperkenalkan jati dirinya di depan umum. "Manuk Wo" atau "Unguk" hanya bersuara, ketika siapa pun tidak berani lagi menyuarakan sesuatu. Artinya, "Manuk Wo" tidak mau terperangkap kedalam pluralisme dari pelbagai jenis burung lain yang memperdengarkan suara di tengah kemajmukan komunitasnya.  "Manuk Wo" bukan anti liberalisme dan pluralisme, akan tetapi dia menjaga dan mengawal diri agar tidak menjadi korban dari semua itu. Gelagat ini boleh jadi menghindar, mengurangi gah dan merendahkan eksistesi diri. Akan tetapi di mata "Manuk Wo" justeru sebaliknya. Ketokohan burung ini justeru dihormati oleh siapa saja karena kepribadian, kesederahanaan, kesyahduan vokal, keteguhan dan kemandirian yang bernas serta tidak suka "munyerdah" diri. Inilah Aku! Typikal "Manuk Wo" merupakan represetasi dan percikan moralitas agung yang muncul dari jenis burung yang unggul, berbeda dengan rumus moral kebanyakan. Dengan perkataan lain, "Manuk Wo" adalah simbol daripada sufisme Wahdatul wujud -pengendalian diri- yang menyelimuti moral dalam kesunyian, yang jarang dapat dilakukan. Kebanyakan orang tidak manusiawi di saat dia kesepian dan kesendirian, tidak "Manuk Wo". Kreativitas "Manuk Wo" seharusnya menjadi gambaran umum bagi orang Gayo, yang mendapat dorongan moral dan motivasi daripada gigihnya burung ini berjuang mendidrikan (sangkar) dengan merajut -menyulam ranting, dedaunan dan cabang- dirancang -design- sendiri di atas cabang kayu tanpa mendatangkan pakar arsitek dari negara luar. Gerak temabur yang naik-turun dari cabang kayu ke lembah-lembah semak belukar secara berulang kali diperagakan dalam Tari Sining, sebenarnya mengisahkan tentang pencarian, harapan dan kenyataan, yang dalam Tari Sining versi baru ditafsirkan kedalam bentuk panggung setinggi pinggang, untuk membedakan antara gerak gerdak dan gerak temabur (turun dan naik), yang merupakan rangkaian daripada proses penyelesaian bangunan istana.Peteriana Kobat dan Salman Yoga, Diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016.  Kombinasi gerak Gerdak dan Temabur ini bertujuan untuk mengabarkan kepada alam, manusia dan siapa pun juga bahawa, burung ini sedang membangun sebuah mahligai idaman untuk merajut kebahagiaan dan kedamaian, sekaligus untuk men-streril-kan persekitaraan, agar kediamannya suci dari debu dan bebas dari kecemburuan  serta pelbagai gangguan, ancaman dengan harapan tercipta keamanan, ketenteraman dan merdeka menikmati kehidupan prematur ini. Disini terdapat perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian dan jaminan keamanan yang dirancang secara sistematik.  Akhirnya, yang menjadi perhatian adalah, sangkar "Manuk Wo" yang dengan susah payah telah dibangun, ternyata tidak ditempati untuk bertelur dan menetas. "Manuk Wo" memilih tempat lain untuk dibangun dan ditempati." (wawancara dengan Onot, Cèh Didong Kemara Bujang dalam diskusi Tentang Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Perilaku ini adalah refleksi kejiwaaan orang yang boleh ditafsirkan bahwa, sehina dan semiskin bagaimana pun, orang Gayo tetap memiliki sebuah rumah tempat tinggal -Ini Umahte- sebagai simbol maruah, terlepas daripada ditempati atau tidak, sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan: "Isihen dan sesi umahte Abang". Sebaliknya, orang Gayo hanya cerdas membangun rumah _memugar suatu kawasan_ setelah selesai lokasi tersebut kemudian ditinggal dan diserahkan kepada pihak lain. Orang Gayo adalah Gharip _yang menganggap dirinya sebagai anak dagang perantau di dunia ini, bukan pemilik dunia. Orang Gayo adalah petualang yang kesepian yang terus menrus mencari kehidupan atau lahan baru, pugar lagi ….. dan ditinggal pergi lagi…., Betul ke die ini, mulo ari kami!

PUASA DI EROPAH BERPACU ANTARA IMAN DAN WAKTU

Di kawasan khatulistiwa (ekuatorial), garis imaginasi membagi belahan bumi kepada bagian Utara dan Selatan yang panjangnya kira-kira 40.075 km (24,901.5 mil) dengan durasi masa siang hari sepanjang tahun rata-rata 12 jam, seperti yang terjadi di Asia Tenggara. Berbeda dengan belahan dunia yang terletak di luar garis khatulistiwa, matahari di musim panas tenggelam setelah 20 atau 22 jam, seperti di Eropah dan bahkan di Kiruna wilayah Sweden, matahari tidak tenggelam selama 24 jam. Hal ini berakibat kepada pelaksanaan ibadah shalat dan puasa di bulan ramadhan apabila jatuh pada musim panas. Para ahli falaq muslim sedunia hingga sekarang masih saja belum mengeluarkan ijtihad berhubung pelasanaan ibadah shalat dan puasa di Eropah. Sebagian pengikut mazhab Sunni secara rahasia mengetepikan lamanya waktu mengikut perjalanan matahari. Mereka berpuasa mengikut rentang masa di Makkah atau di Madinah, Arab Saudi, walaupun Ulama Arab Saudi sendiri menyatakan menolak cara seperti itu. Imam Abdul Mannan (Presiden Muslim di Finlandia Utara) mengatakan bahwa para ulama di Tanah Arab itu menyarankan seorang muslim menjalankan ibadah puasa menurut durasi waktu tempat tinggal masing-masing. (Republika, Subhanallah, Muslim Di Wilayah Ini Berpuasa Selama 24 Jam, 14 Juli 2013) Adakah Jalan Keluar? Islam sebenarnya telah meletakkan dasar bahawa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai mengikut kemampuannya” (Q: Al-Baqarah, ayat 286). Dalam konteks ini kitab karangan Imam Nawawi RA –Riadush-shalihin– pada bab terakhir menukilkan tentang ‘mansurat wal malah’ (kepelbagaian kisah-kisah yang menarik) yang dikutip dari Hadits Rasulullah tanpa menyebut perawinya. Antara kisah yang relevan disentuh disini adalah Hadits yang meriwayatkan tentang kehadiran Dajjal, selain memberi ciri-ciri fisik Dajjal berambut keriting dan matanya buta sebelah, Dajjal ternyata dapat menurunkan hujan di musim kemarau, menyuburkan tanaman dengan buah-buahan dan hewan peliharaan yang melimpah air susunya, juga tempoh hidup Dajjal di atas dunia ini ialah empat puluh hari, namun dalam sehari tempoh masa siangnya seperti setahun (tidak terbenam matahari) atau sebulan yang sehari masa siangnya seperti setahun dan seminggu yang sehari sama waktu siangnya seperti setahun; selebihnya tempoh siangnya sama seperti hari-hari biasa. Sehubungan itu sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang cara menjalankan shalat lima waktu yang dalam sehari tempohnya seperti setahun sebagaimana disebut dalam Hadits itu. Rasulullah menguraikan lebih terrinci bahwa jika berlaku masa seperti itu, maka waktu shalat tetap dilaksanakan sesuai dengan rentang waktu shalat Subuh hingga waktu Zuhur (6-7 jam), seterusnya waktu Zuhur hingga waktu Asyar (3 jam), waktu Asyar hingga Magrib (3 jam) dan waktu Isya hingga Subuh, dst. tanpa menghiraukan perjalanan matahari. Dalam Hadits ini para sahabat hanya bertanya masalah ibadah shalat lima waktu dan bertanyakan masalah ibadah puasa. Dalam konteks ini dapat ditafsirkan bahwa, jika terhadap ibadah shalat dinashkan demikan, maka melalui tafsiran analogi (qiasy), ibadah puasa secara otomatis mengikuti ketentuan yang terdapat dalam teks Hadits itu. Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa situasi demikian (masa Dajjal) akan berlaku dan dirasakan. Ternyata, apa yang digambarkan Rasulullah SAW kini dirasakan oleh umat muslim –terutama bagi mereka yang menetap di luar kawasan khatulistiwa– yang durasi waktunya tidak normal. Oleh itu sudah saatnya dikeluarkan fatwa daripada Mufti Islam Internasional yang diketuai oleh Syeh Yusuf Al-Qaradawi untuk menafsirkan atau menjabarkan Hadits tersebut berhubung pelaksanaan ibadah shalat lima waktu dan puasa. Hadits tentang kisah Dajjal ini dapat dipakai sebagai sumber/rujukan bagi umat Islam –khususnya di kawasan Scandinavia– sehingga tidak mesti berpuasa selama 20-24 Jam (di kawasan Kiruna, Sweden) dalam sehari semalam. Hadits ini sekaligus juga menjawab bagi angkasawan, pilot, awak kapal dan penumpang pesawat yang melebihi masa penerbangan (16 jam hingga 22 jam) secara teru menerus dan apabila tersesat dalam rimba. Konsekuensinya. Dalam realitasnya, banyak umat muslim di Eropah secara rahasia maupun secara terang-terangan tidak menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan dengan dalih tidak mampu berpuasa selama 20-24 jam dalam sehari semalam. Untuk itu, tulisan ini menyingkap dan menawarkan alternatif kepada umat Islam khususnya yang bermukim di Eropah. Berdasarkan tafsiran intensif terhadap Hadits tersebut di atas, maka umat Islam tidak bersikap kaku memahami ajaran Islam yang secara prinsip tidak membebani seseorang. Hadits tentang kisah Dajjal ini memang kurang dikenal dan polular di kalangan masyarakat muslim terutama yang menetap di kawasan khatulistia. Itu sebabnya terasa asing apabila masalah ini diangkat ke permukaan ranah fiqh. Bagaimanapun, siapapun yang tinggal di kawasan di luar khatulistiwa berhak memilih antara 20-24 jam berpuasa dalam sehari semalam dan menjalankan ibadah shalat lima waktu dan puasa mengikut rentang masa yang berlaku di daerah khatulistiwa. Wallahu ‘aklam bissawabW!

Nasib Penjaga Gawang RI Di Sumatera

TIBA-TIBA saja deburan ombak politik antara Indonesia-Belanda yang masing-masing mempertahankan nyawa kekuasaan, ‘keberuntungan’ jatuh ke pangkuan Tengku M. Daud Beureueh (17 September 1899–10 Juni 1987); dimana Muhammad Hatta (Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia) di Bukit Tinggi, mengangkatnya sebagai gubenur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo melalui Surat Keputusan (SK) No. 3/BKP/U/47, 26 Agustus 1947. Surat Keputusan ini memposisikan Tengku M. Daud Beureueh sebagai “penjaga gawang RI” di Sumatera. Pada tahun 1942, beliau dkk. (wakil PUSA) dan Teuku Njak Arif dkk. (wakil Ulèëbalang) adalah pasukan pertahanan Aceh yang tangguh dan berhasil, hingga Belanda keluar dari bumi Aceh. Namun, barisan pertahanan ini melakukan tendangan “bola bunuh diri” –membiarkan kapten Major Iwaichi Fujiwara memasukkan “bola Jepang” ke gawang Aceh. Goal! (posisi 0-1) untuk kemenangan Jepang. Pada tahun 1945, giliran Teuku Njak Arif (penyerang tengah) berhasil mengusir pasukan Jepang keluar dari Aceh. Sukarno –kapten kesebelasan Indonesia– melakukan trik dengan mengoper “bola Indonesia” kepada gelandang tengah –Mr. Teuku Muhammad Hasan dan Dr. Amir (seorang atheist)– menyusun serangan dari Bukit Tinggi, untuk menembus gawang Aceh yang lengah dari penjagaan; dibantu oleh Jamaluddin Adinegoro yang mengirim telegeram kepada Teuku Njak Arif untuk memasukkan “bola Indonesia” ke gawang Aceh, melalui Komite Nasional Daerah (KND), diperkuat oleh 15 pemain. Antaranya, Teuku Njak Arif, Tengku Daud Beureuéh, Tuanku Mahmud dan Sutikno dengan pola “main keroyok” berhasil menyarangkan “bola Indonesia” ke gawang Aceh dalam posisi –vacum of power– Goal! (posisi 0-1) bagi kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Ketika kemelut politik Indonesia memuncak, dimana juru runding RI dalam perjanjian Renville melakukan kesalahan, sehingga Let Jend. Spoor mengirim nota, 27 Mei 1947; agar daerah-daerah RI dikawal Belanda. Oleh karena Indonesia menolak, maka pada 30 Juni 1947, KNIL secara serentak menyerang dari udara di beberapa lokasi di pulau Jawa dan Sumatera, seperti kampung Sunggal, kampung Lalang, Asam Kumbang, Padang Bulan, Sei Semayang, Kelambir Lima, Titi Gantung, Hamparan Perak, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar pada 21 juli 1947. Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI) dan Teuku Muhammad Hasan (Gubenur Sumatera), yang berada di Pematang Siantar terpaksa dievakuasi ke Bukti Tinggi, Sumatera Barat. Di beberapa tempat terjadi penangkapan oleh OTK terhadap bekas raja-raja Melayu, pegawai, pedagang dan tokoh-tokoh masyarakat yang sebagian dibunuh dan harta dirampas. Nyawa Indonesia kritis akibat serangan KNIL, hingga Perdana Menteri Syahrir mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan. Wilayah Aceh –merupakan zona aman– diklasifikasikan oleh Syahrir sebagai salah satu wilayah yang tidak aman di Sumatera. Bersamaan dengannya, Muhammad Hatta (wakil panglima perang Indonesia) mengangkat Tengku M. Daud Beureueh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan SK No. 3/BKP/U/47. Pada hal pasukan KNIL; jangankan masuk dan menyerang, mendekat pun tak berani ke Aceh, sejak KNIL keluar tahun 1942. Jadi, munculnya SK No. 3/BKP/U/47 yang tidak relevan ini punya muatan politik; karena ketentuan tentang berhenti tembak-menembak di sepanjang ‘garis Van Mook’, gencatan senjata dan pembentukan kawasan kosong militer (point 1) perjanjian Renville; tidak termasuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Demikian juga ketentuan yang menyebut ’Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Syarikat (RIS) terbentuk,’ (point 2). Van Mook nyatanya tidak pernah membentuk Aceh sebagai salah satu negara bahagian, yang direncanakan menjadi negara bagian RIS. Oleh karena di Aceh, Langkat dan Tanah Karo tidak pernah bertempur dengan KNIL. Lantas, buat apa gencatan senjata dan pembentukan negara boneka Van Mook? Gawang Aceh kebobolan. Goal! (posisi 0-2) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Oleh karena situasi di tiga daerah tersebut relatif aman dan fungsi gubernur tidak efektif; maka sebagai “penjaga gawang RI” di Sumatera, Tengku M. Daud Beureueh diberi tugas memberi layanan kepada para petinggi PDRI dipimpinan oleh Syafruddin Prawiranegara yang lari menyelamatkan diri dari Bukit Tinggi ke Aceh. Selama berada di Di Aceh, aktivis PDRI, selain dilayani secara baik, disediakan juga fasilitas komunikasi –Radio Rime Raya– yang dioperasikan dari rimba Rime Raya, Aceh Tengah, pada tahun 1948 yang menyiarkan: “jantung Indonesia masih berdenyut di Aceh”. Bahkan saat utusan DK-PBB (KTN) bekunjung dua kali ke Aceh, bertanya soal status Aceh. Tengku M. Daud Beureueh menjawab: “rakyat Aceh siap membela Indonesia”. Demikian pula saat Tengku Mansyur (wali negara Sumatera imur) bertanya soal status Aceh. Dijawab: “Aceh tidak bermasud membentuk Aceh raya, sebab kami berjiwa republiken…” Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-3) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Selain itu, Tengku Muhd. Daud Beureueh diminta mencari dana untuk membiayai dan menyelematkan nyawa Indonesia. Untuk itu beliau mengerahkan rakyat Aceh mengumpul uang sejumlah AS.$ 500 ribu, membiayai kantor perwakilan Indonesia di Singapura, kedutaan besar RI di India dan biaya untuk L.N. Palar –duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)– di New York dan mengumpul 5 kilogram emas untuk membeli perusahaan pemerintah dan obligasi pemerintah. Dana tersebut sejumlah AS $ 250 ribu membiayai TNI; AS $ 50 ribu membiayai kantor pemerintah; AS $ 100 ribu membiayai pemindahan pusat pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta dan US $ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. (TEMPO, 19 Desember 1999, No. 41/XXVIII.). Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-4) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia Apa Yang Terjadi Kemudian? Tengku M. Daud Beureuh, atas nama gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo mengeluarkan kebijakan bahwa sejak 1 Juni 1948, seluruh unit militer, seperti Mujahidin divisi X Tgk. Tjhik di Tiro; kesatria Pesindo Divisi Rencong, Divisi Tgk. Tjhik di Paya Bakong dan lain-lain unit kemiliteran di Aceh, Langkat dan Tanah Karo dilebur dan digabung menjadi Angkatan Perang TNI Divisi X Sumatera. Kebijakan ini rupa-rupanya perintah langsung daripada Panglima Militer Teritorial Sumatera, Panglima Sumatera, pemerintah pusat, Panglima divisi Rencong dan permintaan daripada dewan pimpinan Masyumi daerah Aceh. Maka pada 7 Mei 1948, Tengku Muhd. Daud Berueueh memerintahkan supaya selambat-lambatnya pada 30 Mei 1948 sudah bergabung dan pada 13 Jun 1948, ditetapkan supaya Divisi Paya Bakong (diketuai oleh Amir Husen Mujahid); Divisi Rencong (diketuai oleh A. Hasmy dan Njaknèh Lhoknga); Divisi Tengku Cik di Tiro (diketuai oleh Cèkmat Rahmany); segera bergabung kedalam unit TNI. Semua unit militer di Aceh dikosongkan dari kekuatan militer. Selanjutnya, menempatkan pasuskan ke luar Aceh, sehingga satu resimen saja yang tinggal di Aceh dan hampir semua anggotanya bukan orang Aceh, bahkan komandannya adalah seorang kader komunis. Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-5) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Setelah penanda tangan KMB, 27 desember 1949, Syafruddin Prawiranegara, (wakil Perdana Menteri RIS) mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No: 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Tengku Muhd. Daud Beureuéh dilantik sebagai gubernur sivil Aceh pemerintahan RIS, sementara itu; jabatan gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo masih aktif. Rupa-rupanya, Syafruddin Prawiranegara mahu membayar hutang budi, karena ketika mengungsi sebagai pelarian politik lokal (1948-1949) ke Aceh; Teungku Daud Beureueh, Hasan Aly, Ayah Gani, Nur El- Ibrahimy dan Teuku Amin secara rahsia meminta kepada Syafruddin supaya provinsi Aceh segera didirikan. (TEMPO, 19 Disember 1999). Semenjak itu, Aceh resmi menjadi salah satu provinsi di bawah kerajaan RIS –walau pun Aceh bukan salah satu daripada 16 negara bahagian– yang menerima jatah kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada 27 Desember 1949. Goal! Posisi (0-6) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Nyatanya, prosedur penbentuan provinsi Aceh dan status Tengku Muhd. Daud Beureuéh dianggap illegal, kerana belum mendapat restu dari kerajaan pusat RIS. Oleh itu, Perdana Menteri Abdul Halim (21 Januari-6 September 1950), perintahkan Susanto Tirtoprodjo (Menteri dalam negera) berangkat ke Aceh untuk memberitahu hal tersebut. Provinsi Aceh akhirnya dibubarkan oleh Kabinet Abdul Halim dan dijebloskan kedalam Provinsi Sumatera Utara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 5 Tahun 1950, ditanda tangani oleh Mr. Asaat (Presiden RI) dan Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Tengku M. Daud Beureuéh tidak sadar kala itu, kalau jawatan gubenur sivil Aceh (1949-1950) merupakan umpan pemerintah RIS untuk memerangkap, sekali gus melucuti kekuatannya sebagai gubernur militer. Goal! Posisi (0-7) untuk kemengan pemerintah pusat Indonesia. Tidak lama kemudian, RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1950 tentang penubuhan sepuluh propinsi di wilayah Indonesia –tidak termasuk Aceh– dan diumumkan pembentukan NKRI pada 15 Ogos 1950. Sesudah kehilangan segala-galanya, Tengku M. Daud Beureuéh dijebloskan kedalam Departemen Dalam Negeri di Jakarta dan diangkat menjadi anggota DPR pusat tahun 1950. ”Nasib ni gegerip ijemur ku lao” (nasib nasi kerak dijemur pada sinar matahari). Semoga engkau bahagia dan damai disana, Tengku. Aaamiiin ya Rabb!