Wednesday, February 22, 2017

Nasib Penjaga Gawang RI Di Sumatera

TIBA-TIBA saja deburan ombak politik antara Indonesia-Belanda yang masing-masing mempertahankan nyawa kekuasaan, ‘keberuntungan’ jatuh ke pangkuan Tengku M. Daud Beureueh (17 September 1899–10 Juni 1987); dimana Muhammad Hatta (Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia) di Bukit Tinggi, mengangkatnya sebagai gubenur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo melalui Surat Keputusan (SK) No. 3/BKP/U/47, 26 Agustus 1947. Surat Keputusan ini memposisikan Tengku M. Daud Beureueh sebagai “penjaga gawang RI” di Sumatera. Pada tahun 1942, beliau dkk. (wakil PUSA) dan Teuku Njak Arif dkk. (wakil Ulèëbalang) adalah pasukan pertahanan Aceh yang tangguh dan berhasil, hingga Belanda keluar dari bumi Aceh. Namun, barisan pertahanan ini melakukan tendangan “bola bunuh diri” –membiarkan kapten Major Iwaichi Fujiwara memasukkan “bola Jepang” ke gawang Aceh. Goal! (posisi 0-1) untuk kemenangan Jepang. Pada tahun 1945, giliran Teuku Njak Arif (penyerang tengah) berhasil mengusir pasukan Jepang keluar dari Aceh. Sukarno –kapten kesebelasan Indonesia– melakukan trik dengan mengoper “bola Indonesia” kepada gelandang tengah –Mr. Teuku Muhammad Hasan dan Dr. Amir (seorang atheist)– menyusun serangan dari Bukit Tinggi, untuk menembus gawang Aceh yang lengah dari penjagaan; dibantu oleh Jamaluddin Adinegoro yang mengirim telegeram kepada Teuku Njak Arif untuk memasukkan “bola Indonesia” ke gawang Aceh, melalui Komite Nasional Daerah (KND), diperkuat oleh 15 pemain. Antaranya, Teuku Njak Arif, Tengku Daud Beureuéh, Tuanku Mahmud dan Sutikno dengan pola “main keroyok” berhasil menyarangkan “bola Indonesia” ke gawang Aceh dalam posisi –vacum of power– Goal! (posisi 0-1) bagi kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Ketika kemelut politik Indonesia memuncak, dimana juru runding RI dalam perjanjian Renville melakukan kesalahan, sehingga Let Jend. Spoor mengirim nota, 27 Mei 1947; agar daerah-daerah RI dikawal Belanda. Oleh karena Indonesia menolak, maka pada 30 Juni 1947, KNIL secara serentak menyerang dari udara di beberapa lokasi di pulau Jawa dan Sumatera, seperti kampung Sunggal, kampung Lalang, Asam Kumbang, Padang Bulan, Sei Semayang, Kelambir Lima, Titi Gantung, Hamparan Perak, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar pada 21 juli 1947. Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI) dan Teuku Muhammad Hasan (Gubenur Sumatera), yang berada di Pematang Siantar terpaksa dievakuasi ke Bukti Tinggi, Sumatera Barat. Di beberapa tempat terjadi penangkapan oleh OTK terhadap bekas raja-raja Melayu, pegawai, pedagang dan tokoh-tokoh masyarakat yang sebagian dibunuh dan harta dirampas. Nyawa Indonesia kritis akibat serangan KNIL, hingga Perdana Menteri Syahrir mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan. Wilayah Aceh –merupakan zona aman– diklasifikasikan oleh Syahrir sebagai salah satu wilayah yang tidak aman di Sumatera. Bersamaan dengannya, Muhammad Hatta (wakil panglima perang Indonesia) mengangkat Tengku M. Daud Beureueh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan SK No. 3/BKP/U/47. Pada hal pasukan KNIL; jangankan masuk dan menyerang, mendekat pun tak berani ke Aceh, sejak KNIL keluar tahun 1942. Jadi, munculnya SK No. 3/BKP/U/47 yang tidak relevan ini punya muatan politik; karena ketentuan tentang berhenti tembak-menembak di sepanjang ‘garis Van Mook’, gencatan senjata dan pembentukan kawasan kosong militer (point 1) perjanjian Renville; tidak termasuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Demikian juga ketentuan yang menyebut ’Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Syarikat (RIS) terbentuk,’ (point 2). Van Mook nyatanya tidak pernah membentuk Aceh sebagai salah satu negara bahagian, yang direncanakan menjadi negara bagian RIS. Oleh karena di Aceh, Langkat dan Tanah Karo tidak pernah bertempur dengan KNIL. Lantas, buat apa gencatan senjata dan pembentukan negara boneka Van Mook? Gawang Aceh kebobolan. Goal! (posisi 0-2) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Oleh karena situasi di tiga daerah tersebut relatif aman dan fungsi gubernur tidak efektif; maka sebagai “penjaga gawang RI” di Sumatera, Tengku M. Daud Beureueh diberi tugas memberi layanan kepada para petinggi PDRI dipimpinan oleh Syafruddin Prawiranegara yang lari menyelamatkan diri dari Bukit Tinggi ke Aceh. Selama berada di Di Aceh, aktivis PDRI, selain dilayani secara baik, disediakan juga fasilitas komunikasi –Radio Rime Raya– yang dioperasikan dari rimba Rime Raya, Aceh Tengah, pada tahun 1948 yang menyiarkan: “jantung Indonesia masih berdenyut di Aceh”. Bahkan saat utusan DK-PBB (KTN) bekunjung dua kali ke Aceh, bertanya soal status Aceh. Tengku M. Daud Beureueh menjawab: “rakyat Aceh siap membela Indonesia”. Demikian pula saat Tengku Mansyur (wali negara Sumatera imur) bertanya soal status Aceh. Dijawab: “Aceh tidak bermasud membentuk Aceh raya, sebab kami berjiwa republiken…” Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-3) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Selain itu, Tengku Muhd. Daud Beureueh diminta mencari dana untuk membiayai dan menyelematkan nyawa Indonesia. Untuk itu beliau mengerahkan rakyat Aceh mengumpul uang sejumlah AS.$ 500 ribu, membiayai kantor perwakilan Indonesia di Singapura, kedutaan besar RI di India dan biaya untuk L.N. Palar –duta besar Indonesia pertama di PBB (1950-1953)– di New York dan mengumpul 5 kilogram emas untuk membeli perusahaan pemerintah dan obligasi pemerintah. Dana tersebut sejumlah AS $ 250 ribu membiayai TNI; AS $ 50 ribu membiayai kantor pemerintah; AS $ 100 ribu membiayai pemindahan pusat pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta dan US $ 100 ribu diserahkan kepada Mr. A.A. Maramis. (TEMPO, 19 Desember 1999, No. 41/XXVIII.). Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-4) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia Apa Yang Terjadi Kemudian? Tengku M. Daud Beureuh, atas nama gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo mengeluarkan kebijakan bahwa sejak 1 Juni 1948, seluruh unit militer, seperti Mujahidin divisi X Tgk. Tjhik di Tiro; kesatria Pesindo Divisi Rencong, Divisi Tgk. Tjhik di Paya Bakong dan lain-lain unit kemiliteran di Aceh, Langkat dan Tanah Karo dilebur dan digabung menjadi Angkatan Perang TNI Divisi X Sumatera. Kebijakan ini rupa-rupanya perintah langsung daripada Panglima Militer Teritorial Sumatera, Panglima Sumatera, pemerintah pusat, Panglima divisi Rencong dan permintaan daripada dewan pimpinan Masyumi daerah Aceh. Maka pada 7 Mei 1948, Tengku Muhd. Daud Berueueh memerintahkan supaya selambat-lambatnya pada 30 Mei 1948 sudah bergabung dan pada 13 Jun 1948, ditetapkan supaya Divisi Paya Bakong (diketuai oleh Amir Husen Mujahid); Divisi Rencong (diketuai oleh A. Hasmy dan Njaknèh Lhoknga); Divisi Tengku Cik di Tiro (diketuai oleh Cèkmat Rahmany); segera bergabung kedalam unit TNI. Semua unit militer di Aceh dikosongkan dari kekuatan militer. Selanjutnya, menempatkan pasuskan ke luar Aceh, sehingga satu resimen saja yang tinggal di Aceh dan hampir semua anggotanya bukan orang Aceh, bahkan komandannya adalah seorang kader komunis. Gawang Aceh kebobolan. Goal! Posisi (0-5) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Setelah penanda tangan KMB, 27 desember 1949, Syafruddin Prawiranegara, (wakil Perdana Menteri RIS) mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No: 8/Des/WKPM/1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Tengku Muhd. Daud Beureuéh dilantik sebagai gubernur sivil Aceh pemerintahan RIS, sementara itu; jabatan gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo masih aktif. Rupa-rupanya, Syafruddin Prawiranegara mahu membayar hutang budi, karena ketika mengungsi sebagai pelarian politik lokal (1948-1949) ke Aceh; Teungku Daud Beureueh, Hasan Aly, Ayah Gani, Nur El- Ibrahimy dan Teuku Amin secara rahsia meminta kepada Syafruddin supaya provinsi Aceh segera didirikan. (TEMPO, 19 Disember 1999). Semenjak itu, Aceh resmi menjadi salah satu provinsi di bawah kerajaan RIS –walau pun Aceh bukan salah satu daripada 16 negara bahagian– yang menerima jatah kedaulatan dari Belanda kepada RIS pada 27 Desember 1949. Goal! Posisi (0-6) untuk kemenangan pemerintah pusat Indonesia. Nyatanya, prosedur penbentuan provinsi Aceh dan status Tengku Muhd. Daud Beureuéh dianggap illegal, kerana belum mendapat restu dari kerajaan pusat RIS. Oleh itu, Perdana Menteri Abdul Halim (21 Januari-6 September 1950), perintahkan Susanto Tirtoprodjo (Menteri dalam negera) berangkat ke Aceh untuk memberitahu hal tersebut. Provinsi Aceh akhirnya dibubarkan oleh Kabinet Abdul Halim dan dijebloskan kedalam Provinsi Sumatera Utara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 5 Tahun 1950, ditanda tangani oleh Mr. Asaat (Presiden RI) dan Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Tengku M. Daud Beureuéh tidak sadar kala itu, kalau jawatan gubenur sivil Aceh (1949-1950) merupakan umpan pemerintah RIS untuk memerangkap, sekali gus melucuti kekuatannya sebagai gubernur militer. Goal! Posisi (0-7) untuk kemengan pemerintah pusat Indonesia. Tidak lama kemudian, RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1950 tentang penubuhan sepuluh propinsi di wilayah Indonesia –tidak termasuk Aceh– dan diumumkan pembentukan NKRI pada 15 Ogos 1950. Sesudah kehilangan segala-galanya, Tengku M. Daud Beureuéh dijebloskan kedalam Departemen Dalam Negeri di Jakarta dan diangkat menjadi anggota DPR pusat tahun 1950. ”Nasib ni gegerip ijemur ku lao” (nasib nasi kerak dijemur pada sinar matahari). Semoga engkau bahagia dan damai disana, Tengku. Aaamiiin ya Rabb!

Artikel Terkait