Wednesday, May 27, 2009

Meretas Kredibelitas Hakim

Oleh Yusra Habib Abdul Gani* 

PUTUSAN Pengadilan Negeri Bireuën (16/4/2009), yang mengadili perkara Fajri dan Suh atas tuduhan melakukan tindak pidana merusak baliho caleg Partai SIRA, PRA, dan PPP dinilai telah melanggar pasal 270 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Putusan Hakim tersebut merupakan suatu yurisprudensi yang menarik jika dipandang dari sudut rasa keadilan dan kebenaran hukum dalam masyarakat. Adalah benar secara yuridis formal, yang mensyaratkan suatu pelanggaran baru dapat dihukum, jika sudah terbukti adanya unsur kesengajaan dan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Untuk itu, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan secara sendiri mau pun bersama-sama telah merusak dan merobek baliho milik caleg dari parpol peserta Pemilu 2009.

Penegakan hukum dan kepastian hukum,, tidak selamanya mesti diartikan sebagai penerapan pasal-pasal tindak pidana yang sudah pasti-pasti ancaman hukumnya dan menjadikan hukum positif sebagai kitab suci mencari keadilan hukum. Masih ada upaya lain, yakni: ijtihad yang ditempuh oleh Hakim dalam menangani suatu perkara, yang dirasakan lebih menyentuh rasa keadilan ketimbang rumusan hukum itu sendiri. Kejahatan tidak mau menjauh bila ianya disergap dengan jaring Undang-undang. Kejahatan bisa dijinakkan dengan pendekatan moral. Terdakwa harus menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya selain bertentangan dengan hukum, juga merusah nilai-nilai moral dalam peradaban manusia.

Dalam kasus Fajri dan Suh, Majlis Hakim hanya mengandalkan sisi formalitas perundangan, tetapi gagal menyingkap tabir di sebalik peristiwa itu. Misalnya: motivasi dan 'actor intelectualist' yang berada di belakang tirai kejahatan itu, jika terbukti ada. Misalnya: dari sekian banyak baliho Parpol (Parnas dan Parlok), mengapa baliho SIRA, PRA dan PPP saja yang menjadi sasaran? Apa sebenarnya motivasi kedua terdakwa melakukan semua ini? Soal ini perlu digiring, sebab mereka berasal dari keluarga class bawah dan tidak memiliki ikatan moral, kepentingan dan tidak menerima laba apa pun dari perusakan atribut Parpol yang dirobeknya. Tindakan iseng merobek dan merusak baliho Parpol yang diakui kedua terdakwa di pengadilan, bukanlah pengakuan obyektif dan positif, yang bisa dipakai sebagai standard hukum untuk menghukum, sebab tindak pidana, tekanannya justeru pada unsur KESENGAJAAN dan KESALAHAN yang ternyata tidak terbukti.

Dengan terkuaknya rahasia ini, bisa menjadi bahan pertimbangan Majlis Hakim dalam menjatuhkan hukuman (punishment). Jika patokan Hakim hanya bertumpu kepada fakta: barang baliho yang rusak, pelaku, terbukti secara sah melakukan tindak pidana dan perangkat hukum [pasal 270 UU. No.10/2008] yang menjebloskan mereka ke dalam penjara. Ini merupakan aktualisasi dari kinerja ’robot hukum’ yang mengenyampingkan pertimbangan rasa keadilan. Hakim bukanlah praktisi hukum yang berdiri di depan cermin hukum yang hanya melihat dirinya sendiri, melainkan sosok yang tegak berdiri di depan jendela yang pandangannya lebih luas dan jauh menembus cakrawala pemikiran bebas. Tetapi, semuanya telah telanjur, dimana Majlis Hakim sudah menghukum Fajri (18 tahun) enam bulan penjara serta denda Rp 6 juta, subsider dua bulan kurungan dan Suh (16 tahun, diganjar tiga bulan penjara, denda Rp 3 juta, subsider satu bulan kurungan. ”Jika ditotal, keduanya berarti diganjar hukuman kurungan sembilan bulan dan Fajri (18) dan Suh (16), warga Cot Rabu Tunong, Peusangan, Bireuen, keduanya siswa SMA, Kamis (16/4) tercatat sebagai orang Aceh pertama yang diganjar hukuman pidana karena terlibat pelanggaran pidana Pemilu 2009.” (Serambi Indonesia, 16/04/2009)

Sesungguhnya, penerapan pasal 270 UU. No.10/2008 (hukum positif) dalam kasus ini, rapat sekali hubungannya dengan emosi dan masa depan manusia, yang boleh membangun dan atau meruntuhkan martabat dan kepribadian seseorang. Oleh sebab itu, para Hakim yang mengadili, tidak memperalat ketentuan pidana untuk semata-mata menghukum, melainkan jauh dari itu, sebagai instrumen yang mampu menyibak rahasia atas segala prilaku tangan dan hati manusia. Dalam pemikiran modern tentang penerapan hukum Pidana, para pakar kriminologi sepakat menyimpulkan bahwa suatu tindak Pidana, tidak boleh dipandang sebagai suatu perbuatan hukum berdiri sendiri. Ianya mempunyai kaitan langsung dengan faktor-faktor lain yang turut memotivasi dan memicu suatu tindak pidana berlaku. Dengan demikian, walau pun sudah terbukti seseorang melakukan tindak Pidana tertentu, mesti dilihat dan dipertimbangkan putusannya dari semua aspek hukum dan sosial kemasyarakatan.

Kedudukan Hakim dalam kasus Pidana, bukanlah corong hukum atau budak (babu) daripada undang-undang, bukan pula praktisi hukum yang memakai ’kacamata kuda pedati’, melainkan individu yang berpikir wajar, bijak yang memiliki ketajaman berijtihad, menafsirkan dan meng-implementasi-kan suatu rumusan undang-undang yang sebisa mungkin menyentuh perasaan keadilan dan bukan atas rasa kebencian. Dalam konteks inilah Allah berfirman: ”… Janganlah sekali-kali karena kebencianmu terhadap sesuatu kaum, hingga mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa… ” (Q: Surat Al-Maidah, ayat 8) 
Sebagai suatu bandingan, barangkali tidak salahnya dipaparkan di sini Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur yang mengadili tindak pidana perkosaan dan pembunuhan biadab yang dilakukan oleh Herman Yanto, di bawah umur. Putusan Hakim tersebut merupakan suatu yurisprudensi yang sangat menarik dalam dunia hukum, sebab telah mengaitkan antara formula perundang-undangan dengan faktor-faktor sosio-cultural dan moral ke dalamnya.

Yanto yang bekerja sebagai pembantu di rumah seorang pengusaha kaya-raya, satu ketika diajak majikannya nonton film Indonesia yang sarat dengan unsur sex bersama-sama dengan purtinya yang masih berusia 9 tahun. Pada suatu hari, putri pengusaha ini tinggal berdua dengan Yanto di rumah. Sambil mendengar musik dan menari, aurat perempuan kecil ini ternampak. Yanto, yang sudah mendapat inspirasi dari film yang pernah disaksikannya, tanpa pikir panjang, terus menyergap dan memperkosanya. Karena ketakukan kepada tuannya, Yanto mengambil sebilah pisau, membunuh anak perempuan ini secara sadis, membungkusnya dengan kasur dan membuangnya di tempat sampah umum. Di depan pengadilan, Yanto mengaku terus terang mengapa dia melakukan tindak pidana ini. Hakim Bismar Siregar, SH. dalam amar putusannya, yang menggegerkan dunia peradilan, ternyata menjebloskan Herman Yanto ke dalam Panti Asuhan dan membebani majikannya membiayai pemulihan mental Yanto hingga pulih dan dewasa.

Diantara pertimbangan Hakim Bismar Siregar ialah: majikan Yanto dipersalahkan karena turut memberi inspirasi dan mengajari secara tidak langsung bagaimana orang melakukan hubungan mesra dan sex. Apalagi dalam film itu tertera bait cinta yang merangsang dan menggairahkan: ’...engkau telah datang menghampiriku dalam hamparan cinta yang sukar terkendali...’  
Jika dibandingkan antara tindak pidana yang dilakukan Herman Yanto, maka apa yang dilakukan oleh Fajri dan Suh, tidaklah berarti apa-apa. Adalah sah putusan Hakim yang mengadili tindak pidana yang merobek baliho Parpol. Hanya saja, sebagai majlis Hakim yang arif, sepatutnya seusai Nani Sukmawati (Ketua Majlis) mengetok palu, menghadirkan pimpinan Partai terkait yang merasa partainya dilecehkan dan dirugikan, sembari bertanya: ‘apakah rela memberikan maaf atas perbuatan Fajri dan Suh?’ Jika ada kata ma’af, mereka pelaku tindak pidana tersebut boleh bebas. Sebaliknya, jika tidak ada kata ma’af, maka hukuman muktamat. Jebloskan keduanya ke dalam kém pemulihan mental –bukan mengurungnya dalam penjara– sebab di Aceh sedang dilanda musim Aceh Pungoë. Segalanya sudah terlambat untuk berkata: ”Masihkah kini ... kata-kata ma’af bersemi di hati Hakim.” Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.
(27/05/2009)