Sunday, September 18, 2011

RIWAYAT WÉH PESANGAN


Yusra Habib Abdul Gani


RIWAYAT penamaan “Wéh Pesangan” (Sungai Pesangan) sebagai muara Danau Laut Tawar, sampai sekarang belum diketahui asbabun nuzulnya. Untuk mengungkapnya, perlu diselidiki lebih dahulu: apakah nama tersebut berlaku mulai dari hulu -kampung/Totor Balé- sampai kuala di Selat Malaka’? Sebab, lazimnya nama sungai, seperti: Nil di Mesir, Musi di Palembang, Mahakam di Kalimantan Timur; mulai dari hari hulu sampai muara laut bebas, hanya satu nama. Namun begitu, tidak demikian halnya dengan sungai Arve yang mengalir dan berjumpa dengan sungai Rhône di Geneva, Swissland. Dari sini, sungai Rhône terus mengalir hingga melewati tapal batas Swissland dengan Jerman.

Lantas, apakah “Wéh Pesangan” menyerupai kisah sungai Arve yang bemuara ke sungai Rhône atau bahkan lebih dari itu? Kisah yang bersumber dari lirik Didong, kekeberen dan mitos di bawah ini kiranya bisa membantu untuk memberi jawaban sementara.

Danau Laut Tawar yang kandungan airnya dipasok dari: Wéh Kul Kenawat, Wéh Kul Towèren (wéh Kala Nempan), Wéh Kul Rawe, Wéh Kul Kalang, Wéh Kul Nosar, Wéh Kul Mengaya, Wéh Kul Bewang, Wéh Kul Kala Bintang, Wéhni Kala Rengkè, Wéhni Genuren, Wéhni Kala segi, Wéhni Gegarang, Wéhni Kelitu, Wéhni Mendalé, Wéh Kul Kebayaken (Kala Lengkio), Wéhni Kala Mampak; bermuara/tumpah ke sungai “Wéh Pesangan”.

Anèhnya, dalam jarak kira-kira 8 km. menuju Belang Bebangka, nama “Wéh Pesangan” hilang dan berubah menjadi “Wéh Totor Lukup Badak”, sebagaimana ditemui dalam lirik Didong: “ninget ke ilen kao, waktu kite niri bersesangulen i Lukup Badak”, (Masihkah kau ingat, saat kita mandi di sungai Jembatan Lukup Badak).

Penduduk di kawasan ini hanya mengenal “Wéh Totor Lukup Badak”, bukan “Wéh Pesangan”. Lebih aneh lagi, dalam radius kira-kira 30 km. dari Totor Balé menuju Kampung Silih Nara, muncul lagi nama lain, yakni: “Wéhni Gele” atau “Wih Silih Nara”, bukan “Wéh Pesangan”. Bahkan, kuala sungai ini diberi nama “Kala Laut”.

Karena di tengah-tengahnya terletak sebuah batu besar, maka disebut dengan “Atu Timang” (Batu menimbang). Sampai di sini, nama “Wéh Pesangan” hilang tidak terdengar lagi. Yang disebut-sebut hanyalah “Atu Timang”, yang kerap dipertanyakan di mana letaknya; termasuk Cèh Syèh Midin dalam lirik lagu “Atu Timang” bertanya: “Selama ini kami pekekune isi die “Atu Timang.” (Selama ini kami bertanya-tanya, di mana kiranya “Atu Timang”). Kini terjawab sudah. Bahkan ditimpali dengan lirik Didong: “I Kala laut, Atu Timang, Abang” (Di Kala laut, Atu Timang, Abang).

Siapa pun orang Gayo, bila menyebut “Atu Timang”, akan terbayang kisah/legenda Malim Dewa, sebab; setibanya di lokasi ini; dalam perjalanan menyusuri air sungai dari Aceh pesisir hingga ke hulu “Wéh Pesangan” dan untuk pertama sekali, Malim Dewa menimbang-nimbang, di mana sesungguhnya letak rambut (sanggul) Putri Bensu yang sudah lama didengar dan diincarnya. Peristiwa “menimbang-nimbang” ini dikaitkan kemudian dengan pasangan pengantin Malim Dewa-Putri Bensu. Jadi, “Atu Timang” merupakan cikal-bakal -prolog- dari cinta mereka dalam mitos “Malim Dewa” yang kisahnya menarik dan rumit, karena untuk mempersunting Putri Bensu, Malim Dewa harus melewati beberapa episode sampai kepada mencuri sanggul Putri Bungsu yang terurai panjang itu dan pernan Inen Kebèn -mediator/telangké- yang profesional.

Selain daripada itu, di “Atu Timang” merupakan pusat bertemu antara air “Wéh Pesangan” yang mengalir dari Danau Laut Tawar dengan air “Wéhni Pelang” yang mengalir dari gabungan tiga sungai, yaitu: Wéhni Kuyun, Wéhni Celala dan Wéhni Rusip. “Wéhni Pelang” bermuara ke “Wéhni Sikiren”. Di sini nampak jelas bahwa: dari hulu “Wéh Pesangan” (Totor Balé) hingga “Wéhni Sikiren” yang jaraknya sekitar 30 km, sudah terdapat beragam nama.

Dari “Wéhni Sikiren”, air sungai ini mengalir ke “Wéhni Serempah”, terus ke “Wéhni Berawang Gajah” dan selanjutnya ke “Wéhni Jalung”. Sampai di Jalung, aliran sungai ini bergabung dengan “Wéhni Enang-enang” dan yang mengalir ke kampung Pantan Lah (“Wéh Kala lehop”). Dari sini barulah tumpah ke “Kruëng Mané” dan akhirnya bermuara menuju laut lepas, Selat malaka.

Ada dua hal yang menjadi thesa di sini, pertama: munculnya beragam nama sepanjang sungai ini mengalir dari hulu sampai ke kuala. kedua: apakah kata “pasangan”, berasal dari awal kisah cinta antara Malim Dewa-Putri Bensu di “Atu Timang”, yang kemudian berubah sebutan menjadi “Pesangan” (bahasa Gayo); atau berasal dari kata “Peusangan” (bahasa Aceh)? Sebab sebutannya sangat mirip.

Adalah sah-sah saja orang mengatakan bahwa kata “pesangan” berasal “Peusangan”. Akan tetapi, ianya sama sekali tidak relevan dipakai sebagai standar untuk menunjukkan nama sungai; sebab dalam bahasa Aceh, kata “Peusangan” tidak punya arti apa-apa, kecuali: hanya menunjuk kepada nama satu kampung di Kabupaten Jeumpa, Bireuen -lokasinya jauh dari kawasan Krueng Mané- yang dilewati air “Wéh Pesangan”.

Kemiripan ucapan/sebutan antara “Peusangan” dan “Pesangan”, tidak bisa pula dijadikan dalih bahwa ianya berasal dari kata “Peusangan”. Sebab, antara bahasa Gayo dan Aceh tidak selalu punya kesamaan arti. Misalnya saja, kata: “Bireuen” (bahasa Aceh) tidak punya arti apa-apa, selain nama kota; sementara “Biren” dalam bahasa Gayo berarti: “bayar”. Demikian pula kata: “Tiro” (bahasa Aceh) tidak punya arti apa pun, kecuali: nama kampung di Kabupaten Pidie; sementara kata: “Tiro” dalam bahasa Gayo, berarti “minta”. Ada kosa kata bahasa Aceh dan Gayo yang mirip sebutan, yakni: “Luhu” (bahasa Aceh) dan “lehu” (bahasa Gayo) yang keduanya bermakna “Subur”. Tetapi dalam konteks pembahasan ini, tidak ada relevansinya. Tegasnya, kemiripan sebutan tidak selamanya dapat dipakai sebagai standar untuk menyimpulkan sesuatu.

Dari sudut ilmu linguistik, perubahan sebutan dari “pasangan” kepada “pesangan” lebih dekat dan logis, sebab ada kesesuaian dengan kisah perjalanan Malim Dewa-Putri Bensu. Hal ini bisa disimak dan disimpulkan dari lirik Didong: “Malem Dewa gèh ari Acih…Mununung waih ku uken-ukenen…ku ukenen pora sawah ku sara kampung oya gerale kampung Sikiren…ku ukenen mien demu urum kala ni lut ton ni wauk ni puteri i timangen..ku ukunen pora ara kampung Angkup, ara kayu rugup tempat dediang..Ku tunung-tunung gere mera sawah kuperah-perah gere mubayang…”. (“Malim Dewa datang dari Aceh, menelusuri sungai menuju ke hulu. ke hulu tibalah di kampung Sikiren. terus ke hulu dan jumpalah Kala laut, tempat menimbang-nimbang rambut Putri, terus ke hulu hingga tiba di kampung Angkup, di sana ada pohon rindang tempat bermain,…kutelusuri tak jua sampai, kucari-cari tak wujud bayangan.”) dan sekaligus memperkuat argumentasi di atas, atau -setidak-tidaknya- membuka ruang bagi kita untuk meneliti dan mengkaji tentang keabsahan riwayat ini. Wallahu’aklam bissawab.

HUKUMAN "JÈRÈT NARU"


Yusra Habib Abdul Gani

Salah satu hal yang menarik dan spesifik dalam hukum adat masyarakat Gayo adalah dikenalnya istilah ”Jèrèt Naru” (Kuburan Panjang). Sesungguhnya, istilah ”Jeret Naru” hanyalah bahasa lain dari ”Hukuman Buang” (exile)yang dijatuhkan kepada seseorang, karena terlibat dengan pelanggaran sexual yang terjadi dalam lingkungan keluarga (’incest’), clan dan sekampung.

Dalam masyarakat gayo, pelanggaran sexual merupakan delik yang sangat ’aib; karena itulah dalam hukum Adat Gayo, hukuman moral terhadap pelaku kejahatan ini dinamai dengan ”Jèrèt Naru” (Kuburan Panjang), yang secara simbulik berarti: pelakunya dianggap hilang, terbuang, mati, tidak akan kembali lagi buat selama-lamanya dan putus hubungan sosial dan moral dengan masyarakat kampung asal.’

Dahulu –setidak-tidaknya- sampai awal tahun 1960-an, untuk menghindari terjadinya kasus pelanggaran sexual, setiap belah di masing-masing kampung punya pasukan pengawal keamanan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang aktif berjaga-jaga di post ”Serami Bebujang”, sehingga kalau ada pihak luar yang mengganggu anak gadis di suatu belah, sudah pasti akan berhadapan dengan pemuda-pemuda pengawal. Anak muda dari belah lain, tidak boleh masuk ke wilayah berdaulat suatu belah dengan sesuka hati, sebelum melapor kepada bebujang yang bertugas di post jaga (Serami). Sistem pertahanan ini untuk menjaga dan melindungi kehormatan, marwah dan harga diri wanita dari gangguan dan tindakan pelècèhan dari lawan jenis. Dalam peradaban masyarakat adat gayo, tindakan pelècèhan ini dibebut ”Sumang”, meliputi: sumang pecerakan, penèngonen, pelangkahan, apatah lagi mengganggu dan menodai. Dengan cara demikian, nilai-nilai Islam sebagaimana diamanahkan dalam Qur’an yang menyebut: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Surah an-Nur, ayat 30) dan “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dada mereka...” (Surah an-Nur, ayat 31), benar-benar terjaga.

Hal yang sama didapati dalam peradaban masyarakat muslim Arab dikenal dengan ”Ghirah”, yakni: tidakan melindungi/membela agama dan kehormatan wanita. Misalnya saja: ”pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW; di mana seorang muslimah membawa perhiasannya kepada seorang tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa’. Tiba-tiba datang sekelompok remaja Yahudi meminta supaya wanita ini membuka jilbabnya, bahkan sempat auratnya terbuka karena diganggu dan tukang sepuh menggantungkan kerudungnya. Saat dia menjerit, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda tadi langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Pemuda muslim ini pun, akhirnya dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Medengar peristiwa ini, Rasulullah SAW langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah tidak berkutik lagi. Pembelaan tadi hanya atas dasar adanya ikatan aqidah. Inilah “ghirah”.(baca: “Ghirah” yang Hilang. Serambi Indonesia, 15 Agustus 2011). Jika ternyata ”gawang kebobolan” juga, tokh upaya preventif sudah dilakukan.

Diberlakukannya hukuman ”Jèrèt Naru”, ternyata relevan dan erat sekali kaitannya dengan pelaksanaan hukum jenayah yang berhubungan dengan delik susila, yang diatur dalam surat An-Nur, ayat 2 bahwa: ”Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya…” Dalam yurisprudensi hukum Islam, jenis hukuman hukuman pokok –cambuk seratus kali- selalu dibarengi dengan hukuman tambahan, yakni: hukuman buang selama satu tahun. Tentang hal ini Rasulullah bersabda: ”Pemuda dan pemudi (hukuman zinanya) adalah seratus kali cambuk dan pembuangan selama satu tahun.” Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji. ”Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khattab ra”, halaman 700, 1999. Oleh sebab itulah, di zaman khalifah Umar Ibn Khattab, ketentuan ini tetap diberlakukan dan beliau pernah mencambuk orang yang berzina sebanyak seratus kali dan menghukum buang selama satu tahun lamanya. Beliau pernah mengasingkan ke Basrah, Fida dan Khaibar.

Menurut Abi Syaibah, hukuman buang ini bukan saja dijatuhkan kepada pelaku jenayah sexual, akan tetapi juga diberlakukan oleh Umar Ibn Khattab kepada peminum arak. Umar bin Khattab baru menghentikan hukuman ini, setelah menghukum buang Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf karena terlibat dalam minuman keras, yang selama dalam pembuangan bertemu dengan Harqal dan kemudian dia masuk agama Nasrani. Sestelah mendengar cerita ini, Umar berkata: ”Saya tidak akan mengasingkan seseorang muslim setelah kejadian ini untuk selamanya.” Idem, halaman 700.

Dipercayai bahwa ketentuan hukuman tambahan –hukuman buang- dalam hukum Islam ini telah ditransfer oleh pemikir hukum adat Gayo dengan cara meng-gayo-kan- ke dalam isltilah ”Jèrèt Naru”, yang bertujuan untuk menjaga kemurnian iman dan Adat Gayo; sekaligus membuktikan bahwa kehormatan wanita benar-benar dilindungi dan ianya merupakan benteng pertahanan terakhir dalam adat gayo, lagi pun penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan sexual ini tidak dibenarkan memakai intrumen rasa kasih sayang sebagai standard untuk mengukur prikemanusiaan. Di sini tidak berlaku standard prikemanusiaan, sebagaimana dijelaskan: ”…janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum agama Allah…” (surat An-Nur, ayat 2.)

Terus terang, dalam kajian hukum Islam di tanah gayo; terutama mengenai: kapan mulai berlaku hukuman ”Jeret Naru”, apakah jenis hukuman adat ini masih wujud sampai sekarang dalam masyarakat gayo, apakah jenis hukuman adat ini hanya dikenal dan berlaku hanya di kampung-kampung tertentu saja dan atau berlaku secara menyeluruh dalam masyarakat adat gayo, penulis belum melakukan research secara khusus dan komprehensif. Namun begitu, dalam amatan penulis semasa tinggal di Jakarta (1974-1990), mengetahui bahwa jenis hukuman ”Jeret Naru” pernah dijatuhkan oleh Majlis Adat Kampung Kenawat yang tinggal di Jakarta terhadap seorang lelaki punya 6 orang anak –karena terbukti telah memperkosa seorang gadis di bawah umum (masih ada hubungan keluarga dengan pelaku) dan sekampung.

Walau pun, Pengadilan Negeri Jakarta-Timur/Utara yang menyidangkan perkara ini menjatuhkan putusan bebas atas pelaku, namun anggota majlis hukum adat kampung Kenawat di Jakarta (anggota: Zulkèpli, Tengku H. Ali Hasyim, Tengku Baihaqi, AK, Herman, Tani, Mukhtaruddin dan Nurdin Bakri) tetap menjatuhkan hukuman ”Jeret Naru” kepada lelaki tuha bajingan ini. Dalam diktumnya disebut: ”Pelaku kejahatan sexual ini dinyatakan diusir selama seumur hidup dari lingkungan masyarakat adat Kenawat Jakarta. Putusan ini berlaku terhitung sejak tarikh putusan ini dijatuhkan…” Ini merupakan yurisprudensi hukum Adat yang menarik, sebab selain jenis hukuman ”Jeret Naru” yang hampir-hampir tidak lagi dikenal dalam lingkungan hukum adat Gayo, juga lokus delicti-nya di Jakarta, bukan di kampung Kenawat lôt, Takengen.

Gagasan:

Menurut penulis, hukuman ”Jèrè Naru” sangat relevan jika dijatuhkan kepada koruptor, sebab korupsi merupakan kejahatan yang sama ’aibnya dengan pelanggaran sexual –keduanya merupakan kejahatan yang menodai kemasylahatan umum: kehormatan, marwah dan harga diri- oleh sebab itu, bagi terpidana dalam kasus sexual dan korupsi –khususnya di tanah Gayo- yang telah dijatuhi hukuman pokok berdasarkan KUHPidana dan UU Korupsi, secara adat tetap harus dijatuhi hukuman ”Jeret Naru” –hukuman tambahan- berupa hukuman moral dari masyarakat yang punya peradaban. Dengan demikian, Pemda yang berada dalam lingkungan administrasi pemerintahan di tanah gayo, punya ciri khas dalam sistem perundangan-undangan Indonesia. Akankah wujud dan pernahkah perkara ini menjadi agenda pemikiran Ulama, DPRK dan tokoh masyarakat di Gayo? Wallahu’aklam bissawab!