Thursday, May 27, 2010

Pacu Kuda di Negeri Antara














Yusra Habib Abdul Gani

Pada awalnya, pacu kuda hanya aktivitas iseng pemuda-pemuda kampung, seusai musim panen padi di sekitar Danau Laut Tawar. Sudah menjadi kebiasaan anak muda, menangkap kuda yang kerkeliaran dengan kain sarung tanpa setahu empunya dan memacunya. Saat memacu, kadangkala terserempak dengan kelompok pemuda dari kampung lain, yang melakukan hal yang sama. Lalu terjadi interaksi sosial, dimana para joki dari masing-masing kampung sepakat untuk mengadakan pertandingan pacu kuda antara kampung tanpa hadiah bagi pemenang. Tidak disadari, akhirnya sejak awal tahun 1930-an, aktivitas ini berubah menjadi tradisi tahunan yang melibatkan beberapa kampung.

Pada masa itu, penyelenggaraannya masih sangat sederhana. Panitia dibentuk bersama-sama dan memilih lapangan ”Musara Alun” sebagai satu-satunya gelanggang arena pertarungan; sampai kemudian, pada tahun 1956-an (bersamaan dengan lahirnya UU.No.7 Drt/1956 dan UU. No. 24/1956 terbentuknya Kabupaten Aceh Tengah), pelaksanaan pacuan kuda ini diambil alih oleh Pemda Aceh Tengah. Pada priode tahun 1950-an, kuda pacu asal kampung Kenawat, Gelelungi, Pegasing, Kebayakan dan Bintang, boleh dikatakan paling aktif dalam perlombaan ini.

”Rule of the game”
Pacu kuda ini tidak ada aturan main yang pasti-pasti tentang atribut: baju, celana, sepatu, topi, pemecut (cambuk), usia seorang joki dan alat pengaman tubuh, pagar dan tali yang benar-benar memenuhi standard keamanan. Jadi, jika joki jatuh, luka-luka, bahkan mati sekalipun, cukup dengan menghubungi pihak Rumah sakit. Para joki berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Ada joki yang memakai jacket hujan saat berpacu tanpa memperhitungkan factor keselamatan dan arus angin yang mempengaruhi kecepatan. Mereka tidak dibekali pengetahuan tentang ”rule of the game”. Pihak Pemda belum berpikir menyediakan perangkat computer perekam pada garis start, mensyaratkan pakaian yang memenuhi standard keselamatan dan tidak berupaya mengasuransikan para joki, sekiranya mereka mendapat musibah kecelakaan.

Tiga orang juri duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start; sementara seorang juri pembantu berdiri di atas garis start. Kuda-kuda yang akan dipacu dikendalikan oleh joki dan pemiliknya. Juri pembantu mula-mula memberi aba-aba dengan mengangkat ”bendera start” warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Curi start bisa disaksikan disini, saat para joki merapatkan kuda mereka ke garis ”start”. Jika kuda tersebut sulit diajak kompromi (berdiri persis di garis start), maka sang joki yang kekangnya dipandu oleh pemilik, dibenarkan mengambil ancang-ancang jauh dari belakang. Apa yang terjadi? Setiap start perlombaan yang disertai oleh 4 atau 5 peserta, posisi kuda hampir tidak pernah persis berdiri di atas garis start. Juri pembantu hanya memberi peluang beberapa saat agar masing-masing menyiapkan diri; jika tidak, bendera start tetap dikibarkan. Tidak dikenal rumus ”ralat”, ”silap”, ”ma’af”, ”ampun” dan ”menggugat” jika terjadi ketidaksamaan gerak start. Pemegang bendera start adalah raja yang tak tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak boleh digangu gugat.
Inilah yang membedakan antara paduan kuda tradisional di ”Negeri Antara” dengan pacuan kuda di Inggeris dan Spanyol. [Saya pernah saksikan siaran langsung pacuan kuda tradisional di Spanyol lewat layar TV, yang melebihi 28 menit belum juga berhasil dimulai, karena masing-masing kuda sukar diajak kompromi untuk berdiri persis di atas garis start.]

”Taruh (judi)”
Sebelum kuda dipacu, “harie” (”juru penerangan”) lebih dahulu menceritakan sejarah ringkas dari masing-masing kuda, pemilik dan prestasi lewat pengeras suara dari atas balkon yang sesak dengan toké-toké dan petaruh ”kelas kakap” untuk memilih jagoan masing-masing. Kuda tadi dipromosikan di lapangan balkon yang luasnya kira-kira 30x40 m2. Nilai taruhan disiarkan secara langsung. Selain pataruh resmi tadi, penonton dari segenap lapisan masyarakatpun juga ikut bertaruh. Transaksi berlangsung singkat dan tunai. Ini ”pèng kilat”! Tradisi pacu kuda ini, menghalalkan atau melegitimasi taruh (judi) secara resmi dan terbuka. Dengan kata lain: arena pacuan kuda adalah zona bebas judi.

”Unsur magic”
Suatu hal yang tidak bisa dinafikan ialah: tradisi pacu kuda ini identik dengan permainan ilmu magic, yang menghadirkan dukun-dukun kesohor. Lazimnya, mereka berdiri berdekatan dengan garis start. Sang dukun mampu membelokkan arah kuda lawan (musuh) saat melewati tikungan tertentu atau tersungkur. Di era tahun 50-an, dikenal dua dukun terkenal, yaitu: Aman Lumah (yang biasa dialog dan merokok bersama dengan jin) dan Guru Gayo, asal kampung Kenawat. Keduanya hampir setiap tahun mampu memenangkan ”Kude Kenawat” berkulit warna pink campur garis hitam, milik Aman Saleh Bur. Piala-piala yang diraih turut musnah bersama piala juara Didong group Seriwijaya, ketika kampung Kenawat dibakar hangus akhir tahun 1959 oleh pasukan Diponegoro, saat pergolakan Darul Islam (D.I Aceh) bergolak. Caranya: memandikan dan menepung tawari kuda ini terlebih dahulu sebelum dilagakan. Di era tahun 1960-an, ”Kude Bènyang”, ”Kude Gerbak” dan ”Kude Bupati Isa Amin” adalah diantara kuda yang populer. Arena pacuan kuda merupakan gelanggang pertarungan antara dukun-dukun untuk menguji kejituan ilmu magic. Bahkan sering didapati sesajèn di lokasi tertentu yang bisa menyungkurkan kuda musuh. Tidak ada pacuan kuda tanpa kekuatan magic.

”Gerak Tawaf”
Lokasi pacuan kuda ”Musara Alun” bagaikan ”ka’bah”, dimana kaula muda melakukan tawaf di luar lini pacuan, dibatasi oleh tiang pagar yang diikat seadanya. Tiang-tiang itu bukan dikuatkan oleh tali pengikat, melainkan oleh telapak kaki ”’adiyati dhabha” (”kuda pacu yang berlari kencang”) yang ”fa’astarna bihi naq’a” (”yang menerbangkan debu”) dan dibentengi secara massal oleh peserta tawaf yang mengelilingi arena pacuan. Konsep ”tawaf” ini, tidak sama dengan konsep tawaf yang sesungguhnya di Mekah Al- mukarramah. Para pemuda dan gadis-gadis desa bershaff-shaff melakukan tawaf dengan gerak searah dan berlawanan arah (bersilang) mengelilingi lapangan ”Musara Alun” sepanjang pacuan kuda berlangsung. Jama’ah tawaf ini bebas, darimana memulai dan mengakhiri. Tawaf ini bukan refleksi dari keimanan, akan tetapi gerak jiwa untuk mengubur segala bentuk kegelisahan dan kebosanan; ianya juga gerak untuk menemukan butir-butir cinta kasih yang bertabur dan terhampar di padang terbuka. Romantisme akan larut dalam gerak tawaf atau pencarian yang sesungguhnya; sebab disini wajah-wajah gadis manis bersembunyi di sebalik kerudung dan payung warna merah, melintas dan disergap dengan lirikan kumbang-kumbang girang. Dalam tawaf ini terjadi pandangan dan sentuhan massal yang menawar muka dengan penuh harap dan bersaing secara fair. Surat cinta yang adressnya tak jelas, siap dilayangkan ke tangan gadis-gadis yang ikut bertawaf itu.
”Musara Alun”, bukan saja arena pertarungan kuda untuk meraih gelar juara dan piala, tetapi juga berpacu dalam irama cinta yang tumbuh, mekar seketika dan bergelora. Gadis-gadis tidak mau diwakal, termasuk muhrim sekalipun. Mereka bebas dalam batas-batas kewajaran, sebebas kuda berpacu. ”Musara Alun” adalah zona bebas mukrim. Buah yang bisa dipetik dari ”tawaf” ini biasanya berujung kepada jenjang perkawinan.
Kisah ini mungkin dirasakan asing atau bahan tertawaan. Tetapi inilah sebenarnya historiography pacu kuda di ”Negeri Antara”, yang kini sebagian episodenya (gerak tawaf) hampir tidak dijumpai lagi, setelah kebelakangan ini lokasi pacuan kuda dipindahkan dari ”Musara Alun” ke ”Belang Bebangka” dan ke satu lokasi di Kab. Bener Meriah. Pacuan kuda sekarang, lebih mengedepankan pertimbangan ekonomis ketimbang historis, yang tidak lagi diselenggarakan setahun sekali pada momen yang berkesan, tapi diadakan seenak jidatnya; tidak mengkodifikasi nama-nama kuda yang berprestasi sebagai khazanah sejarah budaya Gayo yang unik.[]

Friday, May 21, 2010

Menggugat Hari Kebangkitan Nasional


Yusra Habib Abdul Gani*

Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui.” (Feriderick Nietzche).

UCAPAN Nietzche tersebut bisa merangsang orang untuk menyingkap fakta sejarah yang menyimpan sejuta rahasia masa lalu yang belum terungkap. Kehadiran Organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908) misalnya, secara jujur perlu dipaparkan keabsahannya untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebabnya, organisasi ini bersifat jawa centries, anti agama, tidak berjiwa nasionalis, terang-terangan mendukung kesinambungan penjajahan Belanda dan tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, konon lagi berjuang. Sayangnya, beberapa pakar sejarah berkomplot mengelabui fakta sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Padahal sejarah adalah surat keramat, yang selain mengisahkan keagungan, juga menyimpan kepalsuan dan membesar-besarkan suatu peristiwa yang tidak pernah wujud dinyatakan telah terjadi, hingga fakta sejarah yang palsu tadi dianggap sebagai suatu kebenaran sejarah. Dalam konteks ini sikap kritis diperlukan, sebab “siapapun yang mempercayai sesuatu (pen: fakta) tanpa pengetahuan yang cukup, sama dengan orang jahiliyah.” (Sayyid Quthb, “Tafsir Baru Atas Realitas”, 1996.)

Sebelum ini dan juga sekarang, orang sudah telanjur mengakui bahwa Budi Utomo adalah embrio dari kebangkitan nasionalisme Indonesia, sekaligus motor penggerak perjuangan kesadaran politik berbangsa dan bernegara serta bercita-cita memerdekakan Indonesia. Benarkah? Ternyata setelah diteliti terbukti bahwa pertemuan yang diadakan oleh organinsasi Budi Utomo sifatnya terbatas, hanya dihadiri oleh kalangan orang-orang Jawa saja (alumnus STOVIA asal Jawa Tengah dan Timur), tidak dihadiri oleh orang Sunda (Jawa Barat), apalagi orang-orang (perwakilan) dari luar pulau Jawa. Agenda pertemuan difokuskan kepada perubahan nasib masa depan politik orang Jawa dan Madura. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo bahwa: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Jadi, argumentasi KH. Firdaus AN dalam buku: “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” yang menyatakan: “Tidak pernah sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka” adalah akurat. Apalagi terbukti bahwa, bahasa resmi yang digunakan dalam setiap pertemuan, surat-menyurat, termasuk Anggaran Dasar organisasi ini ditulis dalam bahasa Belanda. Ini berarti, Budi Utomo bersifat ke-Jawa-Madura-an (ethnocentries) dan sama sekali bukan berjiwa kebangsaan (nasionalisme).

Puluhan tahun kemudian, rahasia ini juga terkuak, setelah Ali Sastroamijoyo (salah seorang anggota Budi Utomo) mengaku bahwa tujuan organisasi ini waktu itu memang terbatas bagi kalangan masyarakat Jawa dan Madura saja. Garis perjuangan Budi Utomo yang menggalang kerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda, dibangun atas dasar perubahan politik yang sedang bergulir di Eropa, dari isu kolonialisme yang mengandalkan kekerasan kepada isu demokrasi. Para penasehat politik Belanda berpendapat bahwa, sudah saatnya “politik ethis” dilaksanakan di wilayah “Netherlands East Indie”. Dengan begitu, diharap bisa mengurangi atau meredam ketegangan konflik vertikal. Untuk itu, kepada aktivis Budi Utomo yang sudah dicuci otaknya (brain washing), diangkat menjadi anggota Volkstraad (parlemen) untuk menyuarakan aspirasi politik anak jajahan.

Berangkat dari sini, maka lahirlah beberapa partai politik seperti, PNI, PKI, Partindo, Gerindo, Patai Indonesia Raya (PIR) dll yang mempunyai wakil dalam Volksraad Hindia Belanda. Namun demikian, Budi Utomo tidak memiliki andil sedikitpun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Budi Utomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. Budi Utomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.” (KH. Firdaus AN. “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”

Ketika disadari bahwa ideologi organisasi ini tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan politik yang terjadi, akhirnya Dewan Pengurus sepakat untuk membubarkan organisasi Budi Utomo, 1935. Mereka mengurung diri dari pentas politik dan memenjarakan diri dalam faham kerakyatan yang berciri feodal dan keningratan. Tidak seorangpun diantara mereka yang dijebloskan ke dalam penjara karena alasan menentang kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.

Diakatakan pula bahwa, Budi Utomo yang untuk pertama sekali dipimpin oleh Raden T. Tirtokusumo (Bupati Karanganyar, priode 1908-1911) dan diteruskan oleh Pangeran Aryo Notodirodjo (Keraton Paku Alam Yogyakarta) yang digaji Belanda: “bersikap terbuka, toleran dan menghormati keberagaman agama.” Padahal Noto Soeroto, salah seorang tokoh Budi Utomo, dalam pidatonya tentang “Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging”, terang-terangan berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya. Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.” Bukti lain. Dalam “Suara Umum” (media milik Budi Utomo) yang dipimpin Dr. Soetomo terbitan Surabaya, memuat sebuah artikel, yang dikutip oleh A. Hassan dalam Majalah “Al-Lisan”, berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M.S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Hubungan antara aktivis Budi Utomo dan tokoh Serikat Islam (S.I-1902) sangat runcing. Hal ini, selain disebabkan oleh perbedaan falsafah dan tujuan oraganisasi; S.I menuduh bahwa organisasi Budi Utomo anti agama, khususnya Islam. Tuduhan ini didasarkan atas statemen tokoh-tokoh Budi Utomo, apalagi Raden Adipati Tirtokusumo, dikenal pasti sebagai salah seorang pengikut Freemasonry, yang aktif menjalankan missinya sejak 1895 di daerah Mataram. Selain dia, Boediardjo, (Sekretaris Budi Utomo, 1916), juga seorang Mason dan pernah mendirikan “Mason Boediardjo. Dr. Th. Stevens” di pulau Jawa.

Fakta diatas, agaknya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa organisasi Budi Utomo tidak pernah memiliki cita-cita untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan Budi Utomo sebagai embrio dari kebangkitan nasional dan demokrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini a-historis! Membesar-besarkan peranan Budi Utomo, tidak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan.{Serambi Indonesia, Opini 20 may 2010}

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.

Monday, May 10, 2010

Igauan Self Government

Murizal Hamzah
[Anggota Tim Editor Buku Aditywarman: The Man Behind Special Case]


Judul : Self Government
[Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara]
Penulis : Yusra Habib Abdul Gani
Penerbit : Paramedia Press, Jakarta
Terbit : Pertama, Desember 2009
Tebal : xiii + 248 halaman
ISBN : 978-979-17733-2-4


Ingatan saya jauh melayang pada awal Januari 2010 usai membaca rencana elemen sipil Aceh mengajukan judicial review (pengujian terhadap peraturan perundang-undangan) terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada April 2010. Mereka membidik 20 pasal UU Nomor 11 Tahun 2006 yang dianggap menghadang roda demokrasi di Tanoh Endatu.

Kalangan sipil yang terutama dimotori oleh politikus partai lokal membeberkan pasal-pasal yang bermasalah. Sebut saja Pasal 256 UUPA yang membatasi calon independen untuk kepala daerah/wakil kepala daerah di Aceh yang hanya sekali serta perihal electoral treshold (ET). Kalangan sipil yang didukung oleh pengacara akan mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait 20 pasal UUPA terutama masalah calon independen yang sangat berkepetingan bagi politikus.

Sepenggal keresahan kalangan pro demokrasi itu mematuk mata saya pada buku Self Government. Sang penulis Yusra menjelaskan self government yang digelorakan oleh kalangan tertentu di Aceh tidak lain sebatas jargon. Isi UUPA sebagai turunan dari MoU Helsinki sama saja dengan otonomi khusus yang diterapkan di 32 provinsi lain di Indonesia. Aceh yang berdarah-darah berjuang, namun pada akhirnya seluruh daerah menikmat hasilnya. Misalnya kandidat independen untuk bupati dan gubernur yang justru di Aceh tidak ada lagi pada pemilu mendatang. Sebaliknya di daerah lain marak dilakukan.

Pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005, rakyat Aceh menambah satu kosa kata baru yakni self government (pemerintahan sendiri). Praktek self government di Indonesia tidak dipahami sebagai otonomi khusus. Menjelang Pilkada Gubernur, bupati/walikota di seluruh Aceh pada 11 Desember 2006 dan Pemilu Legislatif pada 9 April 2009, kata self government laris digaungkan sebagai penarik gerobak suara.

Yusra yang memperoleh suaka politik di Denmark mengakui desain Self Government (SG) di Indonesia masih hal baru. Di luar negeri, konsep SG sudah disuarakan di Amerika pada abad ke 17 yang kala itu masih dijajah oleh Inggris. Boleh dikatakan, kerajaan Inggris yang merancang dan memelopori SG untuk koloni-koloninya yang bertaburan di seluruh dunia. (hal. xi).
Mantan Pemimpim Redaksi Majalah Politik Suara Aceh Merdeka (1991-1998) di Kuala Lumpur secara piawai membedah pengertian, tantangan SQ dan seluk-beluk lain yang berkaitan dengan SG. Pada bab dua, diuraikan 12 wilayah menerapkan SG secara total atau setengah-tengah. SG dipahami sebagai bentuk perampingan administrasi untuk mengurangi beban, tanggung jawab pemerintah pusat sekaligus mendidik pemerintah daerah untuk mandiri Dari 12 daerah yang dikaji, mantan dosen hukum di Jakarta menyajikan contoh keberhasilan penerapan SG di Faero dan Greenland. Dua wilayah ini layaknya sebuah negara yang tetap tunduk kepada Denmark. Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark. Mereka memiliki bendera dan segala wewenang lain sebagai ciri khas negara berdaulat. (Hal. 34 & 141)

Contoh daerah lain yang menganut administrasi SG yakni Hongkong, Sabah dan Serawak di Malaysia yang relatif lebih dekat dengan Aceh. Daerah yang dijadikan studi kasus menampilan bendera-bendera lengkap dengan warnanya. Namun tidak demikian pada bagian Aceh yang menempati urutan ketujuh pembahasan. Tidak ada simbol bendera sebagaimana wilayah lain. Padahal MoU Helsinki poin 1.1.5 disebutkan Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himme yang dipertegas lagi dalam UUPA Pasal 246. Faktanya di Aceh tidak ada pengibaran bendera lokal yang berdampingan dengan bendera Merah Putih. Sebaliknya saya menyaksikan di Ternate Provinsi Maluku Utara dikibarkan bendera lokal yang bersebelahan dengan tiang Merah Putih. (hal. 127)

Mengamati perilaku segelintir elit politik di Aceh yang mendewa-dewakan sistem SQ, namun prakteknya tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Kelebihan Aceh yang tidak dimiliki daerah lain yakni bertarungnya partai politik lokal dalam Pemilu Legislatif pada April 2009. Dari enam partai lokal, hanya Partai Aceh yang melewati batas ET sehingga bisa mengikuti Pemilu Legislatif pada April 2012. Selebihnya, politikus dari partai lokal yang berhasrat menjadi anggota dewan harus berkoalisi dengan partai lain atau mendirikan partai lain dengan nama yang berbeda.

Dalam hukum internasional, status Aceh dan Pemerintah Aceh di Indonesia disebut “a nonself governing territory”. Pemerintah Aceh hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa pusat di daerah. Bukan pemerintahan sendiri atauSG. Yang diterapkan di Aceh adalah wujud sesungguhnya otonomi seluas-luasnya. Hanya ganti istilah sehingga terkesan lebih ilmiah dan seolah-olah tidak melaksanakan otonomi khusus. (hal.134).

Patut diberikan penghargaan kepada penulis yang mengupas perihal SG di Aceh (Indonesia) serta perbandingan di luar negeri. Kajian SG masih langka dibahas di forum-forum diskusi atau telaah buku. Yusra menggali info yang sesungguhnya dari narasumber-narasumber yang telah melaksanakan SG. Ada benang benang yang tersirat agar masyarakat tidak terjebak pada istilah yang sesungguhnya sama saja dengan daerah lain. Dalam hal ini, elit politik memahami psikologis masyarakat yang sering terlena dengan nama atau simbol. Celakanya, inilah yang terpuruk di nanggroe Aceh dalam igauan Self Government.