Yusra Habib Abdul Gani*
“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui.” (Feriderick Nietzche).
UCAPAN Nietzche tersebut bisa merangsang orang untuk menyingkap fakta sejarah yang menyimpan sejuta rahasia masa lalu yang belum terungkap. Kehadiran Organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908) misalnya, secara jujur perlu dipaparkan keabsahannya untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebabnya, organisasi ini bersifat jawa centries, anti agama, tidak berjiwa nasionalis, terang-terangan mendukung kesinambungan penjajahan Belanda dan tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, konon lagi berjuang. Sayangnya, beberapa pakar sejarah berkomplot mengelabui fakta sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Padahal sejarah adalah surat keramat, yang selain mengisahkan keagungan, juga menyimpan kepalsuan dan membesar-besarkan suatu peristiwa yang tidak pernah wujud dinyatakan telah terjadi, hingga fakta sejarah yang palsu tadi dianggap sebagai suatu kebenaran sejarah. Dalam konteks ini sikap kritis diperlukan, sebab “siapapun yang mempercayai sesuatu (pen: fakta) tanpa pengetahuan yang cukup, sama dengan orang jahiliyah.” (Sayyid Quthb, “Tafsir Baru Atas Realitas”, 1996.)
Sebelum ini dan juga sekarang, orang sudah telanjur mengakui bahwa Budi Utomo adalah embrio dari kebangkitan nasionalisme Indonesia, sekaligus motor penggerak perjuangan kesadaran politik berbangsa dan bernegara serta bercita-cita memerdekakan Indonesia. Benarkah? Ternyata setelah diteliti terbukti bahwa pertemuan yang diadakan oleh organinsasi Budi Utomo sifatnya terbatas, hanya dihadiri oleh kalangan orang-orang Jawa saja (alumnus STOVIA asal Jawa Tengah dan Timur), tidak dihadiri oleh orang Sunda (Jawa Barat), apalagi orang-orang (perwakilan) dari luar pulau Jawa. Agenda pertemuan difokuskan kepada perubahan nasib masa depan politik orang Jawa dan Madura. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo bahwa: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Jadi, argumentasi KH. Firdaus AN dalam buku: “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” yang menyatakan: “Tidak pernah sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka” adalah akurat. Apalagi terbukti bahwa, bahasa resmi yang digunakan dalam setiap pertemuan, surat-menyurat, termasuk Anggaran Dasar organisasi ini ditulis dalam bahasa Belanda. Ini berarti, Budi Utomo bersifat ke-Jawa-Madura-an (ethnocentries) dan sama sekali bukan berjiwa kebangsaan (nasionalisme).
Puluhan tahun kemudian, rahasia ini juga terkuak, setelah Ali Sastroamijoyo (salah seorang anggota Budi Utomo) mengaku bahwa tujuan organisasi ini waktu itu memang terbatas bagi kalangan masyarakat Jawa dan Madura saja. Garis perjuangan Budi Utomo yang menggalang kerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda, dibangun atas dasar perubahan politik yang sedang bergulir di Eropa, dari isu kolonialisme yang mengandalkan kekerasan kepada isu demokrasi. Para penasehat politik Belanda berpendapat bahwa, sudah saatnya “politik ethis” dilaksanakan di wilayah “Netherlands East Indie”. Dengan begitu, diharap bisa mengurangi atau meredam ketegangan konflik vertikal. Untuk itu, kepada aktivis Budi Utomo yang sudah dicuci otaknya (brain washing), diangkat menjadi anggota Volkstraad (parlemen) untuk menyuarakan aspirasi politik anak jajahan.
Berangkat dari sini, maka lahirlah beberapa partai politik seperti, PNI, PKI, Partindo, Gerindo, Patai Indonesia Raya (PIR) dll yang mempunyai wakil dalam Volksraad Hindia Belanda. Namun demikian, Budi Utomo tidak memiliki andil sedikitpun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Budi Utomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. Budi Utomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.” (KH. Firdaus AN. “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”
Ketika disadari bahwa ideologi organisasi ini tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan politik yang terjadi, akhirnya Dewan Pengurus sepakat untuk membubarkan organisasi Budi Utomo, 1935. Mereka mengurung diri dari pentas politik dan memenjarakan diri dalam faham kerakyatan yang berciri feodal dan keningratan. Tidak seorangpun diantara mereka yang dijebloskan ke dalam penjara karena alasan menentang kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.
Diakatakan pula bahwa, Budi Utomo yang untuk pertama sekali dipimpin oleh Raden T. Tirtokusumo (Bupati Karanganyar, priode 1908-1911) dan diteruskan oleh Pangeran Aryo Notodirodjo (Keraton Paku Alam Yogyakarta) yang digaji Belanda: “bersikap terbuka, toleran dan menghormati keberagaman agama.” Padahal Noto Soeroto, salah seorang tokoh Budi Utomo, dalam pidatonya tentang “Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging”, terang-terangan berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya. Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.” Bukti lain. Dalam “Suara Umum” (media milik Budi Utomo) yang dipimpin Dr. Soetomo terbitan Surabaya, memuat sebuah artikel, yang dikutip oleh A. Hassan dalam Majalah “Al-Lisan”, berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M.S) Al-Lisan nomor 24, 1938.
Hubungan antara aktivis Budi Utomo dan tokoh Serikat Islam (S.I-1902) sangat runcing. Hal ini, selain disebabkan oleh perbedaan falsafah dan tujuan oraganisasi; S.I menuduh bahwa organisasi Budi Utomo anti agama, khususnya Islam. Tuduhan ini didasarkan atas statemen tokoh-tokoh Budi Utomo, apalagi Raden Adipati Tirtokusumo, dikenal pasti sebagai salah seorang pengikut Freemasonry, yang aktif menjalankan missinya sejak 1895 di daerah Mataram. Selain dia, Boediardjo, (Sekretaris Budi Utomo, 1916), juga seorang Mason dan pernah mendirikan “Mason Boediardjo. Dr. Th. Stevens” di pulau Jawa.
Fakta diatas, agaknya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa organisasi Budi Utomo tidak pernah memiliki cita-cita untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan Budi Utomo sebagai embrio dari kebangkitan nasional dan demokrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini a-historis! Membesar-besarkan peranan Budi Utomo, tidak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan.{Serambi Indonesia, Opini 20 may 2010}
*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
Friday, May 21, 2010
Menggugat Hari Kebangkitan Nasional
Author Yusra Habib Abdul Gani
Published 7:27 AM
Share This!
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 Comments so far
that mantap Opini Tgk. meukeunong..