Monday, May 10, 2010

Igauan Self Government

Murizal Hamzah
[Anggota Tim Editor Buku Aditywarman: The Man Behind Special Case]


Judul : Self Government
[Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara]
Penulis : Yusra Habib Abdul Gani
Penerbit : Paramedia Press, Jakarta
Terbit : Pertama, Desember 2009
Tebal : xiii + 248 halaman
ISBN : 978-979-17733-2-4


Ingatan saya jauh melayang pada awal Januari 2010 usai membaca rencana elemen sipil Aceh mengajukan judicial review (pengujian terhadap peraturan perundang-undangan) terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada April 2010. Mereka membidik 20 pasal UU Nomor 11 Tahun 2006 yang dianggap menghadang roda demokrasi di Tanoh Endatu.

Kalangan sipil yang terutama dimotori oleh politikus partai lokal membeberkan pasal-pasal yang bermasalah. Sebut saja Pasal 256 UUPA yang membatasi calon independen untuk kepala daerah/wakil kepala daerah di Aceh yang hanya sekali serta perihal electoral treshold (ET). Kalangan sipil yang didukung oleh pengacara akan mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait 20 pasal UUPA terutama masalah calon independen yang sangat berkepetingan bagi politikus.

Sepenggal keresahan kalangan pro demokrasi itu mematuk mata saya pada buku Self Government. Sang penulis Yusra menjelaskan self government yang digelorakan oleh kalangan tertentu di Aceh tidak lain sebatas jargon. Isi UUPA sebagai turunan dari MoU Helsinki sama saja dengan otonomi khusus yang diterapkan di 32 provinsi lain di Indonesia. Aceh yang berdarah-darah berjuang, namun pada akhirnya seluruh daerah menikmat hasilnya. Misalnya kandidat independen untuk bupati dan gubernur yang justru di Aceh tidak ada lagi pada pemilu mendatang. Sebaliknya di daerah lain marak dilakukan.

Pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005, rakyat Aceh menambah satu kosa kata baru yakni self government (pemerintahan sendiri). Praktek self government di Indonesia tidak dipahami sebagai otonomi khusus. Menjelang Pilkada Gubernur, bupati/walikota di seluruh Aceh pada 11 Desember 2006 dan Pemilu Legislatif pada 9 April 2009, kata self government laris digaungkan sebagai penarik gerobak suara.

Yusra yang memperoleh suaka politik di Denmark mengakui desain Self Government (SG) di Indonesia masih hal baru. Di luar negeri, konsep SG sudah disuarakan di Amerika pada abad ke 17 yang kala itu masih dijajah oleh Inggris. Boleh dikatakan, kerajaan Inggris yang merancang dan memelopori SG untuk koloni-koloninya yang bertaburan di seluruh dunia. (hal. xi).
Mantan Pemimpim Redaksi Majalah Politik Suara Aceh Merdeka (1991-1998) di Kuala Lumpur secara piawai membedah pengertian, tantangan SQ dan seluk-beluk lain yang berkaitan dengan SG. Pada bab dua, diuraikan 12 wilayah menerapkan SG secara total atau setengah-tengah. SG dipahami sebagai bentuk perampingan administrasi untuk mengurangi beban, tanggung jawab pemerintah pusat sekaligus mendidik pemerintah daerah untuk mandiri Dari 12 daerah yang dikaji, mantan dosen hukum di Jakarta menyajikan contoh keberhasilan penerapan SG di Faero dan Greenland. Dua wilayah ini layaknya sebuah negara yang tetap tunduk kepada Denmark. Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark. Mereka memiliki bendera dan segala wewenang lain sebagai ciri khas negara berdaulat. (Hal. 34 & 141)

Contoh daerah lain yang menganut administrasi SG yakni Hongkong, Sabah dan Serawak di Malaysia yang relatif lebih dekat dengan Aceh. Daerah yang dijadikan studi kasus menampilan bendera-bendera lengkap dengan warnanya. Namun tidak demikian pada bagian Aceh yang menempati urutan ketujuh pembahasan. Tidak ada simbol bendera sebagaimana wilayah lain. Padahal MoU Helsinki poin 1.1.5 disebutkan Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himme yang dipertegas lagi dalam UUPA Pasal 246. Faktanya di Aceh tidak ada pengibaran bendera lokal yang berdampingan dengan bendera Merah Putih. Sebaliknya saya menyaksikan di Ternate Provinsi Maluku Utara dikibarkan bendera lokal yang bersebelahan dengan tiang Merah Putih. (hal. 127)

Mengamati perilaku segelintir elit politik di Aceh yang mendewa-dewakan sistem SQ, namun prakteknya tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Kelebihan Aceh yang tidak dimiliki daerah lain yakni bertarungnya partai politik lokal dalam Pemilu Legislatif pada April 2009. Dari enam partai lokal, hanya Partai Aceh yang melewati batas ET sehingga bisa mengikuti Pemilu Legislatif pada April 2012. Selebihnya, politikus dari partai lokal yang berhasrat menjadi anggota dewan harus berkoalisi dengan partai lain atau mendirikan partai lain dengan nama yang berbeda.

Dalam hukum internasional, status Aceh dan Pemerintah Aceh di Indonesia disebut “a nonself governing territory”. Pemerintah Aceh hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa pusat di daerah. Bukan pemerintahan sendiri atauSG. Yang diterapkan di Aceh adalah wujud sesungguhnya otonomi seluas-luasnya. Hanya ganti istilah sehingga terkesan lebih ilmiah dan seolah-olah tidak melaksanakan otonomi khusus. (hal.134).

Patut diberikan penghargaan kepada penulis yang mengupas perihal SG di Aceh (Indonesia) serta perbandingan di luar negeri. Kajian SG masih langka dibahas di forum-forum diskusi atau telaah buku. Yusra menggali info yang sesungguhnya dari narasumber-narasumber yang telah melaksanakan SG. Ada benang benang yang tersirat agar masyarakat tidak terjebak pada istilah yang sesungguhnya sama saja dengan daerah lain. Dalam hal ini, elit politik memahami psikologis masyarakat yang sering terlena dengan nama atau simbol. Celakanya, inilah yang terpuruk di nanggroe Aceh dalam igauan Self Government.

Artikel Terkait