Friday, November 5, 2010

Menangkis Franz Magnis

Yusra Habib Abdul Gani
{Arsip tahun 2000)


SEBUAH Lokakarya "Melacak jejak Demokrasi di Aceh, Dulu, sekarang dan akan datang" digelar di Aceh pada 11/Oktober 2000. Pertemuan yang bernuansa politik ini berupaya menanam opini dan menggiring Aceh supaya menerima realitas sosial-politik bahwa: Aceh adalah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia. Dengan analisis yang dangkal, Magnis menyimpulkan: "... banyak sekali bentuk persatuan antara wilayah-wilayah, seperti Provinsi Aceh, yakni di antaranya pemberian otonomi khusus yang secara formal tidak berpisah dengan negara kesatuan Republik Indonesia".
Bungkusan analisis Magnis menyamai missi Hardi era pemerintahan Ali Sastroamijoyo yang memberi nama ”Daerah Istimewa Aceh”, yang ternyata berisi cèk kosong. Magnis mengklasifikasikan Aceh sebagai keledai, karena jatuh beberapa kali kedalam lubang yang sama. Untuk itu, perlu melibatkan semua perangkat: mulai dari ABRI, jongos, wanita jalang, Ulama/Kiyai, politisi, ilmuan dan budayawan sebagai kekuatan sosial untuk melakukan trik politik yang secara serentak dikerahkan oleh penguasa dengan tujuan akhir: "... agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh..." Kata Magnis.
Baru objektif menganalisis politik di Aceh, kalau terlebih dahulu menempatkan diri anda sebagai sosok budayawan neutral yang jarak jangkauan analisisnya bukan saja mampu menembus realitas sosial-politik yang terjadi, melainkan juga menawarkan format menyelesaikan konfilk vertikal antara Aceh-Jakarta. Saya merasa pesimis, anda bisa melakukannya. Sebab, suara anda adalah nada minor yang tidak menunjukkan seorang budayawan neutral, melainkan sebagai kaki tangan penguasa yang didanani oleh mafia politik di Aceh dan Jakarta.
Melacak demokrasi di Aceh dalam konteks politik nasional Indonesia, sama artinya dengan petualangan demokrasi semu, ianya tidak akan ketemu dan bersentuhan, karena memang tidak adanya bukti yang kuat yang menghubungkan antara sejarah Aceh dengan perjalanan demokrasi di Indonesia.
Lihat saja, di saat orang mengatakan: ”rezim Orde Lama dinilai 'berhasil' dengan pemberian label "Daerah Istimewa Aceh"; tokh dalam realitasnya gagal menyelesaikan masalah Aceh secara menyeluruh dan komprehensif. Begitu juga, jika dikatakan: ”rezim Orde Baru dinilai 'berhasil' dengan mengandalkan kekuatan militer”, tokh nyatanya tidak mampu meredam keinginan Aceh memperjungkan cita-citanya (merdeka). Demikian juga dengan rezim Habibie dan Gusdur ”yang dinilai 'berhasil' dengan taktik menabur janji-janji”, ternyata tidak mampu melunturkan semangat Aceh menuntut kemerdekaan. Perkara inilah yang tidak dikupas dan dikoreksi Magnis. Pada hal semua fakta sosial-politik diatas merupakan gambaran dari akhlaq politik politisi Indonesia.
Terus terang bahwa: sejarah, gerak dan perubahan politik Indonesia, termasuk nasib masa depan Indonesia dibahas dalam sylabus pendidikan ideologi Aceh Merdeka dan merumusakan dalam kalimat yang tidak pajang bahwa: ”semua dalil, siapapun dan dari kalangan manapun bersuara, ianya adalah suara penguasa.” Apalagi anda berkata: "... pemerintah tidak akan menerimanya bila opsi yang diminta bergabung atau berpisah dengan NKRI." Analisa 12/okt, 2000. Politisi GAM tahu persis, berapa harga politik Indonesia, sebagaimana diketahui berapa nilai Rupiah sehari-hari di Bursa Effek Jakarta (BEJ). Nilai Rupiah tidak ditentukan di Jakarta, akan tetapi ditentukan di Wall Street, New York. Harga politik Indonesia tidak ditentukan di Senayan dan Bina Graha Jakarta, tetapi sangat tergantung kepada politik dunia internasional (PBB.)
Bacaan politik nasional dan internasional tentang Aceh semakin mendekati klimaks. Indikasinya ialah: kantor-kantor Bupati, Camat dan Kepada Desa yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, khususnya di Wilayah Pidië, Wilayah Pasè (Aceh Utara), Wilayah Batèë Iliëk, Wilayah Peureulak (Aceh Timur), Wilayah Meulaboh, Wilayah Tapak Tuan dan Wilayah Linge (Aceh Tengah) sudah bubar di Aceh. Hal ini diakui oleh Syarifuddin Tipe bahwa: ”80% roda pemerintahan di Aceh telah dipegang oleh GAM.” Tinggal lagi Muhammad Yus bersama konco-konconya di DPRD/tkt I dan Ramli Ridwan bersama konco-konconya di Pemda tkt I (Gubernur), yang nafasnya masih berdenyut. Kedua lembaga inipun mungkin tak lama lagi akan dimakaman ('requem'). Atas dasar realitas inilah, hingga ada peserta lokakarya berkata: "waktu untuk memaksakan sesuatu apapun pada rakyat Aceh sudah lewat." Andaikan anda turun ke lapangan kesimpulan ini akan lebih akurat.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dan diabaikan adalah: sebelum ini wujud suatu keadaan, dimana bentuk-bentuk keresahan, teror, intimidasi dan pembunuhan tidak terbatas kepada pejuang Aceh saja, akan tetapi juga 'Inem-inem' di lokasi-lokasi transmigrasi, ayam, itik, kerbau, sapi dan tanaman, bersuara seperti ucapan anda: "… menolak solusi militer untuk mengatasi konflik di Aceh, sebab ianya tidak adil, tidak manusiawi dan oleh karena itu dalam situasi apapun tidak dapat dibenarkan lagi." Soal kemudian sdr berkata: "Indonesia sudah lewat melakukan sesuatu untuk Aceh..." dan berharap: "agar Aceh dapat terus bersatu dengan seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tanpa Aceh, tidak utuh. Terlalu panjang dan penting ikatan sejarah dan budaya yang mempersatukan Aceh dengan Indonesia". Itu hak anda. Yang penting, sepakatkah kita bahwa, menyelamatkan satu jiwa manusia berarti menyelamatkan kebenaran, yang sama artinya dengan membina mahligai di dunia yang bisa didiami oleh berjuta-juta manusia yang cintakan keamanan dan perdamaian. Inilah Kemerdekaan! Wallahu'aklam bissawab.

Wednesday, November 3, 2010

Menyibak Selubung KMB


Yusra Habib Abdul Gani

Sesudah melewati setengah abad, barulah Ratu Belanda atas nama pemerintah Belanda merencanakan memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, sekaligus “menyudahi berpuluh-puluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengaku penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, melalui Perjanjian KMB, 27/12/1949.” (Antara Press, 04/10/2010).
Pemberikan pengakuan akhirnya bantut –untuk sementara gagal– setelah pejuang RMS di pengasingan (Belanda) mengajukan Sidang pra-peradilan (kort gedig) terhadap Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atas tuduhan melakukan sederetan pelanggaran HAM di Maluku yang rencananya digelar bersamaan dengan kunjungannya ke Belanda. SBY (Presiden Indonesia) adalah satu-satunya kepala negara di dunia yang merasa khawatir dan takut atas tidak mujarabnya kekebalan hukum atas seorang Kepala Negara (diplomat) yang nyata-nyata dijamin oleh Resolusi PBB.
Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu sekaligus mengakhiri drama sejarah yang sarat dengan hal-hal yang kontroversial di sekitar penanda tanganan Pejanjian KMB, seperti: keharusan Indonesia membayar kompensasi sebesar 600 juta Golden kepada Belanda atas dasar pe-nasionalisasi-an seluruh hartanah Belanda di wilayah “Netherlans Easts Indies”, yang pembayarannya baru lunas tahun 2003. Naskah Perjanjian yang mewajibkan Indonesia membayar 600 juta Golden kepada Belanda, ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX (wakil RIS) dan A.H.J Lovink (Wakil Belanda) di Jakarta. Perbuatan ini dirahasiakan oleh penguasa (pelaku sejarah Indonesia) kepada rakyat dan baru terungkap di kalangan elite politisi Indonesia, setelah wartawan detikcom berhasil menelusuri jejak langkah kompensasi yang aneh bin ajaib itu dan membeberkan kepada masyarakat umum pertengahan tahun 2003. Selain itu, Keberadaan Perjanjian KMB, pada 27/12/1949, ‘benarkah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia (NKRI)?’ Demikian juga masalah status Aceh dalam hubungannya dengan isi Perjanjian KMB yang belum sempat terungkap sampai sekarang. Untuk itu, pembuktian di bawah ini kiranya bisa membuka tirai sejarah Indonesia.
Dalam Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dan Komisi Umum Belanda, pada 25 Maret 1947 disepakati: (1). Belanda mengakui secara de facto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura; (2). Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada 1 Januari 1949; (3). RI dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indoensia serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya adalah RI; (4). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. {Baca: 30 tahun Indonesia Merdeka 1945 – 1949. Sekretaris Negara Indonesia, cetakan ke-7, 1986}
”… wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...” yang disebut dalam point 1 ialah: ”Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan Negara Sumatera Selatan.” Hal ini ditegaskan dalam Piagam Konstitusi RIS, ayat 6–7 yang disahkan pada 14 Desember 1949. Perjanjian ini tidak menyinggung status Aceh, yang ketika itu merupakan wilayah yang bebas dan merdeka. Tegasnya, Aceh bukan sebagian wilayah negara Sumatera Timur.
Sewaktu Van Mook membentuk: (1). Negara Pasundan, 4 Mei 1947; (2). “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 9 Mei 1947; (3). ‘Daerah Istimewa Borneo Barat’, 12 Mei 1947; (4). Negara Madura, 23 Januari 1948; (5). Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948; (6). Pemerintah Federal Sumatera; (7). Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Disini jelas, Van Mook (Belanda) tidak pernah masuk ke Aceh dan membentuk negara Aceh.
Dalam Perjanjian Renville, 17/01/1948 disepakati: “wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam perjanjian Linggarjati dipaksa dikosongkan mulai dari sebagian Sumatera, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur dari penguasaan tentara RI, yang dikenal dengan ‘garis Van Mook’.” Ibukota RI (Yogyakarta) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948, Sukarno-Hatta ditahan dan dibuang ke Bangka. ‘Garis Van Mook’ tidak pernah direntang Belanda sampai ke Aceh.
Perjanjian Roem-Royen, 7/05/1949 menyetujui: “Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan republik. Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda jangan lagi diganggu gugat. Fakta ini membuktikan bahwa Aceh wilayah yang dituntut RI.
Konferensi antara wakil RI dan BFO (19/07 - 2/08/1949) menghasilkan: (1). Membentuk susunan dan hak Pemerintah RIS, kewajiban-kewajiban RIS dan Belanda jika terjadi penyerahan ”kekuasaan” dari Belanda kepada RIS; (2). Menyiapkan Piagam Konstitusi RIS untuk ditanda tangani pada 14 Desember 1949 oleh wakil dari 16 negara bagian. (1). Mr. Susanto Tirtoprodjo (Republik Indonesia), (2). Sultan Hamid II (Kalimantan Barat), (3). Ide Anak Agoeng Gde Agoeng (Indonesia Timur), (4). R.A.A Tjakraninggrat (Madura), (5). Mohammad Hanafiah (Banjar), (6) Mohammad Jusuf Rasidi (Bangka), (7). K.A. Mohhammad Jusuf (Belitung), (8). Muhran bin Haji Ali (Dayak Besar), (9). Dr R.V Sudjito (Jawa Tengah), (10). Raden Sudarno (Jawa Timur), (11). M. Jamani (Kalimantan Tenggara), (12). AP. Sastronegoro (Kalimantan Timur), (13). Mr. Djumhana Wiriatmadja (Pasundan), (14) Radja Mohammad (Riau), (15). Abdul Malik (Sumatera Selatan) dan (16). Radja Kaliamsyah Sinaga (Sumatera Timur); (3). Memilih Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO) ke KMB. Disini jelas, Aceh tidak ikut campur dalam urusan BFO dan RIS. Akan halnya dengan:
1. Naskah KMB ditanda tangani tgl 2/11/1949 oleh Mr. J.H. Van Maarseveen (wakil Belanda), Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO);
2. Penyerahan Kekuasaan dari Belanda kepada Negara Indonesia Serikat (RIS) pada tgl 27/12/1949. Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS;. Delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan);
3. Penyerahan Kekuasaan ini ditanda tangani juga secara terpisah di Jakarta oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink;
4. Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta.
Ke-empat peristiwa tersebut membuktikan bahwa, Aceh tidak terlibat dalam urusan politik antara RIS, RI dan Belanda. Perjanjian tersebut secara hukum hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji, tidak termasuk Aceh.
Fakta diatas mebuktikan bahwa, Belanda bukan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia (NKRI), melainkan kepada RIS. Jika Ratu Belanda memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, yang wilayahnya mencakup bekas “Netherlans Easts Indies”, maka mestilah memansyukhkan terlebih dahulu isi Perjanjian KMB 27/12/1949. Jika tidak, terjadi ‘overleving’ hukum. Sebab R.I yang terima Penyerahan Kedaulatan waktu itu, wilyahnya hanya Jogyakarta dan daerah sekitarnya, plus wilayah dari 15 negara bagian Republik Inidonesia Serikat (RIS). Pengakuan Belanda ini sudah tentu berimbas politik, yakni: pelimpahan kuasa dari “Netherlans Easts Indies” kepada “Indonesia”. Dalam konteks ini, status Aceh tetap tidak tergugat, oleh karena salah satu point Ultimatum Komisaris Pemerintah Hindia Belanda kepada Kesultanan Aceh, 26 Maret 1873, diantaranya menyebut: “Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Acheh” Penyerahan ini tidak pernah terjadi. Dengan demikian, Aceh bukan atau tidak pernah menjadi sebagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.” Dalam etika hukum diakui bahwa: “Dianggap tindakan illegal, jika satu pihak menyerahkan sesuatu barang yang bukan hak miliknya kepada orang lain.” Artinya, jika pengakuan (‘recognation’) Belanda mengakibatkan Aceh menjadi bagain dari Indonesia, maka secara yuridis, tindakan Belanda illegal, karena dalam sejarahnya, Aceh tidak pernah menjadi bagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.”