Tuesday, January 19, 2010

Penulis Gayo Luncurkan Buku “Self Government”

Yusra Habib Abdul Gani

{Arsip}
Takengon-Awal tahun 2010, sebuah buku karya putra Aceh, khususnya dari Tanoh Gayo bertajuk Self Government segera diluncurkan ke pasaran buku di seantero nusantara. Buku tersebut adalah karya penulis asal Gayo berkewarganegaraan Denmark, Yusra Habib Abdul Gani. Sosok yang sudah dikenal luas melalui tulisan-tulisan di sejumlah media cetak dn online, khususnya berbasiskan ke-Acehan.

Menurut Yusra Habib yang berwarganegaraan Denmark ini, Jum’at (27/11) malam, buku tersebut diilhami atas keprihatinan melihat kondisi demokrasi di Indonesia umumnya yang dinilai sakit. Dalam buku tersebut, Yusra Habib mengulas penerapan demokrasi di sejumlah Negara sebagai bahan perbandingan tentang desain administrasi Negara.

“Melalui buku ini nantinya, saya ingin sampaikan pernak-pernik demokrasi dengan mengulas falsafah berfikir tentang demokrasi secara internasional, lengkap dengan landasan filosofis kenapa kita harus hidup sebagai masyarakat yang berdemokrasi,” jelas Yusra, tokoh Aceh yang punya moto “Kenderaan kemanusiaan tidaklah diukur dari kecepatannya, melainkan dari muatan dan sejauh mana ia bisa berlari membawa misi kemanusiaan,” ini.

Dikatakan Yusra, untuk proses editing terakhir sudah oke. “Saat saya berangkat ke Aceh, buku tersebut sedang diproses cetak di Jakrata, ISBN sudah ada, izin dari Perpustakaan Negara sudah ada. Dan sejumlah persyaratan penerbitan di Indonesia sudah lengkap,” rinci Yusra.

Yusra Habib yang pernah menjadi salah seorang anggota Komite Perlindungan Pelarian Politik Acheh di Malaysia di tahun 1996 ini berharap bukunya dapat menjadi bahan bacaan semua kalangan di Indonesia, terlebih pihak penguasa yang sedang duduk dilembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif disemua tingkatan dinegeri ini sebab isi bukunya menyangkut kebjiksanaan politik, kebijakan hukum, dan bagaimana merumuskan legal positiveable oleh lembaga legislatif. “Demokrasi bukan saja menjadi urusan politik saja, tapi menjadi sesuatu yang mendukung sebuah legal system dalam sebuah negara,” jelas Yusra.

Akan diluncurkannya buku yang membahas pernak-pernik demokrasi tersebut terungkap setelah diawali pertemuan The Globe Journal dengan Yusra Habib Abdul Gani di rumah orangtuanya di Kampung Kenawat kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah, Jum’at (27/11) sore.

Setelah mengenalkan diri, ternyata bagi Yusra Habib, The Globe Journal sudah tak asing lagi. “Setiap saat saya online, saya pastikan baca The Globe Journal,” kata Yusra Habib.

Selanjutnya karena ada keperluan lain yang sudah dijadwalkan, saat diminta waktu untuk bincang-bincang, Yusra Habib meminta waktu lain, persisnya Jum’at (27/11) malam. “Saya juga ingin share dengan anda selaku seorang kuli tinta di Aceh, terlebih di Gayo tanah kelahiran saya,” kata Yusra yang mengaku belum berniat kembali menjadi warga Indonesia ini.
Laporan: Khalisuddin | The Globe Journal | Sabtu, 28 November 2009

Friday, January 15, 2010

Buku ‘Self Government’ Dibedah

Yusra Habib Abdul Gani

{Arsip}
BANDA ACEH - Buku berjudul ‘Self Government’ (Studi Perbandingan tentang Desain Administrasi Negara) yang ditulis Yusra Habib Abdul Gani, Rabu (30/12) kemarin dibedah dalam forum diskusi panel di Romen Cafe, Banda Aceh. Forum diskusi panel tersebut sekaligus menandai buku setebal 247 halaman tersebut diluncurkan kepada publik di Aceh. “Isu self government untuk saat ini memang suatu hal yang baru. Tapi buku ini lebih pada memberi pandangan tentang apa yang disebut dengan self government dengan merujuk pada sejumlah negara yang telah menerapkan self government sebagai bentuk pemerintah hingga kini,” kata Yusra dalam sambutan pengantarnya di depan forum diskusi.

Turut hadir sebagai pembanding yakni politisi yang juga advokat senior, Mukhlis Mukhtar dan Djuanda Jamal. Sementara dari peserta diskusi yang dipandu Hasan Basri M Nur tersebut juga tampak sejumlah tokoh. Antara lain, mantan anggota DPR-RI, Ghazali Abbas Adan, pakar hukum Unsyiah Taqwadin SH, akademisi IAIN Ar-Raniry Prof Dr Hasbi Amiruddin, mantan Kadisdik Aceh, Anas M Adam dan Sekjen Panglima Laot M Adli Abdullah. Menurut Yusra, sejak lama sejumlah negara bagian di dunia telah menerapkan bentuk pemerintahan sendiri (self government). Di antara negara bagian tersebut adalah Bougainville dan Greenland . Selain itu juga ada Monaco, Sabah dan Serawak, Tibet dan Skotlandia.

Menurut Juanda Djamal, Aceh di bawah payung UUPA memiliki peluang untuk melahirkan self government dalam konteks keacehan. Namun untuk mewujudkan hal tersebut butuh waktu. Mantan anggota DPRA, Mukhlis Mukhtar berpendapat, UUPA yang berlaku di Aceh saat ini belum menyentuh pada penerapan pola pemerintahan self government. Karena, kata Mukhlis, kewenangan UUPA tidak mutlak berlaku secara otomatis dalam sistem pemerintahan Aceh. “Masih banyak pasal dalam UUPA yang berhadapan dengan hukum nasional. Salah satunya dalam konteks KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) ,” katanya. Akademisi IAIN Ar Raniry, Prof Dr Hasbi Amiruddin memberi apresiasi positif atas peluncuran buku tersebut. Menurutnya, buku tersebut merupakan salah satu terobosan di bidang pendidikan karena isu self government dinilai sesuatu yang masih baru dan ditulis oleh penulis asal Aceh.(sar)

tautan: http://serambinews. com/news/ view/20844/ buku-self- government- dibedah.Tanggal 31 December 2009.

Pepesan Kosong Self Government Aceh


Yusra Habib Abdul Gani

Resensi buku:
Judul: Self Government, Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara
Penulis: Yusra Habib Abdul Gani
Penerbit: Paramedia Press,Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2009
Tebal: xiii + 248

MEMBACA judulnya, sudah barang tentu buku ini lahir dari sebuah keprihatinan penulisnya. Prihatin atas kondisi Aceh saat ini yang begitu mengagungagungkan sistem self government. Sebuah bentuk pemerintahan Aceh pasca ditandatanganinya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Istilah self government atau pemerintahan sendiri, menjadi sesuatu yang tidak asing bagi publik di Aceh pascaperdamaian.

Orang-orang ‘tidak sekolah’ pun begitu mudah memuntahkan istilahself government dari mulutnya dalam setiap diskusi kecil di kedai-kedai kopi di seluruh pelosok Aceh. Bahkan, para pejabat pemerintah Aceh dengan mudah mengumbar sistem self government dalam setiap ceramah di depan rakyat. Kampanye-kampanye politik saat pilkada 2006 juga tidak lepas dari jualan self government untuk masa depan Aceh yang lebih bermartabat. Namun ketika ditanya sejauh mana makna dan hakikat self government, tentu tidak semua orang bisa memaparkannya dengan rinci jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Memulai dengan pengalaman lapangan yang dialami penulis, Yusra Habib Abdul Gani, dimana banyak ditanya soal apa itu self government, di buku ini memberikan ulasan secara utuh makna dan sejarah lahirnya self government itu. Ada 12 negara penganut self government yang diulas Yusra Habib. Sebuah gambaran utuh, tentang makna dan penerapan sesungguhnya dari self government, termasuk kelebihan kekurangan sejumlah negara penganut sistem tersebut.

Self government, muncul sebagai sebuah bentuk administrasi yang memberi ruang gerak kebebasan kepada penguasa di suatu wilayah kekuasaan, tidak terlepas dari sejarah penjajah Inggris terhadap Kanada, Amerika, Australia, dan New Zealand. Sehubungan dengan hal inilah, hingga dalam literatur mengenai self government dikatakan bahwa; penyelenggaraan self government di Kanada untuk pertama (bukan yang pertama di negara Kanada) dilaksanakan (hal.22). Tentang self government, Yusra Habib, mengulas satu contoh negara dengan sistem pemerintahan sendiri dan dinilai sukses. Faero dan Greenland adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah hukum Denmark, akan tetapi fakta di bawah ini mengatakan lain-setidak-tidaknya-menjadi suatu pemandangan dan kajian hukum yang menarik dari pelaksanaan self government di Greenland dan Faero.

Betapa tidak? Departemen Luar Negeri Denmark mengeluarkan peraturan yang antara lain isinya sebagai berikut: “Anda akan kehilangan hak tinggal di Denmark, sekiranya anda pindah dari Denmark atau jika anda berada di luar Denmark untuk masa jangka masa yang lama. Jika anda tinggal lebih dari 6 bulan di luar Denmark, dengan sendirinya izin tinggal anda akan jatuh tempo. Jika anda telah memiliki izin tinggal di Denmark lebih dari 2 tahun akan jatuh tempo setelah anda berada di luar Denmark lebih dari 12 bulan berturut-turut. Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark. Di sini jelas kelihatan, apa yang dibentangkan oleh politisi Faero selama ini, bahwa sudah semestinya dibedakan antara Negara dan Pemerintah (penyelenggara administrasi self government yang benar-benar), ternyata terjawab.

Dengan mengatakan, “Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark,” sudah lebih cukup membuktikan ‘inilah suatu pengakuan (recognation) dari pemerintah pusat Denmark sehubungan dengan status kedua negeri tersebut dalam wilayah kedaulatan Denmark. (hal.34) Bagaimana dengan Aceh? sepertinya inilah entry point yang ingin disampaikan Yusra Habib Abdul Gani di bukunya tersebut, terkait self government. Jauh panggang dari api, ini yang sebenarnya tersirat di buku Yusra Habib. Menilik 12 profil negara penganut self government, Aceh masih sangat jauh dari makna sesungguhnya self government.Yusra Habib sendiri secara tidak langsung menyebutnya ‘Aceh Kosong’. Terlihat pada halaman profil ‘negara’ Aceh. Jika profil 12 negara lengkap dengan bendera negara masingmasing, di lembaran ‘negara’ Aceh tidak tertera alias bodong bendera. Hanya makna warna merah, putih, hitam yang bisa ‘difahami’ semua orang Aceh, akan tetapi belum ada kekuatan apa-apa dari warna itu.

Yusra sendiri mengulas bahwa Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh seorang Gubernur dengan dibantu seorang Wakil Gubernur, mesti menjalankan tugas dengan loyal atas prinsip otonomi seluas-luasnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum UU No.11 Tahun 2006, bahwa..”hal yang mendorong lahirnya UU Pemerintahan Aceh ini dengan prinsip otonomi daerah seluasluasnya..”. Formatnya adalah “Dana Otsus” sebagaimana disebut dalam pasal 183 UU No.11/2006. Jadi argumentasi politik dalam skala lokal yang mengklaim sebaliknya, adalah berlawanan dengan konstitusi Indonesia. Status Aceh dan Pemerintah Aceh dalam NKRI, dalam hukum internasional disebut sebagai “a nonself governing territory”. Tegasnya, Pemerintah Aceh berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa pusat di daerah, bukan pemerintahan sendiri atau self government, melainkan wujud sesungguhnya otonomi seluas-luasnya. (hal.134).

Jika begitu, apa yang ditafsir para petinggi sebagian eks kombatan GAM tentang makna self government masih jauh dari hakikat sesungguhnya. Bahasa paling menyakitkan bisa saja disebut ‘pepesan kosong’ self government, alias tidak ada apa-apanya. Jika orang Denmark pergi ke Greenland, otomatis sudah masuk ke negara lain dalam negara, yang berlaku ketentuan khusus dari negara dimaksud, Greenland. Namun, jika seseorang dari Jakarta masuk ke Aceh tentu posisinya sama saja, tidak ada sesuatu yang berbeda seperti dari Denmark masuk ke Greenland.

Buku ini menarik dibaca, sebab kajian ilmiah dan data-data yang disodorkan Yusra Habib Abdul Gani merupakan data valid yang dihimpunnya dari berbagai negara penganut self government yang sesungguhnya. Yusra Habib termasuk seseorang pada lingkaran ‘kelompok’ yang menginginkanmakna sesungguhnya dari self government atau lebih jauh lagi dari sistem itu. Di alam sadar sesungguhnya dia sedang berkhotbah menunjukan kepada rakyat Aceh tentang jalan politik yang sebenarnya yang harus dilalui Aceh. Buku ini, juga menjadi taushyiah dan pertanggungjawaban moral seorang Yusra Habib Abdul Gani, sekaligus penerang jalan bagi mereka yang selama ini mencari jati diri sebagai bangsa Aceh. “Ya Allah, saksikanlah! semuanya sudah saya sampaikan,”. Seperti itulah kira-kira, jika kita coba menafsir apa yang disampaikan Yusra di buku tersebut. Wallahu’ A’alam.(arif ramdan)
Sumber: Tabloid KONTRAS Nomor: 522 | Tahun XI 31 Desember 2009 - 5 Januari 2010

Digagas Konferensi Aliansi Gayo Sedunia pada Juli 2010

Yusra Habib Abdul Gani

[Arsip].
Takengon-Kepulangan tokoh Gayo, Yusra Habib Abdul Gani dari Denmark untuk menjenguk orang tua dan keluarga di Takengon, khususnya di Kampung Kenawat kecamatan Lut Tawar dimanfaatkan dengan baik oleh sejumlah tokoh muda Dataran Tinggi Gayo untuk saling berdiskusi terkait Gayo dengan menggelar ajang diskusi di ruang kuliah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, Senin (30/11) malam dengan tema “Gayo dulu, kini dan akan datang.”

Diskusi yang dimoderatori Yusradi Usman al-Gayoni, staf ahli anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh Ir Mursyid berlangsung dari pukul 21.00-24.00 Wib tersebut merupakan diskusi pertama Yusra habib dengan masyarakat Gayo di Takengon sejak 1973. Sosok Yusra Habib yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh GAM di luar negeri. “Saya sangat terharu dan berbahagia, setelah puluhan tahun baru kali ini saya dapat berdiskusi tentang Gayo bersama saudara-saudara saya di komplek STAI yang berbahagia ini,” kata Yusra mengawali diskusi tersebut.

Pengakuan Yusra, selaku orang Gayo di rantau, dirinya berterimakasih kepada administrator Pages kegayoan di jejaring sosial Facebook seperti I Love Gayo (ILG), Save Depik Gayo (SDG), Gayo Photography Community (GPC) dan lain-lain. “Walau sangat jauh, saya dapat ikuti perkembangan Gayo dan berinteraksi dengan saudara-saudara saya di Gayo dan Aceh umumnya,” ujar Yusra Habib, yang bernama panggilan Lanyut ini.

Terkait kata Gayo, menurut Yusra, Gayo tidak ada dalam bahasa Gayo. Gayo tidak punya terjemahan dalam bahasa Gayo, kecuali dalam bahasa Karo yang berarti Kepiting. Selanjutnya di Gayo Lues ada nama tempat bernama Pegayon yang merupakan sebuah rawa tempat warga sekitarnya mencari kepiting.

Diungkapkan Yusra tentang seorang rekannya yang juga Urang Gayo baru-baru ini berkunjung ke Korea Selatan dan sempat berwisata ke sebuah rumah peribadatan setempat yang telah berumur sekitar 1.500 tahun. Ditempat tersebut, kata Yusra ditemukan semacam kitab suci yang berjudul “Gayo”. “Fotonya ada sama saya, dan saya jadi bingung apa hubungan Gayo di Tanoh Gayo dengan orang Korea Selatan,” ujar Yusra.

Kemudian, Yusra dihubungi seseorang yang merupakan ahli sejarah di Indonesia yang menyatakan bahwa di sebuah provinsi di Cina ditemukan ukiran yang sama persis dengan ukiran Kerawang Gayo. Dan warga setempat memakai panggilan kekerabatan yang persis sama dengan panggilan kekerabatan (tutur) seperti di Gayo. “Selain di Cina ada beberapa tempat lagi di belahan dunia seperti di Kamboja dan Thailand yang tutur bahasanya sama persis dengan yang ada di Gayo kita ini,” tambah Yusra.

Untuk memperjelas pernik-pernik kegayoan, kata Yusra, perlu dilakukan riset mendalam. Dikatakan Yusra, dirinya punya ide untuk diadakannya Konferensi Aliansi Gayo Sedunia pada Juli 2010 mendatang. “saya berharap ide ini mendapat respon dari seluruh pihak terkait, termasuk dari tempat-tempat yang kemungkinan adalah saudara kita tersebut,” harap Yusra.

Dari sekian banyak potensi yang menjadi modal dasar kekuatan Gayo untuk eksis, Yusra menyebutkan tiga hal, pertama dengan adanya para seniman yang sekaligus menjadi pemikir Gayo yang menelaah sejumlah falsafah dan ide Urang Gayo melalui karya seni dan sastra.

Yusra mencontohkan tentang hubungan antara langit dan bumi yang berpenghuni manusia dan makhluk lainnya yang sudah diterangkan lebih awal dalam kitab suci Al-Qur’an dalam surat Ar-Rahman ayat 33 yang mengatakan bahwa manusia dapat melintasi alam semesta dengan menguasai ilmu pengetahuan. Seniman Gayo ternyata mampu menterjemahkan bunyi firman Allah tersebut dengan mengungkapkan melalui karya seni didong pada tahun 1960 dengan bunyi syair “Kao i langit selo ku toyoh, i kalei toboh, Sige kupasang berkite oloh buge eroh,”. Yusra kemudian menyanyikan syair tersebut dengan suara bergetar, para audien terdiam, terhanyut dengan syair yang didendangkan Yusra.

Selanjutnya menurut Yusra, kata Sige yang berarti sejenis tangga, adalah bentuk instrumen berwujud pesawat ulang alik yang menghantarkan manusia ke ruang angkasa.

“Urang Gayo sejauh ini hanya mampu menerjemahkan isi Al Qur’an dalam syair. Sayang sekali, teknokrat Gayo gagal mengaktualisasikan syair tersebut menjadi bentuk riil dan ternyata malah Amerika yang bisa untuk pertama sekali bisa ke ruang angkasa pada tahun 1969,” papar Yusra.

Modal dasar selanjutnya terkait bidang ekonomi. Ditegaskan Yusra Urang Gayo tidak bodoh dalam konsep ekonomi. “Kita punya konsep filosopis dalam bidang ekonomi yang berbunyi Oros rom tungkelni imen, gadung kepile pegerni keben,” kata Yusra. Artinya, lanjut Yusra, Urang Gayo sangat kaya dan tidak mesti membuka keben (lumbung padi) untuk menjual oros (beras) dalam menutupi keperluan hidup. Cukup dengan mengandalkan gadong (ubi kayu) dan kepile (ubi rambat)Urang Gayo bisa bertahan hidup yang digambarkan sebagai pegerni keben (pagar lumbung padi). “Pintu keben, jika keperluan mendesak saja dibuka, itupun jika mengacu kepada adat Gayo dilakukan sembunyi-sembunyi, karena Urang Gayo malu harus menjual beras. Jangan sampai terjadi lagi hanya untuk membeli ikan Bandeng atau Pisang Goreng kita harus jual beras. Memalukan sekali, ” kata Yusra sambil menyayangkan sudah terjadinya pergeseran sikap dan nilai filosopis Gayo saat ini seperti menjual sawah dan kebun untuk macam-macam keperluan.

Dikatakan Yusra, sejak datangnya Belanda, Urang Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah umumnya sudah bergantung hidup kepada kopi sebagai pengganti sawah. Sayangnya, kata Yusra, kebun kopi beserta isinya milik Urang Gayo akan tetapi secara hukum bukan Gayo yang berhak memiliki. Ekspor dan impor kopi merupakan hak Belanda.

Ditegaskan Yusra, kedepan Urang Gayo harus mampu memaksimalkan pendapatan melalui hasil pertanian dan perkebunan untuk bangun Gayo sebagai kekuatan inti ekonomi dan untuk sumber tambahan lain, harus mampu memanfaatkan potensi seni, budaya dan keindahan alam seperti Lut Tawar. “Silahkan kelola dan promosikan potensi alam dan budaya seluas-luasnya agar datang orang mengantar uang ke Gayo,” seru Yusra.

Sebagai modal atau pilar ketiga menurut Yusra adalah Edet (adat). “Edet enti pipet, demikian petuah adat yang diwariskan kepada kita,” kata Yusra. Artinya, dalam selesaikan persoalan apapun bagi Urang Gayo tidak ada kata-kata buntu. “Jangan sampai kalang kabut selesaikan persoalan karena adat Gayo sangat fleksibel, semua masalah ada jalan keluarnya,” tegas Yusra.

Selanjutnya kata Yusra, “Atur enti bele” yang berarti dalam menerapkan perkara hukum jangan sampai bele (curang). “Terapkan hukum di Gayo harus seadil-adilnya,” pinta Yusra mengakhiri pemaparannya terkait Gayo dulu, kini dan masa yang akan datang.

Acara kemudian berlanjut dengan diskusi hangat, turut mengajukan pertanyaan diantaranya Salman Yoga seniman dan juga pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh yang sedang berada di Takengon kampung halamannya. Ikhwanussufa, ketua KNPI Aceh Tengah. Syirajuddin AB, anggota DPRK Aceh Tengah. Win Satria Agustino, ketua Forum LSM Aceh Tengah. Idrus Saputra, ketua Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jangko) dan sejumlah tokoh mahasiswa dari STAI Gajah Putih dan UGP Takengon.

Seluruh pertanyaan dijawab Yusra dengan lugas dan terinci. Kekhawatiran sejumlah orang akan bergesernya materi diskusi ke persoalan politik ternyata tidak terjadi. Diskusi kemudian berakhir dengan perkenalan dan salam-salaman antara sesama peserta dan Yusra Habib Abdul Gani dengan kesepakatan terus membangun komunikasi dan saling tukar informasi untuk membangun Gayo lebih baik dimasa yang akan datang, terutama terkait pengelolaan SDA dan pembinaan SDM.[003]
Sumber : http://www.theglobejournal.com
Khalisuddin | The Globe Journal | Selasa, 01 Desember 2009

Thursday, January 14, 2010

Blue print Pembangunan fisik & sosial budaya

Yusra Habib Abdul Gani

kin:
Kabupaten Aceh-Tengah
Kabupaten Bener Meriah
Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Gayo Lues[1]

“Kunci kemajunni sara bangsa nume kekayaan sumber daya alam, tapè sumber daya manusiaé; gere itentun oleh sistem politik, tapè kena nilai budaya, prilaku den karakter positif sara masyarakat.” Lawrence E. Harrison. “ Who Prospers: How Cultural Values Shape Economic and Political Success”.

Pemulon:
Pekara characteristic ni urang Gayo munatur masyarakat den pemerintahan, teridah den nguk kite baca wan rilah ni sejarah Kerejeen Linge si rencam ôrôm: setie, gemaséh, dengki, irihati, munyenoh, perangkam soal jeme den wilayah kuasa Lôt Tawar den bersiunuhen sesabi sudere diri. Puteren jarum jem sejarah gèh mulang-ulang. Oya kati, ike kite becerak soal masa arapni urang den tanoh Gayo, turah nengon ku kuduk, ara si turah king kite amaten den ara si turah itekaren.

I èngon ari hubungen den rangkaian sejarah; generasi Gayo besilo adalah generasi masa depan ni Gayo, kena gèh ari ”manè” ni urang Gayo. Ketike generasi ini gere mampu munempatni diri selaku subjek kin masa arapni Gayo, akhiré mujadi kerben ”manè” ni urang Gayo. Prilakuni generasi Gayo sèni secara historis adalah konsekuensi logis ari perancanganni datu den awante jemen. Manèa, kite ipanang selaku generasi masa arapni urang Gayo, tapè Datu den Awante gere ara blue print (cetaken) mubentuk standard moral den intelektual, sehinge lagu nini parinte. Jadi, kedudukente besilo adalah kerben –generasi sigere berpapah den gere bertona– (luah jaluh). Ara beberapa urang Gayo berhasil; tapé kena itatah, itona den ipapah oleh famili (keluarga), nume kena ibentuk oleh blue print (acuan) Gayo ari masa lalu, bahkan secara pribadi mutekar ari masyarakat Gayo mayo kuwan masyarakat lén, murip den barhasil kena dirié. Rata-rata nasibni urang Gayo lagu nini. Suku lèn nge mokot mupakat den setie sesabi dirié, sampé nguk mujadi jema bayak den tokoh nasional. Urang Gayo lalé ngelsih den munyelesén masalah ôrôm sebuku, nume ôrôm konsep.

Jadi ling ni Harrison bahwa manusie adalah kunci utama si munentun kemajunni sara masyarakat ara betulé den pekara ini berhubungen ôrôm falsafah, cara pandang, budaya, edet-Istiedet den resam sara-sara masyarakat. Jadi, ike kite malé jujur bahwa: punce ni masalah urang Gayo adalah masalah filosufis, futuristik den nume semata-mata masalah tekhnis. Oleh kena oya, urang Gayo turah menguruk nilai-nilai siberasal ari falsafah Gayo den edet-istiedet, baro berpikir den murancang generasi masa arap ni Gayo.

I. Blue print pembangunen fisik
Becerak soal manusie den masayarakat, berarti memuzakarahkan imaginasi, idé, konsep den program, budaya, resam den adet-istiedet Gayo, potensi alam den manusie Gayo; imuloi ari kebiasaan mungune den mujeweb persoalen. Wan pepatah Gayo: “Edet ari inget, atur ari resam.” Den “edet enti pipet, atur enti bele”. Orom cara ini baro demu pintu tangkuh: ”ike sesat ulak ku dené, tingkis ulak ku bidé.”

Pekara blue print pembangunen fisik den tata ruang daerah, gere kite betéh sihen pintu mayo, tersi pintu tangkuh den ujung ralék ni masalah; sebeb adminitrasi Pemda Aceh Tengah muloi ari tahun 1945 sawah besilo atau lebih tepaté sejak turun mani UU. No. 7 Drt /1956 den UU. No. 24/1956 (dasar hukum pembentukan Pemda Aceh Tengah) den sejak turun mani UU. No.41/2003 (dasar hukum pembentukan Pemda Bener Merie), soal: lokasi Perkantoren, Perumahan rakyat i kute, central Perdagangan, lingkungen wisata, perumen, perempusen, penelitien tentang jenis senuen si cocok isuen i sara-sara lokasi, Puset Pendidikan, Umah Sakit, Jelen tol (high way), main road, jelen kampung, rèl kretapi, lapangan terbang, Pengelolaan Danau Laut Tawar secara professional [kupen dak besilo lôt Tawar gere terdaftar ilen wan sketsa Departemen Pariwisata sebagai kawasan wisata. Statement Mursyid wan Serambi Indonesia, medio Oktober 2009], lokasi penekar ni sampah, parik (rak) den lokasi pembuangan kotoren manusia, pemanfaatan atau pengolahan kotoren manusia mujadi beje, jenis kenderaan umum layak pakai, pengaturen transportasi, Pusat Perhotelan, kawasan bebas kenderaan, Umah Sakit, Airport, barak militer, listrik, SDM si cocok kin keperluen daerah, lokasi puset olahraga den kesenien, munatur jadwal kesenien Didong den Pacu kude, sawah ku konsep munanom rasa cinta ke-Gayo-en: bahasa, edet-istiedet, resam, sejarah, munuripni upacara kerejeen Linge jemen den reje-reje kucak, University, pusat data den penelitien, pengaturen soal ”koro jamu” (”pendatang”), pajak, kekerabatan masyarakat, membukukan kekeberen, pantun den sastera Gayo lén, konsep pendidiken formal den informal berciri Gayo den kune caraé mupertehenen karakteristik ni urang Gayo; gere kite betéh secara pasti.

Ike gera ara blue print soal ini, sana barometer ni masyarakat untuk mungeritik Pemda berhasil atau gere berhasil. Sana barometerni si igunen anggota Dewan mengevaluasi buetni Pemda? Sa isalahan? Ike betul gere ara blue print; berarti 53 tun nge urang Gayo iatur ôrôm administrasi Pemda luah jaluh den gere beriro. Jadi wajar ike salak ni kute Takengon mirip lagu rupeni perkampungen Dayak Kombai i Papua. Beta juga Aceh secara keseluruhen.

Selaku bandingen, gelah kusawahen sara data soal perancangan kute Århus [kute nonom 2 paling kul setelah Copenhagen i Denmark. Isien besilo aku taring den menetap.] Denahni kute Århus (blue print perancangan kute) nge muloi irancang sejak pertengahen tun 1500-en den ibubuh geralni jelen sejak tun 1700-en. Geralni jelenni sawah besilo gere mubah –tetap lagu geral ratusen tun si kuduk– termasuk bagunen tue siberumur ribuen tahun, besilo mujadi objek wisata, ikunjungi jema ari segele penjuru Eropah. Sèni Århus nge mujadi kute modern, cume bentuké: umah jemen, geralni jelen den jelen tapak, tetap lagu jemen. Si paling luer biasa, pembangunen Gereja Utama i jantung ni kute Århus. Denah (blue print), itos sejak 1200 tun si kuduk (waktu zemen Viking). Pembangunen gerejani baru munge selama 300 tun, tapé kena ara blue print (denah asal), jadi gere ara masalah. Arsitek den tukang bangunen generasi penerus, bebuet atas dasar plan pemulo den gere mubah sara batu batapé. Dak besilo Gerejani sesuk, rupeé adalah rupe sirancang 1200 tun si nge lalu.

Betawe kute Meddelberg, Belene [jaraké lebih kurang 40 menit, ike kite nék keretapi ari Rotterdam). Posisié ni kuteni igenéréng ni lôt. Plan ni kuteni itos sejak awal tun 1500-en den kute ni adalah Ibukota ni Belene pemulo pedéh. Muloi ari tun 1603-besilo, pernah irenovasi pertengahan tun 1800-en den renovasi kedue terjadi sekiter pertengahan tun 1900-en), kena munanom kabel jeringen telekumunikasi den jalur Keretapi. Waktu aku ziarah (tun 2008) ku kuburen Duta Besar Aceh –Tengku Abdul Hamid– si ulak ku Tuhen tun 1603, ikuburen wan sara Gereja megah i Meddelberg. Penerahku, kuteni seolah-olah ben ilen ibangun, sebeb rupeé modern. Gere kubetéh, kupen nge ibangun sejak puluhen ebed si ku kuduk. Rupeni kuteni tetap modern den lagut ilen ipanang untuk 1000 tun ku arapso.

Ulak kite ku ralikni persoalan. Ara ke blue print (dokumen) soal perencanaan pembangunen tanoh Gayo zemen bahula? Ike gere ara, keta besilo kite pikiré ôrôm-ôrôm den turah mampu kite rancang bentuk fisik (rupeni tanoh Gayo) den kemajuen bidang sosial budaya Gayo sekurang-kurangé kin 300 tun ku arapso. Sangup ke?

Munurut aku pribadi, untuk nos blue print pembangunen Tanoh Gayo, pertama-tama kite tetapen mulo: apakah tanoh Gayo sebagai:
(1). Kawasan agriculture?
(2). Kawasan industri? Atau:
(3). Kawasen agriculture den industri)

Munentun tulu alternative ni penting, sebeb masing-masing berhubung langsung ôrôm perancangan (blue print) infrastruktur fisik: jelen high way, main road, jaringen telekomunkasi, transportasi, tenaga elektik den pembangunen pabrik pengolahan hasil pertanian secara modern untuk di eksport,dll. Untuk ini kite talu intelektual urang Gayo si panè murangcang, bernilai seni ukir den falsafah Gayo. Si jelas wan koridor Tanoh Gayo, Pemda Aceh Tengah den Bener Merie, turah irancang program bersama soal infrastruktur i tingket Gayo lôt, betawe program bersama Kabupaten Aceh Tenggara den Gayo Lues i tanoh Gayo. Lebih gép ari oya, kite rancang program bersama (alliancy Gayo) untuk opat Kabupaten. Cara ini pernah dipaké oleh pepien Provinsi i Australia tun 1855, waktu Australia masih ilen wan regam ni penjajahan British. Ternyata berhasil.

II. Blue print pembangunen sosial budaya den strategi mempertahkankan kebudayaan

Kekayaan immaterial Gayo meliputi: sejarah, kekeberen, falsafah, edet, resam, potensi SDM den kebudayaan: basa Gayo, sastera Gayo, Didong, seni ukir (Kerawang Gayo) turah diperala den iselamatan.

Urang Gayo turah tanggap ôrôm issue si berkembang wan masyarakat i tingket lokal, nasional, regional den internasional, siberhubung langsung ôrôm kekayaan immaterial Gayo. Conto: soal sejarah Gayo. Selama ini, ike jema malé mubetéhi sejarah Gayo, turah beguru ku Snouck Hurgronje, Jhon Bowen den sarjana-sarjana asing lén si lebih mulo (curi start) wan penulisen sejarah Gayo. Ike malé lebes den mubetéhi kosa-kata basa Gayo, turah betapa ku Mesium Utrech, Belene; si mungemasni Kamus basa Gayo. Masalah ini memang nume tetiné urang Gayo pelin murase, termasuk sejarah Aceh den dunia Melayu, nge turah murujuk ku referensi asing. Jadi agihmi si belem, genap singe munge, tir betetah, berkekire munulis sejarah Gayo singuk ipertanggungjeweben secara ilmiah.

Betawe soal budaya. Enti nantin jema asing gèh nusuh budayante mayo terpintu kuduk, sebeb zemen besilo musim nusuh ilmu pengetahuan, sejarah den budaya. Contoé: ”wan kamus Americana mutulis bahwa penemu jenis (golongan) rayoh wan tubuh manusia pemulo adalah Dr. Harvey, pedahal sebelummé nge idemu oleh Tabib Arab (Alif) simurip seratus tun sebelum Dr. Harvey.”[2]

Selaku bandingen: Kangguru si umum ibetéh jema berasal ari Australia (Ausie); ternyata Cine memproklamirkan bahwa Kangguru berasal ari Cine. Sawah besilo gere selesé ilen urusenné (tengah loby menyelesén kasus ini melibatkan dunie internasioanl). Kemuduk daripada oya: bahwa hak patén ni tari Reog Ponorogo (asal Jewe Timur), tari Pendet (asal Bali), lagu Rasa sayang (asal Ambon) secara hukum formal dan kaedah hukum Internasional adalh Malaysia empué. Ike langho (sara masa) dewe antara Indonesia-Malaysia wan Mahkamah Internasional, soal sahan empuni budaya si atasne, pasti Malaysia menang, sebeb Malaysia lebih mulo demu hak Paten ari Mahkamah den didaftar wan catatan perbendaharaan budaya nasional Malaysia. Indonesia két ipon.

Kasus silagu nini, gere mustahil berlaku terhedep ukir Kerawang Gayo. Ike gere tir urang Gayo (Pemda) nuet keputusen, ukir Kerawang Gayo akn kona usuh. (ike jema asing berniet jahat, mengaku bahwa ukir Kerawang adalah wè empué den demu hak Patén ari Pengadilen den idaftar ku Perlindungan Hak Paten Internasional, selaku pemilik), maka pemilik sah Kerawang Gayo secara hukum adalah jema asing, bierpè urang Gayo empué. Urang Gayo akan taring geral den munerime nasib lagu Tabib Alif, pemilik lagu rasa sayang, empuni Reog den empuni tari Pendet.

Beta we soal Didong den Saman, enti sampé koro jamu lebih hebat bedidong den beSaman daripara urang Gayo tulèn den mengaku puren selaku empuni seni Didong den Saman. Besilo tari Saman terang-terangan ibajak (iosohi den isangkan) jema sawah ku luer negeri, gere sahpé mununtut den mubèla. Sara masa ike sempat kejadien lagu nasibni Pendet, Rasa Sayang den Kangguru baro jere. Oleh karena oya, Pemda Aceh Tengah den Bener Merie turah tir mupakat untuk mudaftarni seni Didong ku Catatan sipil (pengadilen) bahwa: pemegang hak Paten (pemilik atau empuni) Seni Didong adalah urang Gayo. Sementara Pemda Gayo Lues den Aceh Tenggara turah tir mupakat untuk mudaftarni tari Saman ku Catatan sipil (pengadilen) bahwa: pemegang hak Paten (pemilik atau empuni) tari Saman adalah urang Gayo Lues den Blang Kejren. Sunguh sara kemajun, kena Pemda Aceh Tengah nge munangkuhi Perda bahwa lagu ”Sedenge” adalah lagu kebangsaan urang Gayo, shabassss!

Sara sisi, jema beraté galak kin urang Gayo, kena ièngonné kite ara sejarah, falsafah murip, budaya, bahasa, edet-istiedet den resam. Gere mustahil sawah masa bahwa: sara masyarakat, clan, ethnic dan bangsa akan osop ari denieni ike gere ara nèh sana sikuperin i atasne. Begitu penténgé budaya (baca: basa), nguk kite èngon ari cerite situyuhni: ”Betapa pentingnya bahasa bagi suatu masyarakat dan bangsa, sehingga Perancis bersedia menjadi promotor dalam aksi kampanye supaya negara-negara Caribian sampai Indocina yang termasuk dalam ”LAFRANCOPHONIE” (”kumpulan negara-negara berbahsa Perancis”) tetap bertutur dan mempertahankan bahasa Perancis. Dalam Sidang Istimewa tahun 1993, Perancis menegaskan dan mau supaya 47 negara anggota kumpulan itu memperluas peranannya, bukan saja mempopulerkan bahasa dan kebudayaan Perancis, tetapi juga diplomasi internasional bagi melindungi dari pengaruh penguasaan bahasa Inggeris (Amerika Serikat). Tegasnya menantang arus pengaruh penguasaan kebudayaan Anglo-Saxion, khususunya dalam konteks hak budaya. Diantara prestasi gemilang dalam diplomasi kebudayaan Perancis ialah: ditetapkannya bahasa Perancis sebagai bahasa resmsi yang tertera pada Kop Surat PBB (UNHCR).”[3] Oleh kena oya, urang Gayo turah munaran sara ”Konferensi Alliance Gayo Se-dunia” tun arapso (Juni-juli tun 2010); menginget bahwa:

1. Ara sara ethnic i Kamboja den i Cine, bertutur basa Gayo den berupuh ulen-ulen (ukir Kerawang Gayo). Ini berdasarkan informasi sikuterime langsung ari rowa pemuka adat Gayo den pemerhati budaya;
2. Selama ara urang Gayo wan denieni, gere penah ilen segerpè môrôm (cerak-cerak) untuk menentun nasib ni masa depan basa Gayo den budaya Gayo den kune strategi mupertehenè. Sahan malè kite harap?
3. Nge sawah masaé naran acarani, sebeb ara indikasi kuet bahwa basa den budaya Gayo akan osop ari ruang ni denieni. Prediksi ini atas dasar pengamatan Drs. Ibnu Hajar Laut Tawar den Jihad (pemerhati budaya) Gayo.

Secara khusus nge kesiepen konsep –mega pembangunen- kin kepentingen bersama den kepentingen masing-masing Kabupaten (dang-dang nantin lahir den turun mani ”umah pitu ruang” Provinsi ALA den ABBAS), cume enti wan kesempatan ini ibahas. Konferensi ini melibatkan langsung 4 Kabupaten: Aceh Tengah, Bener Merie, Gayo Lues den Aceh Tenggara den seluruh tokoh komponen urang Gayo: Gayo lôt, Gayo Lues, Gayo Kalul den Serbejadi, dll.

Ini keta molu pemikiren ari aku, kadang ara faèdahé kin masa arapni urang Gayo.

Akhiré ku tutup ôrôm :

”Ike ara jema musarik, selamat kurik sangkan kalang;
Ike serluni nguk idedék, sana dalih inantin lang
________________________________________
[1] . Yusra Habib Abdul Gani (Director Institute for Ethnics Civilization Research). Takengon, November 2009.
[2] . Roger Garaudy. Mencari Agama Abd XX.
[3] . Yusra Habib Adul Gani. ”Dilema Kebudayaan Kita” [Serambi Indonesia]