Friday, January 15, 2010

Pepesan Kosong Self Government Aceh


Yusra Habib Abdul Gani

Resensi buku:
Judul: Self Government, Studi Perbandingan Tentang Desain Administrasi Negara
Penulis: Yusra Habib Abdul Gani
Penerbit: Paramedia Press,Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2009
Tebal: xiii + 248

MEMBACA judulnya, sudah barang tentu buku ini lahir dari sebuah keprihatinan penulisnya. Prihatin atas kondisi Aceh saat ini yang begitu mengagungagungkan sistem self government. Sebuah bentuk pemerintahan Aceh pasca ditandatanganinya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Istilah self government atau pemerintahan sendiri, menjadi sesuatu yang tidak asing bagi publik di Aceh pascaperdamaian.

Orang-orang ‘tidak sekolah’ pun begitu mudah memuntahkan istilahself government dari mulutnya dalam setiap diskusi kecil di kedai-kedai kopi di seluruh pelosok Aceh. Bahkan, para pejabat pemerintah Aceh dengan mudah mengumbar sistem self government dalam setiap ceramah di depan rakyat. Kampanye-kampanye politik saat pilkada 2006 juga tidak lepas dari jualan self government untuk masa depan Aceh yang lebih bermartabat. Namun ketika ditanya sejauh mana makna dan hakikat self government, tentu tidak semua orang bisa memaparkannya dengan rinci jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Memulai dengan pengalaman lapangan yang dialami penulis, Yusra Habib Abdul Gani, dimana banyak ditanya soal apa itu self government, di buku ini memberikan ulasan secara utuh makna dan sejarah lahirnya self government itu. Ada 12 negara penganut self government yang diulas Yusra Habib. Sebuah gambaran utuh, tentang makna dan penerapan sesungguhnya dari self government, termasuk kelebihan kekurangan sejumlah negara penganut sistem tersebut.

Self government, muncul sebagai sebuah bentuk administrasi yang memberi ruang gerak kebebasan kepada penguasa di suatu wilayah kekuasaan, tidak terlepas dari sejarah penjajah Inggris terhadap Kanada, Amerika, Australia, dan New Zealand. Sehubungan dengan hal inilah, hingga dalam literatur mengenai self government dikatakan bahwa; penyelenggaraan self government di Kanada untuk pertama (bukan yang pertama di negara Kanada) dilaksanakan (hal.22). Tentang self government, Yusra Habib, mengulas satu contoh negara dengan sistem pemerintahan sendiri dan dinilai sukses. Faero dan Greenland adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah hukum Denmark, akan tetapi fakta di bawah ini mengatakan lain-setidak-tidaknya-menjadi suatu pemandangan dan kajian hukum yang menarik dari pelaksanaan self government di Greenland dan Faero.

Betapa tidak? Departemen Luar Negeri Denmark mengeluarkan peraturan yang antara lain isinya sebagai berikut: “Anda akan kehilangan hak tinggal di Denmark, sekiranya anda pindah dari Denmark atau jika anda berada di luar Denmark untuk masa jangka masa yang lama. Jika anda tinggal lebih dari 6 bulan di luar Denmark, dengan sendirinya izin tinggal anda akan jatuh tempo. Jika anda telah memiliki izin tinggal di Denmark lebih dari 2 tahun akan jatuh tempo setelah anda berada di luar Denmark lebih dari 12 bulan berturut-turut. Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark. Di sini jelas kelihatan, apa yang dibentangkan oleh politisi Faero selama ini, bahwa sudah semestinya dibedakan antara Negara dan Pemerintah (penyelenggara administrasi self government yang benar-benar), ternyata terjawab.

Dengan mengatakan, “Tinggal di Greenland atau Faero dianggap tinggal di luar Denmark,” sudah lebih cukup membuktikan ‘inilah suatu pengakuan (recognation) dari pemerintah pusat Denmark sehubungan dengan status kedua negeri tersebut dalam wilayah kedaulatan Denmark. (hal.34) Bagaimana dengan Aceh? sepertinya inilah entry point yang ingin disampaikan Yusra Habib Abdul Gani di bukunya tersebut, terkait self government. Jauh panggang dari api, ini yang sebenarnya tersirat di buku Yusra Habib. Menilik 12 profil negara penganut self government, Aceh masih sangat jauh dari makna sesungguhnya self government.Yusra Habib sendiri secara tidak langsung menyebutnya ‘Aceh Kosong’. Terlihat pada halaman profil ‘negara’ Aceh. Jika profil 12 negara lengkap dengan bendera negara masingmasing, di lembaran ‘negara’ Aceh tidak tertera alias bodong bendera. Hanya makna warna merah, putih, hitam yang bisa ‘difahami’ semua orang Aceh, akan tetapi belum ada kekuatan apa-apa dari warna itu.

Yusra sendiri mengulas bahwa Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh seorang Gubernur dengan dibantu seorang Wakil Gubernur, mesti menjalankan tugas dengan loyal atas prinsip otonomi seluas-luasnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum UU No.11 Tahun 2006, bahwa..”hal yang mendorong lahirnya UU Pemerintahan Aceh ini dengan prinsip otonomi daerah seluasluasnya..”. Formatnya adalah “Dana Otsus” sebagaimana disebut dalam pasal 183 UU No.11/2006. Jadi argumentasi politik dalam skala lokal yang mengklaim sebaliknya, adalah berlawanan dengan konstitusi Indonesia. Status Aceh dan Pemerintah Aceh dalam NKRI, dalam hukum internasional disebut sebagai “a nonself governing territory”. Tegasnya, Pemerintah Aceh berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa pusat di daerah, bukan pemerintahan sendiri atau self government, melainkan wujud sesungguhnya otonomi seluas-luasnya. (hal.134).

Jika begitu, apa yang ditafsir para petinggi sebagian eks kombatan GAM tentang makna self government masih jauh dari hakikat sesungguhnya. Bahasa paling menyakitkan bisa saja disebut ‘pepesan kosong’ self government, alias tidak ada apa-apanya. Jika orang Denmark pergi ke Greenland, otomatis sudah masuk ke negara lain dalam negara, yang berlaku ketentuan khusus dari negara dimaksud, Greenland. Namun, jika seseorang dari Jakarta masuk ke Aceh tentu posisinya sama saja, tidak ada sesuatu yang berbeda seperti dari Denmark masuk ke Greenland.

Buku ini menarik dibaca, sebab kajian ilmiah dan data-data yang disodorkan Yusra Habib Abdul Gani merupakan data valid yang dihimpunnya dari berbagai negara penganut self government yang sesungguhnya. Yusra Habib termasuk seseorang pada lingkaran ‘kelompok’ yang menginginkanmakna sesungguhnya dari self government atau lebih jauh lagi dari sistem itu. Di alam sadar sesungguhnya dia sedang berkhotbah menunjukan kepada rakyat Aceh tentang jalan politik yang sebenarnya yang harus dilalui Aceh. Buku ini, juga menjadi taushyiah dan pertanggungjawaban moral seorang Yusra Habib Abdul Gani, sekaligus penerang jalan bagi mereka yang selama ini mencari jati diri sebagai bangsa Aceh. “Ya Allah, saksikanlah! semuanya sudah saya sampaikan,”. Seperti itulah kira-kira, jika kita coba menafsir apa yang disampaikan Yusra di buku tersebut. Wallahu’ A’alam.(arif ramdan)
Sumber: Tabloid KONTRAS Nomor: 522 | Tahun XI 31 Desember 2009 - 5 Januari 2010

Artikel Terkait