Wednesday, October 5, 2011

Bendera Putih

Oleh: Yusra Habib Abdul Gani

”Bendera warna putih” dalam bahasa Aceh dinamakan “Kupandji”, dalam bahasa gayo disebut “Pepanyi” dan dalam The Hague Convention dikatakan “white flag”. Mengikut kajian falsafah warna; warna putih adalah simbul kesucian hati, kemurnian, kedamaian, tali pemersatu, cinta sejati,kekuasaan dan menyerah. Betulkah? Untuk membuktikan kebenarannya, cerita di bawah kiranya dapat membantu untuk mengenal pasti bahwa simbul tersebut wujud dalam sejarah peradaban manusia.

Menurut riwayatnya, pemakaian warna putih (bendera putih) sebagai simbul minta perlindungan atau menyerah sudah dikenal dalam peradaban manusia –setidak-tidaknya- pada zaman Dynasti Han (A.D 25–220) dipakai sebagai simbul untuk mengungkap perasaan ingin damai. Begitu pula dalam sejarah emperium Romawi dikisahkan bahwa pada tahun A.D. 109, pasukan Cornelius Tacitus mengikat kain putih pada masing-masing kepala serdadunya sebagai simbul minta dilindungi dan atau dipakai apabila suatu pasukan hendak menyatakan menyerah. [Baca: ”Why Do Surrendering Soldiers Wave White Flags?” Oleh: Koerner, Brendan I, 2003]

Dalam peradaban orang Arab, dikenal pula bendera putih sebagai simbul kekalahan dan perdaiman, misalnya: Dynasty Umayyah memakai simbul warna putih untuk mengenang perang Badr yang meletus pada 13. Maret 624 AD, dimenangkan oleh tentara Islam; dimana Nabi Muhammad, Abu Bakr, Umar, Ali, Hamzah, Mus`ab ibn `Umair, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Ammar ibn Yasir dan Abu Dharr al-Ghifari ikut terjun dalam perang dahsyat ini; berhadapan dengan pasukan kaum Quraisy, dipimpin oleh Amr ibn Hishām, Muhammad (bukan Nabi Muhammad), diperkuat oleh: Walid ibn Utba, Shaiba dan Umayyah ibn Khalaf. Simbul tersebut sekaligus untuk membedakan simbul Bani Abbasyiah yang juga warna putih dan hitam sebagai tanda berkabung.

Selain bangsa Arab, Portugispun punya tradisi, yang dikisahkan dalam kronik Gaspar Correia tahun 1550-an; mengklaim bahwa pada tahun 1502, raja Indian bernama Zamorin telah mengirim juru runding dari daerah Calicut untuk menjumpai musuhnya -Vasco da Gama- dengan cara menyematkan kain putih pada dasinya sebagai isyarat damai ("as a sign of peace"). [baca: Gaspar Correia, Lendas da Índia (written c.1550, pub. 1858),p.300 "mandou hum seu Bramane em huma almadia com hum pano branco atado e um páu per sinal de paz"] Dalam perang kemerdekaan Amerika, bendera putih juga dipakai untuk mengakui kehadiran pasukan asing dan mengelak dari tercetusnya peperangan.

Kapal perang Angkatan Laut Perancis misalnya; selalu menyiapkan bendera putih guna menghindari kesalah pahaman dan peperangan. Akhirnya, warna putih (bendera putih) diakui sebagai suatu simbul internasional, dipakai untuk maksud minta perlidungan dan gencatan senjata (cease-fire) atau perjanjian damai guna membuka ruang bernegosiasi. Dalam dunia olah raga tinju, kain putih dilemparkan oleh pelatih ke atas ring, jika jagoannya tidak layak lagi bertanding. Sementara dalam dunia atletik, bendera putih adalah simbul putusan juri yang mutlak sah.

Di kampung Lokop Serbajadi (Aceh), juga dikenal kain warna putih (“Ruje Putih”) yang dipasang mulintang di pertengahan jalan atau di pintu gerbang masuk suatu kampung, sebagai simbul bahwa: ada seorang pemuda yang melarikan seorang gadis dari kampung lain. Jika tidak dipasang bendera putih, dapat dipastikan meletus perang antar kampung –pihak yang merasa dirugikan menuntut si gadis itu dikembalikan- Jadi bendera warna putih mengisyaratkan bahwa pemuda yang melarikan gadis tadi beserta penghulu dan penduduk kampung tersebut minta ‘gencatan senjata’ -damai- supaya kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Dalam peradaban orang Sunda, dikenal pula bendera warna putih yang disebut dengan: “Lawon Bodas” yang berasal dari akar kata: “Lawon” =awon bermakna buruk dan ”Bodas” berarti putih dan suci bersih. Kain warna putih ini dipakai sebagai alas sesajian, yaitu: “Alas lawon Bodas” (Kain putih sebagai alas). Secara simbulik bahwa; tindakan dan ucapan manusia, hendaknya dilandasi oleh pikiran jernih dan hati suci. Selain itu, “Lawon Bodas” dipakai pula untuk mengusir jin –meminta perlidungan supaya Jin tidak mengganggu- bahkan dipakai untuk membungkus senjata tajam, seperti: Keris, Kudjang dan Golok.

Dalam precedent internasional, apabila seseorang atau pihak manapun yang mengibarkan bendera putih, ini pertanda bahwa mereka tidak berniat untuk menyerang, tidak pula mengizinkan mereka untuk diserang. Mereka ingin perlidungan dan perdamaian. Precedent ini lantas diabadikan dalam ‘The Hague Convention’, pada 18 Oktober 1907. Pada bab III, ayat 32 menyebut: ”A person is regarded as a parlementaire who has been authorized by one of the belligerents to enter into communication with the other, and who advances bearing a white flag. He has a right to inviolability, as well as the trumpeter, bugler or drummer, the flag-bearer and interpreter who may accompany him.” Inilah kisah bedera putih, simbul perlidungan, perdaiaman dan menyerah itu.

Dalam lembaran sejarah Aceh, tidak didapati pengibaran bendera putih, baik ketika perang melawan Portugis (abad-16), Belanda (1873-1942) dan Jepang (1942-1945). Pada masa gerakan Darul Islam (D.I. Aceh 1953-62) meletus, yang terjadi hanya negosiasi, hasilnya: status Aceh “Daerah Istimewa”, amnesty, kompensasi dan turun menyerah. Sewaktu perjuangan GAM (1976-2005) bergolak, berakhir dengan: mengakui kedaultan Indonesia atas Aceh (preamble MoU Helsinki), TNA bubar(pasal 4.2), serahkan 840 pucuk senjata (pasal 4.3); semua lembaga Tinggi negara Aceh lebur (pasal 1(1.1.2.), status Wali Negara lucut (pasal 1(1.1.7) dan pulang ke Aceh. Jadi, baik D.I. Aceh dan GAM tidak pernah mengibarkan bendera putih.

Mungkin saja karena tidak cukup ilmu perang atau malu demi menjaga marwah. GAM sebenarnya boleh kibarkan bendera putih saat Megawati meletakkan Aceh dalam status Darurat Militer pada 19. mei 2003, agar terhindar dari kerugian harta-benda dan korban ribuan nyawa manusia. Mungkin anténa penanggungjawab perang pendèk! Lagipun, mengikut ‘The Hague Convention’ (hukum internasional); bendera putih tidak berarti menyerah total; ianya hanya trompét yang mengisyaratkan supaya tidak saling menyerang sambil menunggu diadakan perjanjian damai. Memang pada zaman HDC ada ”zona Damai” di Aceh; tapi tidak dikibar bendera putih. Mungkin HDC dan GAM tidak tahu aplikasi ‘The Hague Convention’! Pada hal ini ‘rule of the game’ dalam suatu peperangan.

Adalah benar demi menjaga harga diri, orang Aceh tidak mau kibarkan bendera putih; tetapi dalam urusan mystic/tahyul; orang Aceh kibarkan “Kupandji” sebagai simbul minta perlidungan/damai kepada Jin, agar pasukan tikus dan ulat (hama) tidak menyerang tanaman padi. “Kupandji” juga berkibar saat pasukan “ta’un” menyerang warga, maka penghulu kampung segera mengibarkan “Kupandji” dan mempersembahkan “ië bu” buat si dia, yang dipercayai bahwa Jin sebagai dalang di sebalik musibah dan sepakat (MoU) antara warga dan Jin untuk mewujudkan “zona Damai”.

Pada tahun 1978, persis antara “loyang Kaméng” dan “Loyang Koro”, di kaki Burni Birah Panyang, Takengon; penulis melihat sebuah talam berisi: ketan kuning, daging ayam, “selensung” (sirih siap dikunyah) dibungkus daun pisang. Tidak jauh dari lokasi itu, di -Batu Gerèsèk Panakan- berkibar “Pepanyi”, simbul minta perlidungan kepada Jin. Pasalnya; warga kampung Towèran sedang dilanda penyakit “Ta’un” (gatal-gatal dan lukanya bernanah). Sebelumnya (1963), penulis ikut dalam acara “Tulak Bele” saat dimulai musim bersawah di Kampung kenawat, dipandu oleh dua dukun masyhur: Guru Gayo dan Guru Aman Sa’diyah. Seusai upacara, “Pepanyi”-pun dikibarkan di atas pohon di kaki bukit Burni Taris dan “sesajian” di atas Talam besar berisi: paha ayam, nasi, sayur, ketan dan “selensung”, diletakkan di sudut kampung sebagai persembahan buat ”empuni tempat” (Jin) dengan maksud minta perlidungan supaya terhindar dari hama dan penyakit “ta’un”.

Saat menghantar “Sesajèn”, kedua dukun mengibas penyapu lidi (puréh) ke kanan dan ke kiri sambil mengitari kampung. Yang jelas, dalam konteks ”bendera warna putih”, Aceh bersikap ‘double standard’ Artinya: di satu sisi jaga marwah kepada manusia, di sisi lain menyerah kepada si dia (Jin). Apa ini perang tak berilmu atau syirik berilmu?

Monday, October 3, 2011

Zakat: Konsep Pembebasan Kemiskinan

Oleh: Yusra Habib Abdul Gani








PERINTAH membayar zakat, menurut sejarahnya bermula pada tahun ke dua setelah Hijrah, yakni: sesudah turunnya ayat 277 dari Surah al-Baqarah: ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh lagi mendirikan shalat dan membayar zakat…” dan pendapat lain mengatakan, setelah turunnya ayat 267 dari surah al-Baqarah: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu…”.

Barulah kemudian, disusul sebanyak 30 kali dalam Qur’an, supaya umat Islam membayar zakat, misalnya: surah al-Baqarah, ayat 83, 110; An-Nisa:77; At-Taubah, ayat 5,11,18,71, 103; Maryam, ayat 31,55; Al-Anbiya, ayat 73; Al-Hajj, ayat 41; An-Nur, ayat 55-56; An-Naml, ayat3; dan Lukman, ayat4, dll. Selanjutnya dijabarkan dalam Hadits Rasulullah bahwa: "Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mengerjakan Shalat, membayar zakat dan puasa di bulan Ramadhan" [H.R. Bukhary dan Muslim]. Yang pasti ialah: al-Qur’an dan Hadits menegaskan bahwa zakat merupakan salah satu kewajiban bagi masyarakat muslim.

Dilihat dari sudut faedahnya; zakat merupakan konsep pensucian lahir-bathin dan harta kekayaan yang sifatnya sangat spesifik. Artinya: zakat yang berarti ”suci”, ”berkat”, juga bermakna ”mekar” (bertambah)”, bahkan lebih dari itu, merupakan kesadaran terukur bahwa dalam harta milik seseorang, terdapat sebagian hak orang lain. Berangkat dari sini, zakat kemudian di-difenisi-kan sebagai kewajiban mengeluarkan sebagian dari harta milik perorangan dan subjek hukum lain bagi pihak yang berhak menerimanya berdasarkan persentase yang jumlahnya ditentukan oleh hukum.

Pada gilirannya, zakat menjadi perhatian dan kajian oleh para pakar ekonomi negara maju seraya memasukkan konsep zakat dalam hukum Islam ke dalam hukum positif, dimana kata: ”zakat” diartikan dengan tax (pajak) dan bagi negara-negara di kawasan Scandinavia menyebut dengan ”Skat”. Ianya dituangkan ke dalam hukum positif untuk mengatur pemungutan sebagian dari pendapatan dan hasil dari usaha dalam bidang jasa, pergiagaan, pertanian, barang bergerak dan tidak bergerak, dimana jumlah persentasinya ditetapkan dalam undang-undang. Tujuannya adalah untuk menghimpun dana untuk membiayai pelayanan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin di bawah komando administrasi pemerintah. Bagaimana pun, konsep ini baru bisa dilaksanakan, apabila aparatur negaranya amanah dan jujur dalam mengelola keuangan negara yang bersumber dari rakyat.

Dalam falsafah Islam; zakat, selain mengandung konsep pensucian jiwa, juga mengandung pengertian penggandaan nilai harta. Logikanya adalah: kewajiban membayar zakat fitrah dan zakat maal, dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan suatu kesadaran terukur bahwa dalam tumpukan harta kekayaan milik seseorang, terdapat di dalamnya sebagian hak orang lain. Dengan kata lain –dari seseorang kepada banyak orang (kebersamaan)- yang secara moral bisa juga dikatakan sebagai pajak moral, dalam arti: bahwa dalam kepemilikan perseorangan melekat di dalamnya hak kebersamaan, bukan sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (dari dosa)…” (surah At-taubah ayat 103).

Hal ini berbeda dengan falsafah ekonomi Barat yang menganggap, sistem pembayaran tax (pajak) merupakan beban yang secara ekonomis mengurangi nilai harta kekayaan, bukan penggandaan harta dan menafikan adanya hak orang lain dalam hak milik seseorang. Jadi, konsep tax (Skat) dalam masyarakat kapitalism dan materialism lebih merupakan ketaatan/kepatuhan multak kepada hukum dan negara.

Malangnya, Ulamaumara masih belum mampu menjabarkan konsep zakat yang punya nilai moral dan penggandaan ini ke dalam undang-undang (qanun) mengenai:jenis-jenis barang, usaha perniagaan/jasa yang dibebani zakat, persentase, lembaga negara yang bertanggungjawab, sistem penagihan dan pendataan melalui data base, pengalokasian/pendistribusian, laporan reguler, pengawasan, dll. Sudah saatnya masalah zakat dirumuskan dalam qanun dengan desain syariah Islam di bawah penyatuan administrasi.

Namun yang terjadi adalah: ketika kita -umat Islam- menghendaki hal yang demikian, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah meluncurkan buku Himpunan Fatwa Zakat MUI dari tahun 1982-2011, pada 24/8/2011 di Jakarta. (Gema Baiturrahman online, 25 August 2011). Umat Islam butuh ”Manna dan Salwa”, bukan fatwa; … butuh nasi, bukan doktrinasi; … butuh beras, bukan pelumas.
Kita harus jujur mengakui bahwa, kejumudan berpikir umat Islam dalam konteks zakat sudah berlangsung ratusan tahun lamanya; sibuk menèntèng-nèntèng ’Kitab Kuning’ dari satu kampus ke kampus lain, dari satu Dayah ke dayah lain; namun tetap saja pola pikir terbelenggu dengan fatwa-fatwa teoritis dan enggan melakukan studi banding ke negara-negara maju yang mengadopsi konsep zakat dari al-Qur’an.

Realitas sosial yang kita saksikan adalah: Ulama/fuqaha bukan saja tidak memiliki konsep dan tidak mampu merumuskan zakat untuk disampaikan kepada Parlemen & Pemerintah, tetapi juga terlatih sebagai Ulama ”bermental zakat”, sudah terbiasa gusi mereka mengunyah zakat dari agihan kepada institusi pendidikan (Dayah), kalangan santri, anak yatim/piatu, yang diklasifikasikan sebagai pihak yang berhak menerima zakat. Kalau mentaliltas Ulama/fuqaha sudah demikian, bagaimana halnya dengan rakyat?

Sesungguhnya, bukan ”lagu lama” model ini yang dibutuhkan sekarang, tetapi rumusan hukum yang pasti-pasti agar pungutan dan pendistribusian zakat benar-benar diatur secara profesional berdasarkan hukum positif. Terus terang, managemen pengaturan zakat selama ini tidak lebih dari sikap ’cari muka dan perhatian dari Allah’, ketimbang pembuktian kadar ketaatan kepada aturan Allah SWT dan Rasul; mereduksi atau menghapuskan kemiskinan sama sekali. Jadi, zakat benar-benar sebagai konsep pembebasan dari kemiskinan.

Ini sudah tentu melibatkan kerjasama antara Umara-Ulama. Umat Islam jangan terperangkap ke dalam istilah “deprivation”, dimana jurang antara orang kaya dan miskin semakin lebar dan penyebab dari munculnya gejolak sosial –kriminalitas- dalam masyarakat berpunca dari kemiskinan. Buktikan bahwa kita –umat Islam muslim- memang punya konsep buat mengobati penyakit sosial, melalui konsep zakat, sehingga slogan: “Al Islamu ya'lu wala yukla 'alaih” bukan sebagai ucapan palsu dan kebanggaan semu, akan tetapi betul-betul terujud di alam nyata.