Saturday, June 3, 2017

Hasan Tiro: 'That's You, I Don't'


Hasan Tiro
TIADA mustika kata indah Tengku Hasan di Tiro untuk disajikan hari ini –tujuh tahun kepergiannya– kecuali petuah yang mengingatkan supaya pejuang GAM, tegas menentukan sikap untuk menghadapi strategi politik, militer, psy-war Indonesia dan jangan sekali-kali terpengaruh, apalagi takut kepada propaganda pemerintah RI yang hendak memperpanjang status Darurat Sivil di Aceh. (Amanat Wali Negara, 4 Desember 2004). 

Namun pada akhirnya tersungkur juga, apabila juru runding GAM menerima konsep otonomi khusus (berselimut self-government) di Aceh, sekaligus mengubur cita-cita perjuangan, mengakui kedaulatan dan tunduk kepada konstitusi di bawah payung NKRI. (Mukadimah MoU Helsinki, 2005). Semua ini berpunca dari pelbagai faktor, seperti ketidak setaraan derajat antara GAM-RI di meja berunding, tekanan CMI dan Badan dunia Internasional, GAM tidak tahan dengan ujian, tidak memiliki pengetahuan berunding –tidak menguasai istilah hukum dalam perjanjian Internasional, tidak mampu berhujah, lemah argumen, tidak jujur kepada pemimpin dan rapuh kesetiaan kepada perjuangan; walaupun Hasan Tiro telah menegaskan bahwa kesetiaan dan komitmen adalah anak kunci dalam sebuah perjuangan.

Selebihnya, konflik Aceh bukanlah berpunca dari penerapan otonomi dan pembangunan, tetapi masalah penjajahan dan kemerdekaan serta konsekuensi logisnya. Oleh itu, Aceh tetap melawan jika Indonesia masih memerangi. (Amanat Wali, 4 Desember 2004). Garis-garis ideologi perjuangan GAM ini, ternyata tidak mampu dicerna dan dipertahankan oleh juru runding GAM di Helsinki. Diakui bahwa, komitmen perjuangan GAM di forum diplomasi masih dapat dikawal oleh Hasan Tiro di setiap putaran rundingan antara GAM-RI di Geneva (2000-2002). Namun pada putaran rundingan di Helsinki, Hasan Tiro mulai terasing karena alasan kesehatan sehingga tidak mampu memantau jalannya rundingan.

Selama rundingan Helsinki berlangsung, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah mengambil alih kendali kebijakan, termasuk me-non aktif-kan telp. resmi ASNLF +46-853191275, menukarnya kepada telp: +46-853183833. Terakhir, nomor tlp. +46-853191275 dibekukan dan secara rahasia diganti kepada No. +046-853184728. Sejak itu, Hasan Tiro terputus hubungan komunikasi dengan dunia luar. Di celah-celah perundingan, Hasan Tiro menerima laporan bahwa “MoU Helsinki merupakan kemenangan besar, karena telah mengalahkan Indonesia dan menoreh sejarah gemilang bagi Aceh menuju merdeka.

Enam pasal MoU Helsinki sudah cukup untuk mengatakan Aceh menang dan merdeka. MoU ini telah memberi ruang kepada Aceh untuk bergerak bebas walaupun Indonesia tidak sadar akan hal ini. Aceh benar-benar merdeka –satu bendera, satu lagu dan satu bahasa– Tengku dapat kembali ke Aceh untuk memproklamirkan kemerdekaan Aceh untuk kali kedua.” (Laporan Bakhtiar Abdullah kepada Hasan Tiro (tarikh?). Dokumen ini kami simpan. Apapun kisahnya, yang pasti Hasan Tiro baru memperoleh naskah MoU Helsinki dua minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Itupun, setelah Abdullah Ilyas mengirimnya melalui fax. dari Kantor Post Rotterdam, Belanda; bukan dari tangan juru runding GAM. (Yusra Habib Abdul Gani, Satus Aceh Dalam NKRI: 2008).

 Pasca penandatanganan MoU Helsinki dikatakan: ”kita telah berhasil membuat satu perjanjian dengan pihak pemerintah Indonesia. Apa yang diputuskan merupakan satu langkah dari banyak langkah ke depan yang akan kita ambil alih untuk mengamankan dan memakmurkan Aceh. Kita akan bentuk pemerintahan sendiri (self-government) di Aceh seperti tertulis dalam MoU sesuai dengan kehendak bangsa Aceh, seperti bebas dalam hal politik, ekonomi, pendidikan, agama, hukum, keadilan secara demokrasi.” (Malik Mahmud, 15 Agustus 2005). Realitas yang terjadi ternyata tidak dapat diemplementasikan. Propaganda ini dipakai untuk meyakinkan Hasan Tiro supaya mau pulang ke Aceh, yang kemudiannya dikorbankan. Proses kepulangan Hasan di Tiro ke Aceh sempat menuai kontroversial. Pasalnya, “Wali tidak jadi pulang ke Aceh”, tutur Muzakkir Abdul Hamid kepada Musanna Abdul Wahab (salah seorang ahli waris di Tiro). Namun akhirnya, “Wali jadi juga pulang ke Aceh.” (wawancara dengan Musanna Tiro, 13 September, 2016). Sejak rencana kepulangan Hasan Tiro ke Aceh, famili di Tiro coba dihalang-halangi oleh pimpinan GAM untuk mendampingi perjalanan dari luar negeri ke Aceh. Buktinya, “Musanna Tiro tidak disertakan satu pesawat bersama rombongan Hasan Tiro dari Kuala Lumpur ke Aceh.” (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Protokuler sudah diatur sedemikan rupa, termasuk teks pidato Hasan Tiro telah siap untuk dibacakan di Masjid Baiturrahman, yang antaranya menyebut: “… jaga dan selamatkan perdamaian Aceh…”. Teks inilah yang dijadikan alasan pembenar dan rujukan politik GAM untuk dipasarkan di Aceh. Pada hal Hasan Tiro tidak tahu-menahu soal kalimat tersebut. (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Tragisnya, Hasan Tiro menganggap bahwa Aceh sudah merdeka saat mendarat di Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh; yang dihadiri oleh lautan manusia menyambut dan suasana haru ketika menyampaikan pidato di Masjid Baiturrahman. Setelah beberapa bulan berada di Aceh, beliau mulai merasakan hal-hal yang aneh. Misalnya, ketika rombongan Wali Negara tiba di Lhok Seumawe atas undangan Bupati Aceh Utara untuk menghadiri jamuan makan malam. Hasan Tiro menunggu dalam kamar khusus, didampingi oleh Musanna Tiro dan Muzakkir Hamid. Hasan Tiro bersama Muzakkir Abdul Hamid keluar dari kamar menuju tempat acara makan malam. Beberapa menit kemudian Musanna Tiro menyusul keluar dari kamar. Tanpa diduga, Hasan Tiro sudahpun berada di depan pintu masuk kamar, sambil menendang, mendorong Musanna ke dalam, menutup dan membanting daun pintu. Emosi beliau hampir tidak terkendali, kesendirian, kesepian dan marah. Musanna Tiro merasa terkejut, apa gerangan berlaku? Karena tidak tahu persis punca penyebab Hasan Tiro bertindak demikan; maka Musanna Tiro mengintip ke luar dari celah pintu. Ternyata yang berlaku adalah, Malik Mahmud sedang berjabat tangan dan berpelukan mesra dengan dua orang petinggi anggota TNI lengkap dengan tongkat Komando dari Kodim dan Korem Lhok Seumawe. Ketika Musanna Tiro hendak menutup pintu, Muzakkir Abdul Hamid menghampiri Musanna Tiro dan dengan suara rendah berkata: “Wali agaknya sudah tahu, kalau kita sudah benar-benar berdamai dengan RI”. “Apa itu Muzakkir?” tanya Musanna Tiro. Muzakkir berpura-pura tidak mendengar dan ketika Musanna meminta konfirmasi, Muzakkir tidak melayani. Sejak peristiwa itu, Musanna sudah curiga bahwa, sejak di Sweden lagi Hasan Tiro sesungguhnya sudah ditipu. Peristiwa lain yang menyedihkan berlaku, ketika Hasan Tiro buat terakhir sekali masuk ke Aceh dari Malaysia –pada masa itu kesehatan beliau dalam situasi kritikal– sementara visa izin tinggal di Indonesia hampir tamat. Untuk dapat menetap lebih lama, disyaratkan memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Untuk itu, Hasan Tiro cukup menandatangani formulir yang sudah disediakan oleh Bukhari Hj. Umar (pegawai yang mewakili Imigrasi Banda Aceh). Begitu formulir disodorkan untuk diisi, raut muka Hasan Tiro merah, marah dan menolak mentah-mentah untuk menandatangani tanpa menjelaskan apa alasannya. Hasan Tiro hanya menunjuk gambar burung Garuda –lambang negara Indonesia– pada formulir itu. ”Peue cicĂ©m njan, Musanna?”. Musanna Tiro menjawab: “Tidak ada masalah Abua. Ini hanyalah prosedur untuk mendapatkan visa”. Bagaimana pun, Hasan Tiro tetap menolak menandatandatangi dan sekali lagi menunjuk burung Garuda itu. Musanna terpaksa memperlihatkan contoh formulir miliknya yang terdapat gambar burung Garuda. Dalam situasi marah, beliau kata: “thats you, I don't Musanna”, sambil melemparkan pulpen dan meninggalkan pegawai Imigrasi. Kemudian Musanna Tiro cari akal untuk menutup gambar burung garuda dengan kertas lain. Namun saat formulir ditandatangani, Hasan di Tiro membuka tirai kertas pelapis yang masih nampak burung garuda. Hasan Tiro mencampakkan kembali formulir itu. Namun begitu, beliau sebetulnya sedang berdiri di depan “puntu jaring”. Barulah pada keesokan harinya Musanna Tiro mengambil inisiatif, mem-fotocopy formulir tersebut tanpa terlihat gambar burung Garuda. Barulah beliau menandatangani, itu pun setelah Musanna bilang: “supaya kita boleh tinggal di negeri bertuah ini sebentar lagi Abua”. Hasan Tiro tersentak, terkejut dan baru sadar –namun tidak mampu berbuat apa-apa lagi– bahwa dirinya sudah ditipu dan dikhianati. (Musanna, 13 September, 2016). Sungguh miris, apabila Hasan Tiro tidak tahu, kalau ideologi perjuangan GAM sudah dikubur oleh juru runding GAM di Helsinki, yang telah mengorbankan ribuan nyawa dan kerugian harta benda rakyat Aceh sejak dipugar oleh Hasan Tiro tahun 1976. “Kami telah membuat banyak konsesi…” (Pidato Malik Mahmud, 15/08/2005), seperti Aceh kehilangan kedaulatan, militer, jabatan Perdana Menteri dan Dewan Menteri berdasarkan (point 1.1 (a) MoU Helsinki) dan “MoU Helsinki menyisakan sejumlah masalah yang belum selesai”. (Serambi Indonesia, 16/08/2010). Artinya, MoU Helsinki ternyata menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah! Di mata Hasan Tiro Aceh sudah merdeka. Itu sebabnya, surat undangan kepada Yusuf Kalla (Wakil Presiden RI) untuk berkunjung ke Aceh, ditulis di atas kertas memakai lambang negara Aceh (buraq), ditandatangani oleh Hasan Tiro sebagai kepala negara Aceh. Surat Undangan ini dinilai kontrovesial, karena dianggap telah melecehkan pemerintah RI. Akhirnya, tanpa pengetahuan Hasan Tiro, surat undangan susulan ditulis di atas kertas kosong, ditandatangani oleh Malik Mahmud. Tidak cukup dengan itu, pimpinan GAM secara rahasia mengurus penukaran status kewarganegaraan Hasan Tiro dari warganegara Sweden kepada warganegara RI, di saat beliau dalam keadaan tidak sadar diri –koma– dan untuk melicinkan maksud tersebut, famili di Tiro tidak dilibatkan secara langsung. Dengan begitu, famili di Tiro sama sekali tidak bertanggungjawab atas penukaran kewarganegaraan Hasan Tiro; walaupun Tengku Fauzi Tiro diminta menjadi wakil ahli waris untuk menerima sertifikat kewarganegaraan Hasan Tiro yang siserahkan oleh Menhankamhum berserta uang Rp. 15 Juta (Musanna Tiro, 13 September, 2016). Peristiwa ini berlangsung 26 jam sebelum Hasan Tiro menghembuskan nafas terakhir pada 3 Juni 2010. Yang pasti “semua ini terjadi semata-mata atas kemauan mereka (Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakarya Saman, Irwandi Yusuf, Farhan Hamid). Kami famili di Tiro (ahli waris), sama sekali tidak dilibatkan dalam perkara ini.” (Wawancara dengan Tengku Fauzi di Tiro, 29 Nopember 2011). Dalam konteks ini, ”ada dua alasan, mengapa pimpinan GAM perlu segera menukar kewarganegaraan Tengku Hasan di Tiro. Pertama, untuk memudahkan proses penguburan di Aceh (Indonesia). Kedua: untuk memenuhi tuntutan agenda politik Indonesia.” (Tengku Fauzi di Tiro, 29 November 2011). Keabsahan perkara ini dinyatakan pula bahwa “famili di Tiro sama sekali tidak diikut sertakan dalam proses pengurusan penukaran kewarganegaraan Hasan Tiro. Oleh karenanya, kami tidak bertanggungjawab.” (Wawancara dengan Zaidi Ubaidillah, 14 Mei 2017). Rupa-rupanya di sebalik peristiwa ini ada agenda tersendiri, yaitu Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Zakarya Saman juga berhajat menukar status kewarganegaraan masing-masing menjadi warganegara RI. Ini terjadi, tepat 17 hari seusai Hasan Tiro meninggal. Penukaran status kewarganegaraan ketiga tokoh GAM tersebut adalah tindakan “jak seutot langkah Wali Neugara” (mengikuti jejak langkah Wali Negara), sekaligus membebaskan diri mereka dari tuduhan ‘quisling’. Semasa hidupnya, Hasan Tiro mengamanahkan supaya jasadnya dikubur disamping Ibundanya di Kampung Tiro; tetapi tidak dibenarkan oleh pimpinan GAM. (Musanna, 13 September, 2016). Akhirnya beliau dibukurkan di kawasan kuburan Pahlawan Muereue, Aceh Besar; disamping Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dan Tengku Thjik di Tiro Zainal Abidin.

Artikel Terkait