Wednesday, May 18, 2011

Eksistensi MK



Yusra Habib Abdul Gani

KEHADIRAN Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia merupakan hal baru. Dalam pembahasan naskah UUD 1945, Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI memang benar pernah mengusulkan supaya Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang.

Tetapi, usul ini ditolak oleh Soepomo dengan dalih, wewenang tersebut tidak sesuai dengan pola pikir dan jiwa UUD 1945 yang didesain atas prinsip “supermasi Parlemen”, di mana: selain MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dikenal juga DPR yang merumuskan undang-undang. Adalah kurang relevan apabila ada asumsi dasar, di mana Mahkamah Agung nantinya mengadakan hubungan antar lembaga yang bersifat “checks and balances.”

Semenjak itu, ide mengenai wewenang MA melakukan pengujian UU terhadap Konstitusi terkubur dan baru bangkit di era reformasi politik/kekuasaan yang mendesak dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama terhadap ketentuan pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan pasal 7B UUD 1945, supaya memasukkan lembaga Mahkamah Konstitusi kedalam Konstitusi.

Amandemen tersebut akhirnya disahkan oleh MPR pada 9/11/2001. Berangkat dari sini, pelaksanaan Mahkamah Konstitusi segera diatur dalam UU Nomor 24/2003 dan disahkan oleh Presiden dalam Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316, pada 13/08/2003. Lembaga MK baru aktif beroperasi sejak tgl. 15/10/2003. Walaupun dalam usianya masih seumur jagung, MK menjaga jarak, bebas dari pengaruh pihak tertentu dan terus bekerja secara profesional.

Ide pengujian undang-undang terhadap Konstitusi ini sebenarnya, sejak 200 tahun yang lalu sudah dirintis, yakni: pada saat John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat buat pertama sekali melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Maka bermulalah reformasi hukum di Amerika, yang dikenal sebagai negara yang mengamalkan tradisi “common law” menerapkan dengan “decentralize model”. Artinya, semua lembaga peradilan di tingkat negara bagian dan Mahkamah Agung Federal, masing-masing dapat melakukan pengujian konstitusionalitas di Amerika.

Pada gilirannya, tafsiran John Marshall yang mengagumkan ini, dikembangkan oleh Hans Kelsen, seorang pakar hukum Austria yang menggagasi dibentuknya Mahkamah Konstitusi di Austria. Saat dia dipercayakan sebagai salah seorang yang duduk dalam Lembaga Reformasi Hukum Austria, saran-sarannya diterima dan Austria mengadopsi ide ini kedalam Konstitusi Austria tahun 1919 dan dinobatkan sebagai peradilan tata negara pertama di dunia.

Penerapan fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) di Austria berbeda dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Agung di USA. Seperti diketahui bahwa Austria, adalah negara yang mengamalkan tradisi “civil law” yang memakai “centralize model”; di mana fungsi pengujian tersebut dipisahkan dan dipusatkan secara tersendiri dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu di Perancis, upaya pengujian undang-undang terhadap konstitusi ini disebut “judicial preview”, oleh karena dalam tubuh Dewan Konstitusi Perancis sudah lama mengakar pandangan bahwa undang-undang adalah bersifat suci dan tidak dapat diganggu gugat.

Dewan ini dianggap “keramat”, apalagi dipercayai bahwa undang-undang adalah perwujudan dari keinginan dan pendapat masyarakat; sehingga hanya terhadap rancangan undang-undang (RUU) saja boleh dilakukan pengujian; tidak untuk Undang-undang yang punya kekuatan dan kepastian hukum. Jadi, model yang diamalkan di Perancis bukan “judicial review” (menguji validitas suatu undang-undang yang sah). Kendati pun kritik tajam terus-menerus muncul dari kalangan pakar hukum, karena cara kerja Dewan terkadang mirip seperti mafia yang memakai hukum untuk melegitimasi semua jenis kebijakan dalam politik/kekuasaan. Namun, sampai dewasa ini yang dijalankan masih tetap “judicial preview”, bukan “judicial review”.

Soal Mahkamah Konstitusi di Indonesia lebih tepat disebut model “judicial review”, sebab dalam Konstitusi antara lain menyebut: “Mahkamah Konstitusi punya wewenang untuk: menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Dalam konteks inilah muncul kasus yang mempersoalkan pasal 256 UUPA bahwa: “calon perseorangan hanya dibolehkan sekali sejak UUPA diundangkan.” Setelah diajukan “judicial review” ke atas ketentuan pasal ini, maka atas pertimbangan pengawalan demokrasi dan pelindungan HAM; Mahkamah Konstitusi dalam putusannya: selain meluluskan permohonan “judicial review”, sekaligus me-mansukh-kan pasal 256 UUPA, sebab dinilai berseberangan prinsip demokrasi, jiwa dan semangat UUD 1945. Yurispudensi Mahkamah Konstitusi ini membenarkan kembali jalur perorangan dalam Pilkada selanjutnya di Aceh.

Sebenarnya, asbabun nuzul turunnya pasal 67 (1) huruf d. UUPA, yang membolehkan calon perseorangan, semata-mata untuk melayani sekali saja nafsu politik GAM pasca MoU Helsinki. Itu pasalnya disisipkan pasal 256 UUPA untuk menghalang langkah selanjutnya. Sesudah calon dari jalur perseorangan dan Partai lokal dibolehkan “naik ranjang” politik; GAM selain tak mau, kenderaan sendiri (PA) juga tidak dipakai; sebab dililit konflik intern. Sebaliknya menyokong Hasbi Abdullah-Humam Hamid (kenderaan PPP). Akhirnya, Irwandi-M Nazar meluncur jalur perseorangan dan menang mujur.

DPR-Pemerintah pusat lupa, kalau di kemudian hari akan diajukan “judicial review” pasal 256 UUPA terhadap Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi, yang putusannya tidak dapat dicampuri dan dipengaruhi oleh pihak mana pun, termasuk Mahkamah Agung atau Presiden yang punya kuasa prerogatif sekali pun. Sebab, pengujian yang dirintis John Marshall di Amerika, pengujian MK di Austria dan Indonesia, sebetulnya hendak mencari dan memenuhi rasa keadilan.

Memang benar pasal 269 ayat (3) UUPA menyebut: “Dalam hal adanya rencana perubahan undang-undang ini (UUPA) dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA”; tetapi dalam proses pengujian pasal 256 UUPA, DPRA bukanlah mitra MK, yang perlu diajak berkonsultasi dan dimintai pertimbangan. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudikatif, sementara DPRA lembaga legislatif tingkat lokal. Oleh orang yang buta hukum, pasal 269 ayat (3) UUPA dipakai sebagai tongkat untuk menjamah dan menjelajah, sampai masuk ke ranah putusan Mahkamah Konstitusi. Ini nampak dari kalimat: “MK belum pernah melakukan konsultasi dan minta pertimbangan DPRA atas putusannya yang ternyata mencabut isi Pasal 256 tersebut. “Oleh karena itu, kami menilai bila dilihat dari segi yuridis, putusan MK tersebut belum sah,” (Serambi Indonesia, 17/03/2011)

Jadi, supaya tidak bergentayangan orang buta hukum di Aceh dan untuk mengelak dari penafsiran hukum yang menyesatkan, maka saatnya dilakukan inventarisasi mengenai perkara-perkara apa saja yang mensyaratkan perlunya berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA. Apakah konsultasi itu dengan lembaga eksekutif, legislatif atau yudikatif pusat? Lain halnya jika ada indikasi bahwa putusan MK dianggap mematikan semangat dan jiwa demokrasi; maka wajar dilancarkan front pembelaan tegaknya hukum dan keadilan. Anehnya, mengapa, disaat orang di segenap belahan dunia berjuang untuk mewujudnya kebebasan berpolitik--mengutuk konsep leadership seumur hidup--orang Aceh malah shock, trauma, dan alergi demokrasi?

Falsafah Gayo yang Terlupakan



Yusra Habib Abdul Gani
KONSEP penyelamatan masa depan perekonomian di Tanah Gayo yang bertumpu pada hasil kopi, padi, dan tanaman muda/musiman, diprediksi sulit bertahan. Hal ini disebabkan oleh pergeseran pola pikir masyarakat dari profesi petani tradisional kepada pedagang kios tradisional yang menjamur. Selain itu, juga lantaran munculnya tren membangun perumahan dan pertokoan di atas areal persawahan dan perkebunan. Akibatnya, lahan produktif ini dari masa ke semasa semakin menyempit. Pada hal betapa indahnya kalau perumahan dibangun di lereng-lereng bukit, tanpa harus menggerogoti areal yang produktif. Perubahan pola pikir ini, selain berpotensi melahirkan masalah geografi, dimana tingkat produksi beras, kopi dan tanaman muda lainnya mengalami penurunan, juga terjadi persaingan ekonomi tidak sehat di tingkat kampung. Sebabnya, karena jumlah kios tidak seimbang dengan jumlah penduduk suatu kampung.

Setidak-tidaknya, sejak 30 tahun belakangan ini diketahui bahwa hanya 40% saja dari jumlah penduduk di empat Kabupaten (Aceh Tengah, Bener Merie, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara) yang menikmati produksi beras lokal. Selebihnya menyuplai beras bulog/impor. Ini konsekuensi logis dari penyempitan areal tanah produktif persawahan. Sebelumnya hanya penduduk kota yang terdiri atas pegawai negeri/swasta saja yang makan beras catu, sementara penduduk kampung tetap menikmati beras hasil produksi sawah-ladangnya.

Jika peristiwa ekonomi ini dihubungkan dengan falsafah Gayo, “Rom Oros Tungkel ni Imen, Gadung Kepile Peger ni Keben (Padi- beras pangkal iman, ubi kayu - ubi jalar pagar lumbung padi)”, maka fenomena perekonomian ini dinilai sebagai suatu penyimpangan (deviation) dari konsep ekonomi sektoral. Sebab, mengikut falsafah ini, kekuatan dan ketahanan ekonomi suatu masyarakat akan wujud jika produksi utama daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Secara simbolik, kalimat “Rom Oros” (beras padi) mengisyaratkan bahwa produksi padi dan kopi merupakan penghasilan utama yang bisa memenuhi harapan, menjamin kesejahteraan masyarakat, dan memperteguh iman. Ini bisa menghindarkan seseorang dari kemiskinan yang bisa mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Apalagi suatu ketika dahulu, orang Gayo memandang hina bagi siapa saja yang makan beras catu, sebab berbau tak sedap. Pandangan ini logis, karena selain kebanggaan atas tanahnya yang subur, telah terbukti bahwa hasil pertanian memberi keberkahan dan membawa kemakmuran yang didorong oleh etos kerja lisik, yakni (rajin), cerdik, dan mersik (tegar).

Di mata orang Gayo, hasil padi dan kopi merupakan modal utama untuk membangun masa depan suatu keluarga. Oleh sebab itu, pengelolaannya sangat hati-hati. Bahkan untuk tidak menggerogoti modal utama, disediakan cadangan yang lain, guna mem-back-up modal utama, sekaligus untuk menambah pendapatan. Konsepnya ialah, “Gadung Kepile Peger ni Keben” (ubi kayu - ubi jalar pagar lumbung padi).” Secara simbolik ini bermakna bahwa selain hasil padi dan kopi, perlu ada usaha sampingan seperti menanam jeruk, tembakau, kol, tomat, kentang, wartel, dll. Ini berfungsi untuk menopang kebutuhan primer. Jadi, kalaulah sekadar untuk membeli pakaian, perhiasan, dan perlengkapan rumah tangga, cukuplah dari hasil usaha sampingan ini tanpa perlu membongkar gembok lumbung padi atau gudang kopi.

Untuk mem’back-up’ kedua jenis pendapatan ini, dikenal lagi konsep “Empus kuning (Kebun kuning)” yang terletak di belakang atau di samping rumah, misalnya tanaman serai, jeruk limau, sayur-sayuran, kunyit, lengkuas, cabe, halia, yang digunakan untuk keperluan lauk-pauk sehari-hari. Jadi, tinggal ikan atau daging saja yang dibeli. Dengan demikian, produksi utama--beras dan kop--selain dimakan/minum, juga dijual di pasaran lokal, nasional, dan diekspor ke luar negeri. Agaknya, konsep ini layak diterapkan untuk membangun perekonomian makro, karena punya sistem pertahanan ekonomi yang jitu. Adalah suatu keaiban, jika dahulu beras kampung masuk kota, kini justru beras bulog yang bau ‘kerusung’ masuk kampung.

Dalam konteks pemasaran barang ekspor, ada aksioma yang menyebut, “Engkip mulo rerak, baro sowah kulahnume” (Penuhkan dahulu saluran air, baru alirkan ke persawahan.)”. Aksioma (baca: falsafah ekonomi Gayo) ini mengajarkan bahwa sesudah quota barang kebutuhan pokok benar-benar terpenuhi, harga barang di pasaran stabil dan terjangkau, barulah penguasa lokal merumuskan langkah-langkah untuk mengekpor jenis barang tertentu. Dengan kata lain, jangan sampai terjadi kekurangan barang sembako di daerah. Konsep ini adalah senjata untuk menghadang mafia gelap yang merusak harga pasaran di daerah. Sebagai contoh, harga jual gabah kering giling (GKG) di tingkat pedagang di Aceh kini mencapai Rp 5.000/kg, sedangkan beras lokal standar berkisar Rp 8.500/kg-Rp 9.000/kg. Ini naik dari sebelumnya, antara Rp 6.500/kg-Rp 7.500/Kg. Kemungkinan gabah padi asal Aceh secara besar-besaran dijual ke luar daerah (Serambi, 28 Januari 2011). Peristiwa ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan terhadap barang kebutuhan pokok, yang memasang harga lebih tinggi untuk produksi beras lokal, sementara untuk beras import dijual dengan harga murah.

Sebenarnya, jika “Rom Oros Tungkel ni Imen (Padi dan beras pangkal iman)” ditafsirkan sebagai APBN--subdisi dari pusat--maka dana ini seharusnya dialihkan untuk membiayai pembangunan primer, misalnya membangun infrastruktur fisik.

Adalah tidak logis dan realistis, jikalau dana tersebut tidak habis dipakai sehingga mesti dikembalikan ke pusat. Agar tidak terjadi penggerogotan, maka perlu disediakan “Gadung Kepile Peger ni Keben (Ubi kayu dan ubi jalar pagar lumbung padi)”, yakni APBK/APBA (dana cadangan/sampingan) yang berasal dari keuntungan perusahaan milik daerah dialihkan untuk pengadaan bahan bacaan perpustakaan, kesehatan, atau kebutuhan ekstra kemanusiaan di dalam dan ke luar daerah. Ini berarti, Pemprov/Pemkot/Pemkab mesti punya perusahaan dan tidak hanya mengandalkan semata-mata hasil perolehan pelbagai jenis pungutan pajak.

Perihal kebijakan ekpor-impor ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan dalam lapangan perniagaan. Dalam realitasnya, Pemprov Aceh masih belum berpikir ke tahap menawarkan jenis barang asal Aceh ke pasaran nasional dan internasional. Pada hal Aceh punya! Belum terwujud suatu “lembaga data/statistik” dan “lembaga research” yang profesional, dimana kedua badan ini baik terpisah maupun bersama-sama meneliti, mengevaluasi, dan mengawasi jenis-jenis barang yang diproduksi dan layak jual. Belum terpikir untuk menulis keterangan isi pada kemasan barang (kotak) produksi Aceh dalam bahasa lokal, selain bahasa Melayu/Indonesia dan Inggris.

Dalam dunia perdagangan, Aceh bukanlah negeri produsen, apalagi pusat perdagangan, melainkan salah satu negeri yang paling empuk untuk dijadikan korban (konsumen) teknologi modern asing, mulai dari fasilitas transportasi, pakaian, obat-obatan, sarana telekomunikasi/informasi, ‘accesories’ barang elektorik, sampai kepada seluruh atribut dalam rumah tangga. Itu sebabnya, kita perlu mulai mengenali dalil, “Engkip mulo rerak, baro sowah kulahnume (Penuhkan dahulu saluran air, baru alirkan ke persawahan)”, yang secara filosofis berarti, “Terlebih dahulu memprioritaskan upaya pengayaan dan pemberdayaan SDM/SDA lewat pendidikan formal/informal untuk memenuhi kebutuhan pokok daerah.” Seiring dengan itu, siap-sedia menghadapi perang ekonomi dan perang budaya melawan kuasa asing. Jika tidak, kita akan terjungkal ke dalam jurang kehinaan tanpa batas. Kita sebetulnya punya falsafah ekonomi yang brillian. Kembalilah ke pangkal jalan!