Tuesday, February 10, 2009

Rohingya: Karam Dalam Dada

Oleh: Yusra Habib Abdul Gani*

KALAULAH ada penguasa yang nama negaranya diubah dari Burma kepada Myanmar; itulah junta militer Myanmar. Kalaulah ada penguasa yang Ibukota negaranya diubah dari Rangoon [Yangon] kepada Naypyidaw; paling takut kepada demokrasi dan Aung San Suu Kyi; penguasa yang menginjak-injak HAM; melakukan ethnic cleancing secara sitematik terhadap penduduk Arakan; yang lebih mengedepankan karakter binatangmisme ketimbang humanisme, itulah junta militer Myanmar. Junta militer inilah yang membunuh lebih dari 3000 orang dalam kudeta tahun 1988.

Kalaulah ada negeri yang selalu dilanda krisis -konflik antar ethnic dan genocide; itulah Burma (Myanmar). Alasannya? Pertama, saat meletus konflik antara Mogul dan Raja Shah Shujah tahun 1660 A.D. Issue sentralnya karena perbedaan ethnic. Akibatnya, ribuan penduduk dari ethnik Rakhine dan Rohingya eksodus ke Bengal. [Sekarang: Bangladesh]. Kedua, ketika Raja Sanda Wiziya berkuasa tahun 1710 A.D. Dia mengancam untuk membunuh Kaman (seorang tokoh pemimpin muslim di Arakan), menangkap serta memenjarakan semua politisi Arakan. Karena ketakutan, rakyat terpaksa melarikan diri ke Bengal. Ketiga, saat Kalah (tokoh Muslim) melakukan protes dan pemberontakan seluruh pelosok negeri [tahun 1738 A.D.] atas alasan raja bersikap racis.

Apabila Raja menghimpun kekuatan, dilakukan pembunuhan massal terhadap penduduk muslim di Arakan. Ramai yang melarikan diri ke Provinsi Chittagong , di bawah imperium Mogul. Keempat, terjadi konflik antar ethnic tahun 1825 A.D, yakni: saat Bodaw Pya berkuasa, yang membunuh dan mengusir ribuan penduduk muslim Arakan. Akibatnya, bukan saja penduduk muslim Arakan, ethnic Rakhine pun menyelamatkan diri ke Bengal. Mereka baru kembali setelah Arakan diduduki British. Kelima, kerusuhan antara dua kubu kekuatan meletus tahun 1942, saat terjadi kevakuman pemerintahan, dimana British menarik diri dari Arakan, kawasan yang dikuasai Jepang. Waktu itu, berlangsung pembunuhan massal, yang sedikitnya 100,000 muslim Arakan terpaksa menyebarang sungai Naf, yang secara de facto masih dikuasai British. Mereka dilindungi dalam kèm pengungsi Rangpur, sementara ethnic Rakhine, sedikitnya 10,000 jiwa di sekat di Maungdaw. Mereka yang berani menyeberang kawasan Buthidaung-lah yang selamat dan dilindungi Inggeris dalam kèm Dainuspur dan sebagian lari ke India.

Sesudah disepakati dalam MoU antara Bengal-Burma, barulah sebagian dihantar pulang, sebagian lagi memilih tinggal di Bangladesh. Keenam, meletus konflik antar ethnic pasca kemerdekaan tahun 1948, dimana pasukan Mujahid (ethnic Rohingya) dan militer -the BTF (Burma Ternional Force) terjadi baku tembak. Banyak orang sipil disiksa, dianiaya dan dibunuh. Perkampungan dibakar, menyekat makanan dll. Tindakan BTF semata-mata menghancurkan kekuatan oposisi. Mereka terpaksa melarikan diri ke wilayah Timur Pakistan. Ketujuh, meletus konflik ethnic dan seiring dengan itu diberlakukan “Dragon King Operation” tahun 1978. Operasi ini lebih tepat dinamakan “ethnic cleancing”, yang sedikitnya 300.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine lari ke Bangladesh, hingga kemudian ditandatangani suatu MoU antara Bangladesh-Burma tentang: pemulangan kembali para pengungsi. Kedelapan, antara akhir tahun 1991 -awai 1992, terjadi tragedy berdarah, dimana junta militer mengerahkan 10 hingga 14 batalion serdadu untuk membumi hangus dengan tujuan menukar wilayah Arakan dari wajah muslim menjadi wajah Budhis dan Pagodas. Lebih dari 25.000 penduduk muslim Arakan dan ethnic Rakhine terpaksa menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Kembali ditanda tangani suatu MoU antara Burma-UNHCR, yang menjamin hak-hak hidup dan melingdungi penduduk mulim Arakan secara manusiawi. Dari 25.000 jiwa, kebanyakan dari mereka diterima sebagai refugee di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, UAE, Thailand, Malaysia (20,000 orang) dan Indonesia. Sementara itu, di Swedia terdapat pelarian politik Rohingya sejumlah 300 orang, Norwegia 60, Inggeris 100, Belanda 40 dan Denmark 100 orang. Inilah kronologis konflik antara ethnic di Myanmar. 

Bicara soal Arakan, berarti kita tengah bicara soal ethnic Rohingya, suatu ethnic minoritas yang duduk di Arakan. Dalam sejarahnya, sejak abad ke- 8, sudah masuk Islam ke sana, dibawa oleh para pedagang dari India. Secara bertahap orang muslim di sini merambah masuk ke dalam kancah politik dan budaya, yang dimulai sejak pemerintahan Min Tsaw Mwun, dibantu oleh Sultan Jalaluddin Mohammed Shah (Nazir Shah) yang berkuasa di Arakan. Ethnic Rohingya yang menetap di Arakan, memiliki deretan pemimpin, seperti: Alia Beg dari Baguna, Buthidaung, Mohammed Hanif dan Amir Hamzah, yang berturut-turut pernah menjadi penguasa di sini. 

Walau pun satu ketika, dinasty Mrauk-U (non muslim) pernah mengambil alih kuasa, tetapi tradisi Islam dalam administrasi pemerintahan tetap dipelihara dan dipertahankan, yang sudah menjadi precedent sejak pemerintahan Sultan Gaur. Arakan juga pernah dipimpin oleh Mohammed Shah, tetapi dalam perang melawan Doui Minikka dari Tippera, dia terbunuh. Wilayah kuasa Raja Tippera meliputi wilayah Chittagong yang sudah mengakar dengan budaya Islam sewaktu berada di bawah naungan Arakan. Dr Kunango, pakar sejarah Chittagong menerangkan: “Suatu ketika, Arakan pernah disatukan administrasinya dengan sebelah Timur Bengal, tetapi saat Hussein Shahi‘s berkuasa, wilayah Chittagong berhasil diduduki dan administrasinya disatukan di bawah wilayah hukum Codavascao (Khuda Baksh Khan)”. 

Akar sejarah Arakan (Rohingya) yang berwarna Islam ini, mau dicabut oleh junta militer. Satu-satunya cara melakukan ethnic cleancing atau genocide secara sitematis. Tindakan ini, selain bertentangan dengan sejarah, juga berlawanan dengan teologi pembebasan. Junta milter Myanmar telah gagal mengamalkan moral Budhisme yang mengajarkan kerendahan hati, kesederhanaan dan kebebasan dalam kehidupan keseharian dan politik praktis -setidak-tidaknya- telah menyalah tafsir dan menyalah gunakan teologi ini, yang cenderung menghubungkan dengan doktrin Marxisme, dimana setiap tindakan kekerasan untuk menumbangkan atau mempertahankan kekuasaan mendapatkan legitimasi dari agama. 

Padahal teologi pembebasan bertujuan membela nasib kaum dhu‘afa dan kaum tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil dan menyebabkan kaum lemah selalu menjadi korban eksploitasi politik. (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation. Maryknoll: Orbis, 1998.) Hal ini terbukti dari prilaku kebinatangannya, saat junta militer betindak biadab terhadap rakyat dan ribuan Biksu yang ikut demonstrasi pertengahan tahun 2007, demi menyuarakan pentingnya kedamaian dan kebebasan mengeluarkan pendapat di alam demokrasi. Sebelumnya, hasil Pemilu yang dimenangkan Aung San Suu Kyi dengan angka 92 persen lebih, telah dibatalkan oleh Junta militer Myanmar secara sepihak. Ini berarti, junta militer Myanmar, selain anti kerukunan antar ethnic dan kerukunan umat beragama dan genocide, juga rezim yang anti demokrasi.

Keberagaman ethnic dan agama di Myanmar, tidak dinilai sebagai khazanah kekayaan bangsa yang mesti dibina dan diarahkan kepada persatuan, berdasarkan ideologi negara: yang memberi hak berusaha, tempat tinggal, hidup aman yang bebas dari intimidasi dan teror, menyayangi rakyat dan memberi kebebasan menyatakan pendapat.
Biarlah ethnic Burma yang sudah berjasa memahatkan nama ethnic-nya menjadi nama sebuah Negara -Burma- dan biarlah ethnis Shan (Syiam) dan Mon, yang tinggal di jalur perbatasan Thailand-Burma (Myanmar) dan ethnis Karen, yang berdiam sebelah Utara, kawasan golden triangle (segitiga emas), hidup tenang dan sentosa. Biarlah ethnic Rakhine (non muslim) dan ethnic Rohingya mendiami Arakan dengan hati damai dan bebas menjalankan ajaran agama dan budaya masing-masing. Bahkan beri kebebasan menentukan nasib diri sendiri, jika cukup alasan untuk itu.

Sangat sulit mendapat jawaban tentang nasib masa depan gerakan kemerdekaan Arakan. Terlepas dari itu, nasib orang Rohingya yang terdampar di Aceh mesti diselesaikan dengan melibatkan langsung UNHCR. Penderitaan mereka sejak tahun 1660 A.D sampai sekarang belum berakhir. Di darat mereka dikejar bagaikan hewan buruan, di laut diburu bagaikan musuh. Biduk yang mereka kayuh adalah sampan rapuh; hanya tekad dan ketegaran hati yang mengantarkan mereka sampai terdampar di Aceh, tanah yang yang bertuah, ramah dan megah karena memuliakan tamu, dengan harapan ada sinar kasih yang putih. Orang Rohingya karam hati, karena enggan menjauh dari kenyamanan hawa pegunungan Minglagyi. Ya, mereka karam dihempas oleh gelombang di Selat Melaka. Tetapi sebenarnya, orang Rohingya karam cita-cita dan harapan merdeka dalam dada.

*)Director Institute for ethnics Civilization Research, Denmark.
{Serambi Indonesia,10/02/2009}

Tuesday, February 3, 2009

“Tanas”

Oleh Yusra Habib Adul Gani*

KATA: “Tanas” atau “Tenes”, “Nanas” atau “Nenes” adalah bentuk synonim. Kata istilah (technical term) dalam Adat Gayo bermakna penglepasan akhir bagi pengantin wanita untuk diantar ke kediaman pengantin lelaki (suami) dengan mengangkut semua barang hantaran, diiringi dengan tangisan (Sebuku). Upacara pelepasan ini hanya terjadi dalam perkawinan “Juelen”. Ada beberapa model perkawinan adat Gayo, seperti: “Angkap”, “Kuso-kini” dan “Juelen”. Perkawinan “Angkap” terjadi, jika satu keluarga tidak punya keturunan anak lelaki berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda [umumnya lelaki berbudi baik dan ’alim]. Inilah yang dinamakan: “Angkap berperah, juelen berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta”.

Menantu lelaki ini, disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga isteri. Dalam konteks ini dikatakan: “Anak angkap penyapuni kubur kubah. Si muruang iosah Umah, siberukah iosah Ume” (Menantu lelaki penyapu kubah kuburan. Yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri Sawah.” Perkawinan “Kuso-kini” termasuk perkawinan adat yang modern, yang meletakkan syarat bahwa, kedua mempelai (pasangan suami/isteri) bebas menentukan pilihan, dimana mereka akan tinggal menetap dan tidak membeda-bedakan kedudukan kedua orang tua masing-masing. Perkawinan model ini dipandang tolerance dan humanism, karena mengakui hak menentukan pilihan dan menempatkan derajat lelaki dan wanita sejajar dalam ukuran hukum Adat, hukum positif dan ketentuan syari‘ah. Itu sebabnya, model perkawinan “Kuso-kini” ini menjadi pilihan dari kebanyakan orang Gayo berbanding dengan model perkawinan lainnya, terutama bagi masyarakat yang menetap di kota-kota atau di perantauan.

Perkawinan “Juelen” merupakan model perkawinan yang agak unik dalam masyarakat Gayo, sebab mempelai wanita dianggap sudah dibeli dan disyaratkan mesti tinggal selamanya dalam lingkungan keluarga mempelai lelaki. Kata “juelen” secara harfiah berarti: “barang jual”. Artinya: dengan sudah ijab qabul, maka keluarga pengantin wanita secara hukum telah menjual anak perempuannya dan suami berkuasa dan bertanggungjawab penuh terhadap wanita yang sudah dibelinya. Inilah yang disebut: “Sinte berluwah” (“pengantin wanita dilepas”). Secara ektreem digambarkan; “juelen bertanas mupinah urang” (“pengantin wanita dilepas: bertukar kampung, marga, suku dan belah.” Hubungan kekeluargaan antara pengantin wanita dengan keluarga asal menjadi renggang, walau tidak terputus sama sekali. Status wanita dalam perkawinan ini seperti budak yang sudah dibeli dan sebagai “koro jamu” (“Kerbau tamu”) dalam lingkungan masyarakat suaminya. Tidak ada hak sosial yang melekat dalam dirinya, selain mengabdi kepada suami/keluarga, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Hak mengunjungi orang tua asal tidak lagi bebas, karena segalanya sudah bertukar kepada keluarga mempelai lelaki: kampung, marga, suku dan belah), kecuali: dalam hal-hal tertentu: keluarga meninggal dunia atau berkunjung di Hari Raya.

Konsekuensi logis dari perkawinan “juelen”, banyak kesalahan terjadi dalam menelusuri silsilah keluarga. Anak, keponakan dan cucu, banyak tidak tahu: dimana, berapa dan siapa nama saudara lelaki/perempuan Ayahnya atau Ibunya, nenek-kakek dan datunya. Lebih parah lagi ialah: dalam masyarakat Gayo didapati suatu kebiasaan yang negatif, yakni: sangat tabu menyoal siapa nama Ayah/Ibu, Kakek/nenek dan datu. Nama mereka pada umumnya baru bocor setelah meninggal, yang terpaksa menyebut nama asli. Aneh! Salah satu factor penyebabnya ialah: jika pasangan suami/isteri mempunyai anak pertama bernama “Nikite”, maka otomatis Ayah dipanggil “Aman Nikite” dan Ibunya dipanggil “Inen Nikite”. Nama asli mereka hilang. Faktor lainnya mesti dilakukan research.

Typelogi perkawinan “juelen” mirip dengan Adat perkawinan ethnic Batak, dimana pengantin wanita yang menetap dalam lingkungan keluarga lelaki, selain marganya tidak lagi popular, marganya tidak berhak disandang oleh anak yang dilahirkannya. Maka perkawinan “juelen” mesti diadakan “Tanas” (pelepasan), yang sarat haru. Pengantin wanita tadi sadar bahwa: layar sudah dikembang mengarungi samudera yang bergelora, belum menjanjikan apa-apa dan menyimpan sejuta rahasia: bahagia dan selamat dalam bahtera rumah tangga ataukah kecewa, karam, terjungkal dan terpelanting didera badai.

Rahasia di sebalik semua inilah yang dilukiskan dalam “Sebuku” (ratapan “nanas”) pada detik-detik terakhir pelepasan. Deru yang menggebu larut dalam suara serak yang melengking, meretas semua kisah duka-lara lama menjelma dalam ayat-ayat (lirik) sastera yang sudah dikemas untuk dihempas dengan sejadi-jadinya. Biasanya, jauh hari sebelum aqad nikah, calon mempelai wanita sudah menghafal tentang ayat-ayat cinta dan kesenduan yang akan diperankan dalam tangisan terakhir (“Sebuku Tanas”), bahkan tidak mustahil melakukan gladi resik.

“Sebuku” tadi bercerita tentang: dunia baru yang penuh teka-teki dan asing, resah-gelisah, masa-masa indah remaja diluahkan lewat teks yang berbeda kepada: orang tua, famili dan sahabat qarib. Pengantin wanita ini akan mendekap rapat bahu “korban”nya dengan kain selendang panjang. Semakin deras derunya, semakin mencekam liriknya. Di antara ayat-ayat yang menyayat hati itu:

Saatnya datang menikmati mimpi indah, mungkin//
Walau untuk itu harus berpisah//
Dulu aku beselimut kasih sayangmu//
Kini bertukar tangan//
Layar sudah terkembang//
Adakah angin jujur mengantar ku ke tujuan//
Atau tersungkur dalam gelora ombak yang kejam//
Denyit pintu pertanda aku datang, kini membisu//
Aku sudah menjadi milik orang//
Puaskah engkau dengan ketiadaan ku//
Pulaskah tidur tanpa mimpi dan diri ku//
Sukarnya mengusir resah//
Ikutkah tanah ini mengusirku//
Juga sungai yang mengalir tempatku mencuci//
Rindu kawan bermain simbang sudah terhalang//
“Surak Lawi” sudah terhadang//
Turutkah pelangi melilit dan bintang bersembunyi//
Membiarkan aku sendiri di dunia asing//
Oooh, pembalut luka hati ketika kecil//
Terpencil aku dari mereka//
Terbukakah pintu jika kelak kuketuk//
Berpaling karena disakiti?//
Atau membiarkan ku remuk dalam ruang tak bercahaya//
Oooh, bahagia//
Bawalah aku menyeberang sungai bening//
Yang mengalirkan ayat-ayat cinta buat selamanya//


Akhirnya, terlepas dari pertimbangan apa pun juga, yang jelas: perkawinan “juelen” No; “Sebuku tanas” Yes! Biarlah air mata wanita Gayo menyirami dan menyuburkan bumi sastera Gayo. Kalaulah karena airmata itu membuat hatimu damai dan jiwamu merdeka. Lakukankah.

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
[serambi Indonesia, Essai Budaya, 01/02/2009]