Tuesday, February 3, 2009

“Tanas”

Oleh Yusra Habib Adul Gani*

KATA: “Tanas” atau “Tenes”, “Nanas” atau “Nenes” adalah bentuk synonim. Kata istilah (technical term) dalam Adat Gayo bermakna penglepasan akhir bagi pengantin wanita untuk diantar ke kediaman pengantin lelaki (suami) dengan mengangkut semua barang hantaran, diiringi dengan tangisan (Sebuku). Upacara pelepasan ini hanya terjadi dalam perkawinan “Juelen”. Ada beberapa model perkawinan adat Gayo, seperti: “Angkap”, “Kuso-kini” dan “Juelen”. Perkawinan “Angkap” terjadi, jika satu keluarga tidak punya keturunan anak lelaki berminat mendapat seorang menantu lelaki, maka keluarga tersebut meminang sang pemuda [umumnya lelaki berbudi baik dan ’alim]. Inilah yang dinamakan: “Angkap berperah, juelen berango” (Angkap dicari/diseleksi, Juelen diminta”.

Menantu lelaki ini, disyaratkan supaya selamanya tinggal dalam lingkungan keluarga pengantin wanita dan dipandang sebagai pagar pelindung keluarga. Sang menantu mendapat harta waris dari keluarga isteri. Dalam konteks ini dikatakan: “Anak angkap penyapuni kubur kubah. Si muruang iosah Umah, siberukah iosah Ume” (Menantu lelaki penyapu kubah kuburan. Yang ada tempat tinggal beri rumah, yang ada lahan beri Sawah.” Perkawinan “Kuso-kini” termasuk perkawinan adat yang modern, yang meletakkan syarat bahwa, kedua mempelai (pasangan suami/isteri) bebas menentukan pilihan, dimana mereka akan tinggal menetap dan tidak membeda-bedakan kedudukan kedua orang tua masing-masing. Perkawinan model ini dipandang tolerance dan humanism, karena mengakui hak menentukan pilihan dan menempatkan derajat lelaki dan wanita sejajar dalam ukuran hukum Adat, hukum positif dan ketentuan syari‘ah. Itu sebabnya, model perkawinan “Kuso-kini” ini menjadi pilihan dari kebanyakan orang Gayo berbanding dengan model perkawinan lainnya, terutama bagi masyarakat yang menetap di kota-kota atau di perantauan.

Perkawinan “Juelen” merupakan model perkawinan yang agak unik dalam masyarakat Gayo, sebab mempelai wanita dianggap sudah dibeli dan disyaratkan mesti tinggal selamanya dalam lingkungan keluarga mempelai lelaki. Kata “juelen” secara harfiah berarti: “barang jual”. Artinya: dengan sudah ijab qabul, maka keluarga pengantin wanita secara hukum telah menjual anak perempuannya dan suami berkuasa dan bertanggungjawab penuh terhadap wanita yang sudah dibelinya. Inilah yang disebut: “Sinte berluwah” (“pengantin wanita dilepas”). Secara ektreem digambarkan; “juelen bertanas mupinah urang” (“pengantin wanita dilepas: bertukar kampung, marga, suku dan belah.” Hubungan kekeluargaan antara pengantin wanita dengan keluarga asal menjadi renggang, walau tidak terputus sama sekali. Status wanita dalam perkawinan ini seperti budak yang sudah dibeli dan sebagai “koro jamu” (“Kerbau tamu”) dalam lingkungan masyarakat suaminya. Tidak ada hak sosial yang melekat dalam dirinya, selain mengabdi kepada suami/keluarga, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Hak mengunjungi orang tua asal tidak lagi bebas, karena segalanya sudah bertukar kepada keluarga mempelai lelaki: kampung, marga, suku dan belah), kecuali: dalam hal-hal tertentu: keluarga meninggal dunia atau berkunjung di Hari Raya.

Konsekuensi logis dari perkawinan “juelen”, banyak kesalahan terjadi dalam menelusuri silsilah keluarga. Anak, keponakan dan cucu, banyak tidak tahu: dimana, berapa dan siapa nama saudara lelaki/perempuan Ayahnya atau Ibunya, nenek-kakek dan datunya. Lebih parah lagi ialah: dalam masyarakat Gayo didapati suatu kebiasaan yang negatif, yakni: sangat tabu menyoal siapa nama Ayah/Ibu, Kakek/nenek dan datu. Nama mereka pada umumnya baru bocor setelah meninggal, yang terpaksa menyebut nama asli. Aneh! Salah satu factor penyebabnya ialah: jika pasangan suami/isteri mempunyai anak pertama bernama “Nikite”, maka otomatis Ayah dipanggil “Aman Nikite” dan Ibunya dipanggil “Inen Nikite”. Nama asli mereka hilang. Faktor lainnya mesti dilakukan research.

Typelogi perkawinan “juelen” mirip dengan Adat perkawinan ethnic Batak, dimana pengantin wanita yang menetap dalam lingkungan keluarga lelaki, selain marganya tidak lagi popular, marganya tidak berhak disandang oleh anak yang dilahirkannya. Maka perkawinan “juelen” mesti diadakan “Tanas” (pelepasan), yang sarat haru. Pengantin wanita tadi sadar bahwa: layar sudah dikembang mengarungi samudera yang bergelora, belum menjanjikan apa-apa dan menyimpan sejuta rahasia: bahagia dan selamat dalam bahtera rumah tangga ataukah kecewa, karam, terjungkal dan terpelanting didera badai.

Rahasia di sebalik semua inilah yang dilukiskan dalam “Sebuku” (ratapan “nanas”) pada detik-detik terakhir pelepasan. Deru yang menggebu larut dalam suara serak yang melengking, meretas semua kisah duka-lara lama menjelma dalam ayat-ayat (lirik) sastera yang sudah dikemas untuk dihempas dengan sejadi-jadinya. Biasanya, jauh hari sebelum aqad nikah, calon mempelai wanita sudah menghafal tentang ayat-ayat cinta dan kesenduan yang akan diperankan dalam tangisan terakhir (“Sebuku Tanas”), bahkan tidak mustahil melakukan gladi resik.

“Sebuku” tadi bercerita tentang: dunia baru yang penuh teka-teki dan asing, resah-gelisah, masa-masa indah remaja diluahkan lewat teks yang berbeda kepada: orang tua, famili dan sahabat qarib. Pengantin wanita ini akan mendekap rapat bahu “korban”nya dengan kain selendang panjang. Semakin deras derunya, semakin mencekam liriknya. Di antara ayat-ayat yang menyayat hati itu:

Saatnya datang menikmati mimpi indah, mungkin//
Walau untuk itu harus berpisah//
Dulu aku beselimut kasih sayangmu//
Kini bertukar tangan//
Layar sudah terkembang//
Adakah angin jujur mengantar ku ke tujuan//
Atau tersungkur dalam gelora ombak yang kejam//
Denyit pintu pertanda aku datang, kini membisu//
Aku sudah menjadi milik orang//
Puaskah engkau dengan ketiadaan ku//
Pulaskah tidur tanpa mimpi dan diri ku//
Sukarnya mengusir resah//
Ikutkah tanah ini mengusirku//
Juga sungai yang mengalir tempatku mencuci//
Rindu kawan bermain simbang sudah terhalang//
“Surak Lawi” sudah terhadang//
Turutkah pelangi melilit dan bintang bersembunyi//
Membiarkan aku sendiri di dunia asing//
Oooh, pembalut luka hati ketika kecil//
Terpencil aku dari mereka//
Terbukakah pintu jika kelak kuketuk//
Berpaling karena disakiti?//
Atau membiarkan ku remuk dalam ruang tak bercahaya//
Oooh, bahagia//
Bawalah aku menyeberang sungai bening//
Yang mengalirkan ayat-ayat cinta buat selamanya//


Akhirnya, terlepas dari pertimbangan apa pun juga, yang jelas: perkawinan “juelen” No; “Sebuku tanas” Yes! Biarlah air mata wanita Gayo menyirami dan menyuburkan bumi sastera Gayo. Kalaulah karena airmata itu membuat hatimu damai dan jiwamu merdeka. Lakukankah.

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
[serambi Indonesia, Essai Budaya, 01/02/2009]

Artikel Terkait