Friday, August 29, 2008

Aneka Ragam dalam Adat Gayo

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

KARAKTERISTIK suatu masyarakat bisa ditelusuri lewat nilai-nilai budaya: adat-istiadat dan resam yang diamalkannya. Misalnya kata: “Wassalualééé” dalam bahasa Gayo, yang asalnya dari kata: "Wassalamu’alaik” yang berarti: “keselamatan atau kesejahteraan”. Kata ini diucapkan dalam acara “Mujik” (“kaum lelaki mengupas tangkai padi memakai kaki secara massal”) atau saat mengangkat tiang Masjid beramai-ramai, dll.

Seterusnya, ada ungkapan: “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jika diamati, ternyata nilai-nilai islam direcepsi ke dalam adat dan resam Gayo, hanya saja penyebutannya di-Gayo-kan, sementara missinya tidak berubah. Misalnya, anjuran Surat An-Nur, ayat 30 dan 31 tentang: adab dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan orang lain yang bukan muhrim, telah di-adat-kan menjadi “Sumang”.

Dalam perkembangan selanjutnya, “Sumang” menjadi delik adat, yang bisa dicegah dengan cara: menegor, menasehati atau akan siap “dihakimi” oleh masyarakat. Pengamalan nilai-nilai Islam ini diupayakan melalui pendekatan adat-istiadat. Ini salah satu metode pen-sosialisasi-an nilai-nilai islam, agar lebih mudah dicerna, dipahami dan kemudian dijadikan sebagai patokan moral. “Sumang”, kini mulai terkikis akibat pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi dalam masyarakat majemuk.

Dalam adat Gayo ada sebutan “Mahtabak”. Ianya terjadi, ketika seorang lelaki yang ingin menikah dengan seorang gadis idamannya lewat “jalan pintas”. Caranya, lelaki tadi membawa perlengkapan sejata: parang, pisau, kain kafan, pacul dan tali gantung ke rumah calon mertua dan menyerahkan diri untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Jika missinya gagal, urusannya mati! Ini tindakan spekulatif yang penuh resiko. Tetapi umumnya, jika lelaki tadi sudah “menduduki” (“occupied”) rumah dan menyatakan hasratnya, maka calon mertua biasanya tidak bisa berbuat banyak, selain pasrah dan memanggil penghulu adat untuk melangsungkan transaksi perkawinan. Ini termasuk delik Adat yang melanggar HAM, sebab menghalangi kebebasan orang lain memilih pasangan suami/isteri dan memaksa diri “meminta dibunuh” jika missinya gagal.

Selain itu, ada istilah “Jeret naru” ("hukuman buang"), yakni: hukuman adat yang dijatuhkan, bila terjadi delik “ancest” (hubungan sex yang dilakukan dalam lingkungan keluarga) atau terjadi dalam masyarakat sekampung. Menurut adat Gayo, “Jeret naru” [menghukum buang pasangan pezina dari kampung halaman untuk seumur hidup] bisa dijatuhkan. Perkara ini relevan dengan yurisprudensi Khalifah Umar bin Khattab, yang pernah menghukum buang pasangan pezina selama seumur hidup meninggalkan kampung halamannnya. Dalam perkembangan selanjutnya, “Jeret naru” harus bertarung melawan perubahan nilai-nilai social yang semakin rapuh mempertahankan kekuatan iman dan adat. “Jeret naru” sangat sukar dipertahankan di masa depan.

Ada juga sebutan: “Kona tube” (yakni: korban yang dicederakan dengan membubuh racun/tuba secara mistik oleh orang tertentu. Pelakunya dinamakan “jema mutube”. Menurut adat Gayo, pelaku delik (“jema mutube”) ini mesti dieksekusi dengan cara mencekik leher pelaku menggunakan kayu bercabang dua ke dalam air sampai mati. Hukuman Adat ini pada gilirannya –sekarang– berbenturan dengan hukum positif (KUHPidana), karena kasus kejahatan ini sukar dibuktikan, bahkan bisa menjadi boomerang kepada korban.

"Nik” (“Kawin lari”) lain lagi ceritanya. Jika anak gadis kawin lari, maka untuk rujuk kepada orang tua, disyaratkan memotong kambing atau sekurang-kurangnya memotong ayam jantan merah. Ayam ini dipanggang, isi perutnya dikosongkan, diletakkan di atas piring besar dan diserahkan langsung kepada orang tua diiringi dengan “Semah sungkem” (“minta ma’af”) dan bersamaan dengannya bergemalah “sebuku” (“meratap”) dengan gubahan lirik-lirik spontanitas yang mampu menguras air mata kedua belah pihak. Bahkan bisa berakhir dengan pingsan.

Yang tidak kurang menariknya ialah perkawinan indogami. Dimana perkawinan sepasang suami/isteri yang berasal dari satu kuru atau belah [Belah adalah: unit terkecil dalam struktur pemerintahan masyarakat adat]. Perkawinan indogami dianggap sebagai pelanggaran adat. Pelanggaran terhadap adat ini merupakan suatu kesalahan yang bisa dijatuhi hukuman, yakni: keluarga mempelai lelaki/isteri diharuskan “mugeleh Koro”, (“menyembelih kerbau”) sebagai bentuk diat untuk memulihkan nama baik yang dinilai tercemar. Yang dipersalahkan harus minta maaf di hadapan khalayak dan menjamu (makan bersama). Dengan cara ini, semua kesalahan tadi dengan sendirinya hapus.

Jika hukuman diat ini tidak ditunaikan, urusannya bisa runyam, berbuntut retak dan bahkan hancurnya sistem kekerabatan/kerukunan masyarakat adat. Hubungan silaturrahmi bisa putus, tidak bertegur sapa, hanya lantaran pembayaran diat (“mugeleh koro”) belum dilunasi. Tragisnya, masyarakat adat lebih menghargai dan menghormati adat ketimbang nilai-nilai Islam. Pada hal, dalam masyarakat Gayo dikenal adegium adat: “Edet enti pipet, atur enti bele” [“Adat tidak boleh kaku (rigit), hukum mesti adil"].

Artinya, keberlakuan hukum adat mestinya toleran, tidak kaku (elastic), bijaksana dan penuh dengan pertimbangan, sebab “Edet pegerni agama” (“Adat pagarnya agama”). Jangan sampai adat lebih tinggi kedudukan dan nilainya ketimbang nilai-nilai agama Islam. Adat mesti berfungsi sebagai pagar, bukan sebaliknya: merusak sendi-sendi kehidupan beragama. Ini salah kafrah! Hal ini terjadi, oleh karena masyarakat adat hanya mewarisi nilai-nilai adat secara turun-temurun, tidak realistic dan tidak mengkaji ulang relevansinya.

Hukum adat perlu dirumuskan secara rinci, mulai dari: sejarah, petitum, dictum, bentuk hukuman, eksekusi, kadaluarsa, unsur maaf dan pengecualian-pengecualian terhadap delik. “Jika engkau berjanji, tuliskan”. “Penuhi jajimu.” Demikian diamanahkan dalam Al-Qur’an. Ini penting bagi kepastian dan keadilan sekaligus menjadi yurisprudensi hukum Adat. Jika tidak, maka di saat muncul suatu delik: petuha dan pengikut adat yang fanatik, tunduk secara taklid buta tanpa memiliki pengetahuan tentang adat dan relevansinya. Semua ini penting dirumuskan, agar tidak lagi terjadi kesalahan interpretasi dan perangkat hukum adat sudah siap menjerat.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[28/08/08]

Tuesday, August 26, 2008

Wali: Suatu Model Imamah

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

DPR Aceh disibukkan dengan menjaring aspirasi guna melahirkan qanun tentang: Wali nanggroë. Upaya ini adalah implementasi dari UU. No. 11/2006 yang merupakan penjabaran dari MoU Helsinki tahun 2005. Dengan munculnya sebutan ’Wali’ dalam MoU Helsinki point 1.1.7 dan UU. No. 11/2006, harus ditelusuri akarnya dalam konteks Imamah, kehidupan sosial-politik, hukum dan moral.

Secara etimologis, ”Wali berarti: penjaga, pelindung, penyumbang, teman, pengurus dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”] Bentuk plural dari kata ‘Wali’ ialah Auliya, yang artinya kekasih Allah. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak pernah merasa takut (khawatir) dan tidak akan pernah sedih hati.” [Al-Qur’an, surat Yunus, ayat 62] Dalam kapasitas sebagai Wali, mestilah berprilaku baik. ”Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan." [Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat 90] Dengan begitu, ”Orang yang menyandang gelar Wali mendapatkan kedudukan yang penting dalam sistem kemasyarakatan Islam, baik karena kualitas spiritual mereka maupun karena peran sosial yang mereka mainkan.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”]

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul kata: Wali Hakim, Wali Nikah, Wali Anak Yatim, Wali dalam qisyasy, Wali Songo (Wali sembilan, yang dikenal dalam kalangan masyarakat Jawa), Wali dalam dunia sufi, Wali Nanggroë (Negara) dan Wali Kota. Semua ini menunjuk pada pengertian bahwa, Wali mempunyai keistimewaan dan kuasa penuh yang putusannya mengikat. Dengan kata lain, Wali sekaligus memiliki karakteristik moral yang berani, tangkas, arif, adil, jujur, amanah, fathanah, taat dan terpuji dalam mengemban tugas.

Bisa dipastikan bahwa, inilah diantara patokan, sehingga Majlis Negara Acheh menilai bahwa pelimpahan kuasa dari Muhammad Daud Shah (Sultan Aceh) kepada Tengku Muhammad Saman di Tiro adalah tepat, karena memenuhi kriteria untuk diangkat sebagai Panglima Perang dan Kepala Pemerintahan Tertinggi Acheh dengan tugas utama: melindungi rakyat, menjaga maruah, mempertahankan tanah air, kemerdekaan dan kedaulatan negara Acheh dari penjajahan Belanda. Alasannya: (a). Sultan Muhammad Daud Shah yang ketika dinobatkan sebagai Sultan Acheh tahun 1874, masih berusia 9 tahun yang dinilai masih muda. (b). Pemangku Sultan Acheh, Muhammad Daud Shah, dinilai tidak layak untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan Acheh dalam keadaan darurat perang. Oleh sebab itu pula, Tengku Hasan M. di Tiro, kemudian lebih cenderung menyebut Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman sebagai Wali Negara, ketimbang Sultan. Selain alasan tadi, Tengku Muhd. Saman di Tiro memang tidak berasal dari keturunan Sultan Acheh.

Perubahan sebutan ini suatu hal yang baru dan menarik, karena sejak tahun 1500-an lagi, Pemimpin Tertinggi Acheh adalah Sultan, bukan Wali Negara. Amanah sebagai Wali Negara, dipertahankan oleh famili di Tiro, seperti: Muhammad Amin di Tiro (1891-1896); Ubaidillah di Tiro (1896-1899); Sulaiman di Tiro atau Tengku Lambada (1899-1904); Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (1904-1910); Mahjeddin di Tiro (1910) dan Ma’at di Tiro (1911); Tengku Hasan M. di Tiro (1976-sekarang)

Akan halnya dengan kata: ’nanggroë. Menurut Kamus Aceh–Indonesia, hlm. 628. Balai Pustaka, 2001, kata: ’nanggroë, berarti juga negara. Jadi, kalau kata ’Wali’ digandéng dengan ‘nanggroë’ berarti Wali Nanggroë = Wali Negara. Di Aceh, Wali nanggroë (Negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala Pemerintahan), setara dengan Khalifah, Sultan, ’Ulil Amri, Raja dan Kaisar di Dunia Timur dan setara dengan King, President dan Prime Minister di dunia Barat. Hanya saja, ’Ulil Amri, Khalifah, Presiden dan Prime Minister dipilih berdasarkan sistem demokrasi, sementara Sultan, Raja, Kaisar dan King diangkat atas dasar keturunan (sistem Monarchi).

"Di Aceh, Wali nanggroë (Negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala Pemerintahan), setara dengan Khalifah, Sultan, ’Ulil Amri, Raja dan Kaisar di Dunia Timur dan setara dengan King, President dan Prime Minister di dunia Barat."
Lihat saja dalam Struktur Organisasi Darul Islam Aceh [tahun 1953-1961]; dimana Tgk. Daud Beureuéh menjabat sebagai Wali Negara (pemimpin pemerintah tertinggi D.I Aceh. Ini jabatan politik, bukan mengurus soal budaya, adat-istiadat dan resam. Demikian juga dalam organisasi Aceh Merdeka (GAM), Tengku Hasan M. di Tiro menjabat sebagai Wali Negara. Atas nama Wali Negara-lah, Tengku Hasan M. di Tiro membentuk Kabinet Aceh Merdeka tahun 1976, mengadakan hubungan politik luar negeri dengan wakil pemerintahan asing di pengasingan, membentuk angkatan perang Tentara Negara Aceh (TNA), mengadakan MoU, menyatakan damai dan perang dengan bangsa asing.

"Atas nama Wali Negara-lah, Tengku Hasan M. di Tiro membentuk Kabinet Aceh Merdeka tahun 1976, mengadakan hubungan politik luar negeri dengan wakil pemerintahan asing di pengasingan, membentuk angkatan perang Tentara Negara Aceh (TNA), mengadakan MoU, menyatakan damai dan perang dengan bangsa asing."
Lain ceritanya dengan Wali Nanggroë versi [MoU Helsinki, point 1.1.7] Dikatakan: ”Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” UU. No.11/2006 lebih rinci menjabarkan: “(1). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë adalah mitra kerja pemerintah Provinsi dalam rangka penyelenggaraan kehidupan adat, budaya dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam; (2). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë dapat menentukan lambang, symbol panji kemegahan yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam.” Jadi, Wali Negara yang sebelumnya sebagai Kepala Negara (pemerintahan) didegradasi: “sebagai simbul bagi penyelenggaraan kehidupan adat, hukum adat-istiadat, budaya, pemberian gelar/derajat serta upacara adat lainnya sesuai dengan budaya adat Aceh dan syariat. Kecuali itu, Lembaga Wali Nanggroë berhak memberi kehormatan, gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam dan luar negeri. Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.” [Sermbi Indonesia, 13/10/2005] Disini jelas bahwa, Wali nanggroë (negara) tidak ada urusan dengan perkara politik dan Nur Juli, (salah seorang juru runding GAM pernah mengusul: “Dr. Teungku Hasan di Tiro sebagai Wali Nanggroë seumur hidup.” [Sermbi Indonesia, 13/10/2005].

Akankah Tengku Hasan M. di Tiro [yang diakui oleh Farid Husain (salah seorang juru runding RI di Helsiki) dalam To See the Unseen. Kisah di balik Damai Aceh bahwa Tengku Hasan M. di Tiro adalah Wali Nanggroë] masih menjabat sebagai kepala pemerinthan, akan bertukar profesi mengurus soal Seudati, peuseudjôk tamu Pemda NAD, Didong, Saman, meugoë (turun ke sawah) dan memberi tanda jasa dan kehormatan.

Entahlah! Yang pasti, juru bicara KPA (baca:GAM), Ibrahim Sulaiman (KBS) memberi komentar sbb: ”Wali bukan hanya sekadar mengurusi adat-istiadat. Tetapi setidak-tidaknya memiliki kewenangan tertentu dalam bidang politik, meskipun terbatas. Misalnya: berhak membubarkan parlemen, berhak membebaskan tahanan, dan mampu menyatukan berbagai perbedaan di dalam masyarakat, seperti Yang Dipertuan Negeri Malaka, Malaysia.” (Serambi Indonesia, 20/8/08).

Kalaulah ini maunya, maka yang mesti dipertanyakan ialah klausul MoU Helsinki) yang menyebut: ”Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” Artinya, Wali nangroe hanya mengurus soal budaya, adat-istiadat dan tidak ada indikasi yang mengarah kepada kewenangan politik; ... Jika ini tujuannya, maka yang harus dipersoalkan adalah UU. No. 11/2006 yang menyebut: ”Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.” Di sini jelas bahwa, Wali nanggroë tidak mempunyai kewenangan dalam bidang politik. Jadi, upaya menyetarakan status Wali nanggroë (negara) dengan Yang dipertua Negeri, Jenderal besar dan atau Askar Melayu Diraja (AMD) di Malaysia adalah suatu pelecehan terhadap status Wali nanggroë (negara), karena disifatkan sebagai mendigredasi (menurunkan derajat).

"Karena itu, tak salah dipertanyakan: apakah Qanun tentang Wali nanggroë merupakan suatu bentuk pengakuan rakyat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroë (negara) atau bentuk lain dari coup d’état (makar) sejarah?"


Kalaulah mau membentuk institusi khusus yang mengatur soal budaya, cukup diberi nama ”Penghulu Adat”, bukan Wali nanggroë. Masalahnya, MoU dan UU No.11/2006 telanjur menyebut institusi Wali nanggroë. Karena itu, tak salah dipertanyakan: apakah Qanun tentang Wali nanggroë merupakan suatu bentuk pengakuan rakyat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroë (negara) atau bentuk lain dari coup d’état (makar) sejarah?.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 26/08/08]

Monday, August 18, 2008

Menatap Laut Tawar

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

DI TANAH GAYO yang bertuah terhampar Laut Tawar dikitari gunung Taris, Birah Panyang, Kelieten dan Kelitu yang membujur sampai ke Singah mata. Beberapa sungai mengalir dari beberapa arah menuju Laut Tawar yang bermuara ke sungai Pesangan menuju Samudera Hindia. Orang Gayo cukup menyebutnya dengan “Lôt Tawar” dan bukan Danau Laut Tawar. Di sini -di Laut Tawar- sebagian orang Gayo menyandarkan hidup dari hasil ikan Depik yang uniq itu. Sampai tahun 70-an, ikan Depik bisa dihasilkan berkunca-kunca, sehingga mamu menyara yang bisa nyekolah anak-anak. Di pinggiran Lot Tawar terdapat pinus yang merentang hijau, yang suatu ketika dulu getahnya di-export.

Ada Kopi dan Tembakau yang mutunya mampu menyaingi kopi Berazil di pasaran dunia Internasional. Gambaran tentang keindahan, kekayaan, kebanggaan, harapan dan masa depan orang Gayo, bisa disimak dari lirik Didong berikut. //Engonko so tanoh Gayo/ Si megah mureta delé /urom batang ni Uyem si ijo/Kopi bakoe/ Enti datenko Burni Kelieten mongot pudederu/ /Oyale rahmat ni Tuhen kin ko bèwènmu// (Tataplah tanah Gayo/ yang megah kaya-raya/ dengan pohon Pinus yang hijau/ Kopi dan Tembakaunya/ jangan biarkan Gunung Klieten menangis tersedu/ Inilah rahmat Tuhan kepada kalian semua// (“Sedenge”. Mariam Kobat).

Laut Tawar memang menyimpan sejuta riwayat, seperti: hikayat Malim Dewa (kisah percintaan Malim Dewa dengan Peteri Bensu yang sangat romantis dengan tidak merobek nilai-nilai adat dan agama); Inen/Aman Mayak Pukes (kisah pengantin baru yang tidak patuh kepada nasihat orangtua, dengan kultur Gayo klasik, dimana pasangan suami/Isteri, masih malu bergandeng tangan). Lihat saja posisi antara Inen dan Aman Mayak Pukes (penganting perempuan dan lelaki) yang jaraknya diperkirakan 200 meter dan Peteri Ijo (hikayat gadis cantik jelita berabut panjang, yang sarat dengn kekuatan misteri). Di sini- di Laut Tawar- kaula muda merajut percintaan yang romantis. Muse (penyair Gayo) bercerita: //Kirep cèngkèh ni bulang/ kipes ni opoh Padang/ terbayang ko laut ijo rembebe tajuk ni bunge/ ku sèmpol bun kin tene/ mudemu i ôjông Baro// (Panggilan dengan topi miring/ lambaian kain panjang/ terbayang kau Laut hijau/ kuntun bunga bertaburan/ berjumpa di ôjông Baro/ diselip di sanggul sebagai isarat.) Kasih-sayang yang mereka rènda sepanjang jalan kenangan ini tak rela membiarkan terbang ke angkasa lepas. Tak kuasa untuk berpisah, sedetik sekalipun.

Miga (penyair muda Gayo) berdèndang: //Tapè ikot ari Pedemun (Bingkisan dari Pedemun) /Ku Balé Atu malè kukirimen (kukirim ke Balé Atu)/ Mokottu lime tun (lima tahun terlalu lama)/ Nantin aku di Terminal Takengon (tunggu aku di Terminal takèngon, sayang)//

Di sini -di Laut Tawar- orang menjalin rasa persadaraan yang kental. Biar susah sungguh, sampan tetap kukayuh meredah Laut Tawar menuju Bebuli. Disana sanak saudaraku sudah letih menanti. Demi persaudaraan, enggan menghitung langkah dan ayunan dayung Keakraban persaudaraan ini, bisa disimak dari lirik: //Langkah ku mamang ku Ujung Bebuli (Langkahku terburu-buru ke Ujung Bebuli)/ Jarak sipi-sipi telas Kampung Rawè (Nampak samar-samar Kampung Rawè)/ Muah ke Rembèlè, kati singah kami (Berbuahkah Rembèlè agar mampir kami// (Rembele, sejenis kayu yang buahnya berisi lendir dengan rasa manis) (Ramlah, penyair Gayo)

Di sebalik kisah itu, ada sejuta kegundahan yang satu saat akan melilit dan mencekik kebanggaan terhadap Laut Tawar. Sebab dalam realitasnya, hutan Gayo sudah dikuasai oleh orang asing. Utente negemèh bertene dan belangte nge mèh berpancang (Hutan dan padang ilalang kita sudah habis dipancang - Linge group.) Hak Paten Kopi Gayo pun di tangan Belanda. Kawasan hutan di hulu sungai utama, seperti: Kenawat, Toweran, Rawè, Nosar, Bèwang, Mengaya, Bintang dan Totor Uyet menuju Kala Kebayakan- yang bermuara air ke Laut Tawar kini sudah gundul. Konsekuensinya permukaan air Laut Tawar semakin dangkal. Hal ini tidak saja berpengaruh kepada kerusakan alam lingkungan, tetapi juga keengganan Ikan Depik masuk Di disen. Kini, ikan Depik lebih suka bertandang ke tengah laut ketimbang melewati Penyangkulen (post-post laluan Ikan Depik). Para nelayan pun mengejar dan memberkasnya dengan doran (pukat tradisional Gayo).

Kabri Wali (penyair muda Gayo) mengisahkan: //Nge taring peberguk parukni penyangkulen/ Gere lagu jemen Didisen batu berbata// Pinus yang terhampar luas dan megah, kini hampir semua musnah. Ibnu Hajar (penyair Gayo) melukiskan //Ari Lampahan sawah ku Gelampang (dari Lampahan hingga Gelampang)/ Nge mèh lapang taring kemumu (Sudah gundul tinggal rerumputan)/ Pabrik Lampahan gere nèh mugune (Pabrik lampahan tidak lagi berfungsi) Mujadi besi tue kengon tubuhmu (sudah jadi besi tua)/ Gere megah lagu sedenge (tidak terkenal seperti dahulu)//

Lupakan seketika kisah itu. Yang pasti, wajah Laut Tawar setara indah dan cantiknya dengan Geneva Lake Swissland, yang dilingkari oleh gunung Alps dan Jura, bermuara ke sungai Rhône yang mengalir gemuruh dan bening. Selain Rhône, ada Pea -sungai kecil- yang diapit oleh pohon rindang (mirip kayu bakau) yang terurus. Air Geneva Lake yang jernih bersumber dari mata air simpanan salju gunung Alps dan Jura. Kecantikan dan keindahan Geneva Lake tetap bertahan, karena pemerintah setempat merupakan Wali yang bertanggungjawab melindungi dan menjaga martabat Geneva sebagai kota turist berskala internasional.

Sepanjang sungai Rhône membujur taman bunga beraneka warna yang diperindah dengan cahaya lampu penghias di waktu malam, semakin mempesona para wisata. Siapapun yang pernah berjalan sepanjang Rhone, akan berhayal; “Seandainya pantai Laut Tawar dari arah Mendalé hingga Bôm dan dari arah Dedalu menuju sungai Pesangan ditata dengan seni arsitektur yang berciri Gayo secara profesional -artinya, tidak ada lagi gubuk nelayan, yang mirip gubuk suku Dayak terasing Kalimantan Timur itu- dan menukarnya dengan taman bunga.” Mungkin khayalan tadi akan menjelma dan Peteri Bensu bersaudara turun dari singgasana menyambut Malim Dewa (baca: wisatawan) seraya menyapa: “Inilah daku, Gayo!”

Tidak guna lagi meratapi Laut Tawar dalam syair, sementara tangan kita mengotorinya; memuja dalam sastera, sementara mendera di alam nyata. Jangan biarkan keindahan Laut Tawar terbengkalai. Sisir rambut Pantai Menye (manja) agar tak kusut, mandikan dengan aroma bunga Renggali agar kaki turis tidak tersentuh tahi. Jangan biarkan Inen Mayak Pukes kesepian dan kesejukan dalam kawah gelap gulita. Berilah dia cahaya kehidupan! Pemda Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah Wali yang bertanggungjawab melindungi dan menjaga martabat Laut Tawar dan Takengon sebagai kota turist bertarap internasonal.

Ironis memang. Terlepas dari ada orang yang mencemari, mengotori dan mengacuhkannya. Tokh Laut Tawar masih tetap berdiri tegar, masih ramah menyapa, membagi sejuk, menawarkan senyum, pasrah dan ikhlas memberi apa saja yang dimilikinya. Sesekali ia bangkit bersaksi -protes- lewat Belambidé-nya, yang justeru menelan korban, sosok yang tidak pernah menyusahkan dan menyakitinya.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 29.06.2008]