Tuesday, August 26, 2008

Wali: Suatu Model Imamah

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

DPR Aceh disibukkan dengan menjaring aspirasi guna melahirkan qanun tentang: Wali nanggroë. Upaya ini adalah implementasi dari UU. No. 11/2006 yang merupakan penjabaran dari MoU Helsinki tahun 2005. Dengan munculnya sebutan ’Wali’ dalam MoU Helsinki point 1.1.7 dan UU. No. 11/2006, harus ditelusuri akarnya dalam konteks Imamah, kehidupan sosial-politik, hukum dan moral.

Secara etimologis, ”Wali berarti: penjaga, pelindung, penyumbang, teman, pengurus dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”] Bentuk plural dari kata ‘Wali’ ialah Auliya, yang artinya kekasih Allah. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak pernah merasa takut (khawatir) dan tidak akan pernah sedih hati.” [Al-Qur’an, surat Yunus, ayat 62] Dalam kapasitas sebagai Wali, mestilah berprilaku baik. ”Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan." [Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat 90] Dengan begitu, ”Orang yang menyandang gelar Wali mendapatkan kedudukan yang penting dalam sistem kemasyarakatan Islam, baik karena kualitas spiritual mereka maupun karena peran sosial yang mereka mainkan.” [Prof. Syafiq A. Mughni. ”Konsep Wali dalam Islam.”]

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul kata: Wali Hakim, Wali Nikah, Wali Anak Yatim, Wali dalam qisyasy, Wali Songo (Wali sembilan, yang dikenal dalam kalangan masyarakat Jawa), Wali dalam dunia sufi, Wali Nanggroë (Negara) dan Wali Kota. Semua ini menunjuk pada pengertian bahwa, Wali mempunyai keistimewaan dan kuasa penuh yang putusannya mengikat. Dengan kata lain, Wali sekaligus memiliki karakteristik moral yang berani, tangkas, arif, adil, jujur, amanah, fathanah, taat dan terpuji dalam mengemban tugas.

Bisa dipastikan bahwa, inilah diantara patokan, sehingga Majlis Negara Acheh menilai bahwa pelimpahan kuasa dari Muhammad Daud Shah (Sultan Aceh) kepada Tengku Muhammad Saman di Tiro adalah tepat, karena memenuhi kriteria untuk diangkat sebagai Panglima Perang dan Kepala Pemerintahan Tertinggi Acheh dengan tugas utama: melindungi rakyat, menjaga maruah, mempertahankan tanah air, kemerdekaan dan kedaulatan negara Acheh dari penjajahan Belanda. Alasannya: (a). Sultan Muhammad Daud Shah yang ketika dinobatkan sebagai Sultan Acheh tahun 1874, masih berusia 9 tahun yang dinilai masih muda. (b). Pemangku Sultan Acheh, Muhammad Daud Shah, dinilai tidak layak untuk memimpin dan menjalankan roda pemerintahan Acheh dalam keadaan darurat perang. Oleh sebab itu pula, Tengku Hasan M. di Tiro, kemudian lebih cenderung menyebut Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman sebagai Wali Negara, ketimbang Sultan. Selain alasan tadi, Tengku Muhd. Saman di Tiro memang tidak berasal dari keturunan Sultan Acheh.

Perubahan sebutan ini suatu hal yang baru dan menarik, karena sejak tahun 1500-an lagi, Pemimpin Tertinggi Acheh adalah Sultan, bukan Wali Negara. Amanah sebagai Wali Negara, dipertahankan oleh famili di Tiro, seperti: Muhammad Amin di Tiro (1891-1896); Ubaidillah di Tiro (1896-1899); Sulaiman di Tiro atau Tengku Lambada (1899-1904); Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (1904-1910); Mahjeddin di Tiro (1910) dan Ma’at di Tiro (1911); Tengku Hasan M. di Tiro (1976-sekarang)

Akan halnya dengan kata: ’nanggroë. Menurut Kamus Aceh–Indonesia, hlm. 628. Balai Pustaka, 2001, kata: ’nanggroë, berarti juga negara. Jadi, kalau kata ’Wali’ digandéng dengan ‘nanggroë’ berarti Wali Nanggroë = Wali Negara. Di Aceh, Wali nanggroë (Negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala Pemerintahan), setara dengan Khalifah, Sultan, ’Ulil Amri, Raja dan Kaisar di Dunia Timur dan setara dengan King, President dan Prime Minister di dunia Barat. Hanya saja, ’Ulil Amri, Khalifah, Presiden dan Prime Minister dipilih berdasarkan sistem demokrasi, sementara Sultan, Raja, Kaisar dan King diangkat atas dasar keturunan (sistem Monarchi).

"Di Aceh, Wali nanggroë (Negara) adalah jabatan politik, penguasa tertinggi dalam suatu negara (kepala Pemerintahan), setara dengan Khalifah, Sultan, ’Ulil Amri, Raja dan Kaisar di Dunia Timur dan setara dengan King, President dan Prime Minister di dunia Barat."
Lihat saja dalam Struktur Organisasi Darul Islam Aceh [tahun 1953-1961]; dimana Tgk. Daud Beureuéh menjabat sebagai Wali Negara (pemimpin pemerintah tertinggi D.I Aceh. Ini jabatan politik, bukan mengurus soal budaya, adat-istiadat dan resam. Demikian juga dalam organisasi Aceh Merdeka (GAM), Tengku Hasan M. di Tiro menjabat sebagai Wali Negara. Atas nama Wali Negara-lah, Tengku Hasan M. di Tiro membentuk Kabinet Aceh Merdeka tahun 1976, mengadakan hubungan politik luar negeri dengan wakil pemerintahan asing di pengasingan, membentuk angkatan perang Tentara Negara Aceh (TNA), mengadakan MoU, menyatakan damai dan perang dengan bangsa asing.

"Atas nama Wali Negara-lah, Tengku Hasan M. di Tiro membentuk Kabinet Aceh Merdeka tahun 1976, mengadakan hubungan politik luar negeri dengan wakil pemerintahan asing di pengasingan, membentuk angkatan perang Tentara Negara Aceh (TNA), mengadakan MoU, menyatakan damai dan perang dengan bangsa asing."
Lain ceritanya dengan Wali Nanggroë versi [MoU Helsinki, point 1.1.7] Dikatakan: ”Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” UU. No.11/2006 lebih rinci menjabarkan: “(1). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë adalah mitra kerja pemerintah Provinsi dalam rangka penyelenggaraan kehidupan adat, budaya dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam; (2). Wali Nanggroë dan Tuha Nanggroë dapat menentukan lambang, symbol panji kemegahan yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam.” Jadi, Wali Negara yang sebelumnya sebagai Kepala Negara (pemerintahan) didegradasi: “sebagai simbul bagi penyelenggaraan kehidupan adat, hukum adat-istiadat, budaya, pemberian gelar/derajat serta upacara adat lainnya sesuai dengan budaya adat Aceh dan syariat. Kecuali itu, Lembaga Wali Nanggroë berhak memberi kehormatan, gelar/derajat adat kepada perorangan atau lembaga baik dalam dan luar negeri. Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.” [Sermbi Indonesia, 13/10/2005] Disini jelas bahwa, Wali nanggroë (negara) tidak ada urusan dengan perkara politik dan Nur Juli, (salah seorang juru runding GAM pernah mengusul: “Dr. Teungku Hasan di Tiro sebagai Wali Nanggroë seumur hidup.” [Sermbi Indonesia, 13/10/2005].

Akankah Tengku Hasan M. di Tiro [yang diakui oleh Farid Husain (salah seorang juru runding RI di Helsiki) dalam To See the Unseen. Kisah di balik Damai Aceh bahwa Tengku Hasan M. di Tiro adalah Wali Nanggroë] masih menjabat sebagai kepala pemerinthan, akan bertukar profesi mengurus soal Seudati, peuseudjôk tamu Pemda NAD, Didong, Saman, meugoë (turun ke sawah) dan memberi tanda jasa dan kehormatan.

Entahlah! Yang pasti, juru bicara KPA (baca:GAM), Ibrahim Sulaiman (KBS) memberi komentar sbb: ”Wali bukan hanya sekadar mengurusi adat-istiadat. Tetapi setidak-tidaknya memiliki kewenangan tertentu dalam bidang politik, meskipun terbatas. Misalnya: berhak membubarkan parlemen, berhak membebaskan tahanan, dan mampu menyatukan berbagai perbedaan di dalam masyarakat, seperti Yang Dipertuan Negeri Malaka, Malaysia.” (Serambi Indonesia, 20/8/08).

Kalaulah ini maunya, maka yang mesti dipertanyakan ialah klausul MoU Helsinki) yang menyebut: ”Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” Artinya, Wali nangroe hanya mengurus soal budaya, adat-istiadat dan tidak ada indikasi yang mengarah kepada kewenangan politik; ... Jika ini tujuannya, maka yang harus dipersoalkan adalah UU. No. 11/2006 yang menyebut: ”Lembaga Wali Nanggroë adalah sebuah lembaga independent yang bukan eksekutif, legislative dan yudikatif.” Di sini jelas bahwa, Wali nanggroë tidak mempunyai kewenangan dalam bidang politik. Jadi, upaya menyetarakan status Wali nanggroë (negara) dengan Yang dipertua Negeri, Jenderal besar dan atau Askar Melayu Diraja (AMD) di Malaysia adalah suatu pelecehan terhadap status Wali nanggroë (negara), karena disifatkan sebagai mendigredasi (menurunkan derajat).

"Karena itu, tak salah dipertanyakan: apakah Qanun tentang Wali nanggroë merupakan suatu bentuk pengakuan rakyat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroë (negara) atau bentuk lain dari coup d’état (makar) sejarah?"


Kalaulah mau membentuk institusi khusus yang mengatur soal budaya, cukup diberi nama ”Penghulu Adat”, bukan Wali nanggroë. Masalahnya, MoU dan UU No.11/2006 telanjur menyebut institusi Wali nanggroë. Karena itu, tak salah dipertanyakan: apakah Qanun tentang Wali nanggroë merupakan suatu bentuk pengakuan rakyat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroë (negara) atau bentuk lain dari coup d’état (makar) sejarah?.[]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 26/08/08]

Artikel Terkait