Friday, January 15, 2010

Digagas Konferensi Aliansi Gayo Sedunia pada Juli 2010

Yusra Habib Abdul Gani

[Arsip].
Takengon-Kepulangan tokoh Gayo, Yusra Habib Abdul Gani dari Denmark untuk menjenguk orang tua dan keluarga di Takengon, khususnya di Kampung Kenawat kecamatan Lut Tawar dimanfaatkan dengan baik oleh sejumlah tokoh muda Dataran Tinggi Gayo untuk saling berdiskusi terkait Gayo dengan menggelar ajang diskusi di ruang kuliah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, Senin (30/11) malam dengan tema “Gayo dulu, kini dan akan datang.”

Diskusi yang dimoderatori Yusradi Usman al-Gayoni, staf ahli anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh Ir Mursyid berlangsung dari pukul 21.00-24.00 Wib tersebut merupakan diskusi pertama Yusra habib dengan masyarakat Gayo di Takengon sejak 1973. Sosok Yusra Habib yang sebelumnya dikenal sebagai tokoh GAM di luar negeri. “Saya sangat terharu dan berbahagia, setelah puluhan tahun baru kali ini saya dapat berdiskusi tentang Gayo bersama saudara-saudara saya di komplek STAI yang berbahagia ini,” kata Yusra mengawali diskusi tersebut.

Pengakuan Yusra, selaku orang Gayo di rantau, dirinya berterimakasih kepada administrator Pages kegayoan di jejaring sosial Facebook seperti I Love Gayo (ILG), Save Depik Gayo (SDG), Gayo Photography Community (GPC) dan lain-lain. “Walau sangat jauh, saya dapat ikuti perkembangan Gayo dan berinteraksi dengan saudara-saudara saya di Gayo dan Aceh umumnya,” ujar Yusra Habib, yang bernama panggilan Lanyut ini.

Terkait kata Gayo, menurut Yusra, Gayo tidak ada dalam bahasa Gayo. Gayo tidak punya terjemahan dalam bahasa Gayo, kecuali dalam bahasa Karo yang berarti Kepiting. Selanjutnya di Gayo Lues ada nama tempat bernama Pegayon yang merupakan sebuah rawa tempat warga sekitarnya mencari kepiting.

Diungkapkan Yusra tentang seorang rekannya yang juga Urang Gayo baru-baru ini berkunjung ke Korea Selatan dan sempat berwisata ke sebuah rumah peribadatan setempat yang telah berumur sekitar 1.500 tahun. Ditempat tersebut, kata Yusra ditemukan semacam kitab suci yang berjudul “Gayo”. “Fotonya ada sama saya, dan saya jadi bingung apa hubungan Gayo di Tanoh Gayo dengan orang Korea Selatan,” ujar Yusra.

Kemudian, Yusra dihubungi seseorang yang merupakan ahli sejarah di Indonesia yang menyatakan bahwa di sebuah provinsi di Cina ditemukan ukiran yang sama persis dengan ukiran Kerawang Gayo. Dan warga setempat memakai panggilan kekerabatan yang persis sama dengan panggilan kekerabatan (tutur) seperti di Gayo. “Selain di Cina ada beberapa tempat lagi di belahan dunia seperti di Kamboja dan Thailand yang tutur bahasanya sama persis dengan yang ada di Gayo kita ini,” tambah Yusra.

Untuk memperjelas pernik-pernik kegayoan, kata Yusra, perlu dilakukan riset mendalam. Dikatakan Yusra, dirinya punya ide untuk diadakannya Konferensi Aliansi Gayo Sedunia pada Juli 2010 mendatang. “saya berharap ide ini mendapat respon dari seluruh pihak terkait, termasuk dari tempat-tempat yang kemungkinan adalah saudara kita tersebut,” harap Yusra.

Dari sekian banyak potensi yang menjadi modal dasar kekuatan Gayo untuk eksis, Yusra menyebutkan tiga hal, pertama dengan adanya para seniman yang sekaligus menjadi pemikir Gayo yang menelaah sejumlah falsafah dan ide Urang Gayo melalui karya seni dan sastra.

Yusra mencontohkan tentang hubungan antara langit dan bumi yang berpenghuni manusia dan makhluk lainnya yang sudah diterangkan lebih awal dalam kitab suci Al-Qur’an dalam surat Ar-Rahman ayat 33 yang mengatakan bahwa manusia dapat melintasi alam semesta dengan menguasai ilmu pengetahuan. Seniman Gayo ternyata mampu menterjemahkan bunyi firman Allah tersebut dengan mengungkapkan melalui karya seni didong pada tahun 1960 dengan bunyi syair “Kao i langit selo ku toyoh, i kalei toboh, Sige kupasang berkite oloh buge eroh,”. Yusra kemudian menyanyikan syair tersebut dengan suara bergetar, para audien terdiam, terhanyut dengan syair yang didendangkan Yusra.

Selanjutnya menurut Yusra, kata Sige yang berarti sejenis tangga, adalah bentuk instrumen berwujud pesawat ulang alik yang menghantarkan manusia ke ruang angkasa.

“Urang Gayo sejauh ini hanya mampu menerjemahkan isi Al Qur’an dalam syair. Sayang sekali, teknokrat Gayo gagal mengaktualisasikan syair tersebut menjadi bentuk riil dan ternyata malah Amerika yang bisa untuk pertama sekali bisa ke ruang angkasa pada tahun 1969,” papar Yusra.

Modal dasar selanjutnya terkait bidang ekonomi. Ditegaskan Yusra Urang Gayo tidak bodoh dalam konsep ekonomi. “Kita punya konsep filosopis dalam bidang ekonomi yang berbunyi Oros rom tungkelni imen, gadung kepile pegerni keben,” kata Yusra. Artinya, lanjut Yusra, Urang Gayo sangat kaya dan tidak mesti membuka keben (lumbung padi) untuk menjual oros (beras) dalam menutupi keperluan hidup. Cukup dengan mengandalkan gadong (ubi kayu) dan kepile (ubi rambat)Urang Gayo bisa bertahan hidup yang digambarkan sebagai pegerni keben (pagar lumbung padi). “Pintu keben, jika keperluan mendesak saja dibuka, itupun jika mengacu kepada adat Gayo dilakukan sembunyi-sembunyi, karena Urang Gayo malu harus menjual beras. Jangan sampai terjadi lagi hanya untuk membeli ikan Bandeng atau Pisang Goreng kita harus jual beras. Memalukan sekali, ” kata Yusra sambil menyayangkan sudah terjadinya pergeseran sikap dan nilai filosopis Gayo saat ini seperti menjual sawah dan kebun untuk macam-macam keperluan.

Dikatakan Yusra, sejak datangnya Belanda, Urang Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah umumnya sudah bergantung hidup kepada kopi sebagai pengganti sawah. Sayangnya, kata Yusra, kebun kopi beserta isinya milik Urang Gayo akan tetapi secara hukum bukan Gayo yang berhak memiliki. Ekspor dan impor kopi merupakan hak Belanda.

Ditegaskan Yusra, kedepan Urang Gayo harus mampu memaksimalkan pendapatan melalui hasil pertanian dan perkebunan untuk bangun Gayo sebagai kekuatan inti ekonomi dan untuk sumber tambahan lain, harus mampu memanfaatkan potensi seni, budaya dan keindahan alam seperti Lut Tawar. “Silahkan kelola dan promosikan potensi alam dan budaya seluas-luasnya agar datang orang mengantar uang ke Gayo,” seru Yusra.

Sebagai modal atau pilar ketiga menurut Yusra adalah Edet (adat). “Edet enti pipet, demikian petuah adat yang diwariskan kepada kita,” kata Yusra. Artinya, dalam selesaikan persoalan apapun bagi Urang Gayo tidak ada kata-kata buntu. “Jangan sampai kalang kabut selesaikan persoalan karena adat Gayo sangat fleksibel, semua masalah ada jalan keluarnya,” tegas Yusra.

Selanjutnya kata Yusra, “Atur enti bele” yang berarti dalam menerapkan perkara hukum jangan sampai bele (curang). “Terapkan hukum di Gayo harus seadil-adilnya,” pinta Yusra mengakhiri pemaparannya terkait Gayo dulu, kini dan masa yang akan datang.

Acara kemudian berlanjut dengan diskusi hangat, turut mengajukan pertanyaan diantaranya Salman Yoga seniman dan juga pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh yang sedang berada di Takengon kampung halamannya. Ikhwanussufa, ketua KNPI Aceh Tengah. Syirajuddin AB, anggota DPRK Aceh Tengah. Win Satria Agustino, ketua Forum LSM Aceh Tengah. Idrus Saputra, ketua Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jangko) dan sejumlah tokoh mahasiswa dari STAI Gajah Putih dan UGP Takengon.

Seluruh pertanyaan dijawab Yusra dengan lugas dan terinci. Kekhawatiran sejumlah orang akan bergesernya materi diskusi ke persoalan politik ternyata tidak terjadi. Diskusi kemudian berakhir dengan perkenalan dan salam-salaman antara sesama peserta dan Yusra Habib Abdul Gani dengan kesepakatan terus membangun komunikasi dan saling tukar informasi untuk membangun Gayo lebih baik dimasa yang akan datang, terutama terkait pengelolaan SDA dan pembinaan SDM.[003]
Sumber : http://www.theglobejournal.com
Khalisuddin | The Globe Journal | Selasa, 01 Desember 2009

Artikel Terkait