Kalaulah ada Tari Gayo yang sukar difahami arti geraknya, maka itulah Tari Sining yang ”geraknya lebih sukar dan menantang berbanding Tari Guel.” (Wawancara dengan Onot, Cèh Didong Kemara Bujang). (Diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Siapa pun melihatnya, dipastikan akan gagal mencerna dan memahami nilai-nilai filosufi Tari Sining secara komprehensif tanpa mengenal terlebih dahulu asbabun nuzulnya. Tarian ini hanya dipentaskan dalam dua situasi saja. Pertama, ketika upacara memandikan Raja yang akan naik tahta. Kedua, saat menaikkan tiang seri dan bumbung rumah. Dalam dua situasi ini, gerak dan lokasi tarinya juga berbeda. Tari Sining yang dipersembahkan pada upacara memandikan Raja, lokasinya di atas sebilah papan yang diletakkan melintang di atas pemukaan air kolam berukuran kecil. Dua penari yang lincah, bermata tajam dan gerak tangan gemulai berselimut opoh Ulen ulen, masing-masing datang dari arah berlawanan, melangkah perlahan-lahan dengan ujung jari kaki mengawali tarian ini. Kedua penari beraksi dengan mengepakkan kedua sayap di atas papan diiringi tatapan mata yang menantang dan menawan, sebagai simbol memandikan seorang raja yang sudah siap untuk naik tahta. Inilah Gerak Salam! Artinya, seorang raja yang hendak naik tahta, disaksikan oleh alam bebas, riak air kolam yang mengalun suci dan mensucikan, mestilah gagah, berwibawa, amanah, adil dan jujur serta melayani rakyat tanpa perantara. Barulah kemudian kedua penari melakonkan gerak "Gerdak" yang mengepakkan kedua sayap –tangan kanan melejit ke langit biru, sementara tangan kiri menukik ke bumi bertuah= secara berulang kali, sebagai simbol men=steril=kan atau mensucikan sang raja daripada sifat angkuh, ria, sombong, takabur dan lebih daripada itu adalah suci lingkungan dari debu sosial politik, yaitu penghinaan dan pengkhianatan, sehingga raja yang memimpin dan mengatur negeri berada dalam situasi keamanan dan kenyamanan yang terjamin. Berbeda dengan gerak Salam pada Tari Sining yang sudah mengalami proses modifikasi, kedua penari berselimut opoh Ulen Ulen yang datang dari arah yang berlawanan, sejak dari awal lagi mengepakkan sayap berulang kali dengan gerak rukuk tanpa menampakkan wajah seperti pada Tari Sining memandikan raja. Tari Sining yang digelar pada 22 Desember 2016, bukanlah refleksi daripada Tari Sining memandaikan Raja, akan Tari Sining "munik numah" _menaikkan tiang seri dan bumbung rumah_ Bagaimana pun, gerak Salam pada Tari Sining ini tetap merupakan simbol keselamatan, keberkahan dan rahmat daripada Allah. Disusul kemudian dengan gerak "Gerdak" yang mengepakkan kedua sayap penari yang lincah, melangkah perlahan lahan dengan ujung jari kaki sambil melingkar (sènèng) mengikuti gerak jarum jam dan melompat berulang ulang. Apabila gilirannya tiba, gerak "temabur" (terbang meluncur ke atas bumbung setinggi pinggang dan turun semula ke permukaan bumi). Kombinasi gerak "Sènèng" dan "temabur" ini disifatkan sebagai gerak melawan arah grafitasi." (Salman Yoga, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Walau pun sebetulnya gerakan ini tetap mengikuti arah jarum jam. Dr. Ali Abubakar, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Dalam konteks gerak "Sènèng" dan "temabur" ini" kelihatannya tidak berdaya untuk menunjukkan jati diri _identitas asli_ Tari Sining, karena sukar untuk keluar dan membedakan dengan gerak Tari Guel yang dikenali dan popular di Tanah Gayo. Gerak Tari Sining boleh dikatakan merakit dari idea gerak Tari Guel." (Khalis Udin, diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Desember 2016). Kombinasi gerak salam, gerdak dan temabur ini disusul dengan gerak Sungkem untuk mengakhiri Tari Sining ini. Sesunggunya, kemunculan gerak dalam Tari Sining ini mempunyai asabun nuzul yang jelas, sehinggalah ianya dikenal dalam peradaban _adat istiadat dan tradisi masyarakat Gayo. Dalam konteks ini tidak dapat dinafikan bahwa, orang Gayo memang dikarunia dan dikenali sebagai komunitas masyarakat yang teramat peka dengan fenomena alam, yang tidak merasa malu belajar serta melahirkan idé dari fenomena alam tersebut mengenai keunggulan figur tertentu yang hadir sebagai representasi dari suatu kumunitas -baik ianya berasal dari dunia flora, fauna dan manusia. Orang Gayo telah melahirkan pelbagai khazanah budaya, seperti Tari Resam Berume dan Tari Bines dan Tari Saman. Tari Guel misalnya, diangkat dari kisah ketokohan Bener Merie (korban irihati dari saudara kandung -Reje Linge ke-XIII- satu Ayah lain Ibu). Dari gerak tari ini, orang akan dapat mencerna dan memahami bagaimana karakteristik orang Gayo yang memiliki kepelbagaian perasaan, baik hati, hasat dan dengki kepada saudara sendiri dan kemunculan Bener Merie yang dirangkai dalam gerak Tari Guel, merupakan pementasan aurat orang Gayo. Sementara itu, Tari Sining diilhami dari ketokohan "Manuk Wo" atau "Unguk", yang memiliki karakter istimewa dan dinilai asing berbanding dengan ragam burung di Tanah Gayo, seperti "Derah" berbulu merah, "Jejok Ines" yang terbang lincah, "Kukur" dan "Cicimpala". Kini "Manuk Wo" termasuk jenis burung yang sudah langka, bahkan mungkin sudah punah. Burung ini hanya memperkenalkan diri lewat suara yang mengisaratkan keagungan, keteguhan, kegigihan, kesyahduan dan kepasrahan di kegelapan malam yang hening. Pada siang hari dia terbang tenang, membisu dan tidak mau memperkenalkan jati dirinya di depan umum. "Manuk Wo" atau "Unguk" hanya bersuara, ketika siapa pun tidak berani lagi menyuarakan sesuatu. Artinya, "Manuk Wo" tidak mau terperangkap kedalam pluralisme dari pelbagai jenis burung lain yang memperdengarkan suara di tengah kemajmukan komunitasnya. "Manuk Wo" bukan anti liberalisme dan pluralisme, akan tetapi dia menjaga dan mengawal diri agar tidak menjadi korban dari semua itu. Gelagat ini boleh jadi menghindar, mengurangi gah dan merendahkan eksistesi diri. Akan tetapi di mata "Manuk Wo" justeru sebaliknya. Ketokohan burung ini justeru dihormati oleh siapa saja karena kepribadian, kesederahanaan, kesyahduan vokal, keteguhan dan kemandirian yang bernas serta tidak suka "munyerdah" diri. Inilah Aku! Typikal "Manuk Wo" merupakan represetasi dan percikan moralitas agung yang muncul dari jenis burung yang unggul, berbeda dengan rumus moral kebanyakan. Dengan perkataan lain, "Manuk Wo" adalah simbol daripada sufisme Wahdatul wujud -pengendalian diri- yang menyelimuti moral dalam kesunyian, yang jarang dapat dilakukan. Kebanyakan orang tidak manusiawi di saat dia kesepian dan kesendirian, tidak "Manuk Wo". Kreativitas "Manuk Wo" seharusnya menjadi gambaran umum bagi orang Gayo, yang mendapat dorongan moral dan motivasi daripada gigihnya burung ini berjuang mendidrikan (sangkar) dengan merajut -menyulam ranting, dedaunan dan cabang- dirancang -design- sendiri di atas cabang kayu tanpa mendatangkan pakar arsitek dari negara luar. Gerak temabur yang naik-turun dari cabang kayu ke lembah-lembah semak belukar secara berulang kali diperagakan dalam Tari Sining, sebenarnya mengisahkan tentang pencarian, harapan dan kenyataan, yang dalam Tari Sining versi baru ditafsirkan kedalam bentuk panggung setinggi pinggang, untuk membedakan antara gerak gerdak dan gerak temabur (turun dan naik), yang merupakan rangkaian daripada proses penyelesaian bangunan istana.Peteriana Kobat dan Salman Yoga, Diskusi Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016. Kombinasi gerak Gerdak dan Temabur ini bertujuan untuk mengabarkan kepada alam, manusia dan siapa pun juga bahawa, burung ini sedang membangun sebuah mahligai idaman untuk merajut kebahagiaan dan kedamaian, sekaligus untuk men-streril-kan persekitaraan, agar kediamannya suci dari debu dan bebas dari kecemburuan serta pelbagai gangguan, ancaman dengan harapan tercipta keamanan, ketenteraman dan merdeka menikmati kehidupan prematur ini. Disini terdapat perencanaan, pelaksanaan, penyelesaian dan jaminan keamanan yang dirancang secara sistematik. Akhirnya, yang menjadi perhatian adalah, sangkar "Manuk Wo" yang dengan susah payah telah dibangun, ternyata tidak ditempati untuk bertelur dan menetas. "Manuk Wo" memilih tempat lain untuk dibangun dan ditempati." (wawancara dengan Onot, Cèh Didong Kemara Bujang dalam diskusi Tentang Tari Sining, Skala Koffee, Banda Aceh, 23 Desember 2016). Perilaku ini adalah refleksi kejiwaaan orang yang boleh ditafsirkan bahwa, sehina dan semiskin bagaimana pun, orang Gayo tetap memiliki sebuah rumah tempat tinggal -Ini Umahte- sebagai simbol maruah, terlepas daripada ditempati atau tidak, sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan: "Isihen dan sesi umahte Abang". Sebaliknya, orang Gayo hanya cerdas membangun rumah _memugar suatu kawasan_ setelah selesai lokasi tersebut kemudian ditinggal dan diserahkan kepada pihak lain. Orang Gayo adalah Gharip _yang menganggap dirinya sebagai anak dagang perantau di dunia ini, bukan pemilik dunia. Orang Gayo adalah petualang yang kesepian yang terus menrus mencari kehidupan atau lahan baru, pugar lagi ….. dan ditinggal pergi lagi…., Betul ke die ini, mulo ari kami!
Wednesday, February 22, 2017
Artikel Terkait
Newsletter
Berlangganan artikel terbaru dari blog ini langsung via email
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)