Kerawang Gayo |
‘Emun beriring’ adalah dalil relativitas kehidupan, yang menggambarkan romantika dan dinamika kehidupan manusia –ada kalanya bertènggèr di lereng bukit, membentang dan berarak di langit biru –simbol dari puncak kenikmatan, keberhasilan karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman nama seseorang– yang secara natural memberi kesejukan, keteduhan, kedamaian dan keharmonisan.
Ada masanya sirna dan menghilang –itulah simbol berakhirnya kenikmatan, karir, kekayaan, kemegahan dan keharuman– yang secara moral diharap tidak meninggalkan kesan parut dan tercela di mata manusia dan di hadapan Khaliq. Inilah hakikat hidup yang terus-menerus bergerak, berutar dan bergilir silih berganti: datang dan pergi, laba dan rugi, sehat dan sakit, gembira dan kecewa menjelma dalam realitas hidup.
Inilah yang dimaksudkan dalam lirik didong ini ‘wéh si manut ku lut ijo gere berulak den mata ni lao gere sabé timang’ (air yang tumpah ke laut, tak akan kembali dan posisi matahari tidak selamanya setentang di atas kepala).[1] ‘Emun beriring’, yang desain garisnya meliuk-liuk dan lepas, juga mengandung arti bahwa kehidupan ini tidak pernah akan berhenti berproses tanpa tapal batas dan bebas dari pelbagai ikatan hidup.
Dengan kata lain, keabadian itu adalah yang tidak abadi. Akan halnya dengan ‘tali puter tige’, merupakan simbol ketegaran, kekuatan, persatuan dan peluang. Inilah konsep perisai yang memberi ketegaran dan percaya diri saat berhadapan dengan pelbagai halangan yang melintang. Untuk itu, tidak ada prasyarat lain, kecuali persatuan yang diikat oleh rasa emosional dan rasa cinta ke-gayo-an yang melekat pada identitas dan bernas.
‘Tali puter tige’, juga menggambarkan kesempatan, yang pada pandangan orang gayo dan percaya bahawa ketangkasan, kecerdasan dan keberanian seseorang hanya boleh dicoba dan dibuktikan sebanyak tiga kali. Itu sebabnya, kecepatan kuda yang dipacu pada pentas pacuan kuda tradisional di gelanggang ‘Musara Alun dan Belang Bebangka’, klimaknya berlangsung pada putaran final sebanyak tiga kali keliling.
Jadi ‘Tali puter tige’ berhubung langsung dengan karakter budaya aktual. Selain itu, konsep ‘tali puter tige’ dapat dilihat pula pada ‘rempél’ rambut wanita gayo, yang diikat secara kemas dan manarik sebanyak tiga lipatan. Lipatan ganjil tersebut dipercayai lebih kuat dan bertahan. Ini dapat dibuktikan. Lebih dari itu, ‘tali puter tige’ diartikan sebagai asas manfaat (‘utilities’), yang boleh menghindari dari sifat mubazir, karena di mata orang, sesuatu yang wujud di dunia ini memberi makna: jika ‘konot kin penikot, naru kin penegu. Berarti, orang gayo tidak pernah kehilangan akal untuk memanfaatkan sesuatu, apa pun wujudnya. ‘Tuwis’ merupakan simbol pendidikan, keimanan, ketegaran dan kelenturan. Mengapa mesti “Tuwis” dan tidak menyodorkan pohon bambu? Karena pada pandangan orang gayo, proses pendidikan dan pengajaran dalam segala bidang akan berhasil jika dilakukan dari sejak awal lagi. Sejak kecil sudah dididik “Berbudi perangé den gelah jeroh lagu, berperi berabun bertungket langkahmu.” Pendidikan karakter, budi pekerti (moral) yang dilakukan sejak dini akan membawa impak positif kepada kalangsungan hidup seseorang. Artinya, jika bicara soal kegunaan bambu, maka sejak pada bentuk awal –tuwis– sudah memberi manfaat kepada manusia dan setelah dewasa –tengah kucak kin pong man, nge kul kin pong nomé- (sewaktu masih tuwis untuk sayur, sesudah besar untuk lantai atau luni, wau, seruwe, jangki, parok, suling, letep, terpèl, totor, peger den pepara.[2] Selain itu, tuwis berbentuk lancip –mengkerucut– yang melambangkan keimanan kepada ke-esaan Allah yang Maha kuasa dan Maha Tinggi. Tuwis adalah juga simbol kecerdasan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian pelbagai masalah hingga ianya mengkerucut kepada satu tujuan dan keputusan akhir yang akan diambil. ‘Peger’ adalah symbol atau pun konsep ketahanan dan perlindungan. Dalam konteks ini, masyarakat gayo mempunyai peradaban yang dikenal istilah ‘peger ni beden’, ‘peger ni keben dan ‘peger ni imen. ‘peger ni beden’ adalah ketahanan diri dari serangan penyakit yang diramu dengan mantra-mantera, supaya fisiknya sehat dan segar bugar; sementara ‘peger ni keben ‘ adalah sistem ketahanan pangan dan kekayaan (harta-benda) dengan cara menyimpan (saving) atau pun ‘reserve’ apabila terjadi bencana dan tindakan berhemat. Metodenya adalah, menyiapkan tanaman ‘gadung-kepile’ sebagai penopang dari makanan dan harta kekayaan utama –padi dan kopi– yang hanya digunakan untuk membiayai keperluan utama. ‘Peger ni imen’ itulah ‘sumang si opat’ yaitu standard moral, dimana ucapan mau pun prilaku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat gayo, yang dianggap ‘kemali’ (pantang), mancakupi ‘sumang penengonen’, ‘sumang pecerakan’, ‘sumang pelangkahan’ dan ‘sumang ‘kenunulen’, yang dipandang sebagai perisai untuk menjaga kemurnian iman dan adat gayo. ‘Sumang si opat’ tersebut sebagai aturan adat-istiadat masyarakat gayo yang berlaku dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sumang diartikan sebagai standard minimum dalam adat gayo yang menunjuk kepada pengertian sesuatu yang dianggap janggal dan tabu dari keseluruhan gerak/tingkah laku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Apabila disimak secara mendalam, konsep ‘sumang penengonen’ dalam adat gayo diadopsi dari pesan-pesan al-Qur’an sebagaimana dinyatakan: “…. hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya dan jangan menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang biasa terlihat…;[3] Ketentuan ini berhubung kait dengan larangan yang menyebut: “Janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka (anak tiri), atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau sesama wanita…”[4] Aturan yang sama juga berlaku kepada kaum lelaki, “supaya menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.”[5] Ini menunjukkan bahwa standard nilai adat gayo yang berkaitan dengan adab, akhlak atau budi pekerti adalah implementasi langsung dari perintah Allah dalam al-Qur’an. Demikian pula ‘sumang pecerakan’, yang menuntut supaya kita menjaga kualitas pembicaraan dan hindari diri daripada nada suara yang dapat menyakiti perasaan orang lain, menimbulkan perasaan sakit hati, dendam dan fitnah, sehingga merusak tatatan adat-istiadat yang telah dikemas dalam tamadun gayo. Selain itu, orang dituntut supaya tidak bersikap sombong, angkuh dan takabur yang sesungguhnya dapat merendahkan derajat, martabat dan maruah pelakunya. Dalam kaitan ini dikatakan, ‘janganlah memalingkan wajahmu dari manusia, karena merasa diri sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.’[6] Budaya gayo memberi petuah supaya ‘sibijak kin perawah’, bukan “berperi sergak”. Oleh kerana itu al-qur’an menyampaikan pesan: “rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[7] Pesan ini sudah tentu ada kaitannya dengan “gerantang” dan “kelèmèng” dalam peradaban masyarakat gayo. Adab dalam tamadun Islam mensyaratkan, “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah kamu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”[8] dan “jika dikatakan ‘kembalilah’, maka hendaklah kamu pulang. Itu lebih suci bagi kamu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan.”[9] Berhubung dengan ‘sumang pelangkahan’, al-qur’an menyampaikan pesan sbb: “sederhanalah kamu ketika berjalan…”[10] Ini pesan moralitas yang sungguh mendalam artinya, karena dari cara dan gaya orang melangkah, kita dapat menangkap pesan dan faham karakternya. Umpamanya gaya orang berjalan dengan menunduk kepala[11], menantang asap/langit[12], memandang datar[13], melirik kanan-kiri,[14] muluncet/mulumpet, teragong, gentot, gedèp dan jalan ‘rodok pelu’[15]; yang dalam adat gayo semua mempunyai makna. Adab berjalan secara sibolik, telah digambarkan dalam qur’an bahwa: “janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.”[16] Ini pernyataan tentang ‘egoisme’ manusia yang tidak terpuji di mata Allah dan manusia. Dalam adat gayo, larangan tersebut dijabarkan kedalam bentuk kalimat, ‘ike ramalan enti gederdak, ike mujamut enti munyintak. Ada pernyataan lain dalam qur’an yang masih berkaitan dengan standard moral, yaitu: ‘janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka tersembunyi.’ Dalam sejarahnya, budaya melilitkan gelang emas yang berbunyi, merupakan budaya kaum jahiliyah sebedum datang peradaban Islam yang menyempurnakannya. ‘Sumang kenunulen’ adalah adab saat duduk. Dalam peradaban masyarakat gayo, tempat duduk menunjukkan status sosial seseorang –dihargai dan dihormati– dalam suatu majlis. ‘Sitetue kunul teruken, simemude kunul terduru dan Aman mayak/Inen mayak kunul atan ampang”. Artinya, masyarakat gayo mempunyai tatacara khusus cara memberi hormat kepada orang tua maupun kepada kedua pasangan pengantin yang duduk di tempat yang sudah disediakan, sekaligus membedakan tempat duduk kaum muda (beru/bujang). Kaula muda duduk di tempat khusus pula (tidak campur-aduk) dengan kaum tua. Dengan begitu, suasananya akrab. Hal ini dianggap logis, karena selain memudahkan berkomunikasi antara mereka, juga tidak tejadi percampur-bauran materi pembicaraan yang mungkin belum saatnya diketahui atau didengar oleh kaum muda. Aturan yang tidak tertulis ini, juga berlaku bagi kaum wanita yang tua dengan kaum remaja (beberu). Perempuan duduk bersimpuk –tidak boleh menyerupai gaya duduk kaum lelaki, apalagi meniru gaya duduk monyet ‘cengkung’ (duduk dengan merapatkan kedaua lutut dan mendekapnya dengan kedua tangan – Cino kepada (duduk orang China kalah judi) dan ‘tèngkang’ (ngangkang). Kaum wanita wajib menutup aurat, terutama bagian kaki, dada dan kepala dan tabuk untuk duduk ‘tèngkang’ (ngangkang). Type ukiran ‘ulen empat belas’ dalam kerawang gayo, merupakan simbol daripada imaginasi dan cita-cita tinggi, yang berharap menjadi penerang, pemberi pencerahan demi membangun peradaban manusia, agar mengamalkan nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang memancarkan sinar cahaya terang, pelita yang indah, syahdu dan damai. ‘ulen empat belas’ juga menggambarkan kecantikan (belangi), keanggunan dan panasnya cinta yang tidak membakar, tetapi hangat dalam rasa syahdu. Berangkat dari simbol ini, maka masyarakat gayo sebenarnya romantis yang sarat nilai-nilai keagamaan. Untuk difahami bahwa, warna dasar daripada opoh Kerawang gayo adalah warna hitam. Ini melambangkan warna ber-klass tinggi, abadi, anggun dan agung. Hampir semua warna pakaian kebesaran raja-raja berwarna hitam, selain warna kuning. Inilah yang membedakan antara peradaban orang gayo dengan peradaban bangsa lain. Di tengah-tengah warna hitam, terdapat bulatan putih, cahaya dan bulan purnama. Petuah adat yang terkandung didalamnya ialah nasehat: “jika masih ada secercah sinar di langit sebagai pelita hidup, maka lirikan matamu semestinya mengarah kesana, bukan kepada kegelapan yang mengitari dan melilitinya.” Dengan begitu, desain kerawang gayo merupakan rangkuman ataupun simbolik dari pelbagai aspek kehidupan manusia –imaginasi, indrawi beradab, resam, adat-istiadat, identitas dan kualitas budaya yang menghubungkan norma-norma yang bersumber dari al-Qur’an dengan kearifan, akal dan logika yang dianugrahkan Allah kepada budayawan gayo, sekaligus dituangkan dalam kalimat ‘Edet adalah peger ni agama’. Dengan perkataan lain ornamen kerawang gayo adalah kreasi yang sarat makna, pantulan moral dan keagungan imaginasi orang gayo. Terlepas daripada kemahiran kita, orang gayo senang berkata: “maté ni hukum wan ijtihad, maté ni edet wan Istana”.[] [1]. Lirik lagu Saladin (group Burak Terbang) [2]. Yusra Habib Abdul Gani, Gayo Di Mata Orang Gayo (Suatu Pendekatan Filosufis), Makalah pada acara Menatap Gayo, Hotel Lingeland, 2013. [3]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 31. [4]. Al-qur’an 31:18. [5]. Al-qur’an, surat An-Nur, ayat 30. [6]. Surat Lukman, ayat 18. [7]. Surat Lukman, ayat 19. [8]. Surat An-Nur, ayat 27. [9]. Surat An-Nur, ayat 28. [10]. Ibid, ayat 19. [11]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang berilmu dan orang tua yang dihormati. [12]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang mempunyai kelainan jiwa. [13]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang normal dan kebanyakan orang. [14]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai kesalahan atau penakut. [15]. Pada umumnya, gaya berjalan seperti ini dalam adat gayo difahami sebagai langkah seseorang yang mempunyai sifat ceroboh dan gopoh. [16]. Surat Lukman, ayat 18.