Tuesday, March 28, 2017

Hukuman 'Jeret Naru' dalam Dilema

Danau Lut Tawar
Istilah ’jeret naru’ secara tekstual berarti ’kuburan panjang’, sementara dalam arti kontekstual (maknawi) berarti penjatuhan hukuman adat terhadap pasangan yang melakukan ’ancest’ (pelanggaran sexual) atas dasar suka sama suka yang berlaku dalam lingkungan keluarga inti, keluarga dekat atau pun satu belah/kuru. 


Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran hukum adat berat, karena menodai dan memalukan citra/nama baik keluarga, clan, belah dan kampung. Istilah tersebut hanya dikenali dalam masyarakat adat Gayo. Menurut sejarahnya, kehajatan sexual (’ancest’), termasuk kejahatan klasik yang sudah pun berlaku sejak ribuan tahun lagi dan dianggap sebagai jenis kejatahan yang amat ’aib.

Dalam psykologi, kejahatan ini disebut ’genetic Sexual Attraction’ (kecenderungan jatuh cinta dan melakukan hubungan sexual antara saudara kakak beradik, antara anak dengan Ayah/Ibu dan antara sesama keluarga dekat yang dipandang bukan sebagai sebuah fenomena asing, bahkan para ahli psykolog mengatakan, kejahatan tersebut sebenarnya merupakan sesuatu hal yang normal dan lazim dalam masyarakat tertentu.

Namun begitu, dalam kehidupan masyarakat beradab mau pun negara, pada umumnya menganggap perkara ini sebagai suatu kejahatan immoral yang serious. Namun demikian, kasus ini dipastikan sukar untuk dihilangkan, buktinya masih kerap kita dengar sampai sekarang bahwa jenayah ’ancest’ terjadi karena dalih suka sama suka, perkosaan, penipuan mau pun penganiayaan.

 Di Massachusetts (salah satu negara bagian di USA) misalnya, ’ancest’ ini dikategorikan sebagai perbuatan illegal yang hukumannya mencapai 20 tahun penjara, sementara di Hawai hanya 5 tahun. Ini menunjukkan bahwa Kejahatan ’ancest’ merupakan kejahatan tercela dalam masyarakat Krestian di USA.

Sementara itu, dalam perundangan Inggeris, kejahatan ’ancest’ ini diancam hukuman paling lama 12 tahun penjara. Misalnya, pada Juni 2004, masyarakat dikejutkan dengan berita Dr. Bruce McMahan (65 tahun), melangsungkan perkawinan lari dengan putrinya (Linda) berusia 35 tahun. Kasus ini telah menggemparkan masyarakat dunia, karena Bruce McMahan adalah seorang kaya raya. Dia adalah President dan CEO Argent Funds. (sumber: http://www.villagevoice.com)

Demikian pula kasus Jhon Earnest Deaves (61 tahun) dan Jennifer (Jenny) Anne Deaves (39 tahun) warganegara Australia, yang kedua-duanya adalah hubungan antara Ayah dan anak menjalin hubungan cinta dan akhirnya hidup bersama sebagai suami istri yang yang sempat melahirkan seorang anak. Peristiwa ini baru terbongkar pada medio April 2008. Ujung-ujungnya berhadapan ke Mahkamah Pengadilan negeri Australia yang menjatuhkan hubungan bersalah. Tidak dapat dinafikan bahwa, dalam masyarakat adat Gayo, jenayah ’ancest’ ini juga berlaku, hanya saja ditutup-tutupi dan pada umumnya pihak keluarga, Belah dan penghulu Kampung segera mengambil jalan pintas, yaitu menikahkan para pelaku secepatnya. Di kampung Kenawat Lôt misalnya –sejak tahun 1940-an sampai 1980-an– terungkap beberapa kasus ’ancest’ yang dihukum dengan hukuman minah belah, buang negeri; bahkan ada kasus dengan menjatuhkan hukuman ’jeret naru’ oleh Majlis Adat asal Kampung Kenawat. Peristiwa ini berlaku dalam masyarakat Adat Kampung Kenawat di Jakarta pada tahun 1980-an. Ini merupakan sebuah yurisprudensi penting yang masih tetap dipertahankan. Di kampung-kampung lain pun, dapat dipastikan bahwa jenayah ’ancest’ ini berlaku, hanya tidak tersebar luas dan menghebohkan masyarakat Gayo secara keseluruhan. Sejauh pengetahuan penulis, dalam yurisprudensi hukum Islam Islam baik terjadi semasa zaman Rasulullah, Khulafaturrasyidin, Tabi’in, Tabi’-tabi’in, belum kami ditemukan yurisprudensi mengenai kasus ’ancest’, terkecuali perbuatan zina yang terjadi di luar hubungan pertalian keluarga. Sehubungan dengannya, hukum Islam secara tegas menetapkan bahwa ’Pezina perempuan dan pezina laki-laki, dideralah masing-masing dari keduanya seratus (100) kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya  mencegah kamu untuk  (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.’ (Q.S. an-Nur /24:2) Ditegaskan pula bahwa, ’Aku pernah mendengar Nabi SAW memerintahkan mencambuk pezina yang belum menikah dengan 100 kali deraan dan dibuang satu tahun. (Diriwayatkan oleh Zaid Bin Khalid r.a.). Dalam konteks ini, Islam bahkan telah memberi isyarat lebih awal tentang larangan ’mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ (QS. Al-Isra, 17, ayat 32). Dalam konteks penjatuhan hukuman ’jeret naru’ dalam masyarakat Adat Gayo yang nota bene beragama Islam (muslim), ternyata tidak menerapkan secara langsung dasar-dasar Hukum Islam yang telah diatur dalam teks Al-Qur’an dan Hadits. Diakui bahwa dalam konstitusi kerajaan Linge yang terdiri dari 45 fasal, masalah ’ancest’ ada disentuh pada fasal 8, ayat 3 yang menyebut: ’Angkara, yaitu seorang yang melakukan kejahatan atau perzinaan di dalam satu belah,’. Sementara dalam fasal 8, ayat 2 menyebut secara simbolik tentang perbuatan tersebut, yaitu ’gere i pangan wéh i rukah, gere i pan ukum nikah (yang berarti tidak pada tempatnya). Namun begitu, tidak terdapat pengaturan mengenai ancaman hukuman yang pasti-pasti. Agaknya, perumus konstitusi kerajaan Linge dan hukum Adat Gayo lebih tertarik kepada Hadits yang menyebut: ’... dibuang satu tahun’, yang kemudiannya ditransformasi kedalam hukum adat Gayo dalam bentuk hukuman ’jeret naru’, yang tidak memberi peluang kepada pelaku ’ancest’ untuk kembali kampung asal buat selama-lamanya. Dikenal pasti bahwa semasa Umar bin Khattab memerintah, beliau pernah menerapkan hukum buang terhadap para pelaku zina dan tidak diizinkan kembali ke kampung asal. Bagaimana pun, eksistensi hukuman adat ’jeret naru’ dalam masyarakat Gayo mengalami dilema, akibat daripada terjadinya pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosial dan agama yang berlaku dalam masyarakat majmuk, kejumudan berfikir pemuka adat Gayo, tidak ada hasrat Pemda dan anggota legislatif untuk menghidupkan kearifan daerah lantaran tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang hukum adat Gayo untuk dituangkan kedalam qanun (Perda) bahwa, selagi masih ada kearifan lokal untuk menyelesaikan delik adat, seperti jenayah ’ancest’ melalui prosedur penyelesaian hukum Adat, maka hukum positif nasional Indonesia boleh dikesampingkan, tapi bukan dinafikan; sehingga keberadaan hukuman ’jeret naru’ ini tersepit di antara tekad untuk mengekalkan otoritas hukum adat Gayo dengan otoritas perundangan Indonesia dan prinsip HAM yang mengganjal; karena setiap jenis kejahatan yang berlaku dalam wilayah kedaulatan hukum Indonesia, tidak dirujuk kepada otoritas Hukum adat Gayo, melainkan mengakui dan mesti menerapkan hukum positif –KUHPidana– dan perundangan lain yang dianggap relevan. Lagi pula, karena kemudahan infrastruktur informasi, transfortasi dan komunikasi, amat mudah bagi pelaku untuk mengambil tindakan penyelematan peribadi –melarikan diri– ke daerah lain dan memutus rantai hubungan dengan penguasa kampung asal dan famili.

Artikel Terkait