Tuesday, August 10, 2010

Mencari Tuhan Abad XXI


Yusra Habib Abdul Gani

Dalam prolog buku: GOD IS BACK, How The Global Revival of Faith Is Changing The World. John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, dikisahkan selintas tentang Wang, seorang pengusaha asal Cina yang sangat berjaya di USA. Kesibukan sehari-hari bukan halangan baginya untuk beribadah di rumah mewahnya, walau tanpa Pastor. Dia tetap teguh dengan keyakinannya memeluk agama Nasrani. Berangkat dari cerita tadi, pengarang coba mengilustrasikan dan membawa kita terbang ke suatu dunia “beragama” di masa depan di tengah-tengah gelora globalisasi, industrialisasi dan modernisasi dalam peradaban manusia.
Riwayat ini wajar, mengingat penganut Kristen di Cina seramai 14 juta tahun 1997, meningkat kepada 21 juta tahun 2006, dengan perkiraan 55 ribu Gereja Protestan dan 406 Gereja Katholik harus dibangun. (The Economist, 1 Februari 2007.) Ini suatu indikasi bahwa pluralisme beragama mengalir tenang dalam masyarakat Cina dan tidak merubah rasa hormatnya kepada Mao Zedong yang atheist, tetap dihormati sebagai pahlawan Cina. Selain itu, hasil research yang dilakukan oleh Global Attitude Project in 2006 menyimpulkan: di Cina, terdapat 31% bertahan dan merasa penting peranan agama dalam hidupnya, 11% berpendapat bahwa agama Maoist tidak lagi penting. Pada tahun 2005, terdapat 56% yang menganggap agama antara penting dengan tidak penting. (sumber: Religion in China on the Eve of the 2008. Beijing Olympics. 2 Mei 2008.) Seterusnya, diprediksi bahwa tahun 2050, Cina menjadi dunia muslim terbesar, lebih besar dari penganut Kristen. Angka ini sudah tentu setelah disatukan dengan 21 juta ethnis Hui dan Uighur muslim di Provinsi Ningxia dan Xinjiang. (sumber: God Is Back, John Micklethwait and Adrian Wooldridge, New York 2009, hlm 5.)
Di Rusia, terdapat 86% masih percaya kepada peranan agama dalam hidupnya, hanya 16% atheist. Hasil research lain menyimpulkan bahwa, muslim di Eropah akan melebihi 6 juta tahun 2025 dan ledakan pertambahan peganut Islam terjadi pula di Benua Amerika. Di Denmark khususnya, setiap minggu tidak kurang dari 5 orang mengucapkan dua Kalimah Syahadah. (sumber: kesaksian seorang wanita mu’allaf kepada penulis). Sebaliknya, dari 8 orang asal Iran yang saya kenal di Denmark, kedelapannya athiest. Seorang diantaranya berkata: “Saya sudah lelah mempercayai Tuhan”.
Perubahan aqidah ini mengalir secara alamiah tanpa ada tekanan dari siapapun di Eropah. Kemudahan mengakses informasi tentang agama lewat internet tidak mungkin dihalang; lagipun perkara ini mutlak pilihan pribadi seseorang. Berbeda halnya sewaktu khalifah Abu Bakar Sidiq, yang menganggap murtad sebagai kejahatan yang wajib diperangi, hingga meletus “Perang Riddah”.
Wujudnya pergolakan pemikiran tentang aqidah –khususnya di Eropah– tidak terlepas dari pandangan (fatwa) para “Nabi-nabi” Barat. Rodney Stark, Baylor university Texas berkata: “Tuhan sudah beberapa generasi mati.” Friederich Nietzsche menimpali: “God is dead. God remains dead. And we have killed Him”. “Nabi-nabi” Barat telah berhasil meng-atheist-kan, sehingga masyarakat Eropah yang disaksikan sekarang adalah generasi atheist dan Gereja-gereja kosong melompong, kehilangan simbul agama, bahkan tidak ‘aib menjual Gereja. Di Denmark dan Belanda misalnya; hampir 60% penduduknya atheist. Di Perancis dari 10 orang, seorang saja yang menyatakan agama memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun Nicolas Sarkozy dalam kampanye sebelum terpilih menjadi Prsiden Perancis berkata: “la republique, les religious, L’espérance.”
Setelah ditelusuri, sikap anti Tuhan, mengangungkan imaginasi dan intelektual manusia, semuanya berpunca dari ajaran “Nabi-nabi” Barat yang dikagumi, seperti: Friederich Nietzsche yang berkata: “I find it necessary to wash my hands after I have come into contact with religious people” (sumber: Ecco Homo, in Kafmann., basic writing of Nietzsche); ... G.K Chesterfon yang berkata: “When people stop believing in god, they don’t believe in nothing, they believe in anything”. Ini suatu bentuk kecemburuan kepada Tuhan. Sigmund Freud, juga menolak kehadiran agama; ... Jean Paul Sartre berkata lebih gawat lagi: “God doesn’t exist – the bastard”; ... E.M Forter berucap: “Terus terang, saya tidak percaya kepada Tuhan dan suatu masyarakat, baru akan maju sekiranya menanggalkan agama”.... T.S. Eliot yang menyarankan: “You should pay your respect to Hitler or Stalin”. (sumber: Idea of a Christian societies, New York, 1940.) Tegasnya, masyarakat Eropah sekarang adalah korban dari ajaran sesat ini. Maka tidak heran kalau tahun 1811, Universitas College, Oxford mempublikasikan pamplet singkat berjudul: “The Necessity of Atheism”. Percy Bysshe Shelley yang bertanggungjawab, terang-terangan menolak idé bahwa: “kita berkewajiban mempercayai Tuhan termasuk keharusan memperhatikan kapél yang membosankan atas dasar disana tidak solid bukti tentang eksistensi Tuhan.” Dua abad kemudian, Percy Bysshe ditertawakan bukan karena mulut besarnya yang seakan-akan memaksakan, tapi oleh sebab pandangan yang demikian merupakan hal lazim dalam dunia intelektual. Richard Dawkins misalnya: secara gamblang meramalkan dalam thesisnya: “The Necessity of Atheism” tentang kehancuran agama Nasrani dan keharusan menjadi atheist. Pandangan ini lebih tajam, ketimbang yang dipaparkan oleh friederich schleiermarcher tentang “cultured despisers” dari agama, dalam konteks yang berbeda. (sumber: God Is Back, New York 2009, hlm 31.) Sementara Woolston, memprediksi agama Kristen akan musnah di era tahun 1900-an, kendatipun Voltaire menuding bahwa Woolston berjiwa pesimis.
Secara umum, pandangan inilah yang membentuk manusia Barat yang menganggap bekerja bukanlah pengabdian kepada Tuhan. Prinsip ini sudah merupakan pendapat umum di Eropah. Pada gilirannya pandangan Barat tentang: ”spiritual freedom”, ”political freedom” dan ”economic freedom” mempengaruhi Kemal Ataturk, yang kemudian membedakan antara agama dengan Masjid; Jawaharlal Nehru yang membedakan antara dogma dan fanatik; Gamal Adbul Nasser dan Shah Pahlevi yang membedakan peranan Masjid dan Industri. Ujung-ujungnya muncullah ”clash of civilizations” antar agama, modernisasi dan takhyul yang diduga akan terus berkepanjangan.
“Nabi-nabi” Barat yang menawarkan atheist, merupakan bentuk kecemburuan kepada Tuhan dan protes terhadap agama Nasrani, yang menurut literatur-literatur lama ditemukan fakta tentang peranan dan keterlibatan Gereja dalam kancah politik yang negatif. Misalnya, Gereja merestui Marcopolo melakukan genocide di beberapa negeri (1296-1298). Dikatakan: “Mengikut siasatan diketahui bahwa Gereja merupakan sponsor utama dalam tindak kekerasan yang dilakukan secara teratur dan tidak mengenal belas kasihan, sesudah beberapa pendapat atau keterangan yang saling berbeda.” (sumber: Kirkpatrick Sale. “sumber: The Conquest of Paradise: Christoper Colombus and Columbian Legacy”, 1991. Berikutnya, Gereja juga terbukti sebagai sponsor dalam tindak kekerasan dalam rentang masa tahun 1500-an – 1700-an, khususnya di Eropah.
Akan halnya dengan murtad di Aceh, dipandang dari sudut ”spiritual freedom” adalah sah-sah saja, sebab murtad adalah salah satu bentuk petualangan jiwa mencari Tuhan. Bukan tak percaya Tuhan, tapi boleh jadi karena hilangnya kepercayaan kepada penguasa diskriminatif dalam pelaksanaan syariah; tidak ditemukan sosok Ulama yang patut diteladani; yang menjamur hanya ilmuan berkepribadian retak, pegawai WH gadungan yang tidak bermoral, penerapan hukum rajam hanya untuk kaum dhu’afa dan wanita, bukan untuk politisi bajingan yang haus kuasa, harta dan wanita. Pada hal Al-qur’an menegaskan: penguasa yang tidak menjalankan syari’ah adalah penguasa kafir, fasiq dan dhalim (surah Al-Maidah, ayat 44, 45 & 47). Dengan demikian: orang murtad, Ulama dan penguasa sama jahilnya? Aktivis evangelis (penyebaran ajaran Kristen/Injil) tak perlu ditahan; ajak missionaris itu diskusi secara terbuka versus pendakwah atau ilmuan dari IAIN Darussalam.
Di luar kasus di atas; dalam suatu diskusi terbatas di Markas Besar Dewan Dakwah Islamiah Tingkat Provinsi NAD, saya pernah mengemukan tiga hal. Pertama, posisi pendakwah. ”Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kabjikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar” (Surat Ali-Imran, ayat 104) Berarti, pendakwah adalah kelompok ’elite intelektualist Islam’. Kedua, trilogi dakwah, yakni: “Rabbana atina fiddunya hasanah, wafil-akhirati hasanah, waqina ‘adhabannar”. Jelas missi, target dan sasarannya. Ketiga, muatan dakwah mesti logis, realistik dan relevan dengan kondisi sosial kekinian masyarakat yang sedang berlaku, tidak melempar isu dan masalah, melainkan menerangkan, memberi jawaban yang pasti-pasti, menawarkan konsep untuk menyelesaikan masalah moral, kemiskinan dan pembangunan dan jalin hubungan antara Ulama dan ’Umara. Untuk itu, juru dakwah mesti menguasai multi disipliner: bahasa, psychologi massa, sosiologi, ekonomi, hukum (syaria’h), logika (mantiq), dll. Tugas pendakwah menunjukkan rambu-rambu jalan: shiratalmustaqim, ”maghdubi” (jalur yang dimurkai) dan ”dhallin” (jalur sesat) agar tidak sesat. Berilah kebebasan kepada orang memilih jalannya sendiri, seperti Ayaan Hirsi Ali, yang suatu ketika pernah berkata: “Kucari Tuhan, tetapi ketumukan Allah.”
Secara umum, informasi ketiga jalan ini tersebar dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijtihad. Juru dakwah dituntut bukan saja penerjemah, tetapi harus mampu menafsirkan al-Qur’an untuk memurnikan dan menyelamatkan aqidah umat Islam, sekaligus melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan guna menghadapi musim, dimana orang berlomba-lomba mencari Tuhan. Wallahu’aklam bissawab![]

Artikel Terkait