Sunday, March 15, 2009

“Inen Mayak Pukes” (Pesan Legenda)


Oleh Yusra Habib Abdul Gani*

MAAF Aman Mayak (Pengantin lelaki), karena tanganku telah lancang menyentuh isterimu dalam keadaan tidak berpakaian “Upoh Ulen-ulen”, kusandarkan tangan ke bahunya yang dingin, kusentuh tubuhnya yang sedang ’berbadan dua‘ (hamil) dengan telapak tangan, yang telah turut mengotori nilai-nilai legenda ini. Bertuah, saat itu tidak lewat pegawai ronda Wilayatul Hisbah, hingga tidak sempat menyeretku ke Mahkamah atas tuduhan berkhawat dengan seorang wanita yang bukan muhrim. Semua ini berlaku di penghujung Juli tahun 2006, di hadapan isteri, adik, adik ipar, anak-anak dan keponakanku tanpa tersirat sekelumit nafsu berahi, melainkan sekedar ingin merapatkan perasaan, membagi hangat, emosi dan menjiwai lebih dalam tentang hubungan moral isterimu dengan generasi sekarang dan akan datang, yang menurut legenda ini bernama “Inen Mayak Pukes”. Ada sumber mengatakan bahwa, patung “Inen Mayak Pukes” yang asli, nampak tetesan air matanya yang sedang mengepit kendi. Fakta tersebut musnah sudah. Sosok tubuhnya yang tegak sekarang, tak ubahnya seperti bentuk Labu manis panjang. Walau begitu, saya sudah telanjur percaya dan meyakini legenda ini.

Ketika menyentuh “Inen Mayak Pukes”, terbayang lukisan terkenal “Monalisa” di Mesium Paris, yang dipajang dalam satu ruang, dilengkapi alat security modern, untuk mengelak tangan-tangan jahil menyentuh, mencederai atau mencurinya. Pengunjung hanya bisa melihat jelas dari jarak 4-5.m dengan bantuan sorotan sinar yang terfokus ke Monalisa. Pemda Paris, menyediakan dana khusus untuk memelihara Mesium ini agar terjaga rapi dan aman. Selain itu teringat juga kepada patung sepasang manusia telanjang bulat dalam sebuah kolam kecil buatan dilengkapi air mancur dengan campuran sabun berbusa putih menggelembung, terletak di samping Kantor Gubernur di Århus, Denmark. Orang lalu-lalang bebas melihatnya, tapi tidak merapat, menyentuh dan mencederainya. Walau patung ini hanya sebagai hiasan yang tidak memiliki nilai historis, namun Pemda (Kommune) membiayai perawatannya.

Berbeda dengan “Inen Mayak Pukes” yang keadaannya menyedihkan dengan sosok tubuh remuk dan kehilangan bentuk, akibat ulah “seribu‘ tangan jahil yang tidak bertanggung jawab telah menggebuki dan mencederai wajahnya, untuk menghalang agar dia dibenci; mencederai telinganya, agar tidak mendengar bisikan ayat-cinta; mencederai matanya, agar tidak bisa lagi menatap suaminya; melukai hatinya agar putus mata rantai emosi dan sejarah legenda ini dengan generasi sekarang dan mendatang.

Pengisah legenda sengaja memisahkan antara mereka berdua sejauh 200.meter. Pengunjung bebas merapat dan menyentuh “Aman/Inen Mayak Pukes”, tanpa ada upaya Pemda membangun pagar pelindung untuk merawatnya. Saat saya tanya kepada qadam penjaga: “Apakah Pemda membantu membiayai perawatan kawasan ini?”. “Sepecer pun tidak pernah dibayar oleh Pemda. Bahkan saya mesti menyetor pajak dalam jumlah tertentu kepada Pemda.” Tutur qadam singkat.

Untuk melihat “Inen Mayak Pukes”, pengunjung mesti membayar Rp. 3000/orang dewasa dan 1000/anak-anak. Kemudian qadam menyalakan lampu petromak tua, mengajak masuk kawah sempit dan meriwayatkan selintas kisah patung “Inen Mayak Pukes”. Di sini juga terdapat “Batu Seribu Arti” seukuran boneka kecil, lusung penumbuk padi dan terowong menuju “Aman Mayak Pukes”, yang jauhnya 200.m ke atas bukit. Saya tanya: “adadah brosur yang mengisahkan legenda ini kepada pengunjung?.” “Tidak ada” jawab qadam. Inilah cara Pemda Aceh Tengah menghargai legenda “Aman/Inen Mayak Pukes”, khazanah budaya (benda archeology) yang memiliki nilai legenda tersendiri, terletak di Pukes, kira-kira 1,5 km dari kampung Kebayakan ke arah Bintang, di bibir Danau Laut Tawar. Sampai hati memungut jatah, membiarkan telanjang tanpa berpakaian “Upoh Ulen-ulen”, tidak memberi biaya untuk membeli sabun, shampo, bedak dan alat kosmetik lainnya agar “Aman/Inen Mayak Pukes” nampak lebih gagah dan “mampat-belangi” (“cantik”). Entahlah!

Tentang jarak [200.m antara “Inen dan Aman Mayak Pukes”,] mengandung missi khusus tentang nilai kultural dan moral. Siapa saja, tidak terkecuali: pasangan suami/isteri sekali pun, tetap dipandang tabu bergandèng tangan, apalagi dalam perjalanan jarak-jauh atau memasuki kawasan kampung lain. Sebab, status mereka belum diketahui secara meluas oleh masyarakat. Jika ternyata belum menikah, urusannya bisa dibelasah oleh masyarakat atas alasan bertentangan dengan anjuran Alquran [Surat An-nur, ayat 30 & 31], yang dibahasa adat Gayo-kan dengan istilah: “Sumang”. 

Jarak posisi adalah simbolik adab dalam Adat Gayo (Aceh), yang mengutamakan kesan positif kepada khalayak (umum). Aktualisasi dari jiwa legenda ini nampak dalam interaksi sosial masyarakat sehari-hari. Dalam acara kenduri (jamuan makan), kematian atau perkawinan misalnya; kaum lelaki dipisahkan tempat duduknya dari kaum wanita, walau suami/isteri sekali pun. Realitas ini sudah menjadi “tacit” (tahu sama tahu) atau konsensus yang diakui masyarakat dan akan heboh, jika konsensus ini diterjang. Dalam msyarakat Gayo (Aceh), hampir tidak dijumpai pasangan suami/isteri berjalan bergandeng tangan di tempat umum, sebab dipandang memalukan umat!. Mereka menjaga jarak sebagai simbol moral/aurat umum. Inilah refleksi penjiwaan terhadap makna jarak antara “Aman dan Inen Mayak Pukes”. Sekarang, ada kecenderungn nilai-nilai legenda tadi sudah membusuk, mengangkangi jarak aurat di depan umum atau di tempat gelap. Buktinya, 3.000 pasang suami/isteri setiap tahun mengajukan gugatan cerai di Mahkamah syari‘ah Aceh Tengah, karena berselingkuh (data tahun 2006). Ini merupakan kegagalan orang Gayo memahami makna “jarak” dalam legenda ini. 

Mengikut alur cerita legenda dipercayai bahwa: “Aman/Inen Mayak Pukes” menjadi batu karena tidak memegang amanah orang tua: “Kalau kalian berdua sudah meninggal ruang (rumah) ini, jangan menangis dan menoleh ke belakang, sebab akan jadi batu.” Rasanya, terlalu èntèng kalau hanya karena pelanggaran terhadap kalimat ini bisa berbuntut manusia manjadi batu, walau pun dalam tradisi dan ajaran Islam menyebut: “jangan katakan Aaach kepada orang tuamu. Bertuturlah sopan santun.” Tapi, ini kenyataan: “Aman/Inen Mayak Pukes” menjadi batu. 

Terus terang, kalau diamati dengan teliti, posisi “Aman/Inen Mayak Pukes”, ternyata tidak menoleh ke belakang, tetapi memandang dan melangkah ke depan. Berarti, tidak cukup alasan menuduh -tidak memegang amanah- dan karenanya tidak patut menjadi batu. Jadi, dimana letak pelanggaran moralnya? Dalam konteks ini, kita tidak perlu mengusut. Yang perlu ditafsirkan di sini ialah: realitas (patung), bukanlah makna harfiah dari suatu pelanggaran, melainkan simbol dari ajaran moral, harapan dan pandangan futuristik yang zaman dahulu digambarkan lewat bahasa sandi, batu pahat berukir dan ornamen. Interpretasi dari amanah: “... jangan menoleh ke belakang, sebab akan jadi batu” ialah: Pertama: sosok “Aman/Inen Mayak Pukes” adalah manusia [kita], yang tengah menuju suatu kehidupan yang sarat dengan tantangan dan tanggungjawab, tak usah menoleh lagi ke masa remaja; benar kemaren adalah milik pribadi, tetapi esok lusa adalah milik bersama, yang menuntut keberanian bersabung dan bertarung untuk merebut pelbagai peluang. Si penakut akan hanyut dibawa arus hidup itu sendiri dan yang ragu-ragu akan kehilangan kesempatan. Ayunkan langkah dengan pasti ke depan, jangan menoleh lagi ke belakang. “Walal akhiratu chairullaka minal ula” (Surat Dhuha, ayat 4). Jadikan air matamu sebagai cairan perangsang yang menggairahkan semangat dan menegarkan jiwamu, sebab masa depan Anda adalah kepastian dan ketidak pastian. Dua perkara inilah sebenarnya milikmu. Jadi, jangan heran kalau satu saat, sesuatu yang sudah digenggam akan hilang disambar elang. Hidup tidak boleh “membatu”, tetapi mencair ke dalam larutan hidup dan nekad mendaki lereng-lereng gunung yang curam dan terjal untuk menggapai kebahagiaan; Anda mungkin sampai ke puncak kebahagiaan atau terjungkal ke dalam lembah yang dalamnya tanpa batas. 

Kedua, kita adalah sosok lain dari “Aman/Inen Mayak Pukes” yang tidak memegang amanah -tidak bisa dipercayai- karena melakukan “wan prestasi”: artinya: kita tidak melakukan sama sekali apa yang sudah diamanahkan; ... kita melakukan, tetapi tidak melakukan sebagaimana yang diamanahkan; ... kita melakukan, tapi hanya melakukan sebagian dari yang diamanahkan; ... kita melakukan, tapi terlambat dari masa yang diamanahkan. Sekurang-kurangnya, arti “jarak atau jauh” dan dua perkara paradok inilah yang saya selami sampai ke dasar, melalui pendekatan falsafah kontemporer, sesudah melihat dan berdialog imaginasi dengan “Aman/Inen Mayak Pukes” . Tegasnya, jika tokoh legenda ini menjadi batu karena tidak amanah; kita yang terang-terangan “wan prestasi”; ternyata diam, bisu, sombong, keras kepala dan “membatu”, bukan? 

Qadam mengajakku mendaki menjumpai “Aman Mayak Pukes”. Tapi, kaki terasa lelah melangkah dan nyeri sendi mendaki. Terus terang, ini hanya satu dari beberapa dalih, bahwa saya sebenarnya mengelak, kalau nanti “Aman Mayak Pukes” bertanya: “Sana keber ton numah ku?” (Apa kabar isteri saya?)”. Ini pesan dan saya tidak sanggup menjawab, walau dialog imaginasi terus dilakukan. Kulambaikan tangan sebagai isyarat perkenalan, bukan perpisahan. Karena perpisahan hanya terjadi, ketika seseorang merasakan bahwa pesan legenda ini tidak memiliki hubungan emosional dengan dirinya. Legenda ini tidak kosong, hanya saja orang tidak pandai membaca, menafsir dan menerjemahkan ke dalam konteks kehidupan ke-kini-an kita. Wallahu‘aklam bissawab!

* Director Institute for Ethnic Civilization Research, Denmark.
[Serambi Indonesia, 15/03/2009]

Artikel Terkait