Tuesday, January 25, 2011

“Finest hour” dan “Biëng Bak Babah Bubèë”

Yusra Habib Abdul Gani

Dalam sejarah Inggris, istilah “finest hour” (“putaran jam terbaik”) tidak dimaksudkan ketika Inggris berjaya menjajah sebagian benua Amerika, Australia, New Zealand selama ratusan tahun dan beberapa negeri di kawasan Dunia Melayu, India dan sebagian lagi di Afrika; melainkan menunjuk kepada waktu dan situasi kritikal, di saat Inggris harus menyelamatkan negaranya dari ancaman pendudukan militer Nazi dalam rentang masa (1939-1945).
Inggris mengingsafi bahwa, kalaulah bukan karena bantuan tentara sekutu, bisa dipastikan bumi Inggrispun akan ranap menjadi padang tekukur, sebagaimana dialami oleh beberapa negara lainnya di Eropa. Betapa tidak, Inggris telah kehilangan kapal perang Royal Oak Navy di pangkalan sendiri dan semenjak oktober 1941; 144 kapal perang dan 73 kapal dagang berhasil ditenggelamkan oleh tentara Laut Nazi dibawah pimpinan Dönitz dengan memakai sistem penyerangan Wolf Park. Untuk mengingati pengalaman pahit inilah, Admiral Sir Andrew Cunningham sadar benar, bahwa ‘meskipun hanya butuh waktu 3 tahun untuk membangun sebuah kapal, tapi butuh waktu 300 tahun untuk membangun tradisi.’
Inggris bangkit melawan Nazi, rakyat dilibatkan secara langsung dan tidak sendirian. Politisi Inggris meloby Amerika serikat dan mitra lain, untuk bersama-sama menggebuk kekuatan Nazi yang hampir tak tertahankan itu, akhirnya berjaya merebut jembatan Bènouville dan menghancurkan jembatan sungai Dives, yang dianggap sebagai jalur penghubung tentara Nazi dari wilayah Jerman, menyerang pantai Sword dan mempercundangi pasukan Nazi di kawasan Bayeux dengan mengerahkan 314.547 personel, 54.000 kenderaan, 102. ton persiapan senjata. Sementara tentara Amerika memiliki 314.504 personel, 41.000 kenderaan dan 116.000 ton persediaan. Selamatlah Inggris!
Romantika kebijakan militer dan politik yang melahirkan istilah “finest hour” Inggris itu, diulas secara rinci oleh Lawrence James dalam “The Rise and Fall of the British Empire” 1994, yang bisa dipandang sebagai sinar inspirasi untuk menyadarkan orang bahwa kombinasi antara kekuatan rakyat, kemitraan dan pemegang kebijakan politik adalah kunci utama untuk menyelamatkan maruah suatu bangsa.

Kalaulah istilah “finest hour” kita pinjam dan hubungkan dengan GAM yang berjuang merebut kedaulatan Aceh sejak tahun 1976-2011, yang selama rentang masa itu beberapa kali terlibat kontak senjata, prang urat saraf dan rundingan antara GAM-RI di Geneva, Tokyo (priode 2000-2003) dan rundingan Helsinki tahun 2005, secara politik dan militer bukan “finest hour” GAM. “Finest hour” GAM wujud, ketika pemerintah Indonesia: terutama kalangan militer dan politisi, media cetak dalam dan luar negeri dan dunia Internasional tahu, sepakat dan mengaku terus terang bahwa: roda pemerintahan Indonesia sudah lumpuh, 80% roda administrasi pemerintahan di Aceh sudah dikuasai oleh GAM dalam rentang masa di separuh tahun 1998-akhir 999, kecuali: DPRA dan jabatan Gubernur, semua pejabat dalam jajaran eksekutif, legislative dan yudikatif di tingkat bawah: mulai dari Geucik, Camat dan Bupati secara resmi menyerahkan Stempel negara RI kepada penguasa militer GAM. Kendali politik dan militer waktu itu sepenuhnya berada di tagan GAM, bahkan berjaya menghimpun dan mengadakan upacara peringatan hari kemerdekaan Aceh, pada 4. Desember 1998 di lapangan terbuka di wilayah Batèë Iliëk di bawah pengamanan militer GAM. Rentang masa yang berkesan, terindah dan bersejarah inilah pantas disebut sebagai “finest hour” GAM, oleh sebab kedaulatan Aceh sempat wujud, walau tidak bertahan lama. Sayang!
Perjuangan SIRA dari tahun 1999-2011, yang dalam rentang masa itu telah merubah status dari SIRA (sebagai kekuatan sipil) kepada Partai Politik lokal dan merubah cita-citanya dari memperjuangkan referendum kepada perjuangan politik –pengagihan kuasa– dalam panggung demokrasi; Muhammad Nazar (Ketua SIRA) sebagai wakil Gubernur-pasangan Irwandi Yusuf dengan sokongan dan suara rakyat mayoritas dari jalur calon independence –bukan kenderaan SIRA– yang dalam pilkada 2011 juga maju dari jalur independence; berhasil memperjuangkan “kemenangan kelompok pro demokrasi yang dimotori partai SIRA dalam memperjuangkan hak seluruh kalangan untuk bisa dipilih” dan “bersedia “pasang badan” demi terjaminnya hak-hak demokratis rakyat Aceh dalam ruang partisipasi politik di 2011.” (Serambi, 3 Januari 2011 Calon Independen; Pondasi Perubahan Aceh. Helmy N Hakim), bukanlah “finest hour” SIRA.
“Finest hour” SIRA terjadi, saat mata dunia internasional dan penguasa Indonesia terkesima menyaksikan 2 juta rakyat Aceh bagaikan pasukan lebah dan ‘pasukan Ababil’ berhimpun di lapangan Masjid Baiturrahman Banda Aceh bersenjatakan suara: ‘referendum, referendum dan referendum’, telah memecahkan gumpalan awan di langit dan menggegarkan dunia itu, walaupun berlangsung hanya dalam hitungan jam, pada 8. Nopember 1999. Sayang hujan tak turun, miris!
Kedua peristiwa bersejarah ini telah memperkaya dan menghiasai lembaran sejarah Aceh, tetapi kemudian dicatat bahwa rakyat Aceh adalah orang yang pandai membuat peristiwa bersejarah sekaligus pengkhianat sejarah. GAM dan SIRA (baca: rakyat Aceh) harus belajar dari kegemilangan dan kegagalan masa lalunya. ||“Suatu bangsa tidak akan mati, jika mereka menyadari dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Suatu bangsa akan mati, jika terus-menerus mengulangi kesalahan yang pernah diperbuatnya.”||. Van Sweten, Panglima perang Belanda tahun 1874.
Dalam hubungan ini, apa salahnya kita mengadopsi jiwa tradisi dari luar bahwa: dalam budaya politik dan militer Inggris, yang dipertanyakan bukan saja: ‘mengapa kita kalah’, akan tetapi juga menyoal: ‘mengapa kita menang dalam medan pertempuran?’ Secara natural, membangun suatu tradisi, moral perang dan moral politik; tubuh dan jiwa rakyat adalah batu batanya, air mata dan darah rakyat adalah lim perekatnya. Sistem moral inilah yang diinsafi oleh politisi Inggris dan tidak akan pernah melupakan peran dan keterlibatan rakyat untuk bersama-sama melahirkan “finest hour”
Di Aceh, atas kesadaran politik rakyat, kesamaan langkah dan tujuan, rakyat memberi harta dan nyawa, larut bersenyawa dalam teriakan –referendum– yang penuh resiko inilah yang melahirkan “finest hour” SIRA. Rakyat yang mengantar ke pintu gerbang kegemilangan, hingga GAM mampu bertahan dalam saff perang bertahun-tahun lamanya; memberi harta, air mata, darah, kehormatan dan nyawa demi perjuangan. Rakyat memiliki andil besar untuk mewujudkan “finest hour” GAM, terlepas dari ujung-ujungnya melahirkan MoU Helsinki. Karena itu, sangat beralasan mengapa banyak orang terperanjat membaca kutipan Otto Syamsuddin dalam wall facebooknya (5/01/11), yang mengingatkan kembali ucapan Adnan Beuransyah, notulensi Rapat I Pansus Tata Tertib DPRA, 19 Oktober 2009 bahwa: “Lahir MoU ini karena GAM, bukan karena rakyat, harus kita ingat kemuliaan mereka.” Ucapan ini tercetus terkait dengan riuhnya pembahasan calon independence dalam Pilkada 2011, yang dalam kebijakan politik masa depan PA menentangnya, kendatipun sebelumnya disetujui oleh pimpinan GAM dan KPA ini; telah memutus mata rantai antara rakyat dengan politisi asal GAM, yang tiba-tiba punya sayap dan terbang, tanpa dikerami dan dibesarkan terlebih dahulu dalam sarang rakyat. Dalam ukuran moral, ucapan ini merupakan refleksi dari karakter seseorang yang berjiwa retak, sekaligus racun pembunuh jiwa rakyat.
Asbabun nuzul penolakan ini karena pasangan idola (Humam Hamid-Hasbi Abdullah) dikalahkan oleh pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dalam Pilkada 2006. Jadi, PA merasa bersyukur atas pasal 256 UUPA untuk menghajar masa depan calon independence. Perlawanan PA semakin lantang dengan menolak putusan MK, yang meluluskan permohonan uji materi pasal 256 UUPA, yang ‘secara konstitusional dinilai berseberangan dengan UUD 1945 dan saat ini tidak mempunyai kekuatan hukum.’ PA kecewa, karena menurut Ligadinsyah (Jubir PA), Mahkamah Konstitusi tidak melakukan klarifikasi dengan DPRA (Waspada, 4/1/2011). Masalahnya: ‘apakah dalam sistem hukum Indonesia, diperkenankan lembaga legislatif lokal mencampuri putusan lembaga yudikatif (setingkat MK) yang sifatnya independence itu?’
Di Aceh perlu politisi yang memuliakan rakyat, membangun tradisi kekuasaan berteras moral dan berjiwa demokratis. Untuk membangun suatu tradisi politik terhormat perlu masa dan dalam ruang itulah orang belajar untuk tidak mencontoh prilaku ’Biëng bak babah bubèë’ (’Kepiting di depan pintu jaring ikan’) Kepiting ini kurang ajar –masuk tidak menghindar pun tidak dan tidak memberi laluan kepada ikan lain.
Streotype ’Kepiting’ ini ramah, tapi tidak mau bergeming dari ”babah bubèë”, karena kecurigaan atau prejudis mendahului naluri keputusannya. Kehadiran politisi yang lebih layak dan cerdas bermain politik secara wajar tidak dia terima. ’Kepiting’ ini hanya mengandalkan potensi fisik, gertak (gerhèm) dan teror, tapi kurang nalar otak, egoist yang hanya menghalang-halangi politisi lain yang coba menerobos dan mendobrak kejumudan politik dalam arena demokrasi.
Sebenarnya, ’ikan-ikan’ yang sudah merapat di depan ”babah bubèë” bisa mengusir dengan cara menjebak ’Kepiting’ ini lewat gerak-gerak tipuan dengan memuntahkan kotoran (baca: proyek) dari mulut ikan dari arah jauh tapi terlihat oleh dia. Dengan begitu si ’Kepiting’ ini akan hengkang mengejarnya. Namun demikian, apapun cerita dan alasannya, yang pasti politisi bermental ’Biëng bak babah bubèë’ sesungguhnya tidak punya tempat dalam ruang demokrasi dan kebebasan yang secara yuridis adalah sah dan dijamin.

Artikel Terkait