Thursday, June 16, 2011

Aceh: Ujian Demokrasi



Yusra Habib Abdul Gani

Kursi pemimpin itu amanah dan memilihnya adalah sunnah. Jadi, harakah dari pertarungan perebutan kursi pemimpin se-Aceh pada Pilkada akan datang adalah untuk men-desain pemimpin dalam bingkai sunnah yang bercorak amanah.
Bicara soal pemimpin –lewat proses demokratis sekali pun- ianya tidak akan lepas dari persoalan moral, etika dan identitas yang melekat pada diri seorang figur pemimpin, yang pada akhirnya; kemampuan berinteraksi dan berdialog dengan pihak lain-lah yang berperan dan menjadi salah satu faktor penentu untuk memperoleh pengakuan. Masalahnya sekarang, orang Aceh belum menemukan identitasnya yang authentik –yang tengah berjuang melalui Pilkada- untuk menjaring dan melahirkan pemimpin berwibawa, berilmu, bertanggungjawab, profesional, amanah, berani, jujur dan berjiwa pemersatu. Aceh, masih meraba-raba dalam remang-remang cahaya demokrasi yang di’sewa’ di Helsinki lewat kontrak politik dengan Jakarta. Pakailah, sebelum ada model demokrasi yang baru sebagai penggantinya dan belajar prinsip demokrasi yang ”tidak hanya menentukan secara bersama, tapi merundingkan bersama.” (Charles Taylor. Dilemmas and Connections, hlm. 129. Harvard University Press, 2011)
Tetapi, jika demokrasi dimaknai sebagai kebebasan untuk melawan secara brutal, tidak berani mencari kebenaran melalui forum dialog dan hendak menjadikan pertarungan perebutan kuasa sebagai medan perang total politik (’total political war’), maka siapa pun boleh mengadopsi doktrin I-Tjing (panglima perang Cina) yang mengajarkan: ”Jika anda hanya tahu kekuatan sendiri, tidak tahu kekuatan musuh, anda akan kalah;… jika anda hanya tahu kekuatan musuh, tidak tahu kekuatan diri sendiri, anda akan kalah; … jika anda tahu persis peta kekuatan anda sendiri dan peta kekuatan musuh; barulah anda menang.”
Kendati pada awalnya, doktrin ini dimaksud dan dipakai untuk mengukur kekuatan diri dan musuh dalam perang bersenjata, namun relevan pula agaknya dipakai dalam kancah ’perang’ Pilkada. Hanya saja, jika maksud Pilkada hanya bertumpu untuk menduduki kursi kekuasaan, sementara orientasi politik mengabaikan type pemimpin berkwalitas atau pemilih (konstituent)yang mentalitasnya cenderung bersikap fanatik (ta’assuf) ketimbang mengedepankan pertimbangan logis, maka Aceh akan menuai malapetaka, yakni: pembagian dan pemerataan dalam perolehan dan pembanguan yang tidak adil; bahkan lebih dari itu akan melahirkan kekuatan ’clan’ berkedok sahabat seorganisasi serta bourgouis baru yang tidak berpihak kepada rakyat.
Proses memilih pemimpin, berkaitan langsung dengan prinsip demokrasi; yang selain mendorong, melibatkan rakyat dan perwakilan rakyat untuk berperan dan berpartisipasi dalam pelbagai aspek kehidupan bernegara, juga mendidik kesadaran politik, dimana rakyat dan media massa punya ruang dan berhak menilai secara bebas -kalau pun bukan melahirkan kesepakatan (konsensus)- untuk berdialog dan sekaligus mendengar langsung bagaimana komitmen, konsep dan program, hingga rakyat merasa bahwa figur dimaksud layak didaulat sebagai pemimpin. Ujian demokrasi ini belum atau mungkin dianggap tabu dalam tradisi/budaya masyarakat kita. Pada hal membentang visi dan missi secara tertulis dan lisan dari seorang calon pemimpin sangat penting guna mengukur kemampuan berdebat di depan umum.
Dengan mengenyampingkan atau ketiadaan tradisi berdialog dan kritik ini, maka penilaian terhadap identitas politisi Aceh sebagai pengidap penyakit ”Scriptophobia”, yakni: kelainan jiwa yang tidak yakin (takut) menyuarakan sesuatu secara tertulis atau lisan pada publik; adalah sah, wajar dan logis. Sebab, tidak seorang pun calon pemimpin berani bersuara vocal mem’publish’ idé, konsep dan program cemerlang untuk membangun masa depan Aceh, walau Pilkada sudah mendekati pintu gerbang. Sikap (baca: taktik) menutup diri ini dalam dunia binatang; burung Tiung-lah yang dikenal cerdik mematuk sarang semut dari luar sambil menjulur lidah yang menyimpan air liur rasa manis. Saat semut terkecoh menghampiri dan mencicipi; sang Tiung pada posisi tidak terlihat segera menelan mangsanya. Harimau dalam rimba, juga kerap memakai taktik sembunyi di lintasan yang dilalui Rusa.
Dalam realitasnya, bukan jenis penyakit ini saja; penyakit ”Heliophobia”, yaitu: perasaan takut terhadap apa saja yang menyangkut sinar matahari juga merebak; yang secara simbolik merupakan refresentasi dari figur politisi yang takut pencerahan dan takut kebenaran; oleh sebab tidak punya idé, konsep dan program. Tegasnya, pengidap ”Heliophobia”-inilah refresentasi dari ”Tiung” dan ”Harimau” yang licik memanfaatkan masa ”sok mok” (”bingung”) yang menunggu di jalan pintas untuk merebut kuasa dan mendadak kaya.
Phenomena sosial-politik tersebut adalah diantara penyebab munculnya rasa pesimis dan kurang bergairah rakyat menyahut pesta demokrasi, ditambah dengan kesaksian dan pengalaman sebelum ini yang telah pekak mendengar slogan-slogan: ”angka kemiskinan di Aceh menurun”; ”JKA kebanggaan kita”; ”Aceh negeri kaya”; sementara itu, menafikan realitas bahwa Aceh menempati ranking ke-7 sebagai Provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan 20.98%. (Data: tahun 2010).
Malangnya, rakyat kelas bawah pun diserang oleh ”Allodoxaphobia”, yakni: kelainan jiwa yang khawatir dan takut pada pendapat diri-sendiri atau orang lain; disebabkan oleh aksi dor dari pintu ke pintu, pesan sms dan lain-lain cara untuk mempengaruhi atau menekan supaya orang tertentu dipilih. Selain itu, ”Rhabdophobia” juga menjalar, yakni: perasaan khawatir dan takut dihukum, dianiaya atau dicederai dengan suatu alat tertentu; terutama jika nafsu orang arogan tidak dipenuhi. Rakyat model inilah korban dari politisi yang meniru gaya sergap hewan ”karnivora”, yang memanfaatkan sebagai ’constituent’ (pemilih) untuk memilih pemimin.
Ada pula figur politisi yang menderita kelainan jiwa, karena khawatir dan takut terhadap kegagalan atau kekalahan. Dalam psykhologi disebut ”Kakorrhaphiophobia”. Ianya berpunca dari rendahnya kwalitas ketokohan atau punya beban psikhis, yang sebelumnya mungkin pernah memeganag jabatan jauh lebih mentrèng dan terhormat dibanding posisi yang diperebutkan, atau tidak punya barometer untuk mengukur kekuatan sendiri dan tidak tahu persis peta kekuatan musuh atau tahu kekuatan sendiri, tidak tahu persis peta kekuatan musuh. Dengan berbekal perasaan takut gagal/kalah ini, dia berusaha melancarkan manuver-manuver politik untuk menghalang/menyumbat laluan rival.
Perasaan tersebut muncul karena dibayang-bayangi oleh rasa khawatir dan takut kepada kebebasan; yang dalam dunia Psykhologi kelainan jiwa ini disebut ”Eleutherophobia”. Kebebasan untuk berdialog dan berdebat secara terbuka merupakan perkara yang menakutkan, karena merasa dirinya kosong idé, konsep, program dan menghindar dari masyarakat umum. Sebaliknya, di belakang layar mendoktrin, supaya hanya dia dipilih. Manuver lain, misalnya: menyekat pelbagai perangkat hukum untuk kepentingan umum di lembaga Legislatif. Hal ini terjadi, selain sebagai taktik menghalangi gerak lawan, juga terbukti memang tidak punya kemampuan merumuskan peraturan, merasa tertekan, khawatir dan takut bagaimana membuat keputusan. Dalam psykhologi, kelainan jiwa kolektif dan perorangan ini dinamakan ”Decidophobia”. Inilah fotrait politik kontemporer Aceh yang dilematis. Para pesakit ini jualah peserta ujian demokrasi di Aceh. Lantas, apa hasil dari Pilkada Aceh nantinya? Dalam falsafah komunikasi, yang paling penting adalah: sebelum menjawab pertanyaan tersebut; terlebih dahulu harus menjawab: ’Apa yang sedang kita lakukan dan untuk tujuan apa?

Artikel Terkait